Kanal Banjir Jakarta adalah saluran air kolektor sebagai salah satu cara penanggulangan banjir Jakarta (dulu dikenal dengan nama Batavia) yang pertama kali dikonsepkan oleh Prof. Ir. Hendrik van Breen pada tahun 1913.[1] Inti konsep Kanal Banjir adalah mengendalikan aliran air dari hulu sungai yang berasal dari kawasan Dataran Tinggi Jonggol dan Bogor dengan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta dan akan membuat beban sungai di utara saluran kolektif lebih terkendali.[1] Kanal tersebut menjadi sistem makro drainase kota yang berfungsi untuk mengurangi genangan air di dalam kota dengan mengalirkannya langsung ke laut.[2]
Sejarah Kanal Banjir
Konsep Kanal Banjir muncul akibat seringnya Batavia mengalami banjir.[3] Tahun 1911, Departemen Burgelijke Openbare Werken (BOW), cikal bakal Departemen Pekerjaan Umum, menunjuk van Breen sebagai Ketua Tim Penyusun Rencana Pencegahan Banjir.[4] Tugas dari BOW tersebut adalah menangani pekerjaan yang terkait dengan permasalhan air, seperti pemeliharaan sungai, situ, melakukan pembuatan, pemeliharaan, dan pengelolaan pengairan/irigasi, bangunan penahan air, dan terusan untuk pelayaran sungai.[5] Selain itu, BOW juga melakukan pekerjaan lain yang menyangkut ilmu bangunan air dan membuat pembuangan air untuk kepentingan umum.[5]
Konsep awal Kanal Banjir tersebut adalah mengalirkan air dari sungai di hulu Batavia melalui saluran kolektor yang dimulai dari selatan kota (saat itu batas selatan kota berada di Manggarai) menyusuri tepi barat kota menuju ke laut yang muaranya berada di Muara Angke.[1] Saluran kolektor yang menyusuri bagian barat Batavia ini dikenal dengan Kanal Banjir Barat. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet.[1]
Tahun 2003, sebagai salah satu upaya mengendalikan banjir di seluruh Jakarta adalah membangun Kanal Banjir Timur.[6] Rencana Kanal Banjir Timur ini sebenarnya sudah muncul di Rencana Tata Ruang Jakarta 1985-2005.[7] Kanal Banjir Timur diharapkan dapat mengendalikan banjir di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara.[8]
Mengacu pada prinsip pengendalian banjir DKI Jakarta pada Rencana Induk Pengendalian Banjir Jakarta 1973 (Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta), yang disusun dengan bantuan Netherland Engineering Consultant (NEDECO), pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua kanal yang melingkari sebagian besar wilayah kota.[8] Kanal itu akan menampung arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian- bagian hilir kota yang dikenal dengan nama Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur. Kanal-kanal tersebut adalah salah satu upaya pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.[8]
Kanal Banjir Barat (Hijau) dan Kanal Banjir Timur (Biru)
Kanal Banjir Barat
Pembangunan saluran Kanal Banjir Barat (KBB), yang pada era BOW disebut Kanal Banjir Kali Malang, ini dimulai tahun 1913.[9] Kanal Banjir Kali Malang pada awalnya dimulai dari Matraman sampai Karet.[9] Usulan penggalian Kanal Banjir Kali Malang tersebut diajukan oleh van Breen didasarkan pada hasil penelitian terhadap sungai-sungai di Batavia.[9] Proyek Kanal Banjir Kali Malang dimulai dari Ciliwung[10] dengan titik awal penggalian di Matraman dan kemudian dari Karet akan diteruskan ke Kali Angke melalui Kanal Krukut yang telah ada.[10] Saluran kolektor tersebut akan menampung luapan air dari Ciliwung, Sungai Krukut, dan Sungai Cideng yang kemudian akan dialirkan ke laut.[10][11] Tujuan pembuatan kanal ini adalah untuk melindungi area Batavia, Menteng, Gambir, Senen, Harmoni, Kota, Pasar Ikan, dan Priok.[10]
Proyek penggalian Kanal Banjir Kali Malang sepanjang 4,5 km seluruhnya dikerjakan dengan tangan.[10] Kedalaman kanal tersebut bervariasi antara 4 meter sampai 12 meter, dengan kemiringan juga bervariasi antara1 meter sampai 1,5 meter dan lebar dasar kanal antara 13,5 meter sampai 16 meter.[10] Proyek pembangunan kanal banjir dari Matraman sampai Karet ini selesai pada tahun 1915.[10]
Setelah proyek pembangunan kanal banjir dari Matraman ke Karet selesai, van Breen mengusulkan untuk meneruskan proyek kanal banjir tersebut dari Karet sampai Muara Karang.[12] Pada tanggal 1 November 1915, Gubernur Jenderal menyetujui rencana yang diajukan oleh van Breen untuk menlanjutkan proyek kanal banjir tahap II dari Karet sampai ke laut di Muara Angke.[12] Proyek Kanal Banjir Tahap II ini selesai pada tahun 1919.[12]
Adapun salah satu penyebab banjir adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang limbah ke tempat sampah. Hal ini membuat sampah menumpuk di sungai dan membuat air menjadi meluap.
Kanal Banjir Timur
Kanal Banjir Timur (KBT) dibangun dengan tujuan untuk melindungi wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara dari banjir akibat luapan Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung, yang kapasitas alirannya masih belum mampu menampung debit aliran air pada puncak musim hujan.[8] KBT akan melayani sistem drainase pada wilayah seluas 207 km2 dan dapat mengurangi genangan di 13 kawasan rawan genangan di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara.[8] Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, KBT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air.[13]
Ide pembangunan KBT telah muncul sejak tahun 1973 ketika Pemerintah Belanda (melalui The Netherland Engineering Consultant (NEDECO)) berkolaborasi dengan Pemerintah Republik Indonesia mengadopsi konsep Kanal Banjir van Breen dan Rencana drainase Komprehensif untuk seluruh Jawa Barat yang diajukan oleh W. J. van Bloemenstein pada tahun 1940-an, mencoba mencari solusi untuk mengatasi banjir di bagian timur Jakarta.[7][14] Kerjasama tersebut menghasilkan Master Plan of Drainage System dan Flood Control for Jakarta.[14] Namun, proyek pembangunan KBT tidak segera dilaksanakan walaupun Master Plan dan desain KBT telah selesai tahun 1973.[14] Kendala saat itu adalah tidak tersedianya dana yang cukup untuk membiayai proyek KBT.[7]
Pada tahun 1985, Rencana Tata Ruang Jakarta 1985-2005 menetapkan akan memberi perhatian lebih pada sistem drainase kota sebagai salah satu cara penanggulangan banjir.[7] Strategi penanggulangan banjir tersebut dibagi dalam 3 zona, zona pusat, zona barat, dan zona timur.[7] Zona Timur akan difokuskan pada penyelesaian proyek (bagian pertama di bagian hulu) Kanal Banjir Timur pada tahun 2005.[7]
KBT direncanakan untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan KBT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta.
KBT akan melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum.
Untuk pembuatan KBT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28 hektare yang terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3 hektare di Jakarta Timur. Sampai dengan September 2006, lahan yang telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar. Untuk tahun 2007, direncanakan pembebasan 267,36 hektare dengan biaya Rp 1,2 triliun.
Dalam kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun.
Saat ini KBT telah selesai dikerjakan, KBT direncanakan untuk mengatasi banjir di wilayah Timur Jakarta dengan cara menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Namun, pada kenyataannya banjir tetap terjadi dan fungsi KBT sebagai penampung aliran sungai dari sekitar 7 sungai belum berfungsi secara optimal.
^ abcdAdhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa. Jakarta: Grasindo. hlm. 17.
^Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 18.
^Gunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal:Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 216. ISBN978-979-709-483-6.
^Gunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Penanggulangan Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 221. ISBN978-979-709-483-6.
^ abGunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 215. ISBN978-979-709-483-6.
^Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 33.
^ abcdeAdhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur. Jakarta: Grasindo. hlm. 35.
^ abcGunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 224. ISBN978-979-709-483-6.
^ abcdefgGunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Penanggulangan Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 226. ISBN978-979-709-483-6.
^Gunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Penanggulangan Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 228. ISBN978-979-709-483-6.
^ abcGunawan, Restu (2010). Gagalnya Sistem Kanal: Penanggulangan Banjir Jakarta dari masa ke masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. hlm. 230. ISBN978-979-709-483-6.
^Adhi Ksp, Robert (2010). Banjir Kanal Timur: Karya Anak Bangsa. Jakarta: Grasindo. hlm. 46.
^ abcSimanjuntak, Imelda; Frantzeskaki, Niki; Enserink, Bert (2011). Five Strategies for adaptive governance of Jakarta's Urban Delta: Lesson from Jakarta's Eastern Flood Canal evaluation. Delft, NL.