Museum Wahanarata (bahasa Jawa: ꦏꦒꦸꦁꦔꦤ꧀ꦢꦊꦩ꧀ꦮꦲꦤꦫꦠ, translit. Kagungan Dalem Wahanarata), dikenal pula sebagai Museum Kereta Keraton, adalah museum yang terletak di sebelah barat area Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tepatnya di Jalan Rotowijayan, di sebelah utara kantor Kemantren Kraton. Museum ini merupakan bagian dari Museum Keraton Yogyakarta, selain Museum Lukisan, Museum Sri Sultan Hamengkubuwana IX, dan Museum Batik. Museum ini dikhususkan untuk menyimpan koleksi kereta kencana yang sedang atau pernah digunakan oleh keluarga Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah
Museum Wahanarata awalnya merupakan sebuah garasi yang dibangun atas prakarsa Hamengkubuwana VI tahun 1855. Sebelumnya, lahan seluas 14.000 m2 (150.000 sq ft) tempat museum ini berdiri dahulunya merupakan kandang kuda milik Keraton.[1] Bangunan tersebut dikenal sebagai Gedhong Balerata (gedung tempat penyimpanan kereta kuda). Bangunan ini dibangun karena jumlah armada kereta kencana yang dimiliki Keraton semakin banyak.[2]
Pada tanggal 1 Juni 1985, bangunan ini dibuka sebagai museum untuk umum dengan nama Museum Kereta Keraton. Pada masa itu museum ini telah mengoleksi 18 kereta kencana serta atribut yang digunakan baik oleh kusir maupun kuda seperti pelana dan pakaian kuda. Selain itu, museum ini juga menjadi tempat untuk merawat kuda milik Keraton.[3]
Pada tahun 2022, museum ini mulai ditutup untuk menjalani serangkaian renovasi. Setelah direnovasi total, pada tanggal 18 Juli 2023, museum ini berganti nama menjadi Wahanarata.[4] Nama Wahanarata berasal dari kata majemuk yang bermakna "tempatnya kereta perang".[5] Pelayanan museum ini ditingkatkan dengan menambahkan fasilitas baru berbasis teknologi digital yang dapat dinikmati langsung oleh wisatawan, seperti Augmented Reality, Catch and Run, Come to Life, dan photo booth.[6]
Koleksi
Saat ini Wahanarata mengoleksi 21 kereta kencana, baik yang diimpor maupun diproduksi lokal. Terdapat dua kereta kencana yang dikenal sangat penting dalam sejarah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu Kanjeng Nyai Jimad dan Kyai Garuda Yaksa.[5]
Separuh dari koleksi kereta kencana milik Kesultanan Ngayogyakarta diimpor, sedangkan sisanya dibuat di bengkel Yogyakarta dan Semarang. Hingga dekade 1930-an, kereta-kereta kencana tersebut masih digunakan hingga digantikan oleh mobil dan sepeda motor, yang menyebabkan Keraton tidak lagi menambah kereta kencananya.[7]
Kanjeng Nyai Jimad
Kanjeng Nyai Jimad adalah kereta kencana tertua yang dikoleksi oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang digunakan pada masa Hamengkubuwana I (1755–1792) hingga Hamengkubuwana III (1812–1814). Kereta Kanjeng Nyai Jimad dibuat di Belanda antara tahun 1740–1750. Berdasar catatan yang ada, Kereta Kanjeng Nyai Jimad merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal VOCJacob Mossel (1750–1761) kepada Hamengkubuwana I, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755.[8]
Bentuk dan gaya Kereta Kanjeng Nyai Jimad sama dengan kereta buatan Eropa. Di Eropa, kereta dengan bentuk dan bergaya Renaissance merupakan kereta yang digunakan oleh bangsawan kelas tertinggi atau para raja. Kereta dengan model dan bentuk yang sama, serta dengan usia yang kurang lebih sama terdapat pula di Keraton Kasunanan Surakarta, dengan nama kereta kencana Kanjeng Kyai Grudo. Baik Kereta Kanjeng Nyai Jimad maupun Kanjeng Kyai Grudo, masing-masing digunakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti.[8]
Setelah dipensiunkan sebagai kereta kencana Sultan, kereta kanjeng Nyai Jimad disimpan di keraton sebagai kereta pusaka Kasultanan Yogyakarta. Sebagai kereta pusaka, setiap tahun pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sura, Kereta Kanjeng Nyai Jimad dikeluarkan dari Wahanarata untuk dijamas.[9]
Kanjeng Kyai Garuda Yaksa
Kanjeng Kyai Garuda Yaksa adalah kereta kencana yang diproduksi di Hermans & Co., Belanda pada tahun 1867–1869.[10] Kereta tersebut ditarik 8 ekor kuda, dan digunakan saat penobatan Sultan. Kereta tersebut memiliki ornamen mewah dengan lapisan emas asli dan dipasangi lambang Kerajaan Belanda yang bersanding dengan cihnaning pribadi (lambang pribadi) dari Hamengkubuwana VI.[11]
Sabdacarakatama (2009). Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi. ISBN978-979-168-104-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sujarweni, V. W. (2021). Menelusuri Jejak Mataram Islam di Yogyakarta. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia. ISBN978-623-244-735-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tjandrasasmita, U. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN978-979-91-0212-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)