Di bawah slogan Fukoku Kyohei (富国強兵code: ja is deprecated , "Makmurkan negara, Perkuat angkatan bersenjata"), dan Shokusan Kōgyō (殖産興業code: ja is deprecated , "Kembangkan industri"), Jepang mengalami modernisasi yang mencakup periode industrialisasi dan militerisasi selama era Restorasi Meiji dan merupakan modernisasi tercepat dari negara mana pun hingga saat ini. Semua aspek tersebut berkontribusi pada kemunculan Jepang sebagai kekuatan besar dan pendirian sebuah imperium kolonial setelah Jepang mengalami banyak kemenangan di beberapa peperangan dan pemberontakan seperti Perang Tiongkok-Jepang Pertama, Pemberontakan Boxer, Perang Rusia-Jepang, dan Perang Dunia I. Gejolak ekonomi dan politik pada tahun 1920-an, termasuk Depresi Besar, menyebabkan munculnya militerisme, nasionalisme dan totaliterisme, yang akhirnya berpuncak dengan bergabungnya Jepang pada keanggotaan Aliansi Poros dan penaklukan sebagian besar Asia-Pasifik pada Perang Dunia II.[13]
Kekaisaran Jepang memiliki tiga kaisar, meskipun berakhir di tengah-tengah masa pemerintahan Shōwa. Tiga kaisar yang diberi nama anumerta tersebut adalah: Meiji, Taisho, dan Shōwa.
Terminologi
Meskipun kekaisaran ini sering disebut sebagai "Kekaisaran Jepang", sebenarnya nama resminya adalah Dai Nippon Teikoku, yang berasal dari kata Dai (大) "Raya", Nippon (日本) "Jepang" dan Teikoku (帝国) "Kekaisaran".
Makna ini penting dalam aspek geografi, mencakup Jepang dan kawasan di sekitarnya. Nomenklatur Kekaisaran Jepang muncul semenjak daerah-daerah penentang Keshogunan Tokugawa, yaitu Satsuma dan Chōshū, mendirikan pemerintahan baru semasa Restorasi Meiji dengan tujuan membentuk negara modern untuk menghadang dominasi Barat.
Berdasarkan penulisan huruf Kanji dan benderanya, terminologi ini juga disebut Kekaisaran Matahari Terbit.
Sejarah
Latar Belakang
Setelah dua abad, kebijakan pengasingan, atau sakoku, di bawah pemerintahan shōgun periode Edo berakhir ketika negara dipaksa terbuka untuk perdagangan oleh Konvensi Kanagawa yang dibuat ketika Matthew C. Perry tiba di Jepang pada tahun 1854. Jadi, periode yang dikenal sebagai Bakumatsu dimulai.
Tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan perdagangan dan interaksi luar negeri; perjanjian komersial antara Keshogunan Tokugawa dan negara-negara Barat ditandatangani. Sebagian besar karena persyaratan yang mempermalukan dari perjanjian yang tidak setara tersebut, keshogunan segera menghadapi permusuhan internal, yang terwujud menjadi gerakan xenofobia radikal, sonnō jōi (secara harfiah berarti "Hormati Kaisar, usir orang barbar").[14]
Pada bulan Maret 1863, Kaisar mengeluarkan "perintah untuk mengusir orang barbar atau jōi chokumei". Meskipun keshogunan tidak berniat menegakkan perintah tersebut, namun hal itu mengilhami serangan terhadap keshogunan itu sendiri dan terhadap orang asing di Jepang. Insiden Namamugi pada tahun 1862 menyebabkan pembunuhan seorang kebangsaan Inggris, Charles Lennox Richardson, oleh sekelompok samurai dari Satsuma. Inggris menuntut reparasi tetapi ditolak. Saat mencoba untuk mendapatkan pembayaran, Angkatan Laut Britania Raya ditembaki oleh baterai pesisir dekat kota Kagoshima. Angkatan Laut Britania Raya pun menanggapi serangan itu dengan membombardir pelabuhan Kagoshima pada tahun 1863. Pemerintah Tokugawa setuju untuk membayar ganti rugi atas kematian Richardson.[15] Penembakan kapal asing di Shimonoseki dan serangan terhadap properti asing menyebabkan pengeboman Shimonoseki oleh pasukan multinasional pada tahun 1864.[16] Selain itu, Klan Chōshū juga meluncurkan kudeta gagal yang dikenal sebagai insiden Kinmon. Aliansi Satsuma-Chōshū didirikan pada tahun 1866 untuk menggabungkan upaya mereka menggulingkan bakufu Tokugawa. Pada awal tahun 1867, Kaisar Kōmei meninggal dunia akibat cacar dan digantikan oleh putranya, Putra Mahkota Mutsuhito (Meiji).
^"National Symbols". Diarsipkan dari versi asli tanggal February 2, 2017. Diakses tanggal January 29, 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Schellinger and Salkin, ed. (1996). "Kyoto". International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania. UK: Routledge. hlm. 515ff. ISBN9781884964046.
^Josephson, Jason Ānanda (2012). The Invention of Religion in Japan. University of Chicago Press. hlm. 133. ISBN978-0226412344.
^Karafuto (3) di inkorporasikan kedalam naichi pada tahun 1943
^Dari tahun 1945 - 1947 wilayah kekaisaran jepang menyusut hanya sebatas naichi
^Although the Empire of Japan officially had no state religion,[4][5]Shinto played an important part for the Japanese state. Marius Jansen states: "The Meiji government had from the first incorporated, and in a sense created, Shinto, and utilized its tales of the divine origin of the ruling house as the core of its ritual addressed to ancestors 'of ages past'. As the Japanese empire grew the affirmation of a divine mission for the Japanese race was emphasized more strongly. Shinto was imposed on colonial lands in Taiwan and Korea, and public funds were utilized to build and maintain new shrines there. Shinto priests were attached to army units as chaplains, and the cult of war dead, enshrined at the Yasukuni Jinja in Tokyo, took on ever greater proportions as their number grew."[6]
^大日本帝国 (Dai Nihon Teikoku) atau Dai Nippon Teikoku
^""Pada paruh kedua abad kesembilan belas, para pembangun negara Jepang membentuk negara-bangsa Meiji dari wilayah Tokugawa yang lebih tua dan heterogen, dengan mengintegrasikan negara-negara domain semi-otonom ke dalam komunitas politik yang bersatu."[11] "Daripada memulihkan tatanan pusat-pinggiran kuno (dan mungkin imajiner), Restorasi Meiji mempercepat terciptanya negara-bangsa baru yang tersentralisasi dan modern. Dalam beberapa dekade sejak dimulainya proyek pembangunan bangsa secara resmi, Tokyo telah menjadi ibu kota politik dan ekonomi negara yang menggantikan wilayah semi-otonom dengan prefektur yang baru dibentuk yang tunduk pada hukum pusat dan administrator yang ditunjuk oleh pusat."[12]