Operasi DownfallOperasi Downfall adalah rencana invasi ke Jepang yang disusun Sekutu untuk mengakhiri Perang Dunia II. Operasi ini batal karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu setelah dijatuhi bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Uni Soviet juga menyatakan perang melawan Jepang sehingga operasi ini tidak pernah terlaksana. Operasi Downfall bertujuan menyerbu dua pulau utama Jepang, Kyushu dan Honshu. Operasi ini terdiri dari dua bagian: Operasi Olympic (penyerbuan ke Kyushu) dan Operasi Coronet (penyerbuan ke Honshu). Operasi Olympic direncanakan untuk dimulai pada Oktober 1945 dengan tujuan merebut sepertiga dari wilayah pulau Kyushu. Pulau Okinawa yang baru saja direbut dari tangan Jepang akan digunakan sebagai daerah singgahan bagi pasukan Amerika Serikat yang mempersiapkan invasi ke Kyushu. Operasi Coronet menurut rencana akan mendaratkan pasukan Amerika Serikat di dataran Kanto, dekat Tokyo pada musim semi 1946. Pangkalan udara Jepang yang direbut dalam Operasi Olympic, menurut rencana akan dipakai untuk memberi dukungan udara bagi pasukan darat yang dikerahkan dalam Operasi Coronet. Dengan memperhitungkan letak geografi Jepang, Jepang dapat memperkirakan secara cermat rencana invasi Sekutu seperti disusun dalam Operasi Downfall. Jepang menyesuaikan rencana pertahanan besar-besaran bernama Operasi Ketsugō berdasarkan perhitungan kekuatan Sekutu. Kyushu menurut rencana akan dipertahankan mati-matian hingga hampir tidak ada lagi pasukan yang tersisa untuk operasi-operasi pertahanan berikutnya dari serbuan Sekutu. Total korban tewas atau luka akibat Operasi Downfall diperkirakan akan berbeda-beda, tergantung tingkat perlawanan warga sipil Jepang. Pihak Sekutu diperkirakan akan mengalami kerugian hingga jutaan prajurit,[1] sebaliknya korban tewas atau luka di pihak Jepang diperkirakan akan mencapai puluhan juta orang. PerencanaanOperasi Downfall disusun oleh Laksamana Besar Chester Nimitz, Jenderal Angkatan Darat Douglas MacArthur, Kepala Staf Gabungan Laksamana Besar Ernest King, Laksamana Besar William D. Leahy, dan Jenderal Angkatan Darat George Marshall, serta Hap Arnold (Arnold memiliki latar belakang karier di Korps Udara Angkatan Darat Amerika Serikat).[2] Pada waktu itu, riset bom atom merupakan proyek rahasia yang dijaga sangat ketat. Di luar Proyek Manhattan, riset bom atom hanya diketahui oleh segelintir pejabat tinggi, dan perencanaan invasi ke Jepang sama sekali tidak memperhitungkan adanya bom atom. Berbeda halnya dengan medan perang Eropa selama Perang Dunia II, Sekutu selama Perang Pasifik memiliki lebih dari satu jabatan "Panglima Tertinggi". Komando pasukan Sekutu dibagi menurut kawasan. Pada tahun 1945, misalnya, Chester Nimitz adalah Panglima Tertinggi Sekutu Kawasan Samudra Pasifik (Allied Commander-in-Chief), sementara Douglas MacArthur adalah Panglima Tertinggi Sekutu (Supreme Allied Commander) Kawasan Pasifik Barat Daya. Sekutu merasa perlu mengangkat seorang panglima yang bertanggung jawab atas invasi ke Jepang. Angkatan Laut Amerika Serikat menginginkan Nimitz sebagai panglima, sedangkan Angkatan Darat Amerika Serikat menjagokan MacArthur. Persaingan kedua angkatan begitu serius sehingga rencana invasi terancam batal. Pihak Angkatan Laut akhirnya sebagian mengalah, dan MacArthur dijadikan Panglima Tertinggi untuk semua pasukan Sekutu, dengan syarat hanya bila diperlukan.[3] Pertimbangan-pertimbanganMasalah waktu dan korban menjadi bahan pertimbangan utama para penyusun strategi perang Amerika Serikat. Mereka memikirkan cara agar Jepang mau menyerah secepat mungkin, dengan korban sesedikit mungkin di pihak Sekutu. Sebelum Konferensi Quebec 1943 dimulai, tim perencana gabungan Amerika Serikat-Britania telah menyusun rencana mengalahkan Jepang ("Appreciation and Plan for the Defeat of Japan") . Dalam rencana tersebut, invasi ke pulau-pulau utama Jepang baru akan dilakukan pada tahun 1947-1948.[4][5] Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat yakin bahwa memperpanjang perang akan membahayakan moral nasional. Berdasarkan alasan tersebut, para Kepala Staf Gabungan sepakat dalam Konferensi Quebec untuk memaksa Jepang agar menyerah dalam waktu tidak sampai setahun setelah Jerman menyerah. Angkatan Laut Amerika Serikat menyarankan penggunaan blokade dan serangan udara. Mereka mengusulkan operasi-operasi militer untuk merebut pangkalan-pangkalan udara Jepang di Shanghai dan Korea yang akan digunakan Angkatan Udara Amerika Serikat untuk membombardir Jepang hingga menyerah. Sebaliknya, Angkatan Darat Amerika Serikat menyatakan bahwa strategi tersebut dapat "memperpanjang perang hingga tidak ada habisnya" serta menyebabkan korban jiwa yang tidak perlu. Berdasarkan alasan tersebut, invasi perlu dilakukan. Mereka menyarankan serangan langsung berskala besar ke pulau-pulau utama Jepang, tanpa operasi-operasi militer sampingan seperti diusulkan angkatan laut. Pada akhirnya sudut pandang angkatan darat yang diterima.[6] Secara geografis, Jepang adalah sasaran yang tidak mudah, hanya ada sedikit pantai yang cocok sebagai lokasi pendaratan pasukan invasi. Hanya pantai-pantai di Kyushu dan dataran rendah Kanto yang sesuai untuk lokasi pendaratan. Sekutu memutuskan untuk melancarkan invasi dua tahap. Operasi tahap pertama disebut Operasi Olympic. Kyushu bagian selatan diserbu untuk menyiapkan pangkalan udara yang menurut rencana dipakai untuk melancarkan operasi tahap kedua berupa serangan ke Teluk Tokyo yang disebut Operasi Coronet. Asumsi-asumsiPerencana militer Amerika Serikat tidak tahu pasti dan hanya dapat memperkirakan kekuatan lawan yang akan dihadapi. Berdasarkan laporan intelijen awal 1945, mereka memperkiraan kekuatan Jepang sebagai berikut:[7]
Operasi OlympicOperasi Olympic untuk merebut Kyushu, menurut rencana akan dimulai pada "Hari-X", 1 November 1945. Sekutu akan mengerahkan armada terbesar dalam sejarah, 42 kapal induk, 24 kapal tempur, 400 kapal perusak dan kapal pengawalnya. Pasukan yang akan diterjunkan sebanyak 14 divisi. Okinawa dipakai sebagai daerah singgahan untuk merebut Kyushu bagian selatan. Setelah berhasil direbut, daerah ini akan dipakai sebagai basis Operasi Coronet untuk merebut Pulau Honshu. Sebuah operasi pengelabuan yang disebut Operasi Pastel juga dimasukkan dalam rencana Operasi Olympic. Operasi Pastel dimaksudkan untuk meyakinkan Jepang bahwa Kepala Staf Gabungan telah menolak usulan penyerbuan langsung ke Jepang. Sebagai gantinya, mereka akan melakukan blokade dan membombardir Jepang. Menurut rencana Operasi Pastel, Sekutu akan menyerang pangkalan-pangkalan Jepang di Formosa, kawasan pesisir daratan Cina, dan Laut Kuning.[8] Peran Angkatan Udara Keduapuluh Amerika Serikat sebagai pengebom strategis Sekutu yang dikerahkan ke pulau-pulau utama Jepang. Selama persiapan invasi, dukungan udara taktis merupakan tanggung jawab Angkatan Udara Timur Jauh Amerika Serikat (FEAF) yang terdiri dari Angkatan Udara Kelima, Angkatan Udara Ketigabelas, dan Angkatan Udara Ketujuh. FEAF ditugaskan untuk menyerang lapangan-lapangan udara Jepang dan jalur transportasi di Kyushu dan Honshu (misalnya Terowongan Kanmon), serta merebut dan mempertahankan supremasi udara Amerika Serikat di atas pantai-pantai Jepang. Sebelum dilancarkannya invasi, pulau-pulau lepas pantai Kyushu seperti Tanegashima, Yakushima, dan Kepulauan Koshikijima akan direbut lebih dulu, mulai dari Hari X minus 5.[9] Pengalaman invasi ke Okinawa menunjukkan pentingnya pulau-pulau lepas pantai sebagai tempat kapal-kapal menurunkan jangkar, perhentian bagi kapal-kapal yang tidak merapat ke pantai, dan kapal-kapal yang rusak akibat serangan udara. Kyushu akan diserang oleh Angkatan Darat Keenam Amerika Serikat di tiga titik: Miyazaki, Ariake, dan Kushikino. Dalam peta, ketiga titik tersebut berada pada posisi jam 4, jam 5, dan jam 7. Ada 35 pantai untuk pendaratan yang diberi nama berabjad menurut merek mobil, mulai dari Austin, Buick, Cadillac hingga Stutz, Winton, dan Zephyr.[10] Satu lokasi pendaratan hanya akan didarati oleh satu korps. Para penyusun strategi militer Amerika Serikat memperkirakan jumlah pasukan Amerika Serikat akan tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan pasukan Jepang. Pada awal 1945, Miyazaki hampir-hampir tidak lagi dijaga. Penjagaan ketat ada di Ariake yang memiliki pelabuhan yang bagus. Walaupun pertahanan di Kushikino lemah, kontur geografi yang sulit di daerah sekitar diperkirakan akan menyulitkan marinir yang didaratkan di sana. Invasi ke Kyushu tidak dimaksudkan untuk menguasai seluruh Pulau Kyushu, melainkan hanya sepertiga dari pulau di bagian paling selatan, daerah mulai dari garis terputus-putus pada peta ke selatan. Kyushu selauan akan dipakai sebagai pangkalan udara dan lokasi persiapan untuk Operasi Coronet. Operasi CoronetMenurut rencana, Operasi Coronet ke Honshu di Daratan Kanto, selatan Tokyo akan dimulai pada "Hari Y" atau 1 Maret 1946. Bila terlaksana, Operasi Coronet akan menjadi operasi amfibi terbesar dalam sejarah karena menurunkan 25 divisi, termasuk divisi cadangan. Sebagai perbandingan, Operasi Overlord hanya mendaratkan 12 divisi pada permulaan operasi (10 divisi dan 4 brigade, berdasarkan standar 2 brigade per divisi). Angkatan Darat I Amerika Serikat akan didaratkan di Pantai Kujūkuri di Semenanjung Bōsō, sementara Angkatan Udara Kedelapan Amerika menurut rencana didaratkan di Hiratsuka, Teluk Sagami. Kedua angkatan direncanakan bergerak maju ke utara dan bertemu di Tokyo. Daftar pustaka
Catatan kaki
Pranala luar
|