Hubungan Indonesia dengan Prancis adalah hubungan bilateral luar negeri antara Republik Indonesia dengan Republik Prancis. Hubungan tidak langsung sudah dimulai sejak awal abad ke-19 pada masa kolonial Hindia Belanda. Sejak 2011, tepat pada masa perayaan 60 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Prancis, kedua negara telah sepakat untuk menjalin kemitraan strategis.[1]
Prancis memiliki kedutaan besar di Jakarta sementara Indonesia memiliki kedutaan besar di Paris. Hubungan antara kedua negara penting karena keduanya adalah republik demokratis dan kedua negara besar yang memegang pengaruh geopolitik yang sangat penting di kawasan masing-masing, Prancis adalah anggota penting dari Uni Eropa, begitu pula Indonesia adalah anggota penting ASEAN. Hubungan diplomatik antara Prancis dan Indonesia juga merupakan elemen kunci untuk mengembangkan hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa dan antara Prancis dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).[2] Kedua negara adalah anggota G-20.
Menurut jajak pendapat World Service Poll yang digelar BBC pada 2013, 56% dari rakyat Indonesia melihat Prancis memberikan pengaruh positif bagi dunia, sementara hanya 14% yang menyatakan pandangan negatif. Ini adalah salah satu persepsi yang paling baik dan positif terhadap Prancis di antara negara-negara Asia Pasifik setelah pandangan Korea Selatan dan Australia.[3]
Sejarah
Hubungan tidak langsung antara Prancis dan Indonesia dimulai pada awal abad ke-16 melalui pelayaran yang dilakukan oleh Verranze dan Pierre Caunay dari Homfleur ke Sumatra, walaupun begitu pelayaran mereka gagal total.
Hubungan diplomatik "resmi" pertama kali terjadi sebagai akibat perkembangan kekuatan asing di Asia, perjelajahan François de Vitré ke Aceh demi mendapat akses ke perdagangan rempah-rempah terutama lada dari Kerajaan Aceh. Berbeda dengan negara-negara lain, Perancis tidak tertarik sama sekali untuk mendapat hak monopoli atas perdagangan lada di wilayah Aceh.
Usaha perdagangan baru terjadi lebih jauh setelah Raja Henry IV dari Perancis meninggal pada 1610. Perdagangan terjadi antara Banten dengan dukungan serikat dagang bernama de flotte de Montmercy (Armada Montmercy) yang berbasis di Rounen. Usaha perdagangan itu dijalankan oleh Augustin de Bealieu yang sangat sukses, ia juga membantu menegoisasikan perjanjian dagang kembali dengan Aceh.
Penjelajahan setelah Augustin de Bealieu juga menghidupkan kegiatan ekspedisi yang sangat berpengaruh pada kemajuan ilmu pengetahuan terutama oceanografi dan pemetaan laut yang dilakukan bedasarkan perintah Napoleon sendiri sebelum Republik Batavia jatuh ketangan Wangsa Bonarparte.[4]
Selama Perang Napoleon negeri Belanda jatuh di bawah Kekaisaran Prancis, dengan demikian maka tanah jajahan mereka di Hindia Timur juga secara tak langsung jatuh ke tangan Prancis. Selama periode yang singkat antara 1806-1811, Indonesia atau Nusantara sempat berada di bawah kekuasaan Prancis.[5] Selama pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811), Prancis menerapkan pengaruh politiknya di Hindia Timur melalui perantara Republik Belanda. Daendels adalah seorang Belanda pengagum Prancis, dan selama pemerintahannya di Jawa ia membangun istana megah dikenal sebagai Het White Huis (Gedung Putih) atau Het Groote Huis (Gedung Besar), hari ini gedung ini difungsikan sebagai Kantor Kementerian Keuangan Indonesia, yang menunjukkan pengaruh arsitektur Gaya Imperium Prancis.[6] Ia juga mengganti nama Buffelsveld (lapangan banteng) menjadi Champs de Mars (kini Medan Merdeka). Pertempuran memperebutkan Jawa terjadi antara Inggris melawan gabungan Republik Belanda dan Prancis disebut Perang Inggris-Belanda yang pecah pada tahun 1811.
Revolusi Prancis dan bentuk pemerintahan Republik kemudian menginspirasi gerakan nasionalis Indonesia pada awal abad ke-20. Konsep politik Republik Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh model Republik Prancis. Indonesia juga mengadopsi sistem hukum Kontinental Napoleon melalui perantara Belanda. Hukum Indonesia sering digambarkan sebagai bagian dari 'hukum sipil' atau kelompok hukum 'Kontinental'; sistem hukum yang lazim ditemukan di negara-negara Eropa seperti Prancis dan Belanda.[7] After the independence of Indonesia, the diplomatic relations was established in 1951.[8]
Kunjungan tingkat tinggi
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi mitra Prancisnya, Presiden Nicolas Sarkozy di Paris pada Desember 2009. Kedua negara telah sepakat untuk membentuk kemitraan strategis pada 2011.[9] Pada bulan Juli 2011, Perdana Menteri Prancis François Fillon dan rombongan mengunjungi Jakarta.[10]
Hubungan ekonomi
Pada tahun 1986, Kamar Dagang dan Industri Indonesia Prancis (IFCCI) didirikan untuk mengembangkan dan membina hubungan ekonomi, perdagangan dan keuangan antara Prancis dan Indonesia.[11] Pada tahun 2011 perdagangan bilateral antara Prancis dan Indonesia sebesar 2,5 miliar dollar AS, dan Prancis adalah investor terbesar ke-13 bagi Indonesia.[10] Impor Indonesia dari Prancis meliputi peralatan pesawat, mesin dan komputer, peralatan elektronik dan alat presisi, kimia, kosmetik dan parfum, makanan, logam dan produk metalurgi dan farmasi. Di sisi lain, impor Prancis dari Indonesia meliputi pertanian, produk kehutanan dan perikanan, tekstil dan alas kaki. Saat ini ada sekitar 100 perusahaan Prancis yang beroperasi di Indonesia.[12]
Perusahaan Prancis yang beroperasi di Indonesia antara lain Total, Michelin, Eurocopter, Air France dan Carrefour.[13]
Kebudayaan
Tujuan dari aksi kerjasama budaya Prancis adalah untuk mendukung pembangunan Indonesia sebagai negara yang tengah berkembang. Dengan demikian, upaya mengutamakan penelitian (pembangunan pedesaan, budidaya, vulkanologi, geofisika, dan arkeologi), pertukaran antar universitas, terutama di bidang teknologi dan ilmu biologi, pelatihan kejuruan, dukungan untuk memperkuat supremasi hukum dan pemerintahan yang demokratis. Termasuk bantuan teknis legislatif, perang melawan terorisme dan korupsi, desentralisasi, dan pelatihan hak asasi manusia. Pelaksanaan pagelaran budaya yang berkualitas, seperti melalui pagelaran "Musim Semi Prancis" (Le Printemps Français) festival budaya dan kebijakan audiovisual.
Prancis juga telah membentuk Institut Français di beberapa kota di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, pusat budaya Prancis dengan misi untuk mempromosikan budaya Prancis di Indonesia melalui pertunjukan budaya dan pameran, film dan mediatheque (pusat media).[14]
Bahasa
Hubungan budaya linguistik antara Indonesia dan Prancis melalui perantara Belanda, seperti terlihat dalam kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia dari Bahasa Prancis, yang kebanyakan merupakan istilah politik atau militer, seperti "kudeta" (dari coup d'état), "legiun" (dari légion) and "letnan" (dari lieutenant).
Berdasarkan keahlian dari Dewan Penasehat Penelitian Arkeologi Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri Prancis (DGCID) berikut adalah kegiatan misi arkeologi di Indonesia yang menerima bantuan subsidi dari Pemerintah Prancis:
Kalimantan: Studi diakronis mengenai kegunaan seni batu dan gua-gua batu tempat berlindung di Kalimantan Timur
Jawa 01: Sebuah situs prasejarah dari periode Pleistosen atas
Jawa 02: Populasi manusia perintis di Kepulauan Indonesia
Musik
Dalam seni dan musik, Prancis dan Indonesia memiliki duta budaya bersama, Anggun, orang Indonesia naturalisasi Prancis. Dia adalah seorang penyanyi-pencipta lagu yang terkenal di Prancis dan Indonesia.[15][16]
Masalah mutakhir
Hukuman mati
Pada 2015, seorang warga negara Prancis Serge Atlaoui, menghadapi ancaman hukuman mati di penjara Indonesia.[17] Dalam penggerebekan di sebuah pabrik yang memproduksi ekstasi di Tangerang, pada tahun 2005, polisi Indonesia menangkap Atlaoui di lokasi kejadian. Dia kemudian dihukum pada tahun 2007 atas kejahatan kepemilikan 138 kilogram shabu-shabu, 290 kg ketamin dan 316 drum zat prekursor. Atlaoui telah berulang kali membantah tuduhan tersebut; mengatakan bahwa ia tengah memasang mesin industri di lokasi yang dikiranya adalah pabrik akrilik.[18]
Pada 22 April 2015, Presiden Prancis Francois Hollande memperingatkan Indonesia bahwa eksekusi akan merusak hubungan antara kedua negara.[19] Atlaoui terhindar dari eksekusi pada tanggal 29 April 2015, dan saat ini, hukumannya tengah ditunda.[20] Prancis menentang keras segala bentuk hukuman mati di manapun dan dalam konteks apapun, dan tidak hanya ketika kehidupan salah satu warga negaranya yang dipertaruhkan. Prancis telah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1981.[1] Hubungan diplomatik digambarkan sebagai 'normal' meskipun kedua negara tengah menghadapi kasus Atlaoui.[18]
^"Who we are, What we do". Indonesian French Chamber of Commerce and Industry. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-02. Diakses tanggal 2015-11-10.