Hubungan Indonesia dengan Sri Lanka

Hubungan Hubungan Indonesia dengan Sri Lanka
Peta memperlihatkan lokasiIndonesia and Sri Lanka

Indonesia

Sri Lanka

Hubungan Indonesia dengan Sri Lanka adalah hubungan bilateral antara negara Indonesia dengan Sri Lanka. Kedua negara memiliki beberapa kemiripan budaya.[1] Indonesia dan Sri Lanka adalah anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Keduanya adalah pendiri dari Gerakan Non-Blok. Kedua bangsa membentuk hubungan diplomatiknya pada tahun 1952. Indonesia memiliki sebuah kedutaan besar di Kolombo, sedangkan Sri Lanka memiliki sebuah kedutaan besar di Jakarta.

Mengenai gerakan separatis Macan Tamil (LTTE) di Sri Lanka, Indonesia telah mengekspresikan dukungannya atas keutuhan wilayah dan persatuan nasional Sri Lanka. Indonesia juga mendukung proses rekonsiliasi nasional di Sri Lanka untuk kedamaian dan stabilitas.[2]

Sejarah

Hubungan kedua negara dimulai pada abad kelima, yang ditandai dengan datangnya pengaruh Hindu dan Buddha dari anak benua India dan Sri Lanka ke kepulauan Indonesia.[3] Kerajaan Hindu-Budda di Indonesia kuno dan Sri Lanka memelihara hubungan mereka pada abad kesembilan hingga kedua belas masehi, pada masa kerajaan Sriwijaya. Pada waktu tersebut, Agama Buddha adalah agama utama dari kedua negara. Menurut duta besar Sri Lanka untuk Indonesia, seorang raja dari Indonesia yang mengunjungi Sri Lanka memberikan bayi gajah sebagai hadiah.[4]

Interaksi kedua negara tumbuh pada abad ke-17 dan abad ke-18 karena keduanya jatuh dalam kendali Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Sri Lanka menjadi wilayah VOC pada masa Sri Lanka Belanda(si) dari tahun 1656 hingga tahun 1796. Pada abad ke-17, Indonesia di bawah kendali VOC serta menjadi tempat kantor pusat VOC, yang kemudian menjadi sebuah koloni Belanda di Hindia Belanda hingga Perang Dunia II. Selama abad ke-18, berbagai raja, pangeran, dan kesatria dari Mataram, Madura dan Sulawesi, yang melawan pemerintahan Belanda di kepulauan Indonesia diasingkan ke Sri Lanka. Keturunan orang-orang Indonesia yang diasingkan tersebut membuat komunitas Indonesia—Melayu di Sri Lanka yang dapat menyusuri garis keturunan mereka ke Jawa, Madura dan Sulawesi. Sebagai contoh, seorang kesatria yang bertarung untuk Kerajaan Kandy yang bernama Karaeng Sangunglo adalah bangsawan Bugis.[1]

Indonesia dan Sri Lanka secara resmi membentuk hubungan diplomatik pada 2 Agustus 1952. Hubungan keduanya tumbuh lebih lagi pada tahun 1955, ketika Indonesia dan Sri Lanka, bersama-sama dengan India, Pakistan dan Burma memulai Konferensi Bandung.[3] Sejak 1962, kantor Konsulat Indonesia di Kolombo dinaikkan statusnya menjadi sebuah kedutaan besar.

Ekonomi

Dewan Bisnis Sri Lanka-Indonesia dibentuk pada 30 Agustus 1991, dengan tujuan utamanya mempromosikan perdagangan bilateral, investasi, dan pariwisata.[4]

Sejak tahun 2012, kedua negara setuju untuk meningkatkan kerjasama bilateral dalam sektor pertahanan, budaya, pertanian dan budi daya perairan.

Budaya

Pada bulan April 2013, Indonesia dan Sri Lanka merayakan hari jadi ke 60 hubungan diplomatik kedua negara di Gedung Merdeka, Bandung, untuk mengenang Konferensi Asia–Afrika, kejadian bersejarah yang membawa kedua negara menjadi dekat. Peristiwa ini juga ditandai dengan kolaborasi budaya lewat atraksi boneka yang dapat digerakkan(en); wayang golek dari Indonesia dengan ruukada dari Sri Lanka.[1]

Lihat pula

Catatan

  1. ^ a b c "60 Tahun Hubungan Indonesia-Sri Lanka: Bersahabat dalam Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya". Ministry of Foreign Affairs of Indonesia. 28 April 2013. Diakses tanggal 19 Mei 2014. 
  2. ^ "Indonesia Tegaskan Dukungan atas Keutuhan Wilayah Sri Lanka". The Global Review. 09-12-2011. Diakses tanggal May 19, 2014. 
  3. ^ a b "Hubungan Indonesia-Sri Lanka Terjalin Sejak Abad Lima". Rakyat Merdeka online. 27 April 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 19 Mei 2014. 
  4. ^ a b Alexander Hamer (5 Februari 2013). "Sri Lanka confident of increased ties with RI" [Sri Lanka yakin dapat meningkatkan hubungan dengan RI] (dalam bahasa bahasa Inggris). The Jakarta Post. Diakses tanggal 4 Juni 2013. 

Pranala luar