Hubungan Indonesia dengan Myanmar merupakan hubungan asing antara Indonesia dengan Myanmar. Hubungan diplomatik terbentuk pada 27 Desember 1949. Indonesia memiliki duta besar di Yangon, sedangkan Myanmar punya duta besar di Jakarta.
Kerja sama
Indonesia mendukung dan menyambut keanggotaan Myanmar dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 1997. Indonesia juga mendukung proses demokratisasi Myanmar. Indonesia sejak saat itu berperan sebagai pengawas regional demokrasi dengan secara konstan mendukung Naypitaw membentuk sistem otoriternya.[1]
Sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim terbanyak, Indonesia sangat memerhatikan kekerasan terhadap suatu kelompok muslim Rohingya. Indonesia juga saling berbagi pandangan dengan Bangladesh dan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), mengungkapkan kendala mereka dan merujuk pada masalah-masalah pengungsi Rohingya di Myanmar. Agen PBB menjelaskan apresiasi mereka terhadap kontribusi Indonesia demi mencarikan solusi pada isu Rohingya.[2] Bapak presiden Yudhoyono, menekankan kepada para pemimpin Myanmar bahwa kekerasan terhadap penduduk Muslim yang terpimpin oleh orang Buddha tersebut, dapat memicu masalah kepada para penduduk Muslim di sekitarnya. Indonesia mendorong Myanmar mengatasi isu Rohingya secara bijak, sesuai dan mencegah tekanan maupun kekerasan. Indonesia siap mendukung myanmar demi mencapai tujuan tersebut.[3]
Pada tanggal 22 Mei [4] dan 20 Agustus 2013 [5] Kelompok anti-teror Kepolisian Indonesia Densus 88, menangkap tersangka teroris dan memaparkan percobaan pengeboman oleh para militan Islam Indonesia demi mengebom Kedutaan Besar di Jakarta. Tindakan terorisme yang gagal ini dikatakan demi membalas dendam para penduduk Muslim Rohingya di Myanmar.[6]
Sejarah
Hubungan antara Indonesia kuno dengan Myanmar kuno tertanggal pada abad ke-14, naskah kuno Jawa Nagarakretagama tertanggal sejak zaman Majapahit telah menyebutkan Marutma, sebuah negara yang saat ini dikenal sebagai Martaban atau Mottama, terletak di Myanmar Selatan modern.[7]
Burma telah menjadi pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1947, Burma, yang kemudian di bawah pemerintahan transisional, dimintai oleh Pemerintahan India demi mengikuti Konferensi perihal Urusan Indonesia di New Delhi (Conference on Indonesian Affairs in New Delhi). Pada tanggal 23 Maret – 2 April 1947, India mengikuti Asian Relations Conference di New Delhi, India, yang Burma, masih di bawah aturan kolonial Inggris, menunjukkan dukungannya dengan menolak Agresi militer Belanda. Sepanjang Revolusi Nasional Indonesia, Burma mengizinkan pesawat Indonesia Dakota RI-001 "Seulawah", didonasikan oleh para penduduk Aceh, mendarat pada dan lalu disebut Rangoon's Mingaladon Airport pada 26 Januari 1949 dan disewa oleh Union of Burma Airways.
Burma mengumumkan kemerdekaannya dari Inggris pada 4 Januari 1948. Yang setelah itu kedua negara secara resmi membangun hubungan diplomatik pada 27 Desember 1949. Pembangunan hubungan diplomatik antara kedua negara ditandai dengan dibukanya "Indonesian House" di Yangon, yang kemudian diperbarui menjadi Kedutaan Besar Republik Indonesia pada April 1950. Pada saat itu, Presiden Sukarno menyatakan Burma sebagai "kawan dalam perjuangan dan perwujudan kemerdekaan sejati".[8]
Kunjungan tingkat tinggi
Presiden Suharto mengunjungi Myanmar pada 26 November 1972, pada 22–29 Agustus 1974, juga pada 23–25 Februari 1997. Pada pihak lain, Jenderal Ne Win mengunjungi Indonesia pada 11–14 Juni 1973 dan pada 8–13 Juni 1974. Jenderal Ne Win juga berkunjung secara pribadi ke Indonesia pada 23–25 September 1997 dalam undangan Presiden Suharto. Sementara itu, Senior Jenderal Than Shwe juga berkunjung ke Indonesia pada 5–8 Juni 1995, November 1996, juga pada April 2005.[8]
Indikasi lain pada perkembangan hubungan Indonesia–Myanmar yaitu dengan kunjungan ketiga Presiden Indonesia ke Myanmar: Presiden Abdurrahman Wahid pada 7 November 1999, Presiden Megawati Sukarnoputri pada 24 Agustus 2001, dan Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono pada 1–2 Maret 2006 dan 23–24 April 2013.[9] Perdana Menteri Jenderal Myanmar Thein Sein berkunjung secara resmi ke Indonesia pada 16–17 Maret 2009 dan Mei 2011.
Perdagangan dan investasi
Ekspor Indonesia ke Myanmar meliputi kertas dan produk dari kertas, minyak sawit, besi dan baja, tembakau dan karet. Sementara itu, impor Indonesia dari Myanmar meliputi tepung kanji, kayu, kacang-kacangan, soda, ikan dan sayur-mayur. Myanmar menunjukkan keinginannya mengimpor pupuk maupun semen dan mengundang para investor Indonesia demi menginvestasi maupun membuka bisnis di Myanmar. Jumlah nilai dagang Indonesia-Myanmar per Juni 2008 ditotal sejumlah US$159 miliar.[10]
Indonesia juga setuju menginvestasi pada sektor tenaga listrik dan konstruksi Myanmar. Produser semen terbesar, PT Semen Indonesia, setuju menginvestasikan US$200 juta dalam bangunan produksi semen di Myanmar yang akan dibangun pada awal 2014.[11] Dalam masa kunjungan dia pada April 2013, Presiden Yudhoyono berjanji akan meningkatkan kerjasama ekonomi sejalan dengan reformasi Myanmar, juga berjanji mendorong firma-firma umum maupun pribadi Indonesia berinvestasi di Myanmar, juga menetapkan volume sasaran perdagangan sejumlah $1 miliar pada 2014.[12] Indonesia dan Myanmar sama-sama meningkatkan volume perdagangan kedua negara. Volume perdagangan diperkirakan mencapai $1 miliar pada 2016.[13] Indonesia telah menawarkan membeli 300 ribu ton beras dari Myanmar.