Fidel Castro
Fidel Alejandro Castro Ruz (bahasa Spanyol: [fiˈðel ˈkastɾo] ( simak); 13 Agustus 1926 – 25 November 2016) adalah seorang pejuang revolusi dan politikus Kuba yang berhaluan komunis. Castro menjabat sebagai Perdana Menteri Kuba dari 1959 hingga 1976 dan sebagai Presiden Kuba sejak 1976 hingga 2008. Selain itu, ia juga mengemban jabatan Sekretaris Pertama Partai Komunis Kuba dari 1965 hingga 2011. Ia dilahirkan di Birán, Oriente, dengan latar belakang keluarga petani yang kaya. Ia mulai menganut paham anti-imperialisme yang berhaluan kiri saat sedang kuliah hukum di Universitas Havana. Ia pernah ikut serta dalam pemberontakan melawan pemerintahan sayap kanan di Republik Dominika dan Kolombia, dan ia kemudian merencanakan pelengseran Presiden Kuba Fulgencio Batista. Namun, serangannya ke Barak Moncada pada 1953 mengalami kegagalan. Setelah dipenjara selama setahun, Castro pergi ke Meksiko, dan di situ ia membentuk sebuah kelompok revolusioner yang disebut Gerakan 26 Juli bersama dengan adiknya, Raúl Castro, dan juga Che Guevara. Sekembalinya di Kuba, Castro memimpin perang gerilya melawan pasukan Batista di Pegunungan Sierra Maestra. Setelah jatuhnya pemerintahan Batista pada 1959, Castro menjadi Perdana Menteri Kuba dan berkuasa secara militer maupun politik. Amerika Serikat menentang pemerintahan Castro, tetapi segala upaya untuk menumbangkan Castro gagal, termasuk upaya pembunuhan, blokade ekonomi, dan Invasi Teluk Babi tahun 1961. Untuk membalas ancaman-ancaman ini, Castro mendekatkan diri dengan Uni Soviet dan mengizinkan mereka menempatkan senjata nuklir di wilayah Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba pada 1962. Dengan berlandaskan pada model pembangunan Marxis-Leninis, Castro mengubah Kuba menjadi negara sosialis satu partai yang dipimpin oleh Partai Komunis. Kebijakan-kebijakannya meliputi perencanaan ekonomi terpusat dan pendanaan yang besar untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini juga diiringi oleh kendali pers oleh pemerintah dan pembungkaman kritik. Di luar negeri, Castro mendukung pemerintahan-pemerintahan yang berhaluan Marxis, seperti pemerintahan Salvador Allende di Chili, Junta Rekonstruksi Nasional di Nikaragua, serta Pemerintahan Revolusioner Rakyat di Grenada. Ia juga mengirim pasukan untuk membantu negara-negara Arab dalam Perang Yom Kippur, Etiopia dalam Perang Ogaden, dan MPLA dalam Perang Saudara Angola. Tindakan-tindakan ini, ditambah dengan posisi Castro sebagai pemimpin Gerakan Non-Blok dari 1979 hingga 1983 dan program internasionalisme medis Kuba, memperkuat martabat Kuba di kancah internasional. Namun, setelah pembubaran Uni Soviet pada 1991, Kuba mengalami kemunduran ekonomi, dan Castro lalu mulai mengemban gagasan-gagasan pro-lingkungan dan anti-globalisasi. Pada era 2000-an, Castro membentuk persekutuan dengan negara-negara Amerika Latin yang dilanda "gelombang merah jambu", khususnya dengan Presiden Hugo Chávez di Venezuela. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-80 pada 2006, Castro menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada adiknya, Raúl. Raúl kemudian secara resmi menggantikannya sebagai presiden pada 2008. Castro adalah tokoh yang kontroversial. Para pendukungnya memandangnya sebagai pahlawan sosialisme dan anti-imperialisme yang berhasil memperjuangkan keadilan ekonomi dan sosial serta mempertahankan kemerdekaan Kuba dari imperialisme Amerika. Di sisi lain, ia dicap sebagai seorang diktator yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, keluaran besar-besaran rakyat Kuba, dan kemiskinan ekonomi di negara tersebut. Walaupun begitu, ia telah memperoleh berbagai penghargaan internasional dan berpengaruh terhadap berbagai individu dan kelompok di berbagai belahan dunia. BiografiMasa muda: 1926–1947Castro lahir di luar nikah di lahan pertanian ayahnya pada 13 Agustus 1926.[1] Ayahnya, Ángel Castro y Argiz, adalah seorang pendatang dari Galisia, Spanyol barat laut.[2] Ia memperoleh keuntungan yang besar dari usaha penanaman tebu miliknya di Las Manacas, Birán, Provinsi Oriente.[3] Setelah pernikahan pertamanya kandas, Ángel Castro y Argiz menjadikan pembantu rumah tangganya yang bernama Lina Ruz González (yang berasal dari Kepulauan Kanari) sebagai gundiknya dan kemudian sebagai istrinya; mereka dikaruniai tujuh orang anak, salah satu di antaranya adalah Fidel.[4] Pada saat masih berumur enam tahun, Fidel Castro dikirim ke Santiago de Cuba untuk tinggal dengan gurunya,[5] dan lalu ia dibaptis menjadi seorang Katolik pada usia delapan tahun.[6] Berkat pembaptisannya, Castro diperbolehkan masuk sekolah asrama La Salle di Santiago; di situ ia sering kali berperilaku nakal, sehingga ia dikirim ke Sekoleh Dolores yang dikelola oleh Yesuit di Santiago.[7] Pada 1945, ia pindah ke El Colegio de Belén di Havana yang juga dikelola oleh Yesuit, tetap lebih bergengsi.[8] Meskipun Castro menyukai sejarah, geografi dan debat di Belén, ia bukanlah murid yang unggul secara akademis, dan ia malahan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berolahraga.[9] Pada 1945, Castro mengambil jurusan hukum di Universitas Havana.[10] Walaupun ia mengakui bahwa ia "buta politik", ia tetap terlibat dalam aktivisme di kampus[11] dan budaya gangsterismo yang penuh kekerasan di universitas tersebut.[12] Ia memiliki pandangan anti-imperialisme dan menentang intervensi Amerika Serikat di kawasan Karibia.[13] Ia sempat mencoba maju menjadi ketua Federasi Mahasiswa Universitas dengan program "kejujuran, kesusilaan, dan keadilan", tetapi ia tidak berhasil.[14] Castro juga menjadi pengkritik tindakan korupsi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Ramón Grau, dan ia menyampaikan pidato di muka umum mengenai permasalahan tersebut pada November 1946 yang membuatnya disorot di halaman depan beberapa surat kabar.[15] Pada 1947, Castro bergabung dengan Partido Ortodoxo, yang didirikan oleh politikus veteran Eduardo Chibás. Sebagai tokoh yang karismatik, Chibás memperjuangkan keadilan sosial, pemerintahan yang jujur, dan kebebasan politik, dan partainya juga membongkar kasus korupsi dan menuntut reformasi. Saat Chibás mencapai peringkat ketiga dalam pemilihan umum 1948, Castro masih tetap berkomitmen membantunya.[16] Namun, kekerasan semakin parah setelah Grau mempekerjakan para pemimpin geng sebagai perwira polisi, dan Castro lalu mendapatkan ancaman kematian yang menuntut agar ia segera meninggalkan universitas. Walaupun begitu, ia menolak untuk tunduk dan mulai membawa senapan dan ditemani oleh rekan-rekannya yang juga dilengkapi dengan persenjataan.[17] Kelak, saat Castro sudah berkuasa di Kuba, para pembangkang anti-Castro menuduhnya terlibat dalam tindakan-tindakan pembunuhan yang terkait dengan geng pada masa itu, tetapi tuduhan ini masih belum terbukti.[18] Pemberontakan dan Marxisme: 1947–1950
— Fidel Castro saat sedang membahas peristiwa Bogotazo, 2009[19] Pada Juni 1947, Castro mendengar kabar mengenai rencana ekspedisi pelengseran junta militer sayap kanan Rafael Trujillo di Republik Dominika.[20] Sebagai Presiden Komite Universitas untuk Demokrasi di Republik Dominika, Castro bergabung dengan ekspedisi tersebut.[21] Pasukannya berjumlah 1.200 orang, kebanyakan adalah orang Kuba dan orang Dominika di pengasingan, dan mereka berencana berlayar dari Kuba pada Juli 1947. Akibat tekanan dari AS, pemerintah Grau berupaya menghentikan ekspedisi tersebut, tetapi Castro dan banyak pengikutnya berhasil lolos dari penangkapan.[22] Sekembalinya di Havana, Castro memimpin demonstrasi mahasiswa yang mengutuk pembunuhan seorang murid SMA oleh petugas keamanan pemerintah.[23] Protes tersebut, yang diiringi dengan tindakan keras yang diambil oleh pemerintah terhadap orang-orang yang dituduh komunis, berujung pada bentrok antara aktivis melawan polisi pada Februari 1948, sehingga Castro mengalami luka berat.[24] Pada masa itu, pidato-pidato publiknya sudah condong ke arah kiri dengan mengutuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Kuba. Sebelum itu, ia sering kali mengkritik korupsi dan imperialisme AS.[24] Pada April 1948, Castro mendatangi Bogotá, Colombia, dengan sekelompok pelajar Kuba yang disponsori oleh pemerintahan Juan Perón dari Argentina. Di sana, pembunuhan seorang pemimpin sayap kiri yang bernama Jorge Eliécer Gaitán Ayala berujung pada merebaknya kerusuhan dan bentrok antara kelompok Konservatif yang memegang kekuasaan dan didukung oleh tentara melawan kelompok Liberal yang berhaluan kiri.[25] Castro bergabung dengan kelompok Liberal dan ia mencuri persenjataan dari sebuah kantor polisi, tetapi penyelidikan polisi yang diadakan setelahnya menunjukkan bahwa Castro sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan manapun.[25] Sekembalinya di Kuba, Castro menjadi tokoh penting dalam unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga tiket bus.[26] Pada tahun yang sama, ia juga menikahi Mirta Díaz Balart, seorang mahasiswi dari keluarga kaya, dan dari pernikahannya itu ia dapat melihat secara langsung gaya hidup kelompok elit di Kuba. Hubungan tersebut murni atas dasar cinta, meskipun keluarga dari masing-masing pihak sama-sama menentangnya, tetapi pada akhirnya ayah Díaz Balart memberikan mereka sepuluh ribu rolar untuk menjalani bulan madu selama tiga bulan di New York City.[27]
— Fidel Castro mengenai Marxisme, 2009[28] Pada tahun yang sama, Grau memutuskan untuk tidak lagi ikut pemilu, dan pesta demokrasi tersebut kemudian dimenangkan oleh calon Partido Auténtico yang baru, yaitu Carlos Prío Socarrás.[29] Prío harus menghadapi demonstrasi massal setelah para anggota MSR (yang kini bersekutu dengan polisi) membunuh Justo Fuentes, yang merupakan teman Castro. Alhasil Prío bersedia menumpas geng-geng di Kuba, tetapi ternyata mereka terlalu kuat.[30] Cara pandang politik Castro sendiri semakin bergerak ke arah kiri, dan ia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia menganggap masalah-masalah yang dihadapi oleh Kuba sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kapitalis, atau "kediktatoran borjuis", dan bukan kegagalan akibat politikus yang korup, sehingga ia mulai menganut paham Marxis bahwa perubahan politik yang berarti hanya dapat diwujudkan lewat revolusi proletariat. Selain itu, ia juga aktif dalam kampanye anti-rasisme yang dilancarkan oleh mahasiswa setelah ia mengunjungi kawasan-kawasan termiskin di Havana.[31] Pada September 1949, Mirta melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Fidelito, sehingga pasangan tersebut pindah ke sebuah apartemen yang lebih besar di Havana.[32] Castro masih tetap aktif di dunia politik dan bahkan bergabung dengan Gerakan 30 September yang terdiri dari kaum komunis dan anggota Partido Ortodoxo. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk melawan geng-geng yang menggunakan kekerasan di universitas; namun, Prío gagal mengendalikan keadaan, dan ia malah menawarkan pekerjaan di kementerian-kementerian negara kepada para anggota senior geng-geng tersebut.[33] Castro secara sukarela menyampaikan pidato atas nama Gerakan 30 September pada tanggal 13 November yang membongkar perjanjian rahasia pemerintah dengan geng-geng. Hal ini menarik perhatian media nasional, tetapi geng-geng tersebut mengamuk dan Castro pun terpaksa bersembunyi, mula-mula di wilayah pedesaan dan kemudian di AS.[34] Sekembalinya di Havana beberapa minggu kemudian, Castro berusaha untuk tidak menarik perhatian orang, dan ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya, hingga akhirnya ia lulus dengan gelar Doktor Hukum pada September 1950.[35] Karier hukum dan politik: 1950–1952Castro menjadi salah satu pendiri kantor hukum yang ingin membantu orang-orang miskin di Kuba, tetapi usaha ini gagal secara finansial.[36] Ia tidak peduli dengan uang atau materi, alhasil ia tidak dapat melunasi tagihannya; perabotannya pun disita dan listriknya diputus, sehingga membuat kesal istrinya.[37] Pada November 1950, Castro turut serta dalam demonstrasi pelajar di Cienfuegos untuk menentang pelarangan perkumpulan mahasiswa oleh Kementerian Pendidikan, tetapi demonstrasi itu berujung pada kekerasan; walaupun Castro sempat ditangkap dan didakwa melakukan tindak kekerasan, pada akhirnya hakim membebaskannya dari segala tuduhan.[38] Castro masih menaruh harapan kepada Chibás dan Partido Ortodoxo, dan ia hadir saat Chibás bunuh diri atas dasar politik pada 1951.[39] Castro lalu menganggap dirinya sebagai pewaris Chibás dan ia mencoba maju menjadi calon anggota Kongres untuk pemilu Juni 1952, tetapi para anggota senior Partido Ortodoxo merasa khawatir dengan reputasi radikalnya dan menolak untuk mengangkatnya sebagai calon.[40] Sebagai gantinya, ia dijadikan calon anggota Dewan Perwakilan di kawasan-kawasan termiskin Havana, dan ia pun mulai berkampanye.[40] Partido Ortodoxo memperoleh banyak dukungan dan diprediksi akan meraih banyak suara.[41] Pada masa kampanye, Castro sempat bertemu dengan Jenderal Fulgencio Batista, mantan presiden yang kembali terjun ke dunia politik. Walaupun mereka berdua sama-sama menentang pemerintahan Prío, pertemuan mereka tidak lebih dari sekadar basa-basi.[42] Pada Maret 1952, Batista melancarkan kudeta dan berhasil merebut kekuasaan, sementara Prío melarikan diri ke Meksiko. Batista menyatakan dirinya sebagai presiden, dan ia lalu membatalkan pemilu dan mengumandangkan sistem "demokrasi terpimpin"; Castro dan banyak orang lainnya menganggap sistem ini sebagai kediktatoran yang dikuasai oleh satu orang saja.[43] Pandangan politik Batista lalu bergeser ke arah kanan dan ia mempererat hubungan dengan kelompok elit dan Amerika Serikat. Ia juga memutus hubungan dengan Uni Soviet, memberangus serikat pekerja, dan menindas kelompok-kelompok sosialis di Kuba.[44] Castro lalu melayangkan beberapa tuntutan hukum terhadap pemerintahan Batista, tetapi upaya ini sia-sia, sehingga Castro mulai memikirkan cara-acara lain untuk melengserkan rezim tersebut.[45] Revolusi Kuba"Pergerakan" dan penyerangan Barak Moncada: 1952–1953
— Pidato Fidel Castro kepada Pergerakan beberapa saat sebelum penyerangan Barak Moncada, 1953[46] Castro membentuk kelompok "Pergerakan", yaitu sebuah kelompok dengan sistem sel bawah tanah. Kelompok ini menerbitkan surat kabar bawah tanah El Acusador (Sang Penuduh) dan juga mempersenjatai dan melatih pasukan anti-Batista.[47] Mereka melakukan perekrutan semenjak Juli 1952, dan akhirnya berhasil menjaring 1.200 anggota dalam setahun, kebanyakan dari kawasan-kawasan termiskin Havana.[48] Meskipun Castro adalah seorang sosialis revolusioner, ia tidak bersekutu dengan Partido Socialista Popular (PSP) yang berhaluan komunis, karena ia tidak ingin membuat takut kelompok-kelompok moderat, walaupun ia masih berhubungan dengan anggota-anggota PSP, termasuk adiknya Raúl.[49] Castro mengumpulkan senjata untuk melancarkan serangan ke Barak Moncada yang terletak di luar kota Santiago de Cuba, Oriente. Para militan Castro berencana untuk menyamar dengan mengenakan seragam angkatan darat dan lalu datang ke barak tersebut pada 25 Juli untuk mengambil alih kendali dan menjarah gudang persenjataannya sebelum bala bantuan lawan dapat dikerahkan.[50] Apabila misi ini berhasil, maka Castro dapat memulai revolusi di kalangan pemanen tebu yang miskin dan lalu semakin menggalakkan pemberontakan dengan memberikan persenjataan-persenjataan yang baru dirampas dari barak tersebut.[51] Rencana Castro meniru para pejuang kemerdekaan Kuba pada abad ke-19 yang menyerbu barak Spanyol; Castro juga menganggap dirinya sebagai penerus pejuang kemerdekaan Kuba, José Martí.[52] Castro mengumpulkan 165 orang untuk melancarkan misi tersebut,[53] dan ia memerintahkan pasukannya agar tidak menumpahkan darah kecuali jika mereka menghadapi perlawanan bersenjata.[54] Serangan tersebut dimulai pada 26 Juli 1953, tetapi rencana yang telah disusun tidak semulus kenyataan; 3 dari 16 mobil yang dikerahkan dari Santiago tidak berhasil mencapai Barak Moncada. Setelah mobil-mobil yang lain sampai di tempat tersebut, tanda bahaya dibunyikan, dan sebagian besar pemberontak tertahan di tanah akibat tembakan senapan mesin. Empat orang tewas sebelum Castro memerintahkan untuk mundur.[55] Pada akhirnya di pihak pemberontak terdapat 6 orang yang gugur dan 15 yang terluka, sementara di pihak angkatan darat ada 19 yang tewas dan 27 yang terluka.[56] Sementara itu, beberapa pemberontak mengambil alih sebuah rumah sakit sipil; namun, rumah sakit itu lalu diserbu oleh pasukan pemerintah dan para pemberontak pun ditahan, disiksa, dan 22 orang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan.[57] Dengan ditemani oleh 19 orang, Castro berangkat ke Gran Piedra di pegunungan Sierra Maestra, dan di situ mereka dapat mendirikan sebuah pangkalan gerilya.[58] Sebagai tanggapan terhadap serangan yang telah terjadi, pemerintah Batista menyatakan darurat militer, memerintahkan penumpasan para pemberontak, dan melakukan penyensoran media.[59] Pemerintah menyiarkan informasi palsu tentang peristiwa tersebut, dengan mengklaim bahwa para pemberontak adalah kelompok komunis yang telah membunuh pasien-pasien rumah sakit, tetapi berita-berita dan foto-foto tindakan penyiksaan dan penghukuman mati yang dilakukan oleh para tentara di Oriente kemudian menyebar dan menimbulkan kecaman dari publik dan juga dari beberapa anggota pemerintahan.[59] Dalam rentang waktu beberapa hari sesudahnya, para pemberontak dikumpulkan; beberapa dihukum mati, sementara yang lainnya (termasuk Castro) dibawa ke penjara di sebelah utara Santiago.[60] Pemerintah berkeyakinan bahwa Castro tidak mungkin merencanakan serangan tersebut sendirian, sehingga mereka menuduh keterlibatan para politikus Ortodoxo dan PSP, dan kemudian terdapat 122 terdakwa yang diadili di Istana Kehakiman di Santiago pada 21 September.[61] Saat menghadapi meja hijau, Castro menjadi pengacara untuk dirinya sendiri. Ia menyebut Martí sebagai dalang intelektual di balik serangan tersebut, dan ia juga berhasil meyakinkan tiga hakim untuk membatalkan keputusan angkatan darat untuk memborgol semua terdakwa di pengadilan. Selain itu, ia menyatakan bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada mereka (yaitu "mengadakan pemberontakan bersenjata melawan wewenang konstitusional negara") tidaklah tepat, karena mereka memberontak melawan Batista yang telah merampas kekuasaan secara tidak konstitusional.[62] Pengadilan tersebut mempermalukan angkatan darat karena tindakan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap tersangka pun terbongkar, dan kemudian mereka mencoba menghalangi Castro agar tidak lagi bicara dengan mengklaim bahwa ia sedang sakit, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[63] Pengadilan berakhir pada 5 Oktober, dan sebagian besar terdakwa dinyatakan bebas; 55 orang dihukum penjara antara 7 bulan hingga 13 tahun. Castro dijatuhi hukuman pada 16 Oktober, dan selama sidang putusan tersebut ia menyampaikan sebuah pidato yang kemudian akan diterbitkan isinya dengan judul Sejarah Akan Membebaskanku.[64] Castro dihukum 15 tahun penjara di bagian rumah sakit di Penjara Model (Presidio Modelo), sebuah lembaga modern dan relatif nyaman di Isla de Pinos.[65] Pemenjaraan dan Gerakan 26 Juli: 1953–1955
— Fidel Castro, 1954.[66] Setelah dijebloskan ke penjara bersama dengan 25 rekannya, Castro mengganti nama kelompoknya menjadi "Gerakan 26 Juli" (MR-26-7) untuk mengenang tanggal serangan Moncada, dan ia juga membentuk sebuah sekolah untuk para tahanan.[67] Ia banyak membaca dan tak hanya menikmati karya-karya Marx, Lenin, dan Martí, tetapi juga membaca buku-buku karya Freud, Kant, Shakespeare, Munthe, Maugham, dan Dostoyevsky, yang ia tilik dari sudut pandang Marxis.[68] Ia masih menjalin hubungan surat-menyurat dengan para pendukungnya, sehingga ia tetap dapat mengendalikan Gerakan 26 Juli dan mengatur proses publikasi Sejarah Akan Membebaskanku.[69] Walaupun awalnya ia diberi beberapa kebebasan, ia diganjar hukuman penahanan sendiri setelah para tahanan menyanyikan lagu-lagu anti-Batista ketika sang presiden berkunjung pada Februari 1954.[70] Sementara itu, istri Castro, Mirta, mendapatkan pekerjaan di Kementerian Dalam Negeri. Castro merasa tercengang setelah mendengar kabar tersebut melalui sebuah pengumuman radio, dan ia menyatakan bahwa ia lebih baik mati "seribu kali" ketimbang "menderita akibat hinaan semacam itu".[71] Fidel dan Mirta memutuskan untuk bercerai, tetapi Mirta-lah yang mendapatkan hak asuh atas putra mereka, Fidelito; hal ini membuat Castro murka, karena ia tak ingin putranya dibesarkan dalam lingkungan borjuis.[71] Pada 1954, pemerintah Batista mengadakan pemilu presiden, tetapi Batista menjadi calon tunggal, dan pemilu tersebut dianggap penuh kecurangan. Pemerintah Batista sempat mengizinkan kelompok oposisi untuk bersuara, dan para pendukung Castro menuntut pengampunan untuk para pelaku insiden Moncada. Beberapa politikus merasa bahwa tindakan pengampunan akan menghasilkan citra yang baik, sehingga Kongres dan Batista pun setuju. Batista merasa bahwa Castro bukanlah ancaman, terutama mengingat bahwa ia didukung oleh AS dan perusahaan-perusahaan besar. Maka pada 15 Mei 1955 para tahanan pun dibebaskan.[72] Sekembalinya di Havana, Castro diwawancara oleh radio dan mengadakan konferensi pers; pemerintah sangat memantaunya dan membatasi kegiatan-kegiatannya.[73] Castro pada masa itu sudah bercerai, sehingga ia mulai menjalin hubungan intim dengan dua pendukung perempuannya, Naty Revuelta dan Maria Laborde, dan keduanya dihamili olehnya.[74] Sebagai bagian dari rencananya untuk memperkuat MR-26-7, ia mendirikan Direktorat Nasional yang beranggotakan 11 orang, tetapi ia tetap mengendalikan badan tersebut secara otoriter, dan bahkan beberapa pembangkang mencapnya sebagai seorang caudillo (diktator); Castro sendiri berdalih bahwa suatu revolusi hanya akan berhasil jika dijalankan oleh sebuah komite dan seorang pemimpin yang kuat.[75] Pada 1955, pemerintah mulai mengambil tindakan keras terhadap para pembangkang akibat terjadinya pengeboman dan demonstrasi yang menggunakan kekerasan, sehingga Castro dan Raúl melarikan diri dari negara tersebut agar tidak ditangkap.[76] Castro mengirim surat kepada media yang menyatakan bahwa ia "meninggalkan Kuba karena semua pintu perjuangan secara damai telah tertutup untukku ... Sebagai pengikut Martí, aku percaya bahwa telah tiba saatnya untuk merebut hak-hak kami dan bukannya mengemis kepada mereka, untuk berjuang dan bukannya memohon-mohon."[77] Castro bersaudara dan beberapa rekan mereka pergi ke Meksiko,[78] dan di situ Raúl berteman dengan seorang dokter Argentina penganut Marxis-Leninis yang bernama Ernesto "Che" Guevara, yang bekerja sebagai jurnalis dan fotografer untuk "Agencia Latina de Noticias".[79] Fidel menyukainya, dan kelak menggambarkannya sebagai "seorang revolusioner yang lebih maju ketimbang saya".[80] Castro juga berhubungan dengan Alberto Bayo, yang bersedia mengajari orang-orang Castro kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam perang gerilya.[81] Dalam rangka mengumpulkan dana, Castro pergi ke AS untuk mencari simpatisan kaya, tetapi di sana pergerakannya dipantau oleh agen-agen Batista, dan konon agen-agen tersebut pernah mencoba membunuhnya.[82] Castro masih tetap berhubungan dengan MR-26-7 di Kuba, dan kelompok tersebut telah memperoleh basis dukungan yang besar di Oriente.[83] Kelompok-kelompok militan anti-Batista lainnya juga muncul, terutama dari kalangan mahasiswa; yang paling terkenal dari antara kelompok-kelompok tersebut adalah Directorio Revolucionario Estudiantil (DRE), yang didirikan oleh José Antonio Echeverría. Antonio bertemu dengan Castro di Kota Meksiko, tetapi Castro menentang cara pandang kelompok tersebut yang mendukung tindakan pembunuhan tanpa pandang bulu.[84] Setelah membeli kapal yacht Granma, pada 25 November 1956, Castro berlayar dari Tuxpan, Veracruz, menuju Kuba bersama dengan 81 pengobar revolusi bersenjata.[85] Perjalanan sejauh 1.900 km tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Persediaan makanan terus menipis, sementara banyak yang mabuk laut. Bahkan di tengah perjalanan mereka harus mengeluarkan air yang masuk akibat kebocoran, dan salah satu rekan mereka juga pernah ada yang terjatuh dari kapal, sehingga menunda perjalanan mereka.[86] Rencana Castro sebelumnya adalah untuk mencapai Kuba dalam waktu lima hari, dan kemudian saat mereka mendarat anggota MR-26-7 yang dipimpin oleh Frank País akan melancarkan pemberontakan di Santiago dan Manzanillo. Namun, perjalanan Granma berlangsung selama tujuh hari. Akibatnya, País dan pasukannya mengalami kekalahan setelah diserang secara terus menerus oleh pasukan pemerintah selama dua hari.[87] Perang gerilya: 1956–1959Granma karam di daerah rawa bakau di Playa Las Coloradas, yang terletak tidak jauh dari Los Cayuelos, pada 2 Desember 1956. Castro dan rekan-rekannya melarikan diri ke pedalaman menuju kawasan pegunungan Sierra Maestra di Oriente, meskipun selama perjalanannya mereka berulang kali diserang oleh pasukan Batista.[89] Sesampainya di situ, Castro baru sadar bahwa hanya ada 19 orang yang berhasil sampai di tujuan, sisanya dibunuh atau ditangkap.[90] Mereka lalu mendirikan sebuah perkemahan, dan sejauh ini orang-orang yang berhasil selamat meliputi Castro bersaudara, Che Guevara, dan Camilo Cienfuegos.[91] Mereka kemudian mulai melakukan serangan ke pos-pos tentara kecil untuk merampas senjata, dan pada Januari 1957 mereka menyerbu sebuah pos di La Plata; mereka mengobati setiap prajurit yang terluka, tetapi mereka menghukum mati Chicho Osorio, seorang mayoral (mandor perusahaan lahan) yang dibenci oleh para petani setempat.[92] Dengan menghukum mati Osorio, para pemberontak pun mendapatkan kepercayaan dari para penduduk setempat, walaupun Castro dan rekan-rekannya masih dicurigai.[93] Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini turut menguat, sehingga beberapa warga bergabung dengan kelompok pemberontak, tetapi sebagian besar sukarelawan baru berasal dari kawasan perkotaan.[94] Dengan ini jumlah pasukan pemberontak bertambah hingga mencapai 200 orang, dan pada Juli 1957 Castro membagi tentaranya menjadi tiga, masing-masing dipimpin oleh dirinya, saudaranya, dan Guevara.[95] Para anggota MR-26-7 yang beroperasi di kawasan perkotaan melanjutkan perlawanan dan mengirimkan persediaan kepada Castro, dan pada 16 Februari 1957 ia bertemu dengan para anggota senior lainnya untuk membahas taktik; di situ ia bertemu dengan Celia Sánchez, yang kelak akan menjadi teman dekatnya.[96] Kelompok-kelompok anti-Batista di berbagai wilayah di Kuba melakukan pengeboman dan sabotase; polisi menanggapinya dengan penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.[97] Pada Maret 1957, serangan DRE ke Istana Presiden mengalami kegagalan, dan selama serangan tersebut Antonio mati tertembak.[97] Frank País juga tewas, sehingga Castro menjadi satu-satunya pemimpin MR-26-7 yang tersisa.[98] Meskipun Guevara dan Raúl dikenal akan pandangan Marxis-Leninis mereka, Castro berupaya menyembunyikannya, karena ia menginginkan dukungan dari kelompok-kelompok revolusioner yang tidak terlalu radikal.[99] Pada 1957, ia bertemu dengan para pemimpin Partido Ortodoxo, Raúl Chibás dan Felipe Pazos, dan mereka merumuskan Manifesto Sierra Maestra yang menyerukan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin untuk memberlakukan reformasi agraria, industrialisasi, dan kampanye melek huruf, serta sebuah pemilu yang diikuti oleh beberapa partai.[99] Pers Kuba pada masa itu disensor, sehingga Castro menghubungi media asing untuk menyebarkan pesannya; ia menjadi terkenal setelah diwawancarai oleh Herbert Matthews, seorang jurnalis dari The New York Times.[100] Para wartawan dari CBS dan Paris Match kemudian juga mewawancarainya.[101] Para gerilyawan Castro meningkatkan serangan-serangan mereka ke pos-pos militer, sehingga pasukan pemerintah terpaksa mundur dari kawasan Sierra Maestra, dan pada musim semi 1958, para pemberontak menguasai sebuah rumah sakit, sekolah-sekolah, tempat percetakan, rumah jagal, pabrik ranjau, dan sebuah pabrik rokok.[102] Pada 1958, Batista semakin menghadapi kemelut akibat kegagalan militernya, dan juga akibat kritik-kritik yang terus mengalir dari dalam dan luar negeri yang terkait dengan tindakan penyensoran, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh rezimnya.[103] Pemerintah AS bahkan menghentikan bantuan persenjataan kepadanya.[103] Kelompok oposisi lalu menyerukan mogok kerja, yang kemudian diiringi oleh serangan dari kelompok MR-26-7. Semenjak 9 April, kelompok tersebut mendapatkan dukungan yang besar di Kuba tengah dan timur, tetapi tidak terlalu didukung di wilayah lainnya.[104] Batista membalasnya dengan melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Verano. Angkatan darat membombardir wilayah hutan dan pedesaan yang diduga membantu kelompok pemberontak, sementara 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Eulogio Cantillo mengepung kawasan Sierra Maestra dan bergerak ke arah utara menuju kamp-kamp pemberontak.[105] Meskipun jumlah pasukan dan teknologi mereka lebih unggul, angkatan darat Batista sama sekali tidak berpengalaman dalam menghadapi perang gerilya, dan Castro mampu menahan serangan-serangan mereka dengan menggunakan ranjau dan melakukan penyergapan.[105] Banyak prajurit Batista yang membelot ke pihak Castro, dan Castro sendiri didukung oleh penduduk setempat.[106] Pada musim panas, MR-26-7 melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir angkatan darat Batista dari wilayah pegunungan, dan Castro sendiri memimpin barisannya dan melakukan gerakan menjepit yang mengepung pasukan utama Batista di Santiago. Pada bulan November, pasukan Castro menguasai sebagian besar wilayah Oriente dan Las Villas, dan membagi Kuba menjadi dua dengan menutup jalan-jalan besar dan jalur-jalur rel; hal ini sangat merugikan Batista.[107] AS merasa takut dengan kemungkinan bahwa Castro adalah seorang sosialis, dan mereka menginstruksikan Cantillo untuk melengserkan Batista.[108] Cantillo secara diam-diam menyepakati gencatan senjata dengan Castro dan ia juga menjanjikan bahwa Batista akan diadili sebagai seorang penjahat perang;[108] namun, ada yang memperingatkan Batista terkait dengan hal ini, sehingga ia melarikan diri dengan membawa uang yang jumlahnya melebihi US$300.000.000 pada 31 Desember 1958.[109] Cantillo memasuki Istana Presiden di Havana dan menyatakan hakim Mahkamah Agung Carlos Piedra sebagai Presiden.[110] Castro pun murka dan memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata.[111] Ia juga memerintahkan kepada prajurit anggota darat yang bersimpati dengan revolusi untuk menangkap Cantillo.[112] Saat mengikuti perayaan pelengseran Batista pada 1 Januari 1959, Castro memerintahkan MR-26-7 untuk mencegah penjarahan dan vandalisme.[113] Cienfuegos dan Guevara lalu memimpin pasukan mereka ke Havana pada 2 Januari, sementara Castro memasuki Santiago dan menyampaikan pidato yang menyebut soal perang kemerdekaan.[114] Saat menuju Havana, ia disambut kerumunan di setiap kota, dan ia juga melakukan konferensi pers dan diwawancara.[115] Pemerintahan sementara: 1959Atas perintah dari Castro, pengacara Manuel Urrutia Lleó yang beraliran moderat dinyatakan sebagai presiden sementara, tetapi Castro mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya salah, bahwa Urrutia telah dipilih melalui "pemilihan umum". Kebanyakan anggota kabinet Urrutia merupakan anggota MR-26-7.[116] Saat memasuki kota Havana, Castro menyatakan dirinya sebagai Perwakilan Angkatan Bersenjata Pemberontak di bawah Kepresidenan, dan lalu ia menetap dan berkantor di Havana Hilton Hotel.[117] Castro sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Urrutia, yang merupakan sebuah pemerintahan yang berkuasa dengan mengeluarkan dekret-dekret. Ia berupaya memastikan agar pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi dan buta huruf, serta kebijakan yang mengeluarkan para pendukung Batista dari jabatan-jabatan pemerintahan, termasuk pemecatan anggota Kongres dan pelarangan menduduki jabatan untuk semua orang yang "terpilih" dalam pemilu curang tahun 1954 dan 1958. Ia kemudian mendorong Urrutia untuk mengeluarkan larangan sementara terhadap partai-partai politik, walaupun ia berulangkali menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang dapat diikuti oleh lebih dari satu partai.[118] Meskipun ia menyangkal tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis di hadapan media, ia diam-diam bertemu dengan anggota-anggota PSP untuk membahas rencana pembentukan sebuah negara sosialis.[119]
— Tanggapan Castro terhadap kritikan yang terkait dengan pengeksekusian massal, 1959[120] Pemerintahan Batista telah membunuh ribuan orang Kuba saat mereka berupaya memadamkan revolusi; Castro dan media-media besar memperkirakan jumlah korban tewasnya mencapai 20.000 orang, tetapi daftar korban yang diterbitkan tak lama seusai revolusi hanya berisi 898 nama, dan lebih dari setengahnya adalah kombatan perang.[121] Perkiraan-perkiraan yang lebih terkini mengeluarkan angka yang berkisar antara 1000[122] hingga 4000 korban jiwa.[123] Sebagai tanggapan terhadap seruan agar orang-orang yang bertanggung jawab diseret ke meja hijau, Castro membantu mendirikan beberapa pengadilan, yang berujung pada penghukuman mati ratusan orang. Meskipun kebijakan ini populer di dalam negeri, para kritikus (khususnya pers AS) menyatakan bahwa proses pengadilannya sering kali tidak dilaksanakan secara adil. Castro menanggapinya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan revolusioner tidak didasarkan pada aturan-aturan hukum, tetapi pada keyakinan moral".[124] Sementara itu, keberhasilan Castro disambut dengan baik oleh banyak orang di Amerika Latin, dan ia lalu berkunjung ke Venezuela untuk bertemu dengan presiden terpilih Rómulo Betancourt, tetapi ia tidak berhasil memperoleh pinjaman dan juga gagal membuat perjanjian pembelian minyak yang baru.[125] Sekembalinya di tanah air, terjadi adu pendapat antara Castro dengan anggota pemerintahan senior. Ia merasa murka setelah mengetahui bahwa pemerintah telah menyebabkan ribuan orang menganggur akibat penutupan kasino dan rumah bordil. Perdana Menteri José Miró Cardona lalu mengundurkan diri, mengasingkan diri di AS, dan bergabung dengan pergerakan anti-Castro.[126] Perdana MenteriMengukuhkan kekuasaan: 1959–1960Pada 16 Februari 1959, Castro disumpah menjadi Perdana Menteri Kuba.[127] Pada bulan April, ia mengunjungi AS, tetapi Presiden Eisenhower tidak mau menemuinya dan malah mengutus Wakil Presiden Richard Nixon untuk menggantikannya; Castro langsung tidak menyukai Nixon setelah mereka bertemu.[128] Castro lalu melanjutkan kunjungannya ke Kanada, Trinidad, Brasil, dan Uruguay. Ia juga menghadiri sebuah konferensi ekonomi di Buenos Aires, Argentina, dan di situ ia mengajukan usulan agar AS menggelontorkan "Rencana Marshall" senilai $30 miliar untuk Amerika Latin, tetapi usulan tersebut ditolak.[129] Pada Mei 1959, Castro menandatangani hukum Reformasi Agraria Pertama, yang menetapkan batas maksimal luas kepemilikan lahan sebesar 993 ekar (402 hektare) per pemilik, dan melarang orang asing memperoleh kepemilikan lahan di Kuba. Sekitar 200.000 petani mendapatkan surat kepemilikan lahan setelah lahan-lahan besar diredistribusikan; kebijakan ini didukung oleh para buruh, tetapi dibenci oleh golongan pemilik lahan,[130] termasuk ibunya sendiri.[131] Pada masa ini, Castro juga mengangkat dirinya sebagai presiden Industri Pariwisata Nasional. Ia mencoba menarik wisatawan Afrika-Amerika dengan mengiklankan Kuba sebagai tempat wisata tropis yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi ras, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[132] Sementara itu, gaji para hakim dan politikus diturunkan, dan gaji PNS rendahan dinaikkan.[133] Pada Maret 1959, ia juga menyatakan bahwa biaya sewa untuk orang-orang yang membayar lebih sedikit dari $100 sebulan akan dikurangi setengah.[134] Meskipun ia menolak menggolongkan rezimnya sebagai rezim sosialis dan berulangkali menyangkal tuduhan komunis, Castro memberikan jabatan senior pemerintahan dan militer kepada orang-orang yang berhaluan Marxis. Salah satu contohnya adalah Che Guevara yang menjadi Gubernur Bank Sentral dan kemudian juga diangkat sebagai Menteri Perindustrian. Komandan Angkatan Udara Pedro Luis Díaz Lanz sangat tercengang sampai-sampai ia membelot ke AS.[135] Meskipun Presiden Urrutia mengutuk pengkhianatan tersebut, ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan kebangkitan Marxisme. Castro pun murka dan lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri, dan ia menuduh Urrutia telah mempersulit pemerintahannya dengan pandangan "anti-komunisme yang menggebu-gebu". Lebih dari 500.000 pendukung Castro lalu mengepung Istana Presiden dan menuntut pengunduran diri Urrutia. Urrutia memenuhi tuntutan tersebut, dan Castro pada 23 Juli meneruskan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan mengangkat Osvaldo Dorticós yang berhaluan Marxis sebagai Presiden.[136] Pemerintah Castro mengutamakan kebijakan-kebijakan sosial untuk meningkatkan standar hidup rakyat Kuba, walaupun kebijakan itu sering kali mengorbankan pertumbuhan ekonomi.[137] Pemerintahannya sangat mementingkan pendidikan, dan selama 30 bulan pertama pemerintahan Castro, banyak sekolah-sekolah baru yang dibuka. Sistem pendidikan dasar Kuba mulai menawarkan program studi-kerja: separuh waktu dijalani di ruang kelas, dan separuh waktu lainnya dihabiskan untuk melakukan aktivitas produktif.[138] Penyediaan layanan kesehatan juga dinasionalisasi dan diperluas jangkauannya; pusat-pusat kesehatan di pedesaan dan poliklinik di perkotaan dibuka di berbagai wilayah Kuba dan digratiskan. Selain itu, pemerintah Castro menggalakkan vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit masa kecil, dan tingkat kematian bayi pun berkurang secara drastis.[137] Bagian ketiga dari program sosial Castro adalah pembangunan infrastruktur. Selama enam bulan pertama pemerintahan Castro, 600 mil jalan dibangun di seluruh Kuba, sementara $300 juta digelontorkan untuk proyek penyediaan air dan sanitasi.[137] Lebih dari 800 rumah dibangun setiap bulannya pada tahun-tahun awal pemerintahan Castro dalam upaya untuk memerangi ketunawismaan, sementara tempat penitipan anak dan perawatan penyandang disabilitas dan lansia juga didirikan.[137] Castro menggunakan radio dan televisi untuk melakukan "dialog dengan rakyat", mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membuat pernyataan-pernyataan provokatif.[139] Rezimnya masih tetap populer di kalangan buruh, petani, dan mahasiswa, dan ketiganya jika digabung merupakan kelompok mayoritas di Kuba.[140] Di sisi lain, perlawanan biasanya muncul dari kelas menengah; ribuan dokter, insinyur, dan kaum profesional lainnya pindah ke Florida, sehingga terjadilah pelarian sumber daya manusia.[141] Produktivitas pun menurun dan cadangan keuangan negara tersebut terkuras dalam waktu dua tahun.[134] Setelah pers yang berhaluan konservatif bermusuhan dengan pemerintah, serikat percetakan yang pro-Castro mengganggu staf-staf editorialnya, dan pada Januari 1960 pemerintah memerintahkan mereka untuk menerbitkan sebuah "klarifikasi" yang ditulis oleh serikat percetakan di bagian akhir artikel yang mengkritik pemerintah.[142] Pemerintah Castro menangkap ratusan orang yang dituduh kontra-revolusi,[143] dan banyak dari antara mereka yang menjadi ditahan, diperlakukan secara kasar, atau diancam.[144] Kelompok militan anti-Castro (yang didanai oleh orang-orang Kuba di pengasingan, Central Intelligence Agency (CIA), dan pemerintah Dominika) melakukan serangan dan mendirikan pangkalan-pangkalan gerilya di kawasan pegunungan Kuba, sehingga meletuslah Pemberontakan Escambray yang berlangsung selama enam tahun.[145] Pada 1960, Perang Dingin terus memanas di antara dua negara adidaya: Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi liberal kapitalis, melawan Uni Soviet, sebuah negara sosialis Marxis-Leninis yang diperintah oleh Partai Komunis. Castro menyatakan ketidaksukaannya terhadap AS dan memiliki pandangan-pandangan ideologi yang serupa dengan Uni Soviet, sehingga ia membina hubungan dengan beberapa negara yang berhaluan Marxis–Leninis.[146] Castro lalu bertemu dengan Wakil Pertama Perdana Menteri Uni Soviet Anastas Mikoyan, dan ia bersedia untuk memasok Uni Soviet dengan gula, buah-buahan, serat, dan kulit hewan, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh minyak mentah, pupuk, barang-barang industri, dan pinjaman senilai $100 juta.[147] Pemerintah Kuba memerintahkan agar kilang-kilang minyak di negara tersebut (yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan AS) memroses minyak-minyak dari Soviet, tetapi mereka menolaknya akibat tekanan dari AS. Castro menanggapinya dengan menasionalisasikan kilang-kilang tersebut. AS lalu berhenti mengimpor gula dari Kuba, tetapi Castro membalasnya dengan menasionalisasikan sebagian besar aset milik AS di pulau tersebut, termasuk pabrik gula dan bank.[148] Hubungan antara Kuba dengan AS semakin memburuk setelah terjadinya ledakan kapal Prancis La Coubre di pelabuhan Havana pada Maret 1960. Kapal tersebut mengangkut senjata-senjata yang dibeli dari Belgia, dan penyebab ledakan tersebut tidak diketahui, tetapi Castro secara terbuka menuduh pemerintah AS sebagai dalangnya. Ia mengakhiri pidatonya dengan mengatakan "¡Patria o Muerte!" ("Tanah Air atau Mati!"), sebuah pernyataan yang sering ia kumandangkan pada tahun-tahun berikutnya.[149] Pemerintah AS terinspirasi dengan keberhasilan kudeta Guatemala 1954, sehingga Presiden AS Eisenhower pada Maret 1960 memerintahkan CIA untuk melengserkan pemerintah Castro. Untuk melaksanakan tugas tersebut, CIA diberikan anggaran sebesar $13 juta dan mereka juga diperbolehkan bersekutu dengan Mafia, yang merasa kesal karena pemerintah Castro menutup rumah-rumah bordil dan usaha-usaha kasino mereka di Kuba.[150] Pada 13 Oktober 1960, AS melarang sebagian besar ekspor ke Kuba dan memulai sebuah embargo ekonomi. Sebagai balasannya, Lembaga Nasional untuk Reformasi Agraria (INRA) mengambil alih 383 usaha swasta pada 14 Oktober, dan pada 25 Oktober terdapat 166 perusahaan AS di Kuba yang dinasionalisasi.[151] Pada 16 Desember, AS mengakhiri kuota impor gula dari Kuba, yang merupakan sumber devisa utama Kuba.[152] Pada September 1960, Castro mendatangi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City. Ia menginap di Hotel Theresa, Harlem, dan di situ ia bertemu dengan para jurnalis dan aktivis-aktivis seperti Malcolm X. Ia juga bertemu dengan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev, dan mereka berdua sama-sama mengutuk kemiskinan dan rasisme yang dialami oleh orang-orang Amerika di kawasan seperti Harlem. Castro dan Khrushchev berhubungan akrab, dan masing-masing dari mereka memulai tepuk tangan saat yang lain selesai berpidato di hadapan Majelis Umum.[153] Castro kemudian dikunjungi oleh Sekretaris Pertama Polandia Władysław Gomułka, pemimpin Bulgaria Todor Zhivkov, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru.[154] Pada sore harinya, Castro juga diterima di resepsi Fair Play for Cuba Committee.[155] Sekembalinya di Kuba, Castro takut dilengserkan oleh AS; pada 1959, rezimnya menghabiskan uang sebesar $120 juta untuk membeli persenjataan dari Soviet, Prancis, dan Belgia, dan pada awal 1960 pemerintah Kuba telah menggandakan jumlah tentara Kuba.[156] Ia juga mengkhawatirkan unsur-unsur kontra-revolusi di kalangan tentara, sehingga pemerintah membentuk Milisi Rakyat dengan maksud untuk mempersenjatai warga sipil yang mendukung revolusi, dan untuk itu mereka memberikan pelatihan kepada sekitar 50.000 orang.[157] Pada September 1960, pemerintah Kuba mendirikan Komite Pertahanan Revolusi (KPR), sebuah organisasi sipil nasional yang melakukan aktivitas mata-mata untuk menemukan kegiatan-kegiatan kontra-revolusi, meskipun organisasi ini juga mengadakan kampanye kesehatan dan pendidikan. Pada 1970, sepertiga penduduk Kuba terlibat dalam KPR, dan persentasenya akan terus meningkat hingga mencapai 80%.[158] Castro menyatakan berdirinya pemerintahan baru yang berasaskan demokrasi langsung, dan berdasarkan sistem ini rakyat Kuba dapat berkumpul dan bergabung dengan unjuk rasa untuk menyatakan kehendak mereka. Castro juga menolak pengadaan pemilu, dan ia mengklaim bahwa sistem demokrasi perwakilan hanya memenuhi kepentingan elit-elit sosio-ekonomi.[159] Menteri Luar Negeri AS Christian Herter kemudian mengumumkan bahwa Kuba telah menerapkan model pemerintahan Soviet dalam bentuk pemerintahan satu partai, penindasan kebebasan sipil, pengendalian serikat-serikat dagang oleh pemerintah, dan ketiadaan kebebasan berbicara dan kebebasan pers.[160] Invasi Teluk Babi dan "Kuba Sosialis": 1961–1962
— Peter Bourne, biografer Castro, 1986[161] Pada Januari 1961, Castro memerintahkan Kedutaan Besar AS di Havana untuk mengurangi jumlah anggota stafnya yang mencapai 300 orang, karena ia menduga bahwa banyak dari antara mereka yang menjadi mata-mata. AS menanggapinya dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kuba dan meningkatkan pendanaan yang digelontorkan oleh CIA kepada para pembangkang di pengasingan; militan-militan tersebut juga mulai menyerang kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dan meledakkan pabrik-pabrik, toko-toko, dan tempat pengolahan gula.[162] Baik Eisenhower maupun penerusnya, John F. Kennedy, mendukung rencana CIA yang ingin membantu milisi pembangkang "Barisan Revolusioner Demokratik" dalam upaya mereka untuk melengserkan Castro; rencana tersebut berujung pada Invasi Teluk Babi pada April 1961. Pada 15 April, B-26 yang disediakan oleh CIA meledakkan 3 pangkalan udara militer Kuba; AS mengumumkan bahwa para pelakunya adalah pilot angkatan udara Kuba yang membelot, tetapi Castro membongkar kebohongan klaim tersebut.[163] Castro lalu memerintahkan penangkapan 20.000 hingga 100.000 orang yang dituduh kontra-revolusi,[164] dan di depan umum ia mengumandangkan, "Yang tidak dapat diampuni oleh kaum imperialis adalah bagaimana kita telah mengobarkan revolusi Sosialis di pelupuk mata mereka sendiri", dan ini adalah pertama kalinya ia menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan sosialis.[165] CIA dan Barisan Revolusioner Demokrat telah menempatkan Brigada Asalto 2506 yang berjumlah 1.400 tentara di Nikaragua. Pada malam tanggal 16-17 April, Brigada 2506 mendarat di Teluk Babi, Kuba, dan kemudian terjadi baku tembak antara mereka dengan milisi revolusioner setempat. Castro memerintahkan Kapten José Ramón Fernández untuk melancarkan serangan balasan, tetapi ia kemudian memimpin pasukan tersebut secara langsung. Setelah Castro berhasil mengebom kapal-kapal milik para penyerang dan memperoleh bala bantuan, Brigada tersebut menyerah pada 20 April.[166] Ia memerintahkan agar 1189 pemberontak yang ditangkap diinterogasi oleh sebuah panel jurnalis dengan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ia lalu memimpin proses interogasi tersebut secara langsung pada 25 April. 14 orang dari antara mereka diadili atas kejahatan yang telah dilakukan sebelum revolusi, sementara yang lainnya dipulangkan ke AS untuk ditukar dengan obat-obatan dan makanan senilai U.S. $25 juta.[167] Kemenangan Castro bergaung di dunia, khususnya di Amerika Latin, tetapi juga meningkatkan perlawanan internal, terutama dari golongan menengah Kuba yang ditahan menjelang terjadinya invasi. Meskipun kebanyakan dibebaskan dalam waktu beberapa hari, beberapa di antaranya melarikan diri ke AS dan menetap di Florida.[168] Untuk mengukuhkan "Kuba Sosialis", Castro menggabungkan MR-26-7, PSP, dan Direktorat Revolusioner menjadi sebuah partai pemerintahan yang berlandaskan pada asas Leninis yang disebut sentralisme demokrat. Partai ini disebut "Organisasi Revolusioner Terintegrasi" (Organizaciones Revolucionarias Integradas – ORI), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kesatuan Revolusi Sosialis Kuba pada 1962.[169] Meskipun Uni Soviet masih meragukan pandangan sosialisme Castro,[170] hubungannya dengan Soviet semakin erat. Castro mengirim Fidelito ke Moskwa untuk bersekolah,[171] para teknisi Soviet datang ke Kuba,[171] dan Castro juga dianugerahi Penghargaan Perdamaian Lenin.[172] Pada Desember 1961, Castro mengakui bahwa ia sudah menjadi seorang Marxis–Leninis selama bertahun-tahun, dan dalam Deklarasi Havana Kedua-nya, ia menyerukan agar Amerika Latin bangkit dan mengobarkan revolusi.[173] Akibatnya, AS meminta Organisasi Negara-Negara Amerika untuk mengeluarkan Kuba; Soviet secara pribadi menegur Castro karena ia dianggap ceroboh, meskipun ia mendapatkan pujian dari Tiongkok.[174] Walaupun Castro cenderung bersimpati secara ideologis kepada Tiongkok, selama terjadinya perpecahan Soviet-Tiongkok, Kuba bersekutu dengan Soviet yang lebih kaya, terutama mengingat bahwa Soviet menawarkan bantuan ekonomi dan militer.[175] ORI mulai merombak Kuba berdasarkan contoh Uni Soviet; mereka menindas lawan-lawan politik dan orang-orang yang dianggap menyimpang secara sosial, seperti para pelacur dan kaum homoseksual; Castro menganggap aktivitas seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku borjuis.[176] Pria gay dipaksa masuk ke kamp-kamp pertanian yang disebut Satuan Militer untuk Bantuan Produksi (Unidades Militares de Ayuda a la Producción – UMAP); namun, banyak kaum intelektual revolusioner yang mengutuk tindakan ini, sehingga kamp-kamp tersebut ditutup pada 1967, meskipun pria gay masih tetap dipenjara.[177] Pada 1962, ekonomi Kuba mengalami kemunduran akibat manajemen ekonomi yang buruk dan produktivitas yang rendah, yang semakin diperparah oleh embargo dagang AS. Kekurangan pangan memicu protes di Cárdenas.[178] Laporan keamanan menunjukkan bahwa banyak orang Kuba yang mengaitkan keadaan yang sulit tersebut dengan "Komunis Lama" dari PSP, sementara Castro merasa bahwa beberapa tokoh Komunis Lama – yakni Aníbal Escalante dan Blas Roca – terlalu setia kepada Moskwa. Pada Maret 1962, Castro memberhentikan tokoh-tokoh penting "Komunis Lama" dari jabatan mereka dan mencap mereka "sektarian".[179] Dalam hal hubungan pribadi, Castro menjadi semakin sendiri, dan hubungannya dengan Guevara juga retak karena Guevara menjadi semakin anti-Soviet dan pro-Tiongkok.[180] Krisis Misil Kuba dan seruan revolusi global: 1962–1968Khrushchev ingin memasang misil-misil nuklir R-12 di Kuba untuk menyeimbangkan kekuatan NATO.[181] Walau awalnya sempat ragu, Castro akhirnya setuju, karena ia yakin bahwa tindakan tersebut akan menjaga keamanan Kuba dan juga memajukan perjuangan sosialisme.[182] Rencana ini diwujudkan secara rahasia, dan hanya beberapa orang di Kuba yang tahu akan hal ini, yaitu Castro bersaudara, Guevara, Dorticós, dan kepala keamanan Ramiro Valdés.[183] Setelah rencana tersebut terbongkar akibat pemantauan yang dilakukan oleh AS dari udara, pada bulan Oktober AS mengarantina seluruh pulau Kuba untuk melakukan pencarian terhadap kapal-kapal yang menuju ke Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba. AS menganggap misil-misil ini sebagai persenjataan untuk melakukan serangan, sementara Castro bersikeras bahwa tujuan penempatan misil-misil tersebut hanyalah untuk pertahanan.[184] Castro meminta Khrushchev untuk menggertak AS dengan serangan nuklir apabila Kuba diserang, tetapi Khrushchev berniat untuk menghindari perang nuklir.[185] Castro sendiri tidak diikutsertakan dalam proses perundingan, dan akhirnya Khrushchev bersedia menarik misil-misil tersebut untuk memperoleh jaminan bahwa AS tidak akan menyerang Kuba dan bahwa AS juga akan mengeluarkan misil nuklir mereka dari Turki dan Italia.[186] Castro merasa dikhianati oleh Khrushchev, sehingga ia mengamuk dan lalu jatuh sakit.[187] Ia kemudian menuntut agar AS mengakhiri embargonya, menarik diri dari Pangkatan Laut Teluk Guantanamo, tidak lagi mendukung para pembangkang, dan berhenti melanggar kawasan perairan dan udara Kuba. Ia menyerahkan tuntutan tersebut kepada Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa U Thant, tetapi AS menghiraukannya; alhasil Castro menolak mengizinkan regu inspeksi PBB masuk ke Kuba.[188] Pada Mei 1963, Castro mengunjungi Uni Soviet atas undangan pribadi dari Khrushchev; selama kunjungan tersebut, mendatangi 14 kota, menyampaikan pidato di Lapangan Merah, dan dianugerahi Ordo Lenin dan gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Moskwa.[189] Castro memperoleh gagasan-gagasan baru dari kunjungannya. Ia terilhami dari surat kabar Soviet Pravda, sehingga ia menggabungkan Hoy dan Revolución menjadi sebuah surat kabar harian baru yang bernama Granma.[190] Ia juga memberikan anggaran yang besar kepada sektor olahraga Kuba, dan tindakan ini berhasil meningkatkan reputasi olahraga negara tersebut di kancah internasional .[191] Sementara itu, untuk semakin mengukuhkan kekuasaannya, pada 1963 pemerintah Kuba melarang sekte-sekte Protestan, dan Castro sendiri mencap mereka sebagai "alat imperialis kontra-revolusi"; banyak pengkotbah yang juga dijebloskan ke penjara akibat hubungan dengan Amerika Serikat.[192] Tindakan-tindakan juga diambil untuk memaksa para pemuda yang dianggap "menganggur" dan "nakal" untuk bekerja, khususnya dengan memberlakukan wajib militer,[193] sementara pada bulan September, pemerintah untuk sementara waktu mengizinkan orang-orang yang bukan laki-laki berumur 15-26 tahun untuk keluar dari Kuba, sehingga ribuan pengkritik pemerintah pun hengkang dari negara tersebut, kebanyakan orang-orang yang berasal dari kelas menengah atau atas.[194] Pada 1963, ibu kandung Castro meninggal. Ini adalah terakhir kalinya kehidupan pribadi Castro dikabarkan oleh pers Kuba.[195] Pada Januari 1964, Castro kembali ke Moskwa untuk menandatangani perjanjian perdagangan gula yang baru, selain juga membahas dampak dari pembunuhan John F. Kennedy;[196] Castro merasa sangat perihatin dengan peristiwa pembunuhan tersebut, karena ia yakin bahwa dalangnya adalah kelompok kanan jauh, tetapi orang Kuba-lah yang akan disalahkan.[197] Pada Oktober 1965, Organisasi Revolusioner Terintegrasi secara resmi berganti nama menjadi "Partai Komunis Kuba".[198]
— Walter Lippmann, Newsweek, 27 April 1964[199] Meskipun membuat waswas Soviet, Castro masih meneruskan seruan untuk mengobarkan revolusi global, dan ia pun mendanai kelompok-kelompok militan kiri dan gerakan-gerakan kemerdekaan. Kebijakan luar negeri Kuba sangat anti-imperialis dan menyatakan bahwa setiap bangsa harus mengendalikan sumber daya alam mereka sendiri.[200] Castro mendukung "proyek Andes" yang dilancarkan oleh Che Guevara, yaitu sebuah rencana untuk membentuk pergerakan gerilyawan di dataran tinggi Bolivia, Peru, dan Argentina, walaupun rencana tersebut tidak berhasil; Castro juga mengizinkan kelompok-kelompok revolusioner dari berbagai belahan dunia (dari gerakan Viet Cong sampai Black Panther Party) berlatih di wilayah Kuba.[201] Ia menganggap Afrika sebagai wilayah dengan potensi revolusi yang besar, alhasil ia mengirim pasukan dan tenaga medis untuk membantu rezim sosialis Ahmed Ben Bella di Aljazair selama terjadinya Perang Pasir. Ia juga bersekutu dengan pemerintahan sosialis pimpinan Alphonse Massamba-Débat di Kongo-Brazzaville, dan pada 1965 Castro mengizinkan Guevara berangkat ke Kongo-Kinshasa untuk melatih kaum revolusioner melawan pemerintahan yang didukung oleh Barat.[202] Castro sendiri sangat terpukul saat mendengar kabar bahwa Guevara telah dibunuh oleh militer Bolivia yang didukung oleh CIA pada Oktober 1967, dan ia merasa bahwa penyebabnya adalah sifat Che yang tidak memedulikan keselamatan dirinya.[203] Pada 1966, Castro mengadakan Konferensi Tiga Benua di Havana, sehingga semakin memperkuat martabatnya di kancah dunia.[204] Berkat konferensi tersebut, Castro dapat mendirikan Organisasi Solidaritas Amerika Latin (OLAS), yang memiliki semboyan "Tugas revolusi adalah untuk mengobarkan revolusi", yang menunjukkan bagaimana Havana telah menjadi pemimpin gerakan revolusioner di Amerika Latin.[205] Akibat menguatnya peran Castro di pentas dunia, hubungan Kuba dengan Uni Soviet (yang sudah berganti pemimpin menjadi Leonid Brezhnev) memburuk. Dengan maksud untuk menegaskan kemerdekaan Kuba, Castro menolak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata-senjata Nuklir dan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan upaya Soviet-AS untuk mendominasi Dunia Ketiga.[206] Ia mulai melenceng dari doktrin Marxis Soviet dan menyatakan bahwa masyarakat Kuba dapat langsung berubah menjadi komunisme murni tanpa perlu melalui tahapan-tahapan sosialisme.[207] Sementara itu, seorang loyalis Soviet yang bernama Aníbal Escalante mulai membentuk sebuah jaringan perlawanan terhadap Castro, sehingga pada Januari 1968 ia dan para pendukungnya ditangkap atas tuduhan membocorkan rahasia negara kepada Moskwa.[208] Namun, Castro mengakui kebergantungan Kuba kepada Soviet secara ekonomi, alhasil ia tunduk kepada tekanan dari Brezhnev, dan pada Agustus 1968 ia mengecam para pemimpin Kebangkitan Praha dan memuji invasi Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.[209][210] Ia terilhami dari kebijakan Lompatan Jauh ke Depan di Tiongkok, sehingga pada 1968 Castro mengumandangkan "Serangan Revolusioner Besar" yang menutup semua toko dan usaha milik swasta yang masih tersisa dan mengutuk para pemiliknya sebagai kapitalis kontra-revolusi.[211] Akibat kekurangan barang konsumen, produktivitas juga ikut menurun, karena banyak warga yang sama sekali tidak termotivasi untuk bekerja keras.[212] Hal ini semakin diperparah oleh anggapan bahwa telah muncul kalangan elit revolusioner yang memperoleh keuntungan lebih, seperti perumahan yang lebih baik, transportasi pribadi, pelayan, dan kemampuan untuk membeli barang mewah dari luar negeri.[213] Kemandekan ekonomi dan politik Dunia Ketiga: 1969–1974Castro merayakan sepuluh tahun pemerintahannya pada Januari 1969, dan selama perayaan tersebut ia menyampaikan pidato yang memperingatkan rakyat tentang kemungkinan pemberlakukan penjatahan gula, yang menunjukkan bahwa Kuba tengah mengalami kesulitan ekonomi.[214] Pada 1969, banyak tanaman yang rusak berat akibat badai, dan untuk memenuhi kuota ekspornya, pemerintah mengerahkan tentara, memberlakukan sistem tujuh hari kerja seminggu, dan menunda hari-hari libur untuk memperpanjang panen.[215] Saat kuota produksi tahunan tidak terpenuhi, Castro menawarkan pengunduran dirinya dalam sebuah pidato yang disampaikan di muka umum, tetapi massa yang berkumpul meminta agar ia tetap bertahan.[216] Walaupun tengah menghadapi permasalahan ekonomi, banyak program reformasi sosial Castro yang disukai oleh rakyat, termasuk program pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pembangunan jalan, serta kebijakan-kebijakan "demokrasi langsung".[217] Castro juga meminta bantuan dari Soviet, sehingga dari 1970 sampai 1972, para ekonom Soviet membantu merombak ekonomi Kuba dan mendirikan Komisi Kerja Sama Ekonomi, Ilmiah, dan Teknis Kuba-Soviet, sementara Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin sendiri melakukan kunjungan ke Kuba pada 1971.[218] Pada Juli 1972, Kuba bergabung dengan Komekon (Comecon), sebuah organisasi ekonomi negara-negara sosialis, meskipun hal tersebut semakin membatasi ekonomi Kuba pada sektor pertanian.[219] Pada Mei 1970, awak-awak dua perahu nelayan Kuba diculik oleh kelompok pembangkang Alpha 66 yang berbasis di Florida, dan mereka menuntut agar Kuba membebaskan para militan yang ditahan. Akibat tekanan dari AS, para sandera tersebut dibebaskan, dan Castro menyambut mereka sebagai pahlawan.[220] Pada April 1971, Castro dikutuk oleh dunia internasional karena telah memerintahkan penangkapan penyair pembangkang Heberto Padilla; Padilla pada akhirnya dibebaskan, tetapi pemerintah mendirikan Dewan Kebudayaan Nasional untuk memastikan agar kaum intelektual dan seniman tetap mendukung pemerintahan.[221] Pada 1971, Castro mengunjungi Chili. Di negara tersebut, Presiden Salvador Allende yang berhaluan Marxis baru saja terpilih menjadi kepala koalisi sayap kiri. Castro mendukung reformasi sosialis Allende, tetapi memperingatkannya perihal keberadaan unsur-unsur sayap kanan dalam militer Chili. Peringatan ini terbukti dua tahun kemudian, karena pada 1973, militer melancarkan kudeta dan mendirikan sebuah junta militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet.[222] Pada 1972, Castro mengunjungi Guinea untuk bertemu dengan Presiden Sékou Touré yang beraliran sosialis, dan ia memujinya sebagai pemimpin Afrika terbesar.[223] Ia kemudian melakukan kunjungan selama tujuh minggu ke negara-negara berhaluan kiri: Aljazair, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Jerman Timur, Cekoslowakia, dan Uni Soviet. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu ingin mendatangi para pekerja pabrik dan pertanian, dan di hadapan umum ia memuji pemerintahan negara yang ia kunjungi; di balik tirai, ia meminta agar negara-negara tersebut membantu gerakan-gerakan revolusioner di wilayah lain, terutama para pejuang Perang Vietnam.[224] Pada September 1973, ia kembali ke Aljir untuk menghadiri KTT Gerakan Non-Blok (GNB) Keempat. Berbagai anggota GNB mengkritik kehadiran Castro, karena menurut mereka Kuba telah berhaluan ke Pakta Warsawa, sehingga seharusnya tidak ikut konferensi tersebut.[225] Di konferensi tersebut, ia memutus hubungan diplomatik dengan Israel atas dasar hubungan erat negara Yahudi tersebut dengan AS dan rasa perhatian Castro kepada bangsa Palestina. Alhasil Castro memperoleh penghormatan dari dunia Arab, terutama dari pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang menjadi teman dan sekutunya.[226] Saat berlangsungnya Perang Yom Kippur pada Oktober 1973 antara Israel melawan sebuah koalisi Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, Kuba mengirim 4.000 pasukan untuk membantu Suriah.[227] Kemudian, setelah Castro meninggalkan Aljir, ia melakukan kunjungan ke Irak dan Vietnam Utara.[228] Ekonomi Kuba mengalami pertumbuhan pada 1974 berkat harga gula yang tinggi di pasar dunia dan pinjaman-pinjaman baru dari Argentina, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat lainnya.[229] Sejumlah negara Amerika Latin menyerukan agar Kuba kembali diterima di Organisasi Negara-negara Amerika, dan AS akhirnya menuruti permintaan tersebut pada 1975 sesuai dengan nasihat dari Henry Kissinger.[230] Pemerintah Kuba lalu melakukan restrukturisasi dengan mengikuti model Soviet, dan ia mengklaim bahwa hal ini akan semakin memperkuat demokratisasi dan mengurangi kekuasaan Castro. Ia lalu mengumandangkan secara resmi status Kuba sebagai sebuah negara sosialis. Kongres Nasional Partai Komunis Kuba yang pertama digelar, dan sebuah konstitusi baru yang menghapuskan jabatan Presiden dan Perdana Menteri juga diberlakukan. Namun demikian, Castro masih menjadi tokoh yang dominan di pemerintahan; ia menjadi kepala Dewan Negara dan Dewan Menteri yang baru saja dibentuk, sehingga ia menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.[231] KepresidenanPerang di luar negeri dan Kepresidenan GNB: 1975–1979Castro menganggap Afrika sebagai "titik terlemah imperialisme". Setelah diminta oleh Presiden Angola Agostinho Neto, ia mengirim 230 penasihat militer pada November 1975 untuk membantu organisasi Marxis MPLA yang dipimpin oleh Neto dalam Perang Saudara Angola. AS dan Afrika Selatan lalu memperkuat dukungan mereka kepada kelompok perlawanan FLNA dan UNITA, alhasil Castro memerintahkan agar 18.000 tentara diutus ke Angola.[232] Saat Castro mengunjungi Angola, ia bertemu dengan Neto, Sékou Touré, dan Presiden Guinea-Bissau Luís Cabral, dan mereka sepakat untuk mendukung pemerintahan Marxis–Leninis Mozambik melawan RENAMO dalam Perang Saudara Mozambik.[233] Pada bulan Februari, Castro mengunjungi Aljazair dan kemudian Libya. Di Libya, ia menghabiskan waktu selama sepuluh hari dengan Gaddafi dan menyaksikan pendirian sistem pemerintahan Jamahariyah, dan lalu ia menghadiri pertemuan dengan pemerintahan Marxis Yaman Selatan. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Somalia, Tanzania, Mozambik, dan Angola. Di Angola, ia disambut oleh kerumunan sebagai pahlawan, karena Kuba telah membantu mereka melawan Afrika Selatan.[234] Di Afrika, ia juga dianggap sebagai sahabat para pejuang kemerdekaan.[235] Setelah mengunjungi negara-negara tersebut, ia mendatangi Berlin dan Moskwa.[236]
— Pesan Fidel Castro kepada Majelis Umum PBB, 1979[237] Pada 1977, Somalia menyerang Etiopia untuk mengambil alih wilayah Ogaden; meskipun Castro pernah berhubungan dekat dengan Presiden Somalia Siad Barre, ia telah memperingatkannya mengenai dampak dari tindakan semacam itu. Pada akhirnya Kuba malah berpihak kepada pemerintahan Marxis Etiopia yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Ia mengirim pasukan di bawah komando Jenderal Arnaldo Ochoa untuk membantu Etiopia. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Somalia, Mengistu kemudian memerintahkan pasukan Etiopia untuk memberantas Front Pembebasan Rakyat Eritrea, tetapi Castro menolak mendukung tindakan tersebut.[238] Sementara itu, di Amerika Latin, Castro melayangkan dukungan kepada Front Pembebasan Nasional Sandinista dalam melengserkan pemerintahan sayap kanan Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua pada Juli 1979.[239] Namun, para pengkritik Castro merasa bahwa pemerintah telah menghambur-hamburkan nyawa tentara Kuba; Center for a Free Cuba yang anti-Castro mengklaim bahwa sekitar 14.000 pasukan Kuba tewas selama aksi-aksi militer Kuba di luar negeri.[240] Saat AS menegaskan bahwa Kuba tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan negara-negara tersebut, Castro membalasnya dengan mengatakan bahwa Kuba telah diundang ke sana, dan ia juga balik menunjuk kepada campur tangan AS di berbagai negara.[241] Pada 1979, Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) diadakan di Havana, dan Castro kemudian terpilih menjadi Presiden GNB, sebuah jabatan yang ia emban hingga 1982. Ia tampil di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober 1979 dalam kapasitasnya baik sebagai Presiden GNB maupun Kuba, dan di situ ia memberikan pidato tentang kesenjangan antara yang kaya dan miskin di dunia. Pidatonya disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari para pemimpin dunia,[242] meskipun kedudukannya di GNB rusak setelah Kuba menolak mengutuk campur tangan Soviet di Afganistan.[243] Sementara itu, hubungan Kuba dengan negara-negara Amerika Utara sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Luis Echeverría di Meksiko, Perdana Menteri Pierre Trudeau di Kanada,[244] dan Presiden Jimmy Carter di Amerika Serikat. Carter masih mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Kuba, tetapi pendekatannya lebih hormat, dan Castro pun menyadari hal ini. Castro menganggap Carter sebagai seorang presiden yang tulus dan beritikad baik, alhasil ia membebaskan beberapa tahanan politik dan mengizinkan beberapa orang Kuba di pengasingan mengunjungi kerabat mereka di Kuba, dengan harapan agar Carter mau mencabut embargo dan menghentikan dukungan CIA terhadap para pembangkang militan.[245] Di sisi lain, hubungannya dengan Tiongkok memburuk, karena ia menuduh pemerintahan Deng Xiaoping telah mencederai prinsip-prinsip revolusioner dengan mengadakan hubungan dagang dengan AS dan menyerang Vietnam.[246] Reagan dan Gorbachev: 1980–1989Pada era 1980-an, ekonomi Kuba kembali mengalami gonjang-ganjing akibat penurunan harga gula dan kegagalan panen pada 1979.[247] Untuk pertama kalinya, pengangguran menjadi masalah serius di Kuba pada masa kepemimpinan Castro, alhasil pemerintah mengirim para pemuda pengangguran ke negara-negara lainnya, terutama Jerman Timur, untuk bekerja di sana.[248] Kuba sangat membutuhkan uang, sehingga pemerintah secara diam-diam menjual lukisan-lukisan dari koleksi-koleksi nasional dan secara ilegal membeli barang-barang elektronik AS melalui Panama.[249] Jumlah orang Kuba yang lari ke Florida terus bertambah, dan mereka dicap "sampah" dan "lumpen" oleh Castro dan para pendukungnya.[250] Dalam suatu kejadian, 10.000 orang Kuba mendatangi Kedutaan Besar Peru untuk meminta suaka, dan akhirnya AS bersedia menerima 3.500 pengungsi. Castro lalu mengumumkan bahwa orang-orang yang ingin pergi dari Kuba dapat mendatangi pelabuhan Mariel. Ratusan perahu datang dari AS, dan kemudian 120.000 orang keluar dari Kuba; pemerintah Castro memanfaatkan keadaan tersebut dengan memasukkan para penjahat, orang sakit jiwa, dan terduga homoseksual ke dalam perahu-perahu yang akan menuju ke Florida.[251] Peristiwa tersebut merusak stabilitas pemerintahan Carter, dan pada 1981 Ronald Reagan terpilih menjadi Presiden AS. Pemerintahan Reagan mengambil pendekatan keras terhadap Castro, dan ia tidak menyembunyikan niatannya untuk melengserkan Castro.[252] Pada akhir 1981, Castro secara terbuka menuduh AS menggunakan senjata biologi untuk memicu wabah demam berdarah di Kuba.[253] Meskipun Castro membenci junta militer sayap kanan di Argentina, ia mendukung mereka dalam Perang Falkland pada 1982 dan menawarkan bantuan militer kepada Argentina.[254] Castro juga mendukung Gerakan New Jewel yang berhaluan kiri dan merebut kekuasaan di Grenada pada 1979. Castro bersahabat dengan Presiden Grenada Maurice Bishop dan mengirim dokter, guru, dan teknisi untuk membantu proses pembangunan negara tersebut. Pada Oktober 1983, terjadi sebuah kudeta yang dilancarkan oleh seorang Marxis garis keras yang bernama Bernard Coard yang didukung oleh Soviet, dan Bishop kemudian dihukum mati. Castro mengecam pembunuhan tersebut, tetapi ia masih mendukung pemerintahan Grenada. Namun, AS menjadikan kudeta tersebut sebagai dalih untuk menyerang pulau tersebut. Tentara-tentara Kuba tewas dalam konflik ini, dan Castro sendiri mengutuk serangan tersebut dan membandingkan AS dengan Jerman Nazi.[255] Dalam pidato peringatan 30 tahun Revolusi Kuba pada Juli 1983, Castro mengecam pemerintahan Reagan sebagai "kelompok reaksioner dan ekstremis" yang menjalankan "kebijakan luar negeri yang jelas-jelas fasis dan menghasut perang".[256] Castro takut bahwa AS juga akan menyerang Nikaragua, dan ia lalu mengutus Ochoa untuk membekali pasukan Sandinista dengan pelatihan perang gerilya, tetapi hal ini tidak terlalu didukung oleh Uni Soviet.[257] Pada 1985, Mikhail Gorbachev menjadi Sekretaris-Jenderal Partai Komunis Soviet. Sebagai seorang reformis, ia memutuskan untuk meningkatkan kebebasan pers (glasnost) dan desentralisasi ekonomi (perestroika) dalam upaya untuk memperkuat sosialisme. Seperti kritikus-kritikus Marxis lainnya, Castro khawatir bahwa reformasi tersebut akan melemahkan negara sosialis dan memberikan peluang kepada unsur-unsur kapitalis untuk meraih kekuasaan.[258] Gorbachev sendiri menerima tuntutan AS untuk mengurangi dukungan kepada Kuba,[259] sehingga hubungan Kuba dengan Soviet memburuk.[260] Saat Gorbachev mengunjungi Kuba pada April 1989, ia memberitahukan Castro bahwa perestroika akan mengakhiri pemberian subsidi kepada Kuba.[261] Castro mengabaikan seruan untuk melakukan liberalisasi seperti Gorbachev, dan ia malah semakin membungkam para pembangkang di dalam negeri dan terus mengawasi militer. Sejumlah perwira militer senior, termasuk Ochoa dan Tony de la Guardia, diselidiki atas tuduhan korupsi dan keterlibatan dalam kegiatan penyeludupan kokain. Meskipun muncul seruan untuk memberikan kelonggaran, mereka akhirnya diadili dan dihukum mati pada 1989.[262] Atas nasihat medis yang diberikan kepadanya pada Oktober 1985, Castro tidak lagi menghisap cerutu, dan ini menjadi contoh bagi rakyat Kuba yang lainnya.[263] Pada masa ini, Castro juga giat mengutuk permasalahan utang yang dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga, dan ia menyatakan bahwa negara-negara ini tak akan pernah dapat terlepas dari utang kepada bank-bank dan pemerintahan Dunia Pertama. Pada 1985, Havana menjadi tuan rumah lima konferensi internasional tentang masalah utang dunia.[249] Pada November 1987, situasi Perang Saudara Angola semakin menarik perhatian Castro, terutama mengingat bahwa kaum Marxis di situ sedang mengalami kekalahan. Presiden Angola José Eduardo dos Santos berhasil memperoleh lebih banyak pasukan dari Kuba, dan Castro belakangan mengakui bahwa ia lebih banyak memusatkan perhatiannya pada Angola daripada negaranya sendiri, karena ia berpegang teguh dengan keyakinan bahwa kemenangan di Angola akan berujung pada kejatuhan apartheid. Gorbachev menyerukan pengadaan perundingan untuk mengakhiri konflik tersebut, dan pada 1988 diadakanlah sebuah perbincangan antara Uni Soviet, AS, Kuba, dan Afrika Selatan; mereka sepakat agar semua pasukan asing ditarik dari Angola. Castro dibuat murka oleh pendekatan Gorbachev, karena Gorbachev dianggap telah menelantarkan kaum miskin di dunia demi détente dengan Amerika Serikat.[264] Pada rentang waktu 1989-1991, pemerintahan sosialis di Eropa Timur berjatuhan dan digantikan oleh pemerintahan kapitalis, dan banyak pengamat di Barat yang meyakini hal yang sama akan terjadi di Kuba.[265] Castro semakin terisolasi, sehingga ia memperkuat hubungannya dengan pemerintah sayap kanan Manuel Noriega di Panama (walaupun Castro secara pribadi membenci Noriega), tetapi upaya tersebut tidak lagi bermanfaat setelah AS menyerang Panama pada Desember 1989.[266] Pada Februari 1990, sekutu Castro di Nikaragua, yaitu Presiden Daniel Ortega dan kelompok Sandinista, kalah dalam pemilu melawan Persatuan Oposisi Nasional yang didanai AS.[267] Selain itu, akibat jatuhnya pemerintahan-pemerintahan sosialis, AS meraih suara mayoritas untuk meloloskan resolusi Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia di Kuba. Kuba menegaskan bahwa resolusi tersebut adalah perwujudan dari hegemoni AS, dan menolak mengizinkan delegasi penyelidik masuk ke wilayah Kuba.[268] Periode Istimewa: 1990–2000Setelah berakhirnya perdagangan dengan blok Soviet, Castro secara terbuka mengumandangkan bahwa Kuba memasuki "Periode Istimewa pada Masa Damai". Jatah minyak bumi berkurang drastis, sepeda-sepeda Tiongkok diimpor untuk menggantikan mobil-mobil, dan pabrik-pabrik yang dianggap kurang penting ditutup. Kerbau mulai menggantikan traktor, kayu bakar mulai digunakan untuk memasak, dan pemadaman listrik dapat berlangsung selama 16 jam dalam sehari. Castro mengakui bahwa Kuba sedang menghadapi keadaan terburuk dan mereka mungkin harus bergantung pada pertanian subsisten.[269] Ekonomi Kuba mengalami kemunduran sebesar 40% dalam rentang waktu dua tahun hingga 1992, dan persediaan pangan juga menipis, malagizi merebak, dan terjadi kekurangan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan dasar.[270] Castro berharap agar Marxisme-Leninisme ditegakkan kembali di Uni Soviet, tetapi ia tidak mendukung percobaan kudeta di negara tersebut pada 1991.[271] Setelah Gorbachev berhasil mempertahankan kekuasaannya, hubungan Kuba dengan Soviet semakin memburuk dan pasukan Soviet ditarik dari Kuba pada September 1991.[272] Pada bulan Desember, Uni Soviet secara resmi dibubarkan setelah Boris Yeltsin menutup Partai Komunis Uni Soviet dan memperkenalkan sistem demokrasi multipartai dengan ekonomi kapitalis. Yeltsin tidak menyukai Castro dan malah menjalin hubungan dengan Yayasan Nasional Kuba Amerika yang berbasis di Miami.[273] Alhasil Castro berupaya memperbaiki hubungannya dengan negara-negara kapitalis. Ia menyambut para politikus dan investor Barat yang datang ke Kuba, berteman dengan Manuel Fraga dari Spanyol, dan bahkan ia sangat tertarik dengan kebijakan-kebijakan Margaret Thatcher di Britania Raya, karena ia yakin bahwa sosialisme Kuba bisa belajar dari kebijakan penurunan pajak dan penggalakkan inisiatif individual yang diberlakukan oleh Thatcher.[274] Ia tidak lagi mendukung kelompok-kelompok militan asing, ia tidak memuji FARC saat mengunjungi Kolombia pada 1994, dan ia juga menyerukan perdamaian antara pasukan Zapatista dan pemerintah Meksiko pada 1995. Secara terbuka, ia menampilkan dirinya sebagai seorang moderat di pentas dunia.[275] Pada 1991, Havana menjadi tuan rumah Pan American Games, sehingga Kuba harus membangun sebuah stadion dan fasilitas akomodasi untuk para atlet. Castro mengakui bahwa tindakan tersebut merupakan suatu kesalahan, tetapi Kuba dianggap sukses sebagai tuan rumah. Kerumunan terus menerus meneriakkan "Fidel! Fidel!" di depan para jurnalis asing, sementara Kuba menjadi negara Amerika Latin pertama yang berhasil mengalahkan perolehan medali emas AS.[276] Dukungan untuk Castro masih kuat, dan meskipun terkadang diadakan ujuk rasa anti-pemerintah, kelompok oposisi Kuba menolak seruan pemberontakan dari komunitas pembangkang di pengasingan.[277] Pada Agustus 1994 di kota Havana, terjadi demonstrasi antri-Castro terbesar dalam sejarah Kuba. Terdapat 200 hingga 300 pemuda yang melempari batu ke arah polisi dan menuntut agar mereka diizinkan pindah ke Miami. Kerumunan pro-Castro yang jumlahnya lebih besar datang untuk menandingi mereka, dan Castro juga ikut dengan kerumunan tersebut; ia lalu memberitahukan kepada media bahwa para pemuda ini adalah orang-orang antisosial yang diperdaya oleh AS. Unjuk rasa ini pada akhirnya dibubarkan tanpa adanya korban luka-luka yang tercatat secara resmi.[278] Pemerintah merasa khawatir bahwa kelompok pembangkang akan melancarkan serangan dari luar negeri, sehingga mereka menerapkan strategi pertahanan "Perang Semesta"; kampanye gerilya massal juga disiapkan, dan para pengangguran diberikan pekerjaan membangun bunker-bunker dan terowongan-terowongan di berbagai wilayah Kuba.[279]
— Fidel Castro menjelaskan reformasi pada Periode Istimewa[280] Castro meyakini bahwa reformasi diperlukan jika sosialisme Kuba ingin tetap bertahan di dunia yang didominasi oleh pasar bebas kapitalis pada masa itu. Pada Oktober 1991, Kongres Partai Komunis Kuba Keempat diadakan di Santiago, dan kongres tersebut menghasilkan sejumlah perubahan besar terhadap pemerintahan. Castro akan mengundurkan diri dari jabatan kepala pemerintahan dan akan digantikan oleh Carlos Lage yang jauh lebih muda, meskipun Castro masih akan tetap menjadi kepala Partai Komunis dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Banyak anggota pemerintahan yang sudah tua yang akan dipensiunkan dan digantikan oleh orang-orang yang lebih muda. Sejumlah perubahan ekonomi diusulkan, dan kemudian akan dikonsultasikan kepada rakyat lewat referendum. Pasar petani bebas dan usaha swasta berskala kecil akan dilegalkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara dolar AS juga dijadikan alat bayar sah. Pembatasan terhadap emigrasi diringankan, sehingga semakin banyak orang Kuba yang pindah ke Amerika Serikat. Proses demokratisasi akan terus didorong dengan mengadakan pemilihan anggota Majelis Nasional secara langsung dan bukan lewat majelis kota praja atau provinsial. Castro mempersilakan perdebatan antara pendukung dan penentang reformasi, tetapi seiring berjalannya waktu ia menjadi semakin bersimpati dengan kelompok penentang.[281] Pemerintahan Castro mendiversifikasi ekonominya dengan mengembangkan sektor bioteknologi dan pariwisata, dan sektor pariwisata kemudian melampaui industri gula sebagai sumber pemasukan utama pada 1995.[282] Kedatangan ribuan wisatawan Meksiko dan Spanyol berujung pada peningkatan jumlah orang Kuba yang masuk ke dunia pelacuran; meskipun secara resmi ilegal, Castro berusaha menghindari penindakan pelacuran, karena khawatir akan terjadi kekisruhan politik.[283] Kesulitan ekonomi membuat banyak orang Kuba menjadi taat beragama, baik itu agama Katolik maupun Santería. Meskipun Castro sudah sejak lama memiliki keyakinan bahwa agama adalah suatu hal yang terbelakang, pendekatan Castro terhadap institusi-institusi agama tidak lagi sekeras sebelumnya, dan orang-orang beragama untuk pertama kalinya diperbolehkan bergabung dengan Partai Komunis.[284] Walaupun ia memandang Gereja Katolik Roma sebagai sebuah lembaga prokapitalis dan reaksioner, Castro menyambut kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Kuba pada Januari 1998; hal ini memperkuat posisi Gereja Kuba dan pemerintahan Castro.[285] Pada awal era 1990-an, Castro mencanangkan gerakan lingkungan hidup, berkampanye melawan pemanasan global dan penghambur-hamburan sumber daya alam, dan menuduh AS sebagai penghasil polusi utama di dunia.[286] Pada 1994, sebuah kementerian yang berfokus pada lingkungan hidup didirikan, dan hukum-hukum baru dikeluarkan pada 1997 yang mendorong kesadaran masalah-masalah lingkungan di seluruh Kuba dan menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.[287] Pada 2006, Kuba menjadi satu-satunya negara di dunia yang memenuhi definisi pembangunan berkelanjutan menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan jejak ekologi yang kurang dari 1,8 hektar per kapita dan Indeks Pengembangan Manusia sebesar lebih dari 0,8.[288] Castro juga menjadi pendukung gerakan anti-globalisasi, dan ia mengkritik hegemoni AS dan kekuasaan perusahaan multinasional di dunia.[286] Pada masa ini, Castro juga masih sangat anti-apartheid, dan pada perayaan 26 Juli 1991, aktivis politik Afrika Selatan Nelson Mandela (yang baru saja dikeluarkan dari penjara) naik ke atas panggung bersamanya. Mandela memuji keterlibatan Kuba dalam upaya melawan Afrika Selatan di Angola dan secara pribadi berterima kasih kepada Castro.[289] Ia kemudian menghadiri pelantikan Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994.[290] Pada 2001, ia menghadiri Konferensi Melawan Rasisme di Afrika Selatan, dan dalam ajang tersebut ia memberikan ceramah mengenai penyebaran stereotipe ras di dunia melalui film-film buatan AS.[286] Gelombang merah jambu: 2000–2006Meskipun dirundung masalah ekonomi, Kuba dibantu oleh terpilihnya tokoh sosialis dan anti-imperialis Hugo Chávez menjadi Presiden Venezuela pada 1999.[291] Castro dan Chávez memiliki hubungan yang erat, dan Castro bertindak bagaikan pembimbing dan figur ayah bagi Chávez,[292] dan bersama-sama mereka membentuk sebuah persekutuan yang sangat berdampak terhadap kawasan Amerika Latin.[293] Pada 2000, mereka menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Kuba akan mengirim 20.000 tenaga medis ke Venezuela, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh 53.000 barel minyak setiap harinya dengan harga yang lebih murah; pada 2004, perdagangan tersebut ditingkatkan, dengan Kuba mengirim 40.000 tenaga medis dan Venezuela menyediakan 90.000 barel setiap harinya.[294][295] Pada tahun yang sama, Castro memprakarsai Misión Milagro, yaitu sebuah proyek medis gabungan dengan Venezuela yang ditujukan untuk menyediakan operasi mata gratis kepada 300.000 orang dari masing-masing negara.[296] Persekutuan tersebut memperkuat ekonomi Kuba,[297] dan pada Mei 2005 Castro menggandakan upah minimum 1,6 juta buruh, menaikkan dana pensiun, dan mengirimkan peralatan dapur baru kepada para penduduk termiskin di Kuba.[291] Namun, permasalahan ekonomi masih belum sepenuhnya terselesaikan; pada 2004, Castro menutup 118 pabrik, termasuk pabrik baja, gula, dan pengolah kertas, akibat kekurangan bahan bakar.[298] Kuba dan Venezuela menjadi negara pendiri Alternatif Bolivaria bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA).[293] ALBA ditujukan untuk meredistribusikan kekayaan di seluruh negara anggotanya, melindungi pertanian di kawasan tersebut, dan menentang liberalisasi dan privatisasi ekonomi.[299] ALBA diawali dengan sebuah perjanjian pada Desember 2004 yang ditandatangani oleh kedua negara tersebut, dan diresmikan melalui Perjanjian Dagang Rakyat yang juga ditandatangani oleh Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales pada April 2006.[300] Castro juga menyerukan penggalakkan integrasi Karibia sejak akhir era 1990-an dan berkata bahwa hanya kerjasama yang lebih kuat di antara negara-negara Karibia yang akan menghindarkan mereka dari dominasi negara-negara kaya dalam ekonomi global.[301][302] Selain itu, Kuba membuka empat kedutaan besar baru di beberapa negara anggota Komunitas Karibia yang meliputi Antigua dan Barbuda, Dominika, Suriname, dan Saint Vincent dan Grenadine. Alhasil Kuba menjadi satu-satunya negara yang memiliki kedutaan besar di semua negara merdeka yang merupakan anggota Komunitas Karibia.[303] Meskipun hubungan Kuba dengan sejumlah negara-negara Amerika Latin yang beraliran kiri terus membaik, pada 2004 negara tersebut memutus hubungan diplomatik dengan Panama setelah Presiden Mireya Moscoso yang berhaluan tengah mengampuni empat orang Kuba di pengasingan yang dituduh pernah mencoba membunuh Castro pada 2000. Hubungan diplomatik dipulihkan kembali pada 2005 setelah terpilihnya presiden Martín Torrijos yang berhaluan kiri.[304] Selain itu, Castro juga masih terus bermusuhan dengan AS. Namun, setelah Badai Michelle pada 2001 mengakibatkan kerusakan besar, Castro berhasil membuat kesepakatan pembelian pangan dari AS, walaupun ia menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari negara tersebut.[305] Castro menyatakan rasa solidaritasnya kepada AS setelah terjadinya serangan 11 September 2001, dan ia juga mengutuk Al-Qaeda dan menawarkan bandara-bandara Kuba sebagai tempat pendaratan darurat bagi pesawat-pesawat AS. Ia sadar bahwa serangan tersebut akan membuat kebijakan luar negeri AS menjadi lebih agresif, dan menurutnya kebijakan semacam itu bersifat kontra-produktif.[306] Sementara itu, pada 1998, Perdana Menteri Kanada Jean Chrétien tiba di Kuba untuk menemui Castro. Ia menjadi pemimpin pemerintahan Kanada pertama yang mengunjungi pulau tersebut semenjak Pierre Trudeau berkunjung ke Havana pada 1976.[307] Pada 2002, mantan Presiden AS Jimmy Carter mengunjungi Kuba, tetapi di situ ia menyoroti ketiadaan kebebasan sipil di negara tersebut dan menyerukan kepada pemerintah Kuba untuk memperhatikan Proyek Varela yang diprakarsai oleh Oswaldo Payá.[308] Tahun-tahun akhirMengundurkan diri 2006–2008Setelah sempat dioperasi akibat pendarahan usus,[309] pada 31 Juli 2006 Castro menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya kepada Raúl Castro.[310] Pada Februari 2007, Raúl mengumumkan bahwa kesehatan Fidel telah membaik dan Castro kembali membantu pemerintahan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang penting.[311] Pada 21 April, Castro bertemu dengan Wu Guanzheng dari Politbiro Partai Komunis Tiongkok.[312] Hugo Chávez mengunjungi Castro pada bulan Agustus,[313] dan Morales juga mendatanginya pada bulan September.[314] Pada bulan yang sama, Gerakan Non-Blok mengadakan KTT ke-14 di Havana, dan selama pertemuan tersebut organisasi ini sepakat untuk mengangkat Castro sebagai presiden organisasi tersebut selama setahun.[315] Saat mengomentari proses pemulihan Castro, Presiden AS George W. Bush berkata: "Suatu hari, Allah yang baik akan membawa pergi Fidel Castro." Setelah mendengar pernyataan ini, Castro yang merupakan seorang ateis berbalik menjawab: "Sekarang aku mengerti kenapa aku selamat dari rencana Bush dan presiden-presiden lainnya yang memerintahkan agar aku dibunuh: Allah yang baik melindungiku."[316] Dalam sebuah surat yang berasal dari Februari 2008, Castro mengumumkan bahwa ia tidak akan menerima jabatan Presiden Dewan Negara dan Panglima Tertinggi,[317] dan ia berkata, "Hati nuraniku akan terganggu jika saya mengemban tanggung jawab yang membutuhkan pergerakan dan pengabdian penuh, karena kondisi fisikku tidak mencukupi".[318] Pada 24 Februari 2008, Majelis Kekuatan Rakyat Nasional memilih Raúl sebagai presiden.[319] Raúl sendiri mengatakan bahwa kakaknya "tak tergantikan", dan ia mengusulkan agar Fidel tetap dimintai nasihatnya terkait dengan permasalahan-permasalahan yang genting; usulan ini disetujui oleh 597 anggota Majelis Nasional.[320] Masa pensiun: 2008–2016Setelah memasuki masa pensiun, kesehatan Castro memburuk; pers internasional menduga bahwa ia terserang divertikulitis, tetapi pemerintah Kuba menolak membenarkan dugaan tersebut.[321] Ia masih berinteraksi dengan rakyat Kuba, menerbitkan sebuah kolom opini yang berjudul "Refleksi" di koran Granma, dan memberikan ceramah publik.[321] Pada Januari 2009, Castro meminta kepada rakyat Kuba agar tidak khawatir dengan kondisi kesehatannya yang memburuk, dan agar tidak terpukul jika ia harus menjemput ajal.[322] Ia masih bertemu dengan pemimpin dan tamu asing, dan pada bulan yang sama foto-foto pertemuan Castro dengan Presiden Argentina Cristina Fernández dirilis.[323] Pada Juli 2010, ia muncul di muka umum untuk pertama kalinya semenjak ia jatuh sakit. Ia menyambut para pekerja pusat sains dan memberikan sebuah wawancara televisi kepada Mesa Redonda. Di dalam wawancara tersebut, ia membahas ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara.[324] Pada 7 Agustus 2010, Castro menyampaikan ceramah pertamanya di hadapan Majelis Nasional dalam rentang waktu empat tahun terakhir, dan ia menyerukan kepada AS agar tidak menyerang negara-negara tersebut dan juga memperingatkan AS akan bahaya holokaus nuklir.[325] Saat ditanya apakah Castro akan kembali ke pemerintahan, Menteri Kebudayaan Abel Prieto berkata kepada BBC, "Saya rasa ia selalu ada dalam kehidupan politik Kuba meskipun ia tidak dalam pemerintahan ... Ia sangat berhati-hati terkait dengan hal tersebut. Perjuangan besarnya adalah urusan internasional."[326] Pada 19 April 2011, Castro mengundurkan diri dari komite pusat Partai Komunis,[327] sehingga ia tidak lagi menjadi pemimpin partai. Raúl kemudian terpilih menjadi penerusnya.[328] Pada Maret 2011, Castro mengecam intervensi militer NATO di Libya.[329] Pada Maret 2012, Paus Benediktus XVI mengunjungi Kuba selama tiga hari, dan selama kunjungan tersebut Paus sempat bertemu dengan Castro, meskipun Paus sebelumnya lantang bersuara menentang pemerintahan Kuba.[321][330] Belakangan, pada tahun yang sama, telah terkuak bahwa Castro dan Hugo Chávez berperan penting dalam mengatur perundingan antara pemerintah Kolombia dengan kelompok gerilyawan yang berhaluan kiri jauh, FARC, untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi sejak 1964.[331] Kemudian, selama terjadinya Krisis Korea Utara 2013, ia meminta agar pemerintah Korea Utara dan AS menahan diri. Ia menganggap krisis tersebut sebagai keadaan yang "sulit dipercaya dan konyol", dan menurutnya perang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.[332] Pada Desember 2014, Castro dianugerahi Penghargaan Perdamaian Konghucu dari Tiongkok atas upayanya untuk mencari solusi damai dengan AS dan juga atas upayanya setelah ia pensiun untuk mencegah perang nuklir.[333] Pada Januari 2015, ia secara terbuka menanggapi "Pencairan Kuba", yaitu normalisasi hubungan AS dengan Kuba, dengan menyatakan bahwa meskipun hal tersebut merupakan langkah positif untuk menegakkan perdamaian di kawasan tersebut, ia masih tidak percaya dengan pemerintah AS.[334] Ia tidak bertemu dengan Presiden AS Barack Obama saat Obama berkunjung ke Kuba pada Maret 2016, walaupun ia mengirimkannya sebuah surat yang menyatakan bahwa Kuba "tak butuh hadiah dari kekaisaran".[335] Pada bulan April, ia muncul di muka umum dengan menyampaikan pidato di hadapan Partai Komunis. Ia menyadari bahwa tidak lama lagi ia akan tutup usia, tetapi ia meminta kepada pada hadirin untuk tetap mempertahankan idealisme komunis mereka.[336] Pada September 2016, Castro dikunjungi di rumahnya di Havana oleh Presiden Iran Hassan Rouhani,[337] dan kemudian pada bulan yang sama ia dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang Shinzō Abe.[338] KematianStasiun televisi pemerintah mengumumkan bahwa Castro menjemput ajal pada malam tanggal 25 November 2016.[339] Penyebab kematiannya tidak dijelaskan.[340] Presiden Raúl Castro memastikan kebenaran kabar tersebut dengan mengeluarkan sebuah pernyataan singkat: "Komandan utama revolusi Kuba meninggal malam ini pada pukul 22.29".[341] Castro tutup usia hanya dalam selang waktu sembilan bulan setelah kakaknya, Ramón, meninggal pada umur 91 tahun pada bulan Februari.[342] Jenazah Castro dikremasi pada 26 November 2016.[341] Prosesi pemakaman berlangsung di jalan tol utama Kuba dan menempuh jarak hingga 900 kilometer untuk mengikuti rute "Karavan Kebebasan" pada Januari 1959; setelah masa berkabung selama sembilan hari,[343] abunya dikubur di Pemakaman Santa Ifigenia, Santiago de Cuba.[344] IdeologiCastro menyatakan dirinya sebagai "seorang sosialis, Marxis, dan Leninis",[345] dan ia mulai mengakui identitas Marxis–Leninis secara terbuka pada permulaan Desember 1961.[346] Sebagai seorang Marxis, Castro berusaha mengubah Kuba dari negara kapitalis yang didominasi oleh imperialisme asing menjadi masyarakat sosialis dan pada akhirnya menjadi masyarakat komunis. Dengan pengaruh dari Guevara, ia berkesimpulan bahwa Kuba tidak perlu melewati tahap-tahap sosialisme dan dapat langsung bergerak menuju komunisme.[207] Namun, Revolusi Kuba sebenarnya tidak sejalan dengan asumsi dasar Marxisme bahwa sosialisme akan diwujudkan melalui revolusi proletar, karena kekuatan-kekuatan yang berada di balik penumbangan Batista berasal dari kelas menengah Kuba.[347] Menurut Castro, suatu negara hanya dapat dianggap sosialis jika alat-alat produksi dikendalikan oleh negara. Maka dari itu, pemahaman sosialisme menurut Castro tidak terlalu berpusat pada siapa yang mengendalikan kekuasaan di suatu negara, tetapi lebih kepada metode distribusinya.[348] Pemerintahan Castro juga bersifat nasionalis, dan Castro mengumandangkan, "Kami tak hanya Marxis-Leninis, tetapi juga nasionalis dan patriotik".[349] Sejarawan Richard Gott berkomentar bahwa salah satu kunci keberhasilan Castro adalah kemampuannya dalam memanfaatkan tema sosialisme dan nasionalisme.[350] Castro sendiri menganggap Karl Marx dan José Martí sebagai dua tokoh yang sangat memengaruhi pemikiran politiknya,[351] meskipun Gott meyakini bahwa Martí pada akhirnya jauh lebih berpengaruh ketimbang Marx.[350] Castro menganggap gagasan politik Martí sebagai "sebuah filsafat kemerdekaan serta filsafat humanistik yang luar biasa",[352] dan para pendukungnya berulang kali mengklaim bahwa Castro dan Martí memiliki banyak kesamaan.[353] Seorang penulis biografi Castro yang bernama Volka Skierka menyebut pemerintahan Castro sebagai "sistem "fidelista" yang sangat individual dan sosialis-nasionalis",[354] sementara Theodore Draper mengistilahkan pandangan politik Castro sebagai "Castroisme" dan menganggapnya sebagai perpaduan sosialisme Eropa dengan tradisi revolusioner Amerika Latin.[355] Pakar politik Paul C. Sondrol telah mendeskripsikan pandangan politik Castro sebagai "utopianisme totalitarian",[356] dengan gaya kepemimpinan yang mempergunakan fenomena caudillo di Amerika Latin.[357] Ia juga banyak terilhami dari gerakan-gerakan anti-imperialis di Amerika Latin pada era 1930-an dan 1940-an, termasuk Juan Perón di Argentina dan Jacobo Árbenz di Guatemala.[358] Terkait dengan isu-isu sosial, pandangan Castro relatif konservatif dalam berbagai hal, seperti penolakan terhadap penggunaan narkoba, judi, dan pelacuran, yang ia pandang sebagai kejahatan moral. Selain itu, ia menganjurkan kerja keras, nilai keluarga, integritas, dan disiplin diri.[359] Walaupun pemerintahannya pernah menindas homoseksualitas selama beberapa dasawarsa, dalam sebuah wawancara dengan koran Meksiko La Jornada pada 2010, ia mengaku bertanggung jawab atas segala tindakan penindasan terhadap kaum homoseksual, yang ia sesali sebagai sebuah "ketidakadilan yang besar".[360] Kehidupan pribadi dan publik
– Wayne S. Smith, Kepala Seksi Kepentingan AS di Havana dari 1979 sampai 1982, pada 2007[361] Leycester Coltman mendeskripsikan Castro sebagai orang yang "sangat rajin", "berdedikasi", "setia", dan "murah hati", meskipun Coltman juga mengamati bahwa Castro dapat menjadi pribadi yang "pendendam dan tak kenal ampun". Ia menegaskan bahwa Castro "selalu memiliki selera humor yang tinggi dan bisa menertawai dirinya sendiri", tetapi ia juga dapat menjadi "seorang pecundang" yang akan "mengamuk jika ia merasa dipermalukan".[362] Castro dikenal karena ia bisa naik darah dan membuat "keputusan mendadak" yang tidak dapat diganggu gugat.[363] Peter Bourne menyatakan bahwa Castro "tidak sabaran", dan pada masa mudanya ia tidak toleran dengan orang-orang yang tidak sepemahaman.[364] Ia mengklaim bahwa Castro senang bertemu dengan rakyat jelata, baik di Kuba maupun di luar negeri, tetapi sikapnya terhadap rakyat Kuba bersifat "keayahan", sehingga mereka dianggap seolah seperti bagian dari keluarga raksasanya.[365] Sejarawan Inggris Alex von Tunzelmann berkomentar bahwa "meskipun kejam, [Castro] adalah seorang patriot, seorang pria dengan keyakinan yang mendalam bahwa misinya adalah untuk menyelamatkan rakyat Kuba".[366] Sementara itu, Balfour menggambarkan Castro sebagai orang yang "rakus akan pengetahuan" dan "ingatan yang sangat besar", sehingga ia dapat berpidato selama berjam-jam mengenai subjek yang bermacam-macam.[367] Castro dikenal akan jam kerjanya yang sibuk dan ia sering kali baru tidur pada pukul 3 atau 4 pagi.[368] Ia lebih suka mengadakan pertemuan dengan diplomat-diplomat asing pada dini hari, karena ia yakin bahwa mereka akan kelelahan, sehingga ia akan lebih unggul dalam proses perundingan.[369] Castro menyebut Ernest Hemingway sebagai penulis favoritnya,[370] dan ia sendiri gemar membaca namun tidak suka dengan musik.[263] Sebagai seorang penggemar olahraga, ia sering melakukan latihan jasmani agar tetap bugar.[263] Ia sangat menyukai gastronomi, serta wine dan wiski, dan ia sering mendatangi dapurnya untuk membahas seni memasak dengan para kokinya.[263] Castro juga sangat menggandrungi pistol,[371] dan ia lebih suka tinggal di pedesaan daripada perkotaan.[372] Meskipun berbagai sumber menyatakan bahwa Castro tidak pernah memperkaya dirinya sendiri dan malah hidup lebih sederhana daripada kebanyakan presiden di Amerika Latin,[356] salah satu mantan pengawalnya yang bernama Juan Reinaldo Sánchez mengatakan bahwa Castro hidup mewah dan memiliki beberapa rumah dan kapal yacht yang ia sembunyikan dari masyarakat.[373] Pada 2006, Forbes juga memperkirakan bahwa kekayaan bersihnya mencapai $900 juta.[374] Latar belakang agama Fidel Castro telah menjadi bahan perdebatan; ia dibaptis dan dibesarkan sebagai seorang Katolik, tetapi kemudian ia menyatakan dirinya sebagai seorang ateis. Ia mengkritik penggunaan Alkitab untuk membenarkan penindasan kaum wanita dan orang Afrika,[375] namun menyatakan bahwa Kekristenan memiliki "sejumlah ajaran yang sangat manusiawi" yang memberikan "nilai-nilai etika" dan "rasa keadilan sosial" kepada dunia. Ia bahkan pernah berkata bahwa "Jika orang-orang memanggilku Kristen, bukan dari sudut pandang agama namun dari sudut pandang sosial, [maka] Aku menyatakan bahwa aku seorang Kristen."[376] Ia mendukung gagasan bahwa Yesus Kristus adalah seorang komunis, dengan mengutip kisah "Yesus memberi makan lima ribu orang" dan "Yesus dan pria muda yang kaya raya" sebagai buktinya.[377] Citra publikPakar politik Paul C. Sondrol menganggap Castro sebagai seseorang yang "pada dasarnya totalitarian dalam daya tarik karismatiknya, peran publik dan jabatannya yang utopis, serta penggunaan kekuasaan olehnya yang transformatif".[378] Tak seperti sejumlah pemimpin komunis era Soviet lainnya, pemerintahan Castro tidak pernah berniat membentuk kultus kepribadian terhadap dirinya, meskipun ketenarannya membuat kultus semacam itu muncul di berbagai kalangan masyarakat pada tahun-tahun awal masa pemerintahannya.[379] Pada 2006, BBC mengabarkan bahwa gambar Castro dapat ditemui dalam toko-toko, ruang-ruang kelas, mobil-mobil taksi, dan televisi nasional Kuba.[380] Sepanjang masa pemerintahannya, banyak pendukungnya yang berkumpul untuk menyambut pidato-pidato Castro yang berapi-api, yang biasanya berlangsung selama berjam-jam dan disampaikan tanpa menggunakan catatan tertulis.[381] Pada saat berpidato, Castro biasanya mengutip laporan-laporan dan buku-buku yang ia baca tentang beragam subjek, seperti militer, budidaya tanaman, pembuatan film, dan strategi-strategi catur.[382] Selama 37 tahun, Castro hanya mengenakan seragam militer berwarna hijau zaitun di muka umum, yang merupakan simbol perannya sebagai seorang revolusioner abadi, tetapi pada pertengahan era 1990-an ia mulai menggunakan seragam sipil berwarna gelap dan juga guayabera.[383] Di Kuba, Castro sering dipanggil "El Caballo" ("Kuda"), sebuah julukan yang mungkin dicetuskan oleh Benny Moré saat sedang menyebut sifat Castro yang suka berselingkuh pada era 1950-an dan awal 1960-an,[384] dan pada masa itu, Castro memang banyak diakui sebagai simbol seks di Kuba.[385] Castro juga sering kali dijuluki "El Comandante" ("Sang Komandan").[386] Keluarga dan sahabatTidak banyak yang diketahui mengenai rincian kehidupan pribadi Castro, terutama yang berhubungan dengan anggota keluarganya, karena informasi semacam itu disensor oleh media negara.[387][388] Istri pertama Castro adalah Mirta Díaz-Balart, dan mereka menikah pada Oktober 1948. Mereka dikaruniai seorang anak yang bernama Fidel Ángel "Fidelito" Castro Díaz-Balart, yang lahir pada September 1949. Díaz-Balart dan Castro bercerai pada 1955, dan Díaz-Balart lalu pindah ke Spanyol, meskipun ia dilaporkan telah kembali ke Kuba pada 2002 untuk tinggal dengan Fidelito.[389] Fidelito dibesarkan di Kuba, dan ia pernah menjalankan komisi energi atom Kuba sebelum akhirnya dicopot oleh ayahnya.[390] Ia bunuh diri pada Februari 2018, lebih dari setahun setelah kematian ayahnya.[391] Saat masih berumah tangga dengan Mirta, Fidel pernah berselingkuh dengan Natalia "Naty" Revuelta Clews, dan dari hubungan ini lahir seorang putri yang bernama Alina Fernández Revuelta.[390] Alina meninggalkan Kuba pada 1993 dengan menyamar sebagai seorang wisatawan Spanyol,[392] dan lalu ia meminta suaka ke AS; di situ ia menjadi pengkritik kebijakan-kebijakan ayahnya.[393] Castro pernah menjalin hubungan di luar nikah dengan seorang wanita yang tidak diketahui namanya, dan mereka dikaruniai seorang putra yang bernama Jorge Ángel Castro. Fidel juga memiliki memiliki satu putri lagi yang merupakan hasil dari hubungan satu malam, yatu Francisca Pupo (kelahiran 1953). Pupo dan suaminya sekarang tinggal di Miami.[394] Castro sering melakukan hubungan satu malam dengan wanita,[395] beberapa di antaranya bahkan sudah dipilih secara khusus untuknya saat ia sedang mengunjungi negara-negara sahabat.[396] Fidel dikaruniai lima anak laki-laki dari istri keduanya, Dalia Soto del Valle; lima anak tersebut adalah Antonio, Alejandro, Alexis, Alexander "Alex", dan Ángel Castro Soto del Valle.[390] Adik perempuannya yang bernama Juanita Castro tinggal di Amerika Serikat sejak era 1960-an dan menjadi penentang rezim kakaknya.[397] Saat berkuasa, dua sahabat laki-laki terdekat Castro adalah mantan Wali Kota Havana Pepín Naranjo dan dokter pribadi Castro, René Vallejo.[385] Dari 1980 sampai kematiannya pada 1995, Naranjo mengepalai tim penasihat Castro.[398] Castro juga menjalin hubungan persahabatan dengan tokoh revolusioner sejawatnya, Celia Sánchez, yang mengikutinya hampir ke mana pun pada era 1960-an, dan mengendalikan siapa yang dapat bertemu dengan Castro.[399] Selain itu, Castro bersahabat dengan seorang pujangga Kolombia yang bernama Gabriel García Márquez.[400] Tanggapan dan tinggalan sejarah
— Peter Bourne, penulis biografi Castro, 1986[401] Sebagai salah satu tokoh politik yang paling kontroversial pada masanya,[402] Castro telah menginspirasi sekaligus menimbulkan kecemasan di benak orang-orang.[403] The Observer mengamati bahwa meskipun Castro sudah meninggal, ia tetap menjadi tokoh yang menimbulkan perdebatan sengit, dan satu-satunya hal yang dapat disepakati oleh musuh sekaligus pengagumnya adalah bahwa ia adalah tokoh yang "menjulang tinggi" di panggung dunia, yang "mengubah sebuah pulau kecil di Karibia menjadi kekuatan besar dalam urusan dunia".[404] The Daily Telegraph menyatakan bahwa di seluruh dunia, ia "dipuji sebagai seorang pahlawan rakyat yang pemberani, atau dicibir sebagai seorang diktator yang gila kekuasaan."[405] Sejarawan dan jurnalis Richard Gott menganggap Castro sebagai "salah satu tokoh politik paling luar biasa pada abad kedua puluh", dan Gott juga menambahkan bahwa Castro telah menjadi "pahlawan dunia yang menyerupai Garibaldi" bagi masyarakat di negara-negara berkembang berkat pendekatan anti-imperialisnya.[406] Bourne menggambarkan Castro sebagai "seorang pemimpin dunia yang berpengaruh", yang berhasil memperoleh "penghormatan yang besar" dari orang-orang dengan berbagai macam latar belakang ideologi di negara berkembang.[401] Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut Castro sebagai "teman Rusia yang tulus dan dapat diandalkan" dan "simbol dari sebuah zaman", sementara Presiden Tiongkok Xi Jinping juga menganggapnya sebagai "kamerad dekat dan teman tulus" Tiongkok.[407] Perdana Menteri India Narendra Modi menjulukinya "salah satu tokoh paling ikonik pada abad ke-20" dan seorang "teman yang baik", sementara Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma memuji Castro karena telah membantu kaum kulit hitam Afrika Selatan dalam "perjuangan kami melawan apartheid".[407] Wayne S. Smith, mantan Kepala Seksi Kepentingan Amerika Serikat di Havana, menyatakan bahwa tindakan Castro yang berani menentang dominasi AS dan mengubah Kuba menjadi negara yang aktif di kancah dunia telah membuatnya disambut dengan baik di Belahan Barat.[361] Castro sendiri telah dianugerahi beragam penghargaan dan gelar kehormatan dari pemerintah-pemerintah asing, dan disebut sebagai inspirasi bagi para pemimpin asing seperti Ahmed Ben Bella[408] dan Nelson Mandela.[409] Mandela kemudian menganugerahinya dengan penghargaan sipil tertinggi di Afrika Selatan untuk orang asing, Ordo Harapan Baik.[410] Selain itu, Presiden Bolivia Evo Morales menyebutnya sebagai "kakek bagi semua pejuang revolusi Amerika Latin".[411] Di sisi lain, Castro menuai banyak kritikan dari pemerintahan dan organsiasi HAM di Barat, terutama di AS.[412] Ia dicap sebagai "diktator" oleh beberapa pakar politik.[a] Setelah kematian Castro, Presiden Terpilih AS Donald Trump menyebutnya sebagai seorang "diktator yang brutal",[415] sementara politikus Kuba-Amerika Marco Rubio menganggapnya sebagai "seorang diktator pembunuh dan jahat" yang mengubah Kuba menjadi "sebuah penjara pulau yang miskin".[416] Castro secara terbuka menolak cap "diktator", dan menyatakan bahwa kewenangannya secara konstitusional tidaklah sebesar sebagian besar kepala negara di wilayah-wilayah lain, dan ia mengklaim bahwa rezimnya membuka lebih banyak ruang demokratis dalam proses pengambilan kebijakan ketimbang negara-negara demokrasi liberal Barat.[417] Walaupun begitu, para kritikus menyatakan bahwa Castro secara tidak resmi sangatlah berpengaruh terhadap pemerintahan di Kuba.[418] Quirk mengamati bahwa Castro memegang "kekuasaan mutlak" di Kuba, meskipun tidak secara hukum dan konstitusional,[419] sementara Bourne mengklaim bahwa kekuasaan di Kuba "seluruhnya dipegang" oleh Castro,[420] dan ia menambahkan bahwa sangat jarang ada "suatu negara dan bangsa" yang sangat didominasi oleh "kepribadian satu orang".[421] Sondrol berkesimpulan bahwa gaya kepemimpinan Castro di dalam "sebuah sistem politik yang kebanyakan diciptakan olehnya" dapat disandingkan dengan gaya para pemimpin totalitarian seperti Mao Zedong, Hideki Tojo, Joseph Stalin, Adolf Hitler, dan Benito Mussolini.[422] Amnesty International sendiri berpendapat bahwa meskipun masih ada tokoh-tokoh politik lain yang lebih kontroversial ketimbang Castro, mereka menganggapnya sebagai "seorang pemimpin yang progresif namun penuh cacat". Menurut mereka, ia perlu "dihargai" karena pemerintahannya telah meningkatkan pendidikan dan kesehatan di negaranya, tetapi juga mengkritiknya karena telah melakukan "penindasan kebebasan berekspresi secara kejam."[423] Sementara itu, Human Rights Watch menyatakan bahwa pemerintahan Castro telah mendirikan sebuah "mesin penindasan" yang melanggar "hak-hak dasar" rakyat Cuba.[424] Di sisi lain, Castro berusaha membela rekam jejak HAM pemerintahannya dengan mengatakan bahwa negara terpaksa membatasi kebebasan individu dan menjebloskan mereka yang kontra-revolusi ke penjara untuk melindungi hak warga secara kolektif, seperti hak untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.[425] CatatanCatatan kaki
Daftar pustaka
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|