Halaman ini berisi artikel tentang penundaan perpindahan individu yang diduga sakit. Untuk pemisahan pasien yang sakit, lihat isolasi (medis).
Karantina merupakan suatu intervensi epidemiologis yang menunda perpindahan orang dan barang selama periode waktu tertentu untuk mencegah penularan penyakit. Karantina identik dengan pengasingan terhadap orang atau benda yang akan melintasi perbatasan suatu negara atau wilayah. Dalam masa pengasingan, biasanya di area atau di sekitar pelabuhan atau bandara, dilakukan observasi dan pemeriksaan kesehatan. Masa karantina berakhir apabila diagnosis yang pasti telah diperoleh. Meskipun maknanya berbeda, istilah karantina sering kali disamakan dengan isolasi medis, yaitu pemisahan individu yang menderita penyakit menular dengan populasi lain yang masih sehat.[1][2] Walaupun pada awalnya karantina dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit pada manusia, tetapi pada perkembangan selanjutnya, konsep karantina juga digunakan untuk mencegah penyebaran penyakit hewan dan penyakit tumbuhan.
Etimologi dan terminologi
Kata karantina berasal dari quarantena, yang berarti "empat puluh hari", yang digunakan dalam bahasa Venesia abad ke-14 dan ke-15 yang merujuk pada periode yang dipersyaratkan bagi semua kapal untuk diisolasi sebelum penumpang dan kru dapat berlabuh di pantai selama epidemi Maut Hitam. Istilah ini muncul untuk merevisi trentino, atau periode isolasi tiga puluh hari, yang pertama kali dikenakan pada tahun 1377 di Republik Ragusa, Dalmatia (sekarang Dubrovnik di Kroasia).[3][4][5][6]
Kamus Merriam-Webster memberikan berbagai makna terhadap karantina sebagai kata benda, termasuk "periode 40 hari", beberapa definisi yang berkaitan dengan kapal, "pemberlakuan keadaan isolasi", dan sebagai "pembatasan perpindahan orang dan barang yang dimaksudkan untuk mencegah penyebaran penyakit atau hama". Kata karantina juga digunakan sebagai kata kerja.[7]
Karantina berbeda dengan isolasi medis, yaitu isolasi atau pemisahan terhadap mereka yang dikonfirmasi menderita penyakit menular dari populasi yang sehat.[1] Di sisi lain, karantina dapat digunakan secara bergantian dengan cordon sanitaire, dan meskipun kedua istilah tersebut terkait, cordon sanitaire mengacu pada pembatasan perpindahan orang ke atau keluar dari area geografis yang ditentukan, seperti komunitas, untuk mencegah infeksi agar tidak menyebar.[8]
Sejarah
Zaman kuno
Penyebutan awal untuk isolasi penyakit ditemukan dalam Kitab Imamat, yang ditulis pada abad ketujuh SM atau mungkin sebelumnya, yang menggambarkan prosedur untuk memisahkan orang yang terinfeksi untuk mencegah penyebaran penyakit di bawah Hukum Musa:
"Jika cahaya pada kulit berwarna putih tetapi tidak terlihat lebih dari kulit dalam dan rambut di dalamnya pun belum memutih, imam harus mengisolasi orang yang terkena selama tujuh hari. Pada hari ketujuh imam harus memeriksanya, dan jika ia melihat bahwa luka tidak berubah dan belum menyebar di kulit, dia harus mengisolasinya selama tujuh hari lagi.[9][butuh sumber nonprimer][10]"
Dunia Islam Abad Pertengahan
Nabi Muhammad menganjurkan untuk memisahkan orang sehat dan sakit: "Jangan mencampurkan yang sakit dengan yang sehat."[11][12][13] Selain itu, Muhammad juga memerintahkan untuk tidak bepergian dalam kondisi wabah: "Jika kalian mendengar wabah di suatu negeri, janganlah kalian memasukinya, tapi jika terjadi wabah di negeri yang kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu."[11][14][15]
Ibnu Sina juga merekomendasikan karantina untuk pasien dengan penyakit menular, terutama tuberkulosis.[16]
Karantina rumah sakit diwajibkan bagi kelompok pasien khusus, termasuk penderita kusta, yang dimulai sejak awal sejarah Islam.[17] Antara 706 dan 707, khalifahUmayyah keenam Al-Walid I membangun rumah sakit pertama di Damaskus dan mengeluarkan perintah untuk mengisolasi mereka yang terinfeksi kusta dari pasien lain di rumah sakit.[18][19][20] Praktik karantina wajib bagi penderita kusta di rumah sakit umum ini berlanjut sampai tahun 1431, ketika Kesultanan Utsmaniyah membangun rumah sakit kusta di Edirne. Penerapan karantina dilakukan di seluruh dunia Muslim, dengan bukti karantina komunitas secara sukarela dalam beberapa insiden yang dilaporkan ini. Karantina komunitas sukarela yang pertama kali didokumentasikan didirikan oleh reformasi karantina Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1838.[21]
Eropa Abad Pertengahan
Kata "karantina" berasal dari quarantena, bentuk bahasa Venesia yang berarti "empat puluh hari".[5][22] Istilah ini berasal dari isolasi kapal selama 40 hari dalam rangka praktik pencegahan penyakit pes.[22] Antara 1348 dan 1359, Maut Hitam memusnahkan sekitar 30% populasi Eropa dan persentase yang signifikan dari populasi Asia.[22] Bencana penyakit seperti ini membuat pemerintah menetapkan langkah-langkah pengendalian untuk menangani epidemi berulang.[22] Sebuah dokumen dari tahun 1377 menyatakan bahwa sebelum memasuki negara-kota Republik Ragusa di Dalmasia (sekarang Dubrovnik di Kroasia), para pendatang harus menghabiskan 30 hari (trentine) di tempat terbatas (awalnya pulau terdekat), menunggu untuk melihat apakah gejala Maut Hitam akan berkembang.[22] Pada 1448 Senat Venesia memperpanjang masa tunggu hingga 40 hari sehingga melahirkan istilah "karantina".[3] Karantina empat puluh hari terbukti menjadi formula yang efektif untuk menangani wabah pes. Dubrovnik adalah kota pertama di Eropa yang membuat situs karantina seperti Lazareto Dubrovnik, tempat personel kapal yang tiba ditahan hingga 40 hari.[23] Menurut perkiraan saat ini, wabah pes memiliki periode 37 hari dari infeksi hingga kematian; oleh karena itu, karantina Eropa sangat berhasil dalam menentukan kesehatan awak kapal.[24]
Praktik karantina juga diterapkan terhadap penyakit lain saat sebelum dan sesudah kehancuran akibat wabah pes. Secara historis, orang-orang yang menderita kusta terisolasi dalam jangka panjang dari masyarakat. Selain itu, berbagai upaya dilakukan untuk memeriksa penyebaran sifilis di Eropa bagian utara setelah 1492, munculnya demam kuning di Spanyol pada awal abad ke-19, dan munculnya kolera Asia pada 1831.
Republik Venesia memimpin dalam langkah-langkah pemeriksaan menyebarnya wabah dengan menunjuk tiga penjaga kesehatan masyarakat pada tahun-tahun pertama Maut Hitam (1348).[25] Catatan tindakan pencegahan berikutnya datang dari Reggio/Modena pada tahun 1374. Venesia mendirikan lazaret pertama (di sebuah pulau kecil yang berdampingan dengan kota) pada 1403. Pada 1467, Genoa mengikuti contoh Venesia, dan pada 1476 rumah sakit penderita kusta di Marseille diubah menjadi rumah sakit pes. Lazaret besar Marseille, mungkin yang paling lengkap dari lazaret lainnya, didirikan pada 1526 di pulau Pomègues. Praktik karantina di semua lazaret Mediterania tidak berbeda dari prosedur yang diterapkan di Inggris dalam perdagangan Levantin dan Afrika Utara. Ketika wabah kolera datang pada tahun 1831, beberapa lazaret baru didirikan di pelabuhan barat, terutama lazaret yang sangat luas di dekat Bordeaux, yang kemudian dialihkan untuk penggunaan lain.
Sejarah modern
Epidemi demam kuning menghancurkan komunitas perkotaan di Amerika Utara sepanjang akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, contoh paling terkenal adalah epidemi demam kuning Philadelphia 1793,[26] serta wabah di Georgia (1856), dan Florida (1888).[27] Epidemi kolera dan cacar terus berlangsung sepanjang abad ke-19, dan epidemi pes memengaruhi Honolulu[28] dan San Francisco dari tahun 1899 hingga 1901.[29] Pemerintah negara bagian pada umumnya mengandalkan cordon sanitaire sebagai tindakan karantina geografis untuk mengendalikan pergerakan orang yang keluar-masuk komunitas yang terkena dampak. Selama pandemi influenza 1918, beberapa komunitas melembagakan sekuestrasi protektif (kadang-kadang disebut sebagai "karantina terbalik") untuk menjaga agar orang yang terinfeksi tidak memasukkan influenza ke dalam populasi yang sehat.[30]
Pada pertengahan abad ke-19, Kesultanan Utsmaniyah telah mendirikan stasiun karantina, termasuk di Anatolia dan Balkan. Di pelabuhan Izmir, misalnya, semua kapal dan muatannya akan diperiksa dan mereka yang dicurigai membawa penyakit akan ditarik ke dermaga yang terpisah dan personel kapal akan ditempatkan di gedung yang terpisah untuk jangka waktu tertentu. Di Thessalia, di sepanjang perbatasan Yunani–Turki, semua pelancong yang masuk dan keluar dari Kesultanan Utsmaniyah akan dikarantina selama 9–15 hari. Setelah munculnya wabah, stasiun karantina akan dimiliterisasi dan tentara Utsmaniyah akan dilibatkan dalam pengawasan perbatasan dan pemantauan penyakit.[31]
Serangkaian konferensi antarnegara diadakan untuk menstandarkan peraturan karantina internasional untuk mencegah penyebaran kolera, pes bubonik, dan demam kuning. Konferensi Sanitasi Internasional (ISC) mulanya diinisiasi oleh negara-negara Eropa untuk mencegah penyebaran kolera dari arah timur (Mesir, Levant, dan Asia pada umumnya), tanpa terlalu menghambat perdagangan.[32][33] Konferensi ini dilangsungkan sebanyak 14 kali antara 1851 hingga 1938. Tidak ada perjanjian atau konvensi yang disepakati pada enam penyelenggaraan ISC pertama di Paris (1851 dan 1959), Konstantinopel (1866), Wina (1874), Washington (1881), dan Roma (1885), tetapi masing-masing pertemuan tersebut menciptakan pemahaman akan kolera dan pentingnya melakukan tindakan yang sesuai untuk mencegah penyebarannya.
Sebuah konvensi akhirnya disepakati oleh negara-negara peserta pada ISC ketujuh di Venesia (1892) terkait dengan tindakan pencegahan kolera pada kapal-kapal yang melintasi Terusan Suez.[34] Konvensi yang diterbitkan pada tahun 1892 ini disebut Konvensi Sanitasi Internasional (International Sanitary Convention).[32] Konvensi lebih lanjut disepakati pada ISC ke-8 di Dresden (1983) terkait penanganan kolera yang lebih mendetail,[35] pada ISC ke-9 di Paris (1894) mengenai pengendalian kolera terhadap kapal-kapal jemaah haji dari Mekkah,[36] dan pada ISC ke-10 di Venesia (1897) yang menciptakan konvensi baru tentang penyakit pes bubonik.[37] Konferensi ke-11 di Paris (1903) menggabungkan aturan pencegahan kolera dan pes bubonik dan menyatukan dua konvensi sebelumnya.[38][39] Pada ISC ini juga disetujui pembentukan organisasi internasional yang menangani urusan kesehatan.[33]
Organisasi kesehatan internasional pertama kali didirikan pada tahun 1902 dengan nama Biro Sanitasi Pan-Amerika, yang kemudian berubah menjadi Organisasi Kesehatan Pan-Amerika (PAHO).[40] Anggota organisasi ini adalah negara-negara di Benua Amerika. Lima tahun kemudian, pembicaraan untuk mendirikan Kantor Internasional Higiene Publik (bahasa Prancis: Office International d'Hygiène Publique, disingkat OIHP) berlangsung di Roma pada 3 Desember 1907.[40] Organisasi ini pun didirikan di Paris dan dibuat untuk mengumpulkan dan menyebarkan fakta dan dokumen yang berhubungan dengan penyakit menular, terutama kolera, pes bubonik, dan demam kuning.[40] Selain itu, OIHP juga mengawasi aturan internasional mengenai karantina kapal dan pelabuhan untuk mencegah penyebaran penyakit, serta untuk mengelola konvensi kesehatan masyarakat lainnya.[40] OIHP dibubarkan pada tahun 1946 dan layanan epidemiologisnya digabungkan dalam Komisi Sementara WHO pada tahun 1947, sebelum WHO terbentuk secara resmi pada 1948.
Konferensi ISC selanjutnya terus menghasilkan perubahan konvensi yang semakin lama semakin komprehensif dan disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. ISC ke-12 hingga ke-14 dilangsungkan di Paris, yang masing-masing diselenggarakan pada tahun 1911–1912, 1926, dan 1938. Pada akhirnya, penyakit yang diatur dalam konvensi ini yaitu kolera, pes bubonik, demam kuning, demam tifus, dan variola.[41] Selain itu, telah diketahui bahwa hewan pengerat memiliki peran penting dalam menyebarkan penyakit di kapal penumpang.[42]
Organisasi Kesehatan Dunia (1946–sekarang)
Setelah Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengoordinasikan semua organisasi internasional yang menangani kesehatan di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), termasuk Organisasi Kesehatan Liga Bangsa-Bangsa, Kantor Internasional Higiene Publik, dan Divisi Kesehatan United Nations Relief and Rehabilitation Administration; sementara itu, Organisasi Kesehatan Pan-Amerika menjadi salah satu dari enam organisasi regional WHO.[43] Pasal 21 Konstitusi WHO 1946 di antaranya menyatakan bahwa Majelis Kesehatan Dunia (WHA) memiliki otoritas untuk mengadopsi peraturan mengenai sanitasi dan persyaratan karantina, serta prosedur lainnya untuk mencegah penyebaran penyakit secara internasional.[44] Pada rapat WHA tahun 1951, Konvensi Sanitasi Internasional diubah menjadi Peraturan Sanitasi Internasional (ISR) yang mencakup enam penyakit.[32] Pada tahun 1969, WHA mengganti ISR menjadi Peraturan Kesehatan Internasional (IHR).
Penerapan karantina terhadap berbagai penyakit telah diatur dalam IHR. Walaupun demikian, beberapa wabah bersifat meresahkan sehingga ditetapkan oleh WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (disingkat KKMMD dalam bahasa Indonesia dan PHEIC dalam bahasa Inggris). Dalam IHR (2005) KKMMD didefinisikan sebagai "kejadian luar biasa yang berisiko mengancam kesehatan masyarakat negara lain melalui penularan penyakit lintas batas negara dan membutuhkan tanggapan internasional yang terkoordinasi". Pengumuman ini dirancang ketika sebuah kejadian bersifat "serius, mendadak, tidak wajar, atau tidak terduga", "dapat memengaruhi kesehatan masyarakat di luar batas negara terdampak", dan "perlu ditanggapi segera oleh berbagai negara".[45] Pernyataan KKMMD dipandang perlu dilakukan akibat wabah SARS 2002–2004 yang melanda berbagai negara. Sejak tahun 2009, telah ada tujuh pernyataan KKMMD, yaitu pandemi flu 2009, deklarasi polio 2014, wabah virus Ebola di Afrika Barat, wabah virus Zika 2015–2016, wabah Ebola Kivu 2018–2020, pandemi Covid-19, dan wabah mpox 2022–2023.
Berbagai jenis bendera digunakan oleh kapal laut sebagai simbol untuk menyampaikan keadaan kapal tersebut, termasuk status penyakitnya. Dalam bendera sinyal maritim internasional, bendera sinyal dengan kode huruf L (Lima) menyatakan bahwa kapal tersebut sedang dalam proses karantina sedangkan bendera sinyal dengan kode huruf Q (Quebec) menyatakan bahwa kapal tersebut bebas penyakit. Keduanya dikenal dengan bendera "Yellow Jack".
Pada zaman dahulu, bendera kuning polos memberi sinyal bahwa suatu kapal sedang dikarantina. Saat ini, bendera tersebut menyimbolkan hal sebaliknya, bendera kuning polos menunjukkan bahwa suatu kapal bebas penyakit dan meminta untuk berlabuh dan diperiksa statusnya.[46]
Bendera sinyal "Lima" yang dikibarkan oleh kapal laut menyatakan bahwa kapal tersebut dalam proses karantina.
Bendera sinyal "Quebec" yang dalam arti masa kini menyatakan bahwa suatu kapal laut bebas dari penyakit.
Penyelenggaraan
Kekarantinaan dijalankan oleh pemerintah suatu negara. Di dunia internasional, dikenal istilah CIQ sebagai petugas pemerintah yang bertugas di pintu masuk suatu negara, seperti bandar udara, pelabuhan, dan pos lintas batas negara dalam rangka perlindungan dan pengendalian perbatasan.[47][48] Kepanjangan dari CIQ yaitu customs (kepabeanan), immigration (keimigrasian), dan quarantine (kekarantinaan). Terkadang, istilah ini diubah menjadi CIQS dengan tambahan huruf S dari security (keamanan).[49][50]
Berbagai negara mengatur penerapan karantina di negara tersebut melalui undang-undang. Undang-Undang Karantina pertama ditetapkan di Marseille, Prancis pada tahun 1383.[51] Di Britania Raya, UU Karantina dibuat pada tahun 1710 dan 1721.[52][53] Di Amerika Serikat, UU Karantina disahkan pada tahun 1878 yang kemudian diubah menjadi UU Layanan Kesehatan Masyarakat pada 1944.[54] Selain itu, AS juga membuat UU Reautorisasi Kesiapan Pandemi dan Semua Bahaya pada 2013.[55]Australia membuat UU Karantina pada 1908 yang diubah menjadi UU Biosekuriti pada tahun 2015.[56] Jepang mengesahkan UU Karantina pada 1951,[57] sementara Kanada pada 2005.[58] Indonesia menerbitkan UU Karantina Laut dan UU Karantina Udara pada tahun 1962 yang kemudian dicabut dan digantikan oleh UU Kekarantinaan Kesehatan pada tahun 2018.[59]
Karantina hewan dan karantina tumbuhan
Karantina hewan
Sama seperti pengaturan karantina terhadap penyakit pada manusia, penerapan karantina untuk hewan juga diinisiasi oleh merebaknya penyakit hewan, terutama sampar sapi di Eropa. Karantina dan pengendalian pergerakan sapi telah dilakukan di Eropa sejak tahun 1712.[60] Sementara itu, fasilitas karantina hewan telah didirikan di Québec, Kanada, pada tahun 1876.[61] Walaupun demikian, usaha untuk mencegah penyebaran penyakit sampar sapi antarnegara baru dilakukan setelah Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) berdiri pada tahun 1924. Konferensi pertama WOAH diadakan di Jenewa pada tahun 1928 untuk menyepakati pengendalian sanitasi internasional. Konferensi ini menyatakan bahwa "hanya dokumen sanitasi dari negara-negara dengan layanan kedokteran hewan yang terorganisir dengan benar, yang dapat dianggap memberi jaminan memadai bagi negara pengimpor."[62]
Penerapan karantina tumbuhan untuk mencegah penyebaran penyakit tumbuhan dimulai sejak tahun 1660 di Prancis.[64] Penyakit yang dicegah saat itu adalah karat batang pada gandum akibat serangan fungiPuccinia graminis. Konsep karantina tumbuhan antarnegara dimulai pada 1881 ketika lima negara menandatangani perjanjian untuk mengendalikan penyebaran kutu bengkak akar pada tanaman anggur akibat kutu daunPhylloxera vitifolia.[65] Pada masa modern, kerja sama antarnegara mengenai karantina tumbuhan dilakukan berdasarkan Konvensi Perlindungan Tumbuhan Internasional. Konvensi ini ditandatangani pada tahun 1951 dan berada di bawah pengawasan Organisasi Pangan dan Pertanian. Konvensi ini diakui oleh SPS Agreement sebagai satu-satunya badan yang mengatur standar internasional untuk kesehatan tumbuhan.[66]
^Rothstein, Mark A. (2015). "From SARS to Ebola: Legal and Ethical Considerations for Modern Quarantine". Indiana Health Law Review. 12: 227–280. doi:10.18060/18963.
^Leviticus13:4–5:NIV: "If the shiny spot on the skin is white but does not appear to be more than skin deep and the hair in it has not turned white, the priest is to isolate the affected person for seven days. On the seventh day the priest is to examine them, and if he sees that the sore is unchanged and has not spread in the skin, he is to isolate them for another seven days."
^Bible: The Old Testament- Leviticus, Numbers & Deuteronomywww.sparknotes.com, ...the Israelites’ punishment for certain infractions is to isolate or expel the offending individual from the camp... ...Since uncleanness bars a person from approaching the sacred religious items, physical impurity places one farthest from the center of Israel... accessed 14 March 2020
^The encyclopaedia of Islam. Gibb, H. A. R. (Hamilton Alexander Rosskeen), 1895-1971., Bearman, P. J. (Peri J.) (edisi ke-New edition). Leiden: Brill. 1960–2009. ISBN90-04-16121-X. OCLC399624.Pemeliharaan CS1: Format tanggal (link) Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
^Susan Scott and Christopher Duncan, Biology of Plagues: Evidence from Historical Populations, Cambridge, United Kingdom: Cambridge University Press, 2001
^Drews, Kelly (2013). "A Brief History of Quarantine". The Virginia Tech Undergraduate Historical Review. 2. doi:10.21061/vtuhr.v2i0.16.
^Raeside, Rob (18-02-2017). "Quarantine Flag". FOTW Flags of the World. Diakses tanggal 15-07-2019.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan)