Egalitarianisme (berasal dari bahasa Pranciségal yang berarti "sama") adalah aliran pemikiran dalam filsafat politik yang memprioritaskan kesetaraan sosial bagi semua orang.[1] Ciri utama doktrin egaliter adalah gagasan bahwa semua manusia adalah setara dalam nilai dasar atau status moral.[2] Egalitarianisme adalah doktrin bahwa semua warga negara harus diberikan hak yang setara.[3]
Istilah egalitarianisme memiliki dua definisi yang berbeda.[4] Pertama, egalitarianisme sebagai doktrin politik bahwa semua orang harus diperlakukan secara sama dan memiliki hak politik, ekonomi, sosial dan sipil yang sama.[5] Kedua, egalitarianisme sebagai filosofi sosial yang mendukung penghapusan kesenjangan ekonomi di antara orang-orang, atau biasa disebut egalitarianisme ekonomi. Beberapa sumber ilmiah mendefinisikan egalitarianisme sebagai kesetaraan yang mencerminkan keadaan alami manusia.[6][7][8]
Salah satu argumennya adalah bahwa liberalisme memberikan masyarakat demokratis sarana untuk melaksanakan reformasi sipil dan menyediakan kerangka untuk mengembangkan kebijakan publik dan menyediakan kondisi yang tepat bagi individu untuk merealisasikan hak-hak sipil.[9]
Amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat juga menggunakan istilah orang (person) dalam pengaturan yang menyatakan bahwa "Negara bagian manapun tidak boleh merampas kehidupan, kebebasan, atau properti setiap orang, tanpa proses hukum yang semestinya; atau menyangkal kepada setiap orang dalam yurisdiksinya perlindungan hukum yang sama”.
Banyak konstitusi negara bagian di Amerika Serikat juga menggunakan istilah "the rights of man" dibandingkan "the rights of person" karena kata itu merujuk kepada laki-laki dan perempuan.[10]
Feminisme sangat dipengaruhi oleh filsafat egaliter dan menjadi filsafat kesetaraan yang berfokus pada gender. Feminisme dibedakan dari egalitarianisme dan eksis sebagai gerakan politik dan sosial tersendiri.[11]
Egalitarianisme sosial
Teori egaliter telah berkembang selama dua ratus tahun terakhir. Di antara filsafat egaliter luas yang terkenal adalah sosialisme, komunisme, anarkisme sosial, sosialisme libertarian, libertarianisme kiri dan progresivisme, beberapa di antaranya mendukung egalitarianisme ekonomi. Apakah salah satu dari ide-ide ini telah diterapkan secara signifikan dalam praktik masih menjadi pertanyaan yang kontroversial. Anti-egalitarianisme[12] atau elitisme[13] adalah bentuk oposisi terhadap egalitarianisme.
Ekonomi
Contoh paling awal dari egalitarianisme ekonomi adalah filosofi pertanian Tiongkok yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi suatu negara harus didasarkan pada kemandirian egaliter.[14]
Dalam sosialisme, kepemilikan sosial atas alat-alat produksi kadang-kadang dianggap sebagai bentuk egalitarianisme ekonomi karena dalam ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan sosial, produk surplus yang dihasilkan oleh industri akan bertambah pada populasi secara keseluruhan dibandingkan kelas pemilik pribadi. Dengan demikian, hal itu memberikan setiap individu peningkatan otonomi dan kesetaraan yang lebih besar dalam hubungan mereka satu sama lain. Meskipun ekonom Karl Marx kadang-kadang disalahartikan sebagai seorang egaliter, Marx sama sekali menghindari teori normatif tentang prinsip-prinsip moral. Namun, Marx juga memiliki teori evolusi prinsip moral mengenai sistem ekonomi tertentu.[15]
Ekonom Amerika John Roemer mengajukan perspektif baru tentang kesetaraan dan hubungannya dengan sosialisme. Roemer mencoba untuk merumuskan ulang analisis Marxis untuk mengakomodasi prinsip-prinsip normatif keadilan distributif dengan memberikan alasan teknis dan materialis. Roemer berpendapat bahwa menurut prinsip keadilan distributif, definisi tradisional sosialisme yang didasarkan pada prinsip bahwa kompensasi individu sebanding dengan nilai kerja yang dikeluarkan seseorang dalam produksi ("Untuk masing-masing menurut kontribusinya") adalah tidak memadai. Roemer menyimpulkan bahwa kaum egalitarian harus menolak sosialisme sebagaimana didefinisikan secara klasik agar kesetaraan dapat diwujudkan.[16]
Egalitarianisme dan hewan
Banyak filsuf, termasuk Ingmar Persson,[17] Peter Vallentyne,[18] Nils Holtug,[19] Catia Faria[20] dan Lewis Gompertz,[21] yang berpendapat bahwa egalitarianisme secara tidak langsung berarti bahwa kepentingan hewan bukan manusia harus diperhitungkan juga. Filsuf Oscar Horta lebih jauh berargumen bahwa "[e]galitarianisme secara tidak langsung menolak terhadap spesiesisme, dan dalam praktiknya, ia menuntut penghentian eksploitasi hewan bukan manusia" dan bahwa kita harus membantu hewan yang menderita di alam.[22] Lebih lanjut, Horta berpendapat bahwa "karena [hewan bukan manusia] berada dalam situasi yang lebih buruk dibandingkan dengan manusia, egalitarianisme menentukan pemberian prioritas kepada kepentingan hewan bukan manusia".[22]
Penerimaan
Teori budaya tentang risiko menyatakan bahwa egalitarianisme adalah kebalikan dari fatalisme[23] — sebagaimana didefinisikan oleh sikap negatif terhadap aturan dan prinsip; dan sikap positif terhadap pengambilan keputusan kelompok.[23] Teori ini membedakan antara hierarki, yang positif terhadap aturan dan kelompok; dan egaliter, yang positif terhadap kelompok, tetapi negatif terhadap aturan.[23]
Definisi ini merupakan bentuk kesetaraan anarkis seperti yang disebut oleh Alexander Berkman. Dalam perspektif ini, tatanan masyarakat egaliter disatukan oleh kerja sama dan tekanan sosial, bukan oleh aturan dan hukuman yang eksplisit. Thompson dkk. berteori bahwa setiap masyarakat yang hanya terdiri dari satu perspektif, baik itu egalitarianisme, hierarkis, individualis, fatalis, atau otonom, secara inheren adalah tidak stabil. Menurut mereka, interaksi antara semua perspektif ini diperlukan jika setiap perspektif ingin dilaksanakan.[23] Dengan demikian, kaum egaliter tidak memiliki kekuatan kecuali melalui kehadiran mereka, kecuali jika mereka (menurut definisi, dengan enggan) menganut prinsip-prinsip yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama dengan kaum fatalis dan hierarkis. Mereka juga tidak akan memiliki arah individu tanpa adanya kelompok. Hal ini dapat dimitigasi dengan mengikuti individu di luar kelompoknya, yaitu otonomis atau individualis. Berkman mengemukakan bahwa "kesetaraan bukan berarti jumlah yang sama tetapi kesempatan yang sama. "Jangan membuat kesalahan dengan menyamakan antara kesetaraan dalam kebebasan dengan kesetaraan secara paksa pada kamp narapidana. Kesetaraan anarkis sejati menyiratkan kebebasan, bukan kuantitas. Ini tidak berarti bahwa setiap orang harus makan, minum, atau memakai barang yang sama, melakukan pekerjaan yang sama, atau hidup dengan cara yang sama. Jauh dari itu: kenyataannya sangat berbeda. [. . . ] Kebutuhan dan selera individu berbeda, karena keinginan berbeda. Bahwa kesempatan yang sama untuk memenuhi keinginan-keinginan itulahyang merupakan kesetaraan sejati. [. . . ] Jauh dari pemerataan, kesetaraan semacam itu membuka pintu bagi keragaman aktivitas dan pengembangan diri sebesar mungkin. Karena karakter manusia itu beragam.”[24]
Marx adalah pendukung dua prinsip utama. Pertama, "Untuk masing-masing menurut kontribusinya" diterapkan pada sosialisme. Kedua, "Untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhan mereka" untuk masyarakat komunis yang maju. Meskipun posisinya sering digabungkan dengan egalitarianisme distributif yang menghendaki hanya barang dan jasa yang dihasilkan dari produksi yang didistribusikan menurut kesetaraan nosional, Marx menghindari seluruh konsep kesetaraan dan menganggapnya sebagai abstrak dan bersifat borjuis. Ia lebih memilih untuk fokus pada prinsip-prinsip yang lebih konkret, seperti penentangan terhadap eksploitasi atas dasar materialis dan logika ekonomi.[26]
^Erdal, D.; Whiten, A. (1996). "Egalitarianism and Machiavellian Intelligence in Human Evolution". Dalam Mellars, P.; Gibson, K. Modeling the Early Human Mind. Cambridge MacDonald Monograph Series.
^Fiss, Owen (1994). "What is feminism". Arizona State Law Journal. 26: 413–428.
^Sidanius, Jim; et al. (2000). "Social dominance orientation, anti-egalitarianism and the political psychology of gender: An extension and cross-cultural replication". European Journal of Social Psychology. 30 (1): 41–67. doi:10.1002/(sici)1099-0992(200001/02)30:1<41::aid-ejsp976>3.0.co;2-o.
^Stanford Encyclopedia of Philosophy.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^Roemer, John (2008). "Socialism vs Social Democracy as Income-Equalizing Institutions". Eastern Economic Journal. 34 (1): 14–26. doi:10.1057/palgrave.eej.9050011.
^Persson, I. (1993). "A basis for (interspecies) equality". Dalam Cavalieri, P.; Singer, P. The Great Ape Project. New York, NY: St. Martin’s Press. hlm. 183–193.
^Vallentyne, P. (2005). "Of mice and men: Equality and animals". Journal of Ethics. 9 (3–4): 403–433. doi:10.1007/s10892-005-3509-x.
^Holtug, N. (2007). "Equality for animals". Dalam Ryberg, J.; Petersen, T.S.; Wolf, C. New Waves in Applied Ethics. Basingstoke: Palgrave Macmillan. hlm. 1–24.
^Woods, Allen (2014). "Karl Marx on Equality". The Free Development of Each: Studies on Freedom, Right, and Ethics in Classical German Philosophy(PDF). Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780199685530.001.0001. ISBN9780199685530. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2015-11-09. Diakses tanggal 2022-05-30. Marx thinks the idea of equality is actually a vehicle for bourgeois class oppression, and something quite different from the communist goal of the abolition of classes. [...] A society that has transcended class antagonisms, therefore, would not be one in which some truly universal interest at last reigns, to which individual interests must be sacrificed. It would instead be a society in which individuals freely act as the truly human individuals they are. Marx's radical communism was, in this way, also radically individualistic.