Bahasa Arab-Jawa Klego
Bahasa Arab-Jawa Klego, juga dikenal sebagai Bahasa Arab-Jawa Kolokial,[2] adalah bahasa Para-Arab atau lebih tepatnya bahasa campuran yang berakar dari varietas bahasa Arab di Indonesia, bahasa Arab Indonesia dengan bahasa Jawa. Bahasa ini dituturkan di Klego, sebuah kelurahan di kota Pekalongan, Jawa Tengah, para penuturnya bukan hanya berasal dari keturunan Arab, tetapi juga penduduk asli Jawa di sana. Dapat dikatakan bahwa bahasa ini merupakan salah satu ragam dalam gugus bahasa Arab dialek Pekalongan yang mendapat pengaruh kuat dari bahasa Jawa dialek Pesisir di Pekalongan.[3] Penuturnya bisa dikatakan dwibahasa, atau bahkan multibahasa.[4] Latar belakangHampir setiap negara, termasuk Indonesia di mana bahasa ini digunakan, memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan. Indonesia memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan oleh penduduknya (Sumarsono, 2008: 76). Oleh karena itu, masyarakat Indonesia tergolong masyarakat multibahasa. Masyarakat yang berbasis pada bahasa dapat terbentuk karena adanya beberapa kelompok etnis yang turut membentuk masyarakat tersebut, sehingga dari sudut pandang etnis dapat dikatakan sebagai masyarakat yang majemuk.[5] Keberagaman bahasa dalam suatu masyarakat biasanya selalu menimbulkan masalah atau setidaknya berpotensi menimbulkan masalah atau setidaknya mempunyai akibat tertentu. Keberagaman bahasa membawa masalah bagi individu dan kelompok tertentu (terutama minoritas dan imigran) dalam suatu masyarakat. Untuk individu atau kelompok minoritas, Masalah yang langsung muncul adalah mereka harus menguasai minimal dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa daerah tersebut, sebelum mereka dapat berfungsi sebagai anggota penuh dalam masyarakat yang tinggal di dalamnya. Apabila kelompok minoritas tersebut merupakan pendatang, misalnya keturunan Arab yang tinggal di sekitar suku Jawa, mereka harus segera dapat menguasai bahasa Jawa. Mereka yang merupakan generasi pertama memiliki kesulitan paling besar dalam menghadapi tantangan linguistik. Apabila mereka semua sudah dewasa, anak-anaknya, atau generasi kedua, tentu akan lebih mudah, begitu juga dengan generasi selanjutnya. Fenomena bahasa seperti ini juga terjadi pada kelompok etnis lain seperti Tionghoa, India, Madura, dan lain-lain. Upaya belajar dari masing-masing suku bangsa yang bahasanya berbeda-beda, dalam ilmu sosiolinguistik, dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjaga dan memelihara kerukunan masyarakat. Mereka yang mempunyai ras atau suku yang berbeda selalu berusaha menyesuaikan diri dengan yang lain atau salah satu yang lebih dominan, sehingga dapat menumbuhkan sejumlah upaya solidaritas budaya yang cukup menunjang terciptanya kehidupan bermasyarakat yang harmonis di antara mereka. Penyesuaian budaya yang berupa solidaritas budaya salah satunya berupa bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bukti adanya adaptasi sosial yang dapat menciptakan kehidupan yang harmonis dapat ditelusuri melalui konvensi-konvensi kebahasaan yang terjadi di antara masyarakat tutur yang saling bersentuhan. Dengan kata lain, ada hubungan korelasional antara bahasa dan interaksi sosial pengguna bahasa atau varian berbeda yang melakukan kontak. Hal menarik serupa yang diamati adalah fenomena sosial kehidupan masyarakat kelurahan Klego di Pekalongan yang sangat heterogen.[6] Dengan jumlah penduduk yang sangat homogen dengan berbagai macam latar belakang suku bangsa, hal ini menimbulkan interaksi sosial yang sangat beragam terutama dalam hal bahasa penghubung. Di kelurahan Klego, setidaknya berdasarkan bahasa yang digunakan sebagai identitas atau komunikasi sosial, ditemukan dua masyarakat tutur, yaitu masyarakat tutur Jawa dan Arab. Dari kedua bahasa tersebut, bahasa yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Jawa, yang juga merupakan identitas asli di sana. Berdasarkan pengamatan sementara, kondisi sosial masyarakat kelurahan Klego dapat dikatakan rukun, saling menghargai, padahal secara etnis di daerah ini terdapat dua suku bangsa besar, yaitu Jawa dan Arab. Hal menarik dari kehidupan kedua suku bangsa ini adalah adanya keharmonisan sosial. Keharmonisan atau kedekatan masyarakat Arab dan Jawa dapat dilihat dari proses percampuran bahasa dan ragam bahasa yang mereka menggunakan dan asimilasinya.[7] Proses alih kode dan campur kode antara bahasa Arab dan bahasa Jawa sangat lazim terjadi di kalangan masyarakat Klego. Fenomena-fenomena kebahasaan tersebut tampaknya tidak lagi dianggap sebagai gejala kekacauan bahasa, tetapi sebaliknya, Keragaman percampuran bahasa di atas telah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) bagi masyarakat kelurahan Klego. Fenomena campur kode komunikasi dari bahasa Jawa ke bahasa Arab atau sebaliknya, bukan hal yang asing lagi bagi masyarakat kelurahan Klego yang dikenal dengan sebutan 'Kampung Arab'. Jadi, ketika berada di sini, akan sering ditemukan percakapan campur kode dalam komunikasi sehari-hari mereka. Hal ini dilakukan baik oleh orang keturunan Arab maupun orang Jawa. Diantara contoh dalam komunikasi tersebut adalah; ente pak endi? 'kamu mau pergi kemana?', aku pak requd si 'saya mau tidur dulu', anakku pak zuwaj 'anak saya akan menikah', dan lain-lain, dimana kosakata yang dicetak tebal merupakan serapan dari bahasa Arab yang dilafalkan dengan aksen lokal. Namun, kemunculan kata-kata Arab yang muncul pada kalimat campur kode di atas, secara leksikal, maknanya sangat mudah dipahami, terutama bagi orang Jawa yang sedikit mengerti bahasa Arab. Fenomena bahasa yang terjadi adalah semacam konvensi bahasa, yaitu kesepakatan dalam penggunaan kata-kata tertentu. Maka dengan adanya konvensi ini, baik masyarakat keturunan Arab maupun Jawa dapat sama-sama memanfaatkan dan memahaminya sehingga terjalin keharmonisan sosial di antara keduanya.[8] SejarahPekalongan merupakan kota kecil yang terletak di pesisir utara Jawa, kondisinya sangat dinamis, antara lain karena industri dan perdagangan batik yang berlangsung di sana. Praktik perdagangan antardaerah bahkan antarnegara di Pekalongan sudah berlangsung lama, bahkan sejak abad ke-11.[9] Pekalongan pada masa lampau merupakan kota pelabuhan yang besar sehingga banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia yang berdagang di kota ini, mengingat kota ini merupakan salah satu tempat persinggahan di Jalur Sutra Maritim. Pada akhirnya banyak pedagang asing yang menetap di Pekalongan, termasuk pedagang Tionghoa, Bengali, Arab, dan mungkin Persia serta Gujarat.[10] Pada masa kolonialisme Belanda, kelompok etnis ini menjadi bagian dari pembagian kelompok pemukiman di kota tersebut, pemukiman lengkapnya terdiri dari masyarakat asli (pribumi), Belanda, Tionghoa, dan Arab (termasuk India dan Persia). Permukiman etnis Arab sampai saat ini masih memberikan pengaruh yang kuat di Pekalongan. Bagian pemukiman ini sering disebut 'Kampung Arab', termasuk kelurahan Klego, di mana mereka dipimpin oleh seorang Kapitan Arab yang bertugas sebagai kepala komunitas.[11] Di sinilah jumlah terbesar komunitas Arab Hadrami ditemukan, mereka berasal dari Hadramaut di Yaman, meskipun bukan tidak mungkin juga terdapat banyak komunitas Arab di daerah lain seperti Sugihwaras, Poncol, Noyontaan,[3] dan daerah lainnya di Pekalongan.[2] Karena suku bangsa yang beranekaragam tersebut, maka diperlukan suatu bahasa sehari-hari atau yang biasa disebut dengan bahasa pasar (‘amiyah), yaitu bahasa lisan yang dapat digunakan untuk memperlancar percakapan antar masyarakatnya. Bahasa sehari-hari ini sangat berbeda dari bahasa Arab Standar yang biasanya dipelajari di lingkungan akademis. Jadi hampir bisa dikatakan bahwa bahasa ini tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa yang baik dan benar, dan banyak kosakata tersebut diantaranya bahkan tidak ditemukan dalam Kamus bahasa Arab. Bahasa Arab-Jawa Kolokial yang biasa digunakan oleh masyarakat Klego menunjukkan keunikannya yang hanya dapat dipahami oleh komunitas mereka atau orang-orang yang tinggal bersama mereka meskipun mereka bukan etnis Arab.[2] Dari hasil kontak bahasa antara penduduk asli Jawa yang dominan dengan penduduk pendatang Arab, maka proses komunikasi khususnya dalam kehidupan bermasyarakat, fenomena percampuran bahasa sering dijumpai. Oleh karena itu, fenomena bahasa campur ini menjadi kajian tersendiri dalam kajian sosiolinguistik. Campur kode dan alih kode terjadi dalam bahasa mereka, terutama pada berasal dari dua komunitas terbesarnya, yakni Jawa dan Arab.[12] Sejarah kedatangan masyarakat Arab di Klego tidak dapat dilepaskan dari kedatangan bangsa Arab ke Indonesia yang mayoritas berasal dari Hadramaut di Yaman, dengan terlebih dahulu mereka singgah di Gujarat.[13] Mereka secara umum terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok Sayyid (mengaku sebagai keturunan Ali melalui garis Husain bin Ali; juga dikenal sebagai Alawi atau Habaib), ciri-cirinya adalah dari penamaan klan mereka, yaitu Al-Attas, Al-Habsyi, Al-Idrus, dan lain-lain.[14] Begitu juga dengan golongan Qabili yang bukan keturunan Ali, ciri-cirinya dapat dilihat dari nama-nama klan mereka, yaitu Basyir, Baswedan, Al-Kathiri, dan lain-lain. Mereka hidup dalam keharmonisan sosial yang sudah terjalin cukup lama dan tidak ada fakta yang menunjukkan adanya permasalahan, konflik etnis, terutama antara masyarakat Arab sebagai pendatang dengan masyarakat Jawa sebagai penduduk asli. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah menjalin ikatan perkawinan antara masyarakat Jawa dengan masyarakat Arab, dengan mayoritas laki-lakinya keturunan Arab dan perempuan keturunan Jawa.[15] Karena hubungan mereka tidak melibatkan konflik besar, namun hal tersebut tidak berarti bahwa hubungan antara suku Jawa dan Arab tidak dibarengi dengan prasangka dan stigma.[16] Banyak pula prasangka negatif yang merepresentasikan kedua etnis tersebut, seperti stigma yang melekat pada orang Jawa yang dinilai kurang Islami. Begitu pula orang Arab yang dianggap pelit, kasar, dan tidak mau bergaul, juga merasa kedudukannya lebih tinggi dibandingkan orang Jawa.[17] Pola dan strukturContoh kalimatDari hasil penelusuran pada jurnal Azzuhri (2016), terdapat beberapa pola campur kode berupa kalimat yang sering diucapkan oleh masyarakat desa Klego baik etnis Arab maupun etnis Jawa. Pola bahasa campuran tersebut adalah:[18]
Kosakata percakapan campuran Arab-Jawa seperti di atas merupakan bahasa sehari-hari masyarakat kelurahan Klego di Pekalongan. Dalam struktur linguistiknya, semua kata dan struktur bahasa komunikasi yang digunakan disepakati bersama, atau dalam ilmu linguistik sering disebut dengan konvensi bahasa.[19] kata serapan dari bahasa ArabDalam bahasa ini, terdapat banyak konvensi leksikon bahasa Arab yang sering digunakan oleh penuturnya. Kata serapan dari bahasa Arab tersebut meliputi:[20]
Dari beberapa kata yang digunakan, ada beberapa yang memiliki kesesuaian harfiah dan hanya sedikit perbedaan dalam leksikon dengan bahasa Arab Standar, dan beberapa di antaranya tidak memiliki arti yang sama dengan bahasa Arab Standar. Sementara beberapa kosakata hanya mengalami sedikit perubahan makna.[21] Berikut ini adalah beberapa kosakata yang tidak sesuai dengan kaidah derivasi dan kaidah leksikal dalam bahasa Arab Standar:[22]
FonologiAdaptasi kebahasaan yang terjadi pada masyarakat kelurahan Klego memberikan gambaran kecenderungan terbentuknya tatanan sosial yang harmonis. Adaptasi ini dapat terlihat antara penutur bahasa Jawa dan Arab ketika berkomunikasi. Kedua penutur tersebut bergantian mengucapkan dua kata dalam bahasa mereka masing-masing. Bila ditelaah lebih mendalam, penyesuaian bahasa antara masyarakat Jawa dan Arab tidak hanya dalam hal leksikon saja, tetapi juga dalam hal penyesuaian fonetik (bunyi). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penutur bahasa lain dalam mengucapkan bunyi yang sama, khususnya kosakata bahasa Arab dengan penyesuaian fonetik bahasa Jawa. Demikian pula, penyesuaian linguistik juga dilakukan dalam urutan tata bahasa.[23] Pada tataran bunyi, entah kebetulan atau tidak, sistem fonetik kata-kata bahasa Arab konvensional cenderung berubah dan mirip dengan sistem bunyi dalam bahasa Jawa. Sehingga dengan adanya penyesuaian bunyi pada kata berbahasa Arab, dapat memudahkan masyarakat Jawa dalam mengucapkan kata tersebut. Memungkinkan untuk berkomunikasi dengan hampir tidak ada kesenjangan kelancaran dalam mengucapkan bunyi kata. Misalnya, kata ‘ajuz berubah menjadi kata ajus. Pada kata ini terjadi perubahan atau penyesuaian fonetik huruf [ع] menjadi bunyi huruf [ا]. Begitu pula bunyi huruf [ز] berubah menjadi bunyi huruf [س]. Orang Jawa cenderung lebih mudah melafalkan huruf [ا] dan [س] dibandingkan dengan huruf [ع] dan [ز]. Jadi ketika orang Jawa mengucapkan kata ajus, tekanan bunyinya hampir sama dengan ketika kata tersebut diucapkan oleh orang Arab. Contoh lain ialah ta'ab menjadi ta'ap, qahwah menjadi gahwe, roja'a menjadi reja, dan lain-lain. Penyesuaian suara seperti diatas dapat memperlancar komunikasi antara masyarakat Jawa dan Arab di Klego.[24] LeksikonSecara leksikal, pembentukan kata-kata konvensional telah lama dilakukan oleh penutur bahasa Arab dan Jawa dalam proses berkembangnya bahasa ini. Kata-kata konvensional ini telah menjadi bahasa sehari-hari dan menjadi sarana komunikasi di antara penduduk kelurahan Klego. Hal yang lebih menarik dalam proses komunikasinya adalah bahwa kosakata-kosakata dalam dua bahasa yang berbeda sering kali digunakan secara bergantian.[25] Misalnya, seorang penutur bahasa Jawa bertanya kepada penutur bahasa Arab dengan menggunakan kosakata dari bahasa Arab, lalu penutur bahasa Arab menjawab dengan kosakata dari bahasa Jawa, dan begitu pula sebaliknya. Kosakata bahasa Arab yang digunakan oleh penutur bahasa Jawa adalah kosakata bahasa Arab yang digunakan sehari-hari di sana, dalam arti kosakata bahasa Arab yang telah disepakati oleh masyarakat kelurahan Klego secara keseluruhan. Misalnya saja orang Arab mengatakan pak endi? 'ingin kemana?' atau pak opo? 'ingin apa?', maka orang Jawa akan menjawab regud si 'ingin tidur', syerob si 'ingin minum', gahwe si 'ingin (minum) kopi', dan lain-lain. Begitu pula sebaliknya, jika orang Jawa bertanya kepada orang Arab ila feen? 'ingin kemana?', orang Arab tersebut akan menjawab pak mangan 'ingin makan', pak turu 'ingin tidur', pak ngombe 'ingin minum', adaptasi bahasa yang terjadi di kalangan masyarakat Klego tersebut dinilai dapat menumbuhkan keakraban dalam komunikasi sosial.[26] Lihat jugaReferensi
Daftar pustaka
|