Setelah terjadinya fitnah besar di antara umat Islam yang menyebabkan terbunuhnya khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, mulailah terjadi perpindahan (hijrah) besar-besaran dari kaum keturunannya ke berbagai penjuru dunia. Ketika Imam Ahmad Al-Muhajir hijrah dari Irak ke daerah Hadramaut di Yaman, keturunan Ali bin Abi Thalib ini membawa serta 70 orang keluarga dan pengikutnya.[4]
Sejak itu berkembanglah keturunannya hingga menjadi kabilah terbesar di Hadramaut, dan dari kota Hadramaut inilah asal-mula utama dari berbagai koloni Arab yang menetap dan bercampur menjadi warganegara di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Selain di Indonesia, Orang Hadhrami ini juga banyak terdapat di Oman, India, Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, dan Singapura.
Kaum Arab Hadrami yang datang ke Nusantara sebelum abad ke-18 telah berasimilasi penuh dengan penduduk lokal. Sebagai produk asimilasinya, banyak anak keturunannya yang menggunakan nama-nama lokal daripada nama-nama Arab. Hal tersebut yang menyebabkan Kaum Arab Hadrami yang berimigrasi ke Nusantara sebelum abad ke-18 sulit diidentifikasi, kecuali mereka yang memang memiliki hubungan historis dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Sebagai contoh asimilasi antara Kaum Arab Hadrami dengan Pribumi-Nusantara adalah pernikahan antara Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan (Raja Champa 1471 - 1478)[5] dengan Rara Santang (puteri Prabu Siliwangi) yang kemudian berputera Syarif Hidayatullah, dan menghasilkan anak keturunan dari Raja-raja Banten di ujung barat Pulau Jawa, umumnya mereka dapat diidentifikasi dengan gelar kebangsawanannya seperti Tubagus atau Ratu.[6][7]
Sedangkan mereka yang datang setelah abad ke-18, lebih sedikit yang melakukan asimilasi sehingga lebih mudah diidentifikasi dengan marga-marga yang mereka bawa, seperti Assegaf, al-Aydrus, al-Attas, dan lainnya.[8]
Kedatangan koloni Arab dari Hadramaut ke Indonesia diperkirakan terjadi dalam 3 gelombang utama.[9]
Abad 9-11 Masehi
Catatan sejarah tertua adalah berdirinya Kerajaan Peureulak di Aceh Timur pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M).[10] Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far Shadiq hijrah ke Negeri Perlak. Ia kemudian menikah dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi dari Negeri tersebut.[11] Dari pernikahan ini lahirlah Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah sebagai Raja pertama Kerajaan Peureulak (840 – 864). Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah 'Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh' 10 Juli1978 oleh (Alm.) Prof. Ali Hasyimi.[12]
Abad ini adalah gelombang terakhir, ditandai dengan hijrah massalnya para AlawiyyinHadramaut yang menyebarkan Islam sambil berdagang di Nusantara. Kaum pendatang terakhir ini dapat ditandai keturunannya hingga sekarang karena berbeda dengan pendahulunya, tidak banyak melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi. Selain itu dapat ditandai dengan marga yang umum dikenal sekarang seperti al-Attas, Assegaf, al-Jufri, al-Aydrus, Shihab, Shahab, al-Haddad, al-Habsyi, dan lainnya.[18][19] Hal ini dapat dimengerti karena marga-marga ini baru terbentuk belakangan. Tercatat dalam sejarah Hadramaut, marga tertua adalah as-Saqqaf (Assegaf) yang menjadi gelar bagi Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Mauladdawilah setelah ia wafat pada 731 H atau abad 14 - 15 M.[20] Sedangkan marga-marga lain terbentuk bahkan lebih belakangan, umumnya pada abad 16. Biasanya nama marga diambil dari gelar seorang ulama setempat yang sangat dihormati. Mereka memiliki moyang yang berasal dari Yaman, khususnya Hadramaut. Habib di kalangan Arab-Indonesia adalah gelar bangsawan Timur Tengah yang secara khusus dinisbatkan terhadap keturunan Nabi Muhammad melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.[8][21][22]
Mulai 1870 hingga setelah 1888
Pada tahun 1870 Terusan Suez mulai dibuka, sehingga kapal dari Eropa ke Timur termasuk Hindia Belanda bisa langsung melalui Suez. Kemudian pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara mulai dibangun tahun 1877 secara modern. Selanjutnya Koninklijke Paketvaart Maatschappij, sebuah perusahaan pelayaran Belanda dioperasikan tahun 1888 dengan rute Eropa - Hindia Belanda, sehingga memungkinkan orang-orang Marga Arab Hadramaut atau Arab Mesir datang ke Hindia Belanda, dan berangsur-angsur mulai tahun 1870 hingga setelah tahun 1888 terjadi migrasi orang Arab dan Mesir ke Hindia Belanda. Mereka tidak membawa keluarga, karena sesuai tradisi Arab, bahwa wanita tidak boleh bepergian apalagi sejauh ke Hindia Belanda naik kapal berhari-hari. Keturunan pertama yang lahir di Hindia Belanda misalnya adalah Abdurrahman Baswedan lahir di Surabaya 1908 (kakek Anies Baswedan) dan Syech Albar lahir Surabaya 1914 (ayah Ahmad Albar).
Keturunan Arab Hadramaut di Indonesia, seperti negara asalnya Yaman, terdiri 2 kelompok besar yaitu kelompok Alawi, dan kelompok Qabili.[18]
Tokoh dan peranan
Di Indonesia, sejak zaman dahulu telah banyak kaum keturunan Arab yang menjadi pejuang, ulama dan dai. Di antara para penyebar agama yang menonjol ialah Walisongo, yang diduga kuat (Van Den Berg, 1886) merupakan keturunan Arab Hadramaut dan atau merupakan murid-murid mereka. Kaum Arab Hadramaut yang datang sekitar abad 15 dan sebelumnya mempunyai perbedaan mendasar dengan mereka yang datang pada gelombang berikutnya (abad 18 dan sesudahnya). Sebagaimana disebutkan oleh Van Den Berg, kaum pendahulu ini banyak berasimilasi dengan penduduk asli, terutama dari keluarga kerajaan Hindu. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat penyebaran agama Islam, sehingga keturunan mereka sudah hampir tak bisa dikenali sebagai keturunan Arab Hadramaut.
Di antara marga-marga Hadramaut yang pertama-tama ke Indonesia adalah keluarga Basyaiban, yaitu Sayyid Abdurrahman bin Abu Hafs Umar Basyaiban BaAlawi pada abad ke-17 Masehi.
Pada zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, beberapa keturunan Arab dirajakan oleh masyarakat setempat, antara lain di Jawa (Demak, Cirebon, Banten, dan Sumedang Larang), Sumatra (Peureulak, Aceh, Siak, Pelalawan, dan Riau-Lingga), hingga Kalimantan (Sambas, Pontianak, Mempawah, Kubu, Sabamban, dan Pasir). Selain itu, sejak lama pula banyak sekali keturunan Arab yang menjadi pedagang, dan mereka tersebar di berbagai penjuru kepulauan Indonesia.
Kaum Arab Hadramaut yang datang pada abad ke-18 dan sesudahnya, tidak banyak melakukan pernikahan dengan penduduk asli sebagaimana gelombang kedatangan yang sebelumnya. Mereka datang sudah membawa nama marga-marga yang terbentuk belakangan (sekitar abad 16-17). Keturunan kaum Arab Hadramaut yang datang belakangan ini, masih mudah dikenali melalui nama-nama khas marga mereka. Warga Arab-Indonesia sampai saat ini turut berperan aktif dalam bidang keagamaan Islam dan berbagai bidang kehidupan lainnya di Indonesia.[6]
Dalam sejarah pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh komunitas Ba' Alawi atau para Sayyid (Syihab, 2004:237-238), antara lain:[33]
Kerajaan Peureulak didirikan tahun 225 Hijriyah atau 840 Masehi oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Ia adalah putra dari Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja'far ash-Shadiq, generasi ke 8 dari Rasulullah S.A.W.
Sultan Demak pertama adalah Raden Patah, ia adalah murid dan menantu Sunan Ampel. Meski terdapat berbagai versi terkait asal usul pendiri Kerajaan Demak ini, namun menurut data sejarah dari al-Habib Hadi bin Abdullah al-Haddar dan al-Habib Bahruddin Azmatkhan Ba’Alawi, Raden Patah adalah putera dari Sultan Abu Abdullah (Wan Bo atau Raja Champa) bin Ali Nurul Alam bin Maulana Husain Jumadil Kubro bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik bin Alawi Amal al-Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Menurutnya, terjadi pemutar balikan sejarah terkait nasab Raden Patah oleh tokoh-tokoh orientalis asing pada waktu itu yang menyimpangkan nasab Raden Patah kepada Brawijaya V atau Bhre Kertabumi, Raja Majapahit terakhir dari Dinasti Raden Wijaya, yang bahkan kekeliruan sejarah tersebut juga tercantum dalam Babad Tanah Jawi Galuh Mataram.[34][35]
Kerajaan Kubu didirikan pada tahun 1911 H atau 1778 M, Sultan pertamanya adalah Syarif Idrus bin Abdurrahman Alaydrus. Pada tahun 1958 M, Sultan Kubu terakhir, Syarif Hasan bin Zen ‘Alaydrus, menyerahkan kesultanan ke pemerintah Republik Indonesia.
Raja Islam pertama Kesultanan Sambas adalah Raden Sulaiman, yang dinobatkan pada tahun 1671 dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin I. Raden Sulaiman merupakan putera dari Sultan Sarawak pertama, Pangeran Muda Tengah bin Sultan Muhammad Hasan. Kakeknya, Sultan Muhammad Hasan merupakan Sultan Brunei ke-10. Dari silsilah Sultan Muhammad Hasan inilah Raden Sulaiman memiliki garis keturunan kepada Sultan Syarif Ali dari Tha'if, Sultan Brunei ke-4 yang merupakan menantu dari Sultan Brunei ke-3 Sultan Ahmad.[36]
Penguasa pertama Kerajaan Pasir adalah Putri Betung atau Putri Di Dalam Petung. Putri Betung menikah dengan seorang keturunan Arab bernama Pangeran Indera Jaya dari Gresik dan dikaruniai dua orang anak, Adjie Patih Indra dan Putri Adjie Meter. Pada perkembangan selanjutnya, Adjie Patih menggantikan kedudukan ibunya sebagai raja di Kerajaan Pasir. Sedangkan Putri Adjie Meter menikah dengan seorang Arab keturunan Ba' Alawi dari Kesultanan Mempawah. Suami dari Putri Adjie Meter inilah yang kemudian menyebarkan agama Islam di Kerajaan Pasir sekitar tahun 1600Masehi.[38]
Pernikahan antara Putri Adjie Meter dengan seorang Arab keturunan Ba' Alawi dari Mempawah dikaruniai dua orang anak, Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Putri Ratna Berana kemudian dinikahkan dengan Adjie Anum bin Adjie Patih Indra. Keturunan dari pernikahan antara Putri Ratna Berana dan Adjie Anum inilah yang nantinya akan menurunkan raja-raja di Kerajaan Pasir.[39]
Alattas, Alwi (2005): Pan-Islamism and Islamic Resurgence in the Netherlands East Indies: The Role of Abdullah ibn Alwi Al-Attas (1840-1928). International Conference Proceeding The Yemen–Hadrami in Southeast Asia: Identity Maintenance or Assimilation? Kuala Lumpur: International Islamic Universiy Malaysia (IIUM).
Al-Kaff, Seggaff bin Ali. 1992. Diraasat fi Nasab as-Saadat banii ‘alawii: Dzuriyyat al-Imam al-Muhajir Ahmad ibn ‘Isaa. Kuala Lumpur: Utusan Printcorp Sdn. Nhd.
Van den Berg, L.W. C. (1886/2010) Orang Arab di Nusantara. Jakarta: Komunitas Bambu.