Rafiuddin (yang bernama asli Joyo Miharjo[5]) bukan merupakan warga Banten, ia adalah seorang dari Rembang yang kemudian diberi kedudukan di wilayah Banten oleh pemerintah kolonial. Hubungan darah antara keduanya terbentuk karena Rafiuddin menikah dengan adik Ratu Asyiah (Ibunda Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin). Dengan begitu, gelar resmi Sultan Banten terakhir dari trah Kesultanan Banten yang semestinya adalah pada Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin (yang berkuasa dari tahun 1809 - 1813), bukan pada nama Rafiuddin dari Rembang (1813 - 1820) yang sekadar sebagai Sultan Bupati atau Sultan Tituler dan bukan dari keturunan para Sultan Banten, karena setelah dinobatkannya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai Sultan Banten pada tahun 1809, tidak ada lagi penobatan gelar Sultan di wilayah Banten kecuali dinobatkannya KH.Tb.A. Syadzili wasee sebagai Ketua Kenadziran Banten Lama2020.[2]
1. Sejak masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, gelar-gelar kebangsawanan Banten ditertibkan: Sultan untuk raja, Pangeran Ratu untuk putra mahkota atau pewaris takhta pertama, Pangeran Adipati untuk pewaris takhta kedua atau adik Pangeran Ratu. Gelar Pangeran Ratu berkembang menjadi Tubagus sementara Pangeran Adipati berkembang menjadi Adipati MAS. Keturunan Tubagus menyebar di daerah Banten / Jawa Barat sementara keturunan Adipati MAS menyebar di Surabaya / Jawa Timur. Di Pemakaman Boto Putih pembagian ini menjadi dasar pembagian kawasan Kasepuhan dan Kanoman.[10].
2. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 dan meminimalkan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC[11].
3. Ketika Sultan Abdullah Muhammad Syifa Zainularifin dibuang ke Ambon, istrinya yang bernama Ratu Syarifah Fatima berhasil membujuk Gustaaf Willem baron van Imhoff selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menobatkan putranya dari suami terdahulu sebagai Sultan Banten.[12] Pangeran Syarifuddin naik takhta dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil, tetapi pada kenyataannya yang berkuasa adalah Ratu Syarifah Fatima.[1] Hal tersebut yang menyebabkan tidak diakuinya Sultan Syarifuddin Ratu Wakil maupun Ratu Syarifah Fatima sebagai Sultan Banten ke-11.[13]
Pewaris Kesultanan setelah dihapuskan Belanda
Setelah dihapuskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda maka Kesultanan Banten berubah menjadi lembaga kenadziran yang fungsinya adalah mengelola segala peninggalan Kesultanan Banten termasuk makam, masjid hingga bekas keraton. Karena sudah berubah fungsi maka para pewaris Kesultanan Banten hanya bertugas untuk memupuk tali silaturahmi antar keluarga kesultanan.