Maulana Muhammad Shafiuddin dari Banten
Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin, juga dikenal dengan nama Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, merupakan seorang sultan pada Kesultanan Banten yang berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1809-1813. BiografiSultan Muhammad Syafiuddin merupakan salah seorang putera dari Sultan Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.[1] Ia naik takhta menggantikan Sultan Aliuddin II setelah sebelumnya posisi sultan diwakilkan oleh Caretaker Sultan Wakil Suramenggala, karena Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin belum cukup dewasa. Pada masa kekuasaannya, Kesultanan Banten telah begitu lemah, akibat tekanan dari beberapa kekuatan global yang silih berganti memengaruhi Kesultanan Banten. Sebelumnya pada 22 November 1808, Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Kemudian pada masa pemerintah kolonial Inggris, sekitar tahun 1813, Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles,[2] sekaligus mengakhiri riwayat Kesultanan Banten. KarierAnak-AnakDengan dibuangnya Sultan Banten Aliyuddin II, maka dari keluarga besar Trah Kesultanan Banten dilantiklah pewaris tahta putra Sultan Penuh Banten ke-14 sebagai Sultan Penuh Banten ke-17 dari garis ibu yang permaisuri (Ratu Aisiyah), kembali sesuai keutamaan pakem pewaris tahta kesultanan Banten, dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin. Beliau adalah saudara sepupu Sultan Penuh Banten ke-15 dan ke-16. Beliaulah yang merupakan Sultan Penuh Terakhir Banten Berdaulat dari garis keturunan pewaris tahta resmi Kesultanan Banten. Dikarenakan dianggap belum dewasa dan masih dalam tahap pendidikan dan persiapan kepemimpinan sebagai Sultan maka secara administratif diangkatlah care take Sultan Wakil Pangeran Suramenggala yang menjabat tahun 1808-1809. Dalam sebagian penulisan sejarah Kesultanan Banten yang menyertakan para care taker Sultan Wakil sebagai Sultan Banten; caretaker Sultan Wakil Pangeran Suramenggala kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke-19, sebelumnya Sultan Penuh Banten ke-16 diurutkan sebagai Sultan Banten ke-18 dan Sultan Penuh Banten ke-17 kerap ditulis sebagai Sultan Banten ke-20.[3] DewasaKetika telah dewasa Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin menikah dengan Ratu Putri Fatimah binti Pangeran Ahmad bin Sultan Aliyuddin I (Sultan Penuh Banten ke-13) sebagai penanda pengakuan keluarga dari keturunan Sultan Aliyuddin I atas hak dan sahnya Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sebagai pewaris tunggal Kesultanan Banten. Dikarenakan ketidak puasan rakyat terhadap Belanda yang menindas, sering terjadi perlawanan kepada Belanda, untuk melemahkan perlawanan rakyat, Banten dibagi kedalam tiga daerah yang statusnya sama dengan kabupaten yakni: Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin kala itu ditunjuk Belanda untuk memimpin Banten Hulu. Sedangkan untuk kepentingan politis, Belanda juga menunjuk suami dari bibi Sultan Shafiuddin, yakni Joyo Miharjo dari Rembang suami Ratu Arsiyah bibi Sultan Shafiuddin sebagai, sebagai Bupati Banten Hilir dengan gelar Sultan Tituler Bupati Muhammad Rafiuddin. Hal ini membuat beberapa kesalahan dalam penulisan sejarah Kesultanan Banten bahwa Sultan Terakhir Kesultanan Banten adalah Sultan Rafiuddin yang disalah kira sebagai anak Sultan Shafiuddin. Padahal Rafiuddin bukan pewaris sah keturunan para Sultan Banten melainkan orang Rembang yang diberikan pangkat (Tituler) oleh Belanda sebagai Bupati dengan Gelar Sultan Bupati.[4] KeluargaAdapun anak-anak dari Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin adalah:
Anak-anak Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin sempat disalah kira dalam beberapa penulisan sebagai anak dari Sultan Tituler Bupati Rafiuddin. Hal ini dikarenakan masyhur dikenal bahwa merekalah anak-anak Sultan Terakhir Banten, namun terjadi kesalah fahaman mengenai Sultan Terakhir Banten yang resmi dari trah Kesultanan Banten yang semestinya pada Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin, bukan pada nama Rafiuddin dari Rembang yang sekadar Sultan Tituler Bupati yang diangkat Belanda dan bukan dari keturunan para Sultan Banten.[5] Pengasingan dan kematianSemenjak tahun 1809, Wilayah Kesultanan Banten sudah banyak diotak-atik penjajah Asing dengan pembagian-pembagian wilayah yang meminimalisir kekuatan pengaruh Kesultanan Banten dan untuk memperlemah perlawanan Rakyat Banten yang sering kali terus melawan. Pada saat terjadi peralihan kekuasaan di Nusantara dari Belanda kepada Inggris, diakibatkan kekalahan Napoleon Bonaparte dari Prancis kepada Inggris. Gubernur Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dari pemerintahan Inggris tahun 1813 membagi wilayah Banten menjadi 4 Kabupaten yakni Banten Lor (Banten Utara kelak menjadi Kabupaten Serang), Banten Kidul (Banten Selatan kelak menjadi Kabupaten Caringin yang pada tahun 1907 masuk kedalam Kabupaten Pandeglang), Banten Tengah (Kelak menjadi Kabupaten Pandeglang) dan Banten Kulon (Banten Barat kelak menjadi Kabupaten Lebak). Pada tahun 1816 kekuasaan dikembalikan dari Inggris kepada Belanda. Pada tahun 1832, dikarenakan adanya perlawanan dari rakyat Banten yang terus menerus kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama dengan adanya Bajak Laut Selat Sunda. Pemerintah Belanda menganggap adanya bantuan Kesultanan Banten dalam perlawanan tersebut, sehingga pada tahun tersebut Sultan Maulana Muhammad Shafiuddin dan keluarga dibuang Belanda ke Surabaya hingga wafatnya pada tahun 1899 dan dimakamkan di Pemakaman Boto Putih Surabaya di seberang pemakaman Sunan Ampel.[6] Referensi
Pranala luarWebsite Kesultanan Banten
|