Aksara Sunda Kuno
Aksara Sunda Kuno (bahasa Sunda: ᮃᮊ᮪ᮞᮛ ᮞᮥᮔ᮪ᮓ ᮘᮥᮠᮥᮔ᮪, translit. Aksara Sunda Buhun) merupakan aksara yang berkembang di wilayah barat Pulau Jawa pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yang pada awalnya digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda Kuno. Aksara Sunda Kuno merupakan perkembangan dari Aksara Pallawa yang mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah lontar pada abad ke-16. SejarahPenggunaan Aksara Sunda Kuno dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang ditemukan di Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi. Edi S. Ekajati mengungkapkan bahwa keberadaan Aksara Sunda Kuno sudah begitu lama tergeser karena adanya ekspansi Kerajaan Mataram Islam ke wilayah Priangan kecuali Cirebon dan Banten. Pada waktu itu para menak Sunda lebih banyak menjadikan budaya Jawa sebagai anutan dan tipe ideal. Akibatnya, kebudayaan Sunda tergeser oleh kebudayaan Jawa. Bahkan banyak para penulis dan budayawan Sunda yang memakai aksara dan ikon-ikon Jawa. Bahkan VOC pun membuat surat keputusan, bahwa aksara resmi di daerah Jawa Barat hanya meliputi Aksara Latin, Aksara Arab Gundul (Pegon) dan Aksara Jawa (Cacarakan). Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 3 November 1705. Keputusan itu pun didukung para penguasa Cirebon yang menerbitkan surat keputusan serupa pada tanggal 9 Februari 1706. Sejak saat itu Aksara Sunda Kuno terlupakan selama berabad-abad. Masyarakat Sunda tidak lagi mengenal aksaranya. Kalaupun masih diajarkan di sekolah sampai penghujung tahun 1990-an, rupanya salah kaprah. Pasalnya, yang dipelajari saat itu bukanlah Aksara Sunda Kuno, melainkan Aksara Jawa yang diadopsi dari Mataram dan disebut dengan Aksara Cacarakan. Usaha memperkenalkan kembali Aksara Sunda Kuno dilakukan di antaranya dengan mengadakan seminar-seminar di perguruan tinggi pada dasawarsa 1990-an. Pada awal tahun 2000-an sebuah surat kabar berbahasa Sunda yaitu surat kabar Mandiri memiliki satu rubrik tetap yang berisi latihan membaca Aksara Sunda Kuno sebagaimana digunakan dalam naskah Carita Ratu Pakuan yang disebut Aksara Sunda Ratu Pakuan. Aksara Sunda Kuno umumnya dijumpai pada naskah-naskah berbahan daun lontar yang tulisannya digoreskan dengan pisau yang disebut peso pangot. Naskah pada daun lontar yang ditulis menggunakan aksara ini di antaranya adalah Bujangga Manik, Sewaka Darma, Pakeling, Carita Ratu Pakuan, Carita Parahyangan, dan Fragmen Carita Parahyangan. Sedangkan naskah pada kertas daluwang yang ditulis menggunakan aksara ini di antaranya adalah Carita Waruga Guru dan Wirid Nur Muhammad. Aksara Sunda Kuno terdapat pada kolom 89 - 92 di dalam Tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten karya Karel Frederik Holle yang diterbitkan pada tahun 1882. Dalam perkembangannya, Aksara Sunda Kuno tidak mempertahankan huruf-huruf dari Aksara Kawi yang tidak digunakan dalam Bahasa Sunda Kuno. Huruf-huruf Aksara Kawi yang punah pada Aksara Sunda Kuno yaitu:
Sunda Kuno dan Sunda BakuPada awal tahun 2000-an pada umumnya masyarakat Sunda hanya mengenal adanya satu jenis aksara di Tatar Sunda yang disebut sebagai Aksara Sunda. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa setidaknya ada empat jenis aksara yang menyandang nama Aksara Sunda, yaitu Aksara Sunda Kuno, Aksara Sunda Cacarakan, Aksara Sunda Pegon, dan Aksara Sunda Baku. Dari empat jenis Aksara Sunda ini, Aksara Sunda Kuno dan Aksara Sunda Baku dapat disebut serupa tetapi tak sama. Aksara Sunda Baku merupakan modifikasi Aksara Sunda Kuno yang telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menuliskan Bahasa Sunda kontemporer. Modifikasi tersebut meliputi penambahan huruf (misalnya huruf va dan fa), pengurangan huruf (misalnya huruf re pepet dan le pepet), dan perubahan bentuk huruf (misalnya huruf na dan ma). Galeri
Sumber
Lihat pulaPranala luar
|