Kata lemes dusun atau kecap lemes dusun (aksara Sunda baku: ᮊᮨᮎᮕ᮪ ᮜᮨᮙᮨᮞ᮪ ᮓᮥᮞᮥᮔ᮪, pengucapan bahasa Sunda: [ləməsdusʊn], juga dikenal sebagai kata lemes kampung atau kecap lemes kampung) adalah salah satu kosakata bahasa Sunda yang merupakan jenis kata lemes rekaan/baru yang tidak baku. Kata ini tercipta atas ketidaktahuan seorang penutur bahasa Sunda dalam menggunakan tatakrama bahasa sunda secara benar dan terpengaruh oleh kebutuhan untuk menggunakan kata lemes secara menyeluruh dalam suatu wacana.[1] Selain itu, pengertian lemes dusun juga mencakup kesalahan dalam penerapan aturan tatakrama bahasa Sunda, seperti ketidaktepatan penggunaan kosakata lemes/sedeng, misal dengan mempergunakan kata lemes untuk digunakan terhadap diri sendiri (seharusnya untuk orang lain) maupun penggunaan kata sedeng yang ditujukan terhadap orang lain (seharusnya untuk diri sendiri). Penggunaan kata lemes dusun juga biasanya hanya ditemui pada wilayah tertentu komunitas penutur bahasa Sunda.[2]
Karakteristik
Kata lemes dusun kebanyakan tercipta dari penganalogian penciptaan kata lemes lainnya (yang baku) yang hanya mengubah bunyi suku kataterakhir sebuah kata loma.[3] Misalnya perubahan bunyi suku kata terakhir (ultima) a → i pada kata tampa (terima) menjadi tampi. Perubahan bunyi tersebut kemudian dijadikan dasar untuk membentuk kata lemes lain yang belum ada. Contoh proses pembentukan kata lemes dusun adalah kata tatangga (tetangga) yang tidak memiliki bentuk lemes kemudian diubah menjadi tatanggi. Selain dari perubahan bunyi akhir suatu kata dengan berdasar pada kata lain, pembentukan kata lemes dusun juga dilakukan dengan cara yang sewenang-wenang yang dilakukan tanpa dasar apapun, seperti perubahan engké menjadi engkin (nanti), lalu ada pula yang dibentuk dengan cara menggeser makna suatu kata atau meminjam kata lemes lain yang memiliki kedekatan makna, seperti pada kata saeutik (sedikit) yang berasal dari kata sa- (se-) dan eutik (dikit) kemudian kata eutik diubah dengan kata lemes yang memiliki makna yang dekat yakni alit (kecil), sehingga saeutik berubah menjadi saalit.[4]
Selain itu juga ada beberapa kata yang sudah termasuk ke dalam kata lemes atau sedeng, kemudian dilemeskan lagi untuk memperindah kata,[5] seperti contohnya adalah kata dongkap (datang) diubah menjadi dongkip.
Contoh kosakata
Pembentukan
Di bawah ini adalah contoh kata lemes dusun (bercetak tebal) yang sudah cukup lumrah digunakan baik itu dalam ragam lisan maupun tulisan beserta proses pembentukan dengan padanannya dalam kata loma dan padanannya dalam kata lemes yang baku (jika ada).
Dasar
Loma
Tak bertingkat
Lemes (baku)
Lemes dusun
Indonesia
Keterangan
Proses pembentukan
Contoh kata baku
ultima -ma menjadi -mi
utama-utami
agama
agami
agama
ultima -di menjadi -nten
jadi
janten
jadi
*sudah cukup sering digunakan dalam tulisan
ultima -ra menjadi -wis
antara-antawis
samentara
samentawis
sementara
ultima -tu menjadi -tos
tangtu-tangtos
bantu
bantos
bantu
*sudah cukup sering digunakan dalam tulisan
ultima -u menjadi -on
pangku-pangkon
Minggu
Minggon
Minggu
*arti Minggon sesungguhnya adalah mingguan
ultima -na menjadi -nten
nyana-nyanten
mana
manten
mana
ultima -ka menjadi -ki
langka
awis-awis
langki
langka
ultima -ga menjadi -gi
prayoga-prayogi
harga
pangaos
hargi
harga
vokal a menjadi i
cukup
cekap
cekip
cukup
pergeseran makna
kuring
abdi
pribados
saya
*peminjaman pasangan kata pribadi-pribados (pribadi).[4]
Nama-nama daerah seperti kota/kabupaten, kecamatan, desa maupun nama-nama tempat lainnya yang diciptakan bentuk lemesnya juga dapat disebut sebagai kata lemes dusun, beberapa nama wilayah yang memiliki padanan kata lemes dusun di antaranya yaitu:[4]
Meskipun kata lemes dusun adalah jenis kata yang tidak baku, penggunaannya diperbolehkan dalam perbincangan informal yang menggunakan bahasa hormat, baik itu hormat ka batur maupun hormat ka sorangan (setara dengan kata lemes enteng).
Contoh kalimat
Di bawah ini adalah contoh-contoh penggunaan kosakata lemes dusun dalam kalimat bahasa Sunda.[8]
Abdi ogé harita téh nembé dongkip pisan.
Perkawis taeun téh, parantos ku abdi dipariksakeun ka Juragan Suria Sumantri.
Teu acan meujeuhna sakola putra mah, margi alip kénéh.
Ari panyana abdi, juragan téh moal wangsul ayeuna.
Nembé ayeuna pisan pun emang mah ngadangu dongéng sakitu ahéngna.
Badé angkat ka manten, Agan?
Anu mawi teu acan prung...., ku margi pisarateunana teu acan cekip.
Upami nyondong artosna mah, abdi ogé hoyong mésér baju anu cara kagungan téh.
Sanaos tebih ogé, jisim abdi badé maksakeun baé.
Perkawis éta ugi, ku émutan, peryogi dibarempagkeun.
Pantes baé seueur anu ngalantung ogé, margi keur halodo téh, caang sasih deuih.
Bet geuning buktosna mah tojaiah pisan sareng anu parantos dipasihkeun.
Basa Sunda, anu direumbeuy ku basa Kosta, henteu matak janten kamajengan kanggo kasusastran Sunda.
Dupi pribados mah nembé terang ayeuna kana perkawis anu bieu téh.
Atuh upanten kitu mah, sesah ngajalankeunnana.
Wartosna Juragan Guru anu énggal mah, dipikaresep ku murid-muridna.
Diwagel ku abdi ogé, nanging keukeuh baé mios (Kata diwagel adalah kosakata rekaan, kata yang benar seharusnya adalah wagelan)
Ekadjati, E.S.; Masduki, Aam (1993). Wawacan Carios Munada. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 55. OCLC30657619.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Sudaryat, Y. (2005). Kamus Istilah Élmuning Basa Sunda (dalam bahasa Sunda). Bandung: Karya Iptek.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)