Aksara BudaAksara Buda atau Aksara Gunung adalah sejenis aksara arkais yang berdasarkan bentuknya masih memiliki kedekatan dengan aksara Kawi. Aksara ini dahulu digunakan di Pulau Jawa. Jenis aksara ini dinamakan aksara Buda karena dianggap berasal dari zaman pra-Islam yang dalam bahasa Sunda dan Jawa disebut sebagai Zaman Buda. Kata Buda berdasarkan kata Buddha. Naskah-naskah yang berisikan tulisan menggunakan aksara Buda biasa ditemukan di daerah pegunungan. Karena itu jenis aksara ini juga disebut dengan istilah "Aksara Gunung". Kerancuan NamaPenyebutan aksara Buda muncul dalam buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles tahun 1817.[1] Penyebutan aksara Buda atau Gunung selanjutnya dikemukakan oleh Casparis (1975).[2] Berdasarkan tinjauan pustaka, nama Aksara Buda atau Aksara Gunung dapat merujuk kepada dua model aksara, yaitu aksara yang digunakan pada naskah-naskah lontar dari koleksi Merapi-Merbabu di Jawa Tengah,[3][4] dan pada naskah-naskah gebang yang berasal dari daerah Jawa Barat.[2][5][6] Menarik untuk dicatat bawa teks Arjunawiwaha[7][8] dan Kunjarakarna[9] terdapat dalam beberapa naskah, kedua teks tersebut di antaranya ada yang ditulis dalam model aksara Buda Merapi-Merbabu dan ada juga yang memakai aksara Buda model Jawa Barat.[10] Model Merapi-MerbabuAksara Buda digunakan untuk menyebut model aksara yang digunakan pada koleksi naskah-naskah yang ditemukan di lereng gunung Merapi-Merbabu,[11] bentuk aksranya khas, berbeda dengan aksara Jawa dan Bali.[3] Naskah-naskah koleksi Merbabu (kini disimpan di Perpustakaan Nasional RI) yang menggunakan model aksara seperti ini ada yang berbahasa Sunda Kuno seperti naskah yang berasal dari daerah Pekalongan berjudul Kala Purbaka.[12] Sementara naskah lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno di antaranya Darmawarsa,[13] Gita Sinangsaya,[14] dan Kunjarakarna[9]. Satu buah naskah dengan model aksara ini juga ditemukan di daerah Buleleng, Bali tahun 2019.[15] Teks yang ditulis dengan aksara ini umumnya berisi ikhstisar keagamaan Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal, tetapi dalam beberapa bagian terdapat unsur keagamaan Islam.[16] Model Jawa BaratBeragam sebutan nama untuk aksara ini telah dikemukakan oleh beberapa ahli naskah kuno, antara lain K.F. Holle (1877) menyebutnya aksara Kawi-kuadrat (Kawi-kwadraat-letter),[17] Pigeaud (1968) menyebutnya sebagai aksara tebal semi kursif Jawa Barat,[18] sedangkan Casparis menyebutnya sebagai aksara Buda atau Gunung.[2] Kerancuan penyebutan nama terhadap model aksara pada naskah gebang yang cukup berbeda ini dikemukakan oleh Andrea Acri dalam disertasinya ketika membahas naskah Dharma Patanjala.[2] Naskah yang ia garap terlacak dari koleksi Merapi-Merbabu di Jawa Tengah, tetapi lebih jauh ia memperkirakan bahwa pada mulanya naskah itu berasal dari daerah Jawa Barat, di mana tradisi penulisan naskah gebang lebih berkembang.[2] Oleh karena itu ia membuat alternatif sebutan khusus untuk aksara Buda yang dituliskan pada daun gebang, yaitu Aksara Jawa Kuno Barat (Western Old Javanase Script).[2] Model aksara Buda yang berasal dari Jawa Barat dituliskan pada media daun gebang (sebelumnya disebut nipah), menggunakan tinta hitam organik.[19] Gaya yang digunakan yaitu tipis-tebal. Naskah-naskah yang menggunakan aksara model ini antara lain Sang Hyang Siksa Kandang Karesian,[20] Sang Hyang Raga Dewata, Sang Hyang Tatwa Ajnyana, dan Langgeng Jati.[21] Naskah-naskah tersebut seluruhnya ditulis dalam bahasa Sunda Kuno. Selain itu ada pula naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, seperti Sang Hyang Hayu, Dharma Patanjala, Arjunawiwaha, dan Bhimaswarga. Kakawin Arjunawiwaha yang menggunakan aksara Buda model Jawa Barat adalah naskah tertua (ditulis tahun 1344 M) yang diketahui hingga saat ini, pada mulanya berasal dari daerah Bandung.[7][8][10] Dalam penelitian Van der Molen, naskah Kunjarakarna koleksi Perpustakaan Universitas Leiden kode LOr 2266 yang ditulis dengan aksara Buda model Jawa Barat memiliki tingkat ketelitian yang paling tinggi di antara naskah lain yang ia teliti.[9] Rujukan
|