Artikel ini mengenai gebang sebagai bahan naskah manuskrip. Untuk artikel mengenai tanaman gebang silakan melihat: gebang
Gebang adalah sejenis tumbuhan palem yang daunnya dimanfaatkan sebagai salah satu jenis alas tulis naskah kuno di Indonesia, khususnya dalam tradisi tulis Sunda Kuno.[1] Semula, bahan naskah ini sering disebut sebagai nipah. Tumbuhan nipah (Nypa fruticans)sendiri merupakan spesies yang berbeda dengan gebang (Corypha gebanga) maupun lontar (Borassus flabellifer).[2][3][4] Umumnya, naskah-naskah gebang yang ada saat ini terlacak berasal dari tradisi Sunda di Jawa Barat.[5][6] Beberapa naskah tercatat dalam katalog naskah Merapi-Merbabu, namun diragukan berasal dari tradisi Jawa (Tengah) Kuno.[7]
Tipologi
Naskah-naskah gebang memiliki karakterisitik hampir serupa dengan naskah lontar, namun beberapa perbedaan bisa diamati dengan lebih seksama. Daun yang digunakan lebih tipis, lebihlebar dan lebih mengkilap. Setiap lempit memiliki tiga lubang, di mana lubang yang berada di tengah memiliki ukuran lebih besar dari dua lubang di bagian samping. Warnanya coklat tua hingga coklat muda dengan tekstur daun memiliki kerutan-kerutan tipis membujur (horizontal). Bundelan naskah disatukan dengan seutas tali yang dimasukkan ke lubang bagian tengah. Beberapa naskah memiliki kotak kayu pelindung (kropak), berwarna coklat kemerahan atau hitam.[8][9]
Aksara yang dituliskan pada daun gebang menggunakan tinta hitam organik dengan sejenis alat tulis "kalam" yang diperkirakan oleh K.F. Holle terbuat dari harupat (dari bahasa Sunda, yang berarti 'lidi ijuk pohon aren').[1][10] Model aksaranya telah dibahas oleh beberapa paleograf maupun filolog, antara lain Casparis menyebutnya sebagai aksara Buda atau Gunung. Nama tersebut kemudian diikuti oleh Willem Van Der Molen dalam disertasinya ketika membahas salah satu naskah Kunjarakarna berbahan gebang koleksi Perpustakaan Leiden, Belanda.[6] Penamaan jenis aksara ini tampaknya belum memuaskan bagi Andrea Acri yang memberi sebutan lain, yaitu "Aksara Jawa Kuno Barat", dalam disertasinya yang membahas naskah gebang Dharma Patanjala berbahasa Jawa Kuno koleksi Perpustakaan Berlin, Jerman.[5]
Istilah ‘nipah’ pada tahun 1862 oleh K.F. Holle untuk pertama kalinya (Notulen 1, 1862–1863: 14). Lima tahun kemudian, Holle (1867) memerikan tiga naskah gebang yang disebutnya nipah yang berasal dari sumbangan Raden Saleh. Ketiga naskah itu diidentifikasikan oleh Holle sebagai MSA, MSB, dan MSC. Diketahui kemudian bahwa MSA adalah naskah BGKW bernomor L 632 (Kabuyutan Galunggung), MSB bernomor L 630 (Sang Hyang Siksa Kandang Karesian), dan MSC bernomor L 631 (Chanda-karaṇa).[1][8][14]
Kajian kodikologis tentang naskah nipah nyaris tidak mendapat perhatian dalam kepustakaan. Ada beberapa artikel atau catatan katalog yang membicarakan nipah, tetapi terbatas pada pengamatannya terhadap naskah nipah yang tersedia. Asal-usul serta produksi daun nipah sebagai alas tulis masih menjadi pertanyaan besar.[1]
Dalam pengantar buku Tabel van Oud- en Nieuw-Indische Alphabetten (1882), Holle memberikan gambaran umum mengenai naskah dengan bahan yang ia duga sebagai nipah. Tiga hal yang penting dicatat dari ulasan Holle adalah: (1) tempat ditemukannya naskah nipah, (2) alat tulis yang digunakan, dan (3) bentuk aksara. Holle menyatakan bahwa selain dari Jawa Barat, sejumlah kecil naskah nipah juga ditemukan di Merapi-Merbabu. Terkait aksara, Holle menyebut aksara yang tertera pada nipah sebagai aksara Kawi-kuadrat (Kawi-kwadraat-letter).[1][14]
Hipotesa van Lennep dalam tesisnya menempatkan khazanah naskah nipah sebagai bagian dari koleksi perpustakaan kerajaan di Jawa Barat.[1][15] Dari hasil pengamatan van der Molen yang secara cermat mengamati fisik sebuah naskah nipah tertentu, yang mengandung teks Kuñjarakarṇa, ia sampai pada hipotesa bahwa terdapat dua kemungkinan berkaitan dengan kebakuan ukuran daun untuk alas naskah.[6] Jika alatnya yang baku, maka dapat diperoleh petunjuk penting mengenai identitas bengkel melalui ukuran naskah, panjang, lebar, jarak antar lubang dan jarak lubang dengan tepi daun. Jika jenis daunnya yang baku, maka ukurannya boleh jadi sama dalam kawasan yang luas.[1][6]
Kajian Andrea Acri miliputi identifikasi hampir seluruh naskah nipah yang tersedia.[1] Teks yang secara khusus ditelaahnya adalah Dharma Pātañjala, sebuah naskah nipah yang ditemukan di Merapi-Merbabu, bukan di Jawa Barat seperti pada umumnya. Mengenai tempat ditemukannya naskah tersebut, Acri mengemukakan bahwa pada masa lalu mungkin terdapat hubungan antara skriptorium dari Jawa Barat dan Merapi-Merbabu.[5] Terbuka juga kemungkinan bahwa beberapa naskah nipah dari skriptorium di Jawa Barat, entah dengan cara apa, dapat sampai ke Merapi-Merbabu sebelum tahun 1759, yaitu tahun kematian Pendeta Windu Sona, pemilik naskah terakhir sebelum diakuisisi BGKW. Hubungan antar kedua skriptorium tersebut juga memungkinkan terjadinya pertukaran naskah di masa lalu.[1][5] Dari informasi yang telah dikemukakan oleh para peneliti tersebut, Aditia Gunawan sampai pada pertanyaan "adakah sumber tulisan sezaman dari Jawa yang membicarakan nipah sebagai alas tulis?"[1][8]
Keterangan beberapa peneliti yang merujuk pada wilayah Jawa Barat sebagai sumber naskah-naskah nipah, menjadi petunjuk untuk menelusuri sumber-sumber tertulis (naskah) dari Jawa Barat. Dalam hal ini, Aditia Gunawan menemukan sumber primer yang membahas gebang sebagai alas tulis dari naskah berbahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno yang berasal dari Jawa Barat. Selain itu, informasi mengenai gebang didapatkan juga dari tradisi lisan Sunda, carita pantun.[1][8]
Penyebutan di dalam Naskah Kuno
Teks dalam naskah dari Jawa Barat yang memuat informasi mengenai penggunaan gebang sebagai alas tulis antara lain Sanghyang Sasana Maha Guru (L 621),[16]Sanghyang Swawarcinta,[17] dan Bhima Swarga (L 455 dan L 623)[18] koleksi Perpustakaan Nasional RI.[1]
Rujukan
^ abcdefghijklAtep Kurnia, Aditia Gunawan (2019). Tata Pustaka: Sebuah Pengantar terhadap Tradisi Tulis Sunda KUna. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI & Manassa.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ensiklopedia Indonesia (dalam bahasa Melayu). W. van Hoeve. 1954. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2020-06-14.
^Sugondo, R. M. G. (1954). Ilmu bumi militer Indonesia (dalam bahasa Melayu). Pembimbing. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2020-06-14.
^Grashuis, Gerhardus Jan (1874). De Soendanesche tolk (dalam bahasa Sunda). A.W. Sijthoff. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-11. Diakses tanggal 2020-06-14.
^Nasional (Indonesia), Perpustakaan; K, Setyawati; Wiryamartana, I. Kuntara; Molen, Willem (2002). Katalog naskah Merapi-Merbabu. Universitas Sanata Dharma. ISBN978-979-8927-61-4. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2020-06-14.
^van Lennep, D. (1969). “Some observations on the nipah leaf kropaks from West Java, with an analysis of content and historical relevance of the manggala to the Old-Javanese Amaramala. Sydney: [Tesis BA, University of Sydney.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Wartini, Tien; Ruhimat, Mamat; Ruhaliah; Gunawan, Aditia (2011). Sanghyang swawarcinta. Kerjasama Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-29. Diakses tanggal 2020-06-14.