Sanghyang Swawarcinta adalah Naskah Sunda Kuno (NSK) yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah ini dikatalogisasi dengan nomor Inventaris L 626, sering disebut Kropak 626. Teks Sanghyang Swawar Cinta berisi rajah panjang serta petunjuk peribadatan dan tapa. Naskah Sanghyang Swawarcinta adalah satu-satunya NSK yang memiliki Ilustrasi berupa gambar ular dan manusia. Titimangsa atau waktu penulisan naskah tidak lengkap, hanya membubuhkan bulan saja, yaitu bulan ke-8 tanpa adanya tahun.
Sanghyang Swawarcinta ditulis oleh Tejanagara bertempat di Hulukumbang Batuwangi. Naskah ini 1 dari sekian naskah yang berasal dari Kabuyutan Koleang antara lain ditemukan NSK Kropak 1095 (Langgeng Jati), 1097 (Carita Jati Mula), 1099 (Pakéeun Raga), 1101 (Sasana Sang Pandita), 1102 (Para Putera Rama dan Rahwana), 1103 (Serat Jati Niskala), 1104 (Primbon), jeung Kropak 105. Ti Cisanti, Bandung, aya Kropak 620 (Tutur Bwana), 621 (Sanghyang Sasana Maha), 622 (Warugan Lemah), 623 (Bimaswarga), 624 (Sanghyang Siksa Kandang Karesian), 625 (Sri Ajnyana), dan Kropak 626 (Sanghyang Swawar Cinta).[1]
Asal-usul Naskah
Naskah Sanghyang Swawarcinta (SSC) termasuk dalam koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi L 626 peti 69. Naskah terdiri dari 39 lempir daun lontar yang berukuran 33 cm x 2,7 cm. Diapit dengan pengapit bambu. Setiap lempir mengandung empat baris tulisan. Ditulis menggunakan aksara dan bahasa Sunda Kuno. Teks SSC ditulis dalam bentuk puisi ostosilabik, yaitu puisi yang setiap baitnya terdiri dari delapan suku kata. Tetapi terdapat sejumlah kecil bait tidak memenuhi metrum delapan suku kata. Berdasarkan Catatan kepurbakalaan N. j. Krom (1914: 41), naskah ini berasal dari kelompok koleksi Bandung.
Keadaan fisik naskah cukup terawat, meski pada beberapa bagian terdapat lubang-lubang kecil akibat serangga. Bagian-bagian yang mulai rusak rupanya telah dikonservasi dengan cara laminasi. Sebagaimana halnya naskah-naskah Sunda Kuno yang ditulis di atas gebang, lontar, bambu, dan daluwang, naskah ini pun belum pernah dideskripsikan dengan baik dalam katalog sebelumnya.
Teks ini tidak secara jelas menyebut judul, tetapi pada bagian awal teks terdapat keterangan bahwa pengarang tiba tiba teringat akan Sanghyang Swawarcinta. Penegasan tentang Sanghyang Swawarcinta pada bagian awal inilah yang menjadi pertimbangan kami untuk memilih judul tersebut. Swawarcinta mungkin merupakan perubahan dari swargacyuta yang berarti „jatuh dari surga‟ (lihat Zoetmulder, s.v). Munculnya kata swawarcinta mungkin akibat dari silap baca penyalin terhadap aksara Buda. Karena bentuknya yang mirip, aksara ga dibaca wa, sementara panglayar (r) biasanya ditempatkan pada aksara sesudahnya sehingga dibaca swawarcyuta dan pada akhirnya menjadi swawarcinta. Makna Sanghyang Swawarcinta dapat berarti "sesuatu yang suci yang turun dari surga‟. Inilah yang diangan-angankan oleh pengarang pada awal teksnya. Tiba tiba ia mengangankan sesuatu yang turun dari surga, dari dalam ketiadaan (ras hedip umangen-angen, di sanghyang swawarcinta, di jero tan hanana).
Gambaran isi
Lain halnya dengan teks-teks puisi Sunda Kuno yang telah diumumkan, teks SSC memiliki keunikan tersendiri. Isi teksnya berupa rajah panjang, meliputi seluruh bagian teks. Tidak ditemukan adanya dialog ataupun tokoh cerita. Tokoh dalam teks ini selalu menyebut dirinya boncah "bocah‟ yang, dengan segala kerendahan hatinya, mencoba mengeluarkan pengetahuannya "kawacanaan‟. Seringkali ia memohon maaf kepada pembaca (atau pendengar) yang budiman agar sudi memaafkan jika disana-sini terdapat kesalahan dalam tulisannya. Jelaslah bahwa pengarang yang menyebut dirinya bocah itu pengetahuannya sangat luas. Dalam baris yang cukup panjang, ia menerangkan berbagai segi pengetahuan, baik keagamaan maupun pengetahuan lain yang ia miliki.
Ditulis di Kabuyutan
Pada tataran praktisnya, menurut Edi S. Ekadjati, ada tiga jenis kegiatan yang dilakukan di kabuyutan. Pertama, melakukan upacara ritual. Kedua, melaksanakan pendidikan. Ketiga, mendalami dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan (agama). Jenis kegiatan pertama antara lain dalam bentuk mendoakan raja serta pejabat negara dan rakyat pada umumnya, menyelenggarakan dan memimpin upacara ritual, dan membaca teks-teks keagamaan. Untuk keperluan itu pejabat negara dan masyarakat umum sering datang ke kabuyutan dan sebaliknya penghuni kabuyutan sering pula diundang ke wilayah negara. Mengajarkan pengetahuan agama, mendidik anak-anak calon pendeta, memberi nasihat orang, memberi contoh cara hidup di mandala termasuk jenis kegiatan kedua (pendidikan).
Anak-anak dan orang muda yang memilih kegiatan keagamaan sebagai jalan hidupnya memasuki kompleks dan menjadi siswa (sisya) di kabuyutan untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan (agama) dan tata cara hidup sebagai penghuni kabuyutan. Mendalami ilmu pengetahuan (agama), mengarang suatu ilmu pengetahuan, dan menulis naskah (asli atau salinan) tergolong kegiatan intelektual.
Selanjutnya Ekadjati menjelaskan mengenai bahan ajar dan spesialisasi guru-guru yang ada di kabuyutan. Ia menjelaskan bahwa bahan ajarnya berupa berbagai pengetahuan agama (Hindu-Budha) dan ajaran hidup yang berasal dari intisari pengalaman, aturan, dan renungan para leluhur (patikrama). Berbagai pengetahuan tersebut telah dikuasai oleh para guru yang kemudian disampaikannya secara lisan dan tertulis kepada siswa-siswanya. Di antara guru-guru itu ada yang memiliki spesialisasi pengetahuan, seperti: brahmana menguasai aneka macam mantra, pendeta menguasai pustaka, janggan menguasai berbagai jenis upacara ritual, pratanda menguasi ilmu agama dan parigama.
Sebagaimana uraian Ekadjati di atas, hasil akumulasi ilmu pengetahuan tersebut, baik yang ada di kabuyutan sendiri maupun yang datang dari luar, kemudian diwujudkan dalam bentuk karya tulis. Media tulisnya terdiri atas beberapa jenis bahan (lontar, nipah, kelapa, aren, pandan, bambu), sedangkan alat tulisnya berupa pisau pangot, kalam, dan tinta. Penulisan itu merupakan tugas pendeta yang menjadi penanggungjawabnya.
Di sana juga terlihat lalu-lintas naskah antar satu kabuyutan dengan kabuyutan lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya rahib atau pendeta pengelana yang (berkelana?) sambil belajar dari satu kabuyutan ke kabuyutan lain, yang tidak hanya berada di Jawa Barat saja, namun ada juga yang berada di luar Jawa Barat. Jadi, memang terjadi penulisan, penyalinan, penerjemahan, penyaduran naskah-naskah yang dihasilkan dari daerah lain dan kemudian dibawa oleh para rahib pengelana tersebut ke Tatar Jawa Barat. Contoh rahib pengelana ini adalah tokoh Bujangga Manik atau Perebu Jaka Pakuan atau Ameng Layaran yang berkeliling Pulau Jawa dan Bali. Dari Jawa Barat, ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan melintasi Pulau Bali untuk belajar keagaamaan. Dalam perjalanan tersebut memang Bujangga Manik tidak terlepas dari naskah-naskah yang dibawa dan dibacanya.
Dengan kehadiran nama-nama tempat yang berkaitan dengan pulau dan laut dapat diduga bahwa, pada prinsipnya, yang diutamakan adalah keberjarakan dari dunia ramai. Seperti yang kita saksikan dari peri kehidupan Bujangga Manik yang dalam perjalanannya senantiasa mencari tempat-tempat sepi, karena keramaian itu akan terasa mengganggunya. Dalam beberapa adegan, misalnya, ia memang mencari tempat-tempat sepi.
Referensi
- ^ "Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna". Perpustakaan Nasional RI. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-02. Diakses tanggal 2018-04-02.
Lihat juga
|
---|
Sejarah | |
---|
Budaya | |
---|
Tokoh | |
---|
Geografi | |
---|
|