Aksara Limbu
Aksara Limbu adalah aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Limbu. Aksara Limbu adalah sebuah abugida yang diturunkan dari aksara Tibet.[1] SejarahMenurut sejarah tradisional, aksara Limbu pertama kali diciptakan pada akhir abad ke-9 oleh Raja Sirijonga Haang, kemudian tidak digunakan, hingga akhirnya diperkenalkan kembali pada abad ke-18 oleh Te-ongsi Sirijunga Xin Thebe. Catatan terkait SirijongaBahasa Limbu, Lepcha dan Newari adalah anggota rumpun bahasa Sino-Tibet di Himalaya tengah yang memiliki aksara sendiri.(Sprigg 1959: 590), (Sprigg 1959: 591-592 & MS: 1-4) mengatakan bahwa Kiranti atau aksara Limbu dirancang selama periode ekspansi Buddha di Sikkim pada awal abad ke-18 ketika Limbuwan masih merupakan bagian dari wilayah Sikkim. Aksara Kiranti mungkin disusun kira-kira pada waktu yang sama dengan aksara Lepcha yang dibuat oleh raja ketiga Sikkim, Phyag-rdor Nam-gyal (ca. 1700-1717). Aksara Kiranti dianggap berasal dari pahlawan Limbu, Te-ongsi Sirijunga (arti: Sirijonga yang terlahir kembali; mengacu kepada Sirijonga Haang) yang dibunuh oleh para biarawan Tasong dalam tuduhan konspirasi dengan raja Sikkim pada waktu ketika Simah Pratap Shah menjadi raja Nepal (antara lain 11 Januari 1775 hingga 17 November 1777; Stiller 141,153). Baik Kiranti maupun Lepcha seolah-olah dirancang dengan maksud untuk melanjutkan penyebaran agama Buddha. Namun, Sirijanga adalah penganut Agama Buddha dari Limbu yang belajar di bawah Lama tinggi Sikkim. Sirijanga diberi gelar 'Sang Dorje Lama dari Yangrup'. Struktur bahasa dan aksara tersebut adalah campuran dari aksara Tibet dan Dewanagari. Tidak seperti kebanyakan anggota rumpun aksara Brahmi lainnya, Aksara Limbu tidak punya huruf vokal mandiri, melainkan menggunakan huruf penggandeng vokal yang dibaca sesuai dengan penanda vokal yang melekatinya. StrukturSebagai sebuah abugida, suatu huruf melambangkan sebuah konsonan dan vokal standar atau inheren. Pada bahasa Limbu, vokal inheren adalah /ɔ/.
Untuk mengganti vokal inheren (standar), suatu tanda diakritik harus ditambahkan. Contoh yang diberikan di bawah ini adalah konsonan /k/ (ᤁ):
ᤁᤨ melambangkan bunyi yang sama dengan ᤁ. Beberapa penulis enggan memberi diakritik, karena dianggap berlebihan. Gugus konsonan di awal ditulis dengan tanda kecil yang mengikuti konsonan utama:
Konsonan akhir setelah vokal pendek ditulis dengan tanda lainnya, kecuali bagi beberapa konsonan akhir yang muncul pada kata serapan. Jika ada, mereka mengikuti tanda yang dipakai untuk menulis gugus konsonan.
Vokal panjang tanpa konsonan akhir yang mengikuti ditulis dengan suatu diakritik yang disebut kemphreng:
Ada dua sistem untuk menulis vokal panjang dengan konsonan suku kata akhir. Sistem yang pertama secara sederhana merupakan kombinasi kemphreng dan penanda konsonan akhir:
Sistem lainnya adalah dengan menuliskan konsonan akhir dengan huruf dasar, dan suatu diakritik yang menandakan bahwa konsonan tersebut merupakan konsonan akhir dan vokal yang mendahuluinya dilafalkan lebih panjang:
Diakritik yang sama tersebut dapat digunakan untuk menandakan konsonan final dalam kata serapan yang tidak memiliki bentuk akhir dalam aksara Limbu, tanpa mempedulikan panjang vokal. Glotalisasi ditandai oleh tanda mukphreng.
Referensi
|