Aksara Incung
Aksara Incung atau Surat Incung (bahasa Kerinci: Suhat Incoung) adalah jenis aksara Abugida yang digunakan untuk menulis oleh Suku Kerinci. Suku ini menghuni dataran tinggi Jambi. Saat ini berada dalam wilayah administratif Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi.[1] Secara bahasa, “surat” berarti tulisan sementara incung berarti miring atau terpancug dalam bahasa Kerinci. Aksara ini tersusun dari garis lurus, patah terpancung, dan melengkung yang ditulis miring beberapa derajat.[2] Aksara Incung merupakan peninggalan budaya nenek moyang suku Kerinci. Aksara ini digunakan untuk mendokumentasikan sejarah nenek moyang, sastra berupa prosa-prosa percintaan dan kesedihan, perjanjian adat, dan mantra-mantra.[3] AsalAksara Incung merupakan turunan dari aksara Sumatera Kuno atau aksara Pasca Pallawa. Aksara ini berakar dari Aksara Brahmik yang digunakan di India. Menurut Kozok, turunan aksara pasca Pallawa di Sumatera Bagian Selatan disebut sebagai kelompok aksara Rencong. Kelompok Aksara Rencong terbagi ke dalam tiga sub kelompok yaitu:
Penamaan Surat Incung juga ditulis di dalam naskah kuno beraksara Incung seperti naskah pusaka Rajo Sulah dari Siulak Mukai. Pembuka kata dari naskah tersebut berbunyi “hah basamilah mujur akung mangarang surat Incung.” Hal ini menunjukkan bahwa naskah tersebut ditulis dengan aksara yang oleh masyarakat penggunanya disebut surat Incung [5] Penggunaan aksara Incung kemungkinan dimulai pada abad ke-14 hingga ke-15 Masehi. Naskah tertua yang menggunakan aksara ini adalah dua halaman terakhir dari kitab Undang-Undang Tanjung Tanah.[6] Keberadaan aksara Incung pertamakali dilaporkan oleh William Marsden pada abad ke-19 Masehi. Ia mencatat aksara Incung dari informan seorang guru pribumi Kerinci yang berniaga ke Bengkulu.[7] Naskah IncungNaskah kuno yang ditulis menggunakan aksara Incung masih disimpan sebagai pusaka oleh Orang Kerinci hingga kini. Naskah Incung ditulis pada media berupa tanduk kerbau, bambu, kulit kayu, kertas, dan tulang. Naskah Incung pada tanduk kerbau umumnya berisi surat perjanjian dan “tembo” yaitu sejarah dari nenek moyang komunitas penyimpan naskah. Misalnya, empat naskah tanduk yang disimpan oleh luhah Depati Sungai Lago di Mendapo Rawang. Naskah tersebut berisi keterangan silsilah dari komunitas yang menghuni Tanah Rawang. Selain itu juga diceritakan bagaimana nenek moyang mereka bermigrasi untuk membangun permukiman baru.[8] Naskah Incung pada bambu dan kertas umum berisi prosa ratapan kesedihan dan percintaan. Unsur pantun biasanya juga ditemukan di dalam prosa Incung. Seperti misalnya pada naskah bernomor TK 102 pusaka Depati Kuning Nyato dari Dusun Tebat Ijuk, Mendapo Depati VII tertuang unsur pantun biasa yang berbunyi: “tapurung ba'a ka tambang tiba ditambang manjadi cawan kasih burung ba'a tarabang duduk di sini marintang kawan” Artinya: Tempurung bawa ke tambang Tiba di tambang menjadi cawan Kasih burung bawa terbang Duduk di sini merintangi kawan.[9] Selain berisi prosa, naskah pada bambu juga berisi tentang mantra seperti mantra kesuburan dan mantra pelindung diri yang disebut Sanggabunuh.[10]. Selain itu Naskah Incung juga memuat teks yang berisi tentang kisah Nabi Adam.[11]. PenelitianNaskah Incung pertamakali diteliti oleh L.C. Westenenk yang mengalihaksarakan naskah tanduk pusaka Datuk Singarapi Putih Sungai Penuh pada tahun 1927. Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh Petrus Voorhoeve pada tahun 1940-1. Voorhoeve berhasil mengalihaksarakan sekitar 134 baskah Incung.[12] Penelitian terkini terkait pembacaan naskah Incung dilakukan oleh Wahyu Rizki Andhifani terhadap naskah bambu pusaka Rajo Sulah dan Hafiful Hadi Sunliensyar terhadap naskah pada tanduk kerbau pusaka Depati Sungai Lago dan naskah bambu pusaka Depati Anum Muncak Alam. Budayawan lokal Kerinci juga menaruh minat dalam pengembangan aksara dan naskah Incung. Beberapa tokoh penting berjasa dalam pengembangan naskah dan aksara Incung di antaran Alimin Depati, Amiruddin Gusti, Iskandar Zakaria, dan Amir Hakim Usman. Rujukan
|