Tata bahasa Sunda
Tata bahasa Sunda (dikenal dalam bahasa Sunda sebagai Tatabasa Sunda[1] atau Nahu Sunda) adalah sebuah aturan berupa tata bahasa dari bahasa Sunda yang menjabarkan bagaimana struktur bahasa Sunda yang mencakup wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, morfem, dan suku kata. Dalam bahasa Sunda, ada banyak variasi yang menyangkut perbedaan berdasarkan media, situasi, dan wilayah geografis. Contoh variasinya bisa berupa dialek-dialek bahasa Sunda yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah tempat penuturan ataupun sosiolek yang didasarkan pada derajat formalitas antarpenutur. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan tertentu antara bentuk standar dan non-standar dalam bahasa Sunda. Walaupun demikian, biasanya perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok. Dalam artikel ini, tentunya tata bahasa Sunda yang dimaksud adalah tata bahasa Sunda baku dalam ragam tulis yang dapat dipahami oleh semua penutur bahasa Sunda. Bentuk kataDalam bagian bentuk kata, kata-kata bahasa Sunda dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:(1) basa lemes 'bahasa halus' dan basa kasar 'bahasa kasar' (kedua bentuk tutur bahasa Sunda ini dikenal sebagai undak-usuk basa 'sopan santun dalam berbahasa'), (2) kata asal dan kata turunan, (3) kata ulang, dan (4) kata majemuk.[2] Undak usuk basaBeberapa kosakata bahasa Sunda biasanya memiliki padanan (dua buah kata/lebih yang bermakna sama), seperti contohnya hulu = mastaka 'kepala', awak = salira 'badan', leungeun = panangan 'lengan, tangan', nyatu = tuang 'makan', déwék = abdi 'saya', dan manéh = gamparan 'engkau, Anda'.[a] Penggunaan diksi-diksi tersebut diatur dalam undak-usuk basa atau yang sekarang dikenal sebagai Tatakrama basa berdasarkan lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Undak-usuk basa atau Tatakrama basa sendiri merupakan sebuah sistem tuturan honorifik dalam bahasa Sunda yang secara garis besar membagi bahasa Sunda menjadi dua jenis ragam bahasa yaitu, basa lemes dan basa kasar.[b][2] Basa lemesBasa lemes atau basa hormat adalah suatu bentuk bahasa halus yang dipergunakan untuk menghormati lawan bicara, seperti ketika orang muda berbicara dengan yang lebih tua, rakyat berbicara kepada bangsawan, maupun dipergunakan untuk menceritakan pihak yang pangkat, kedudukan atau usianya lebih tinggi.[c] Bahasa ini dicirikan dengan penggunaan kosakata khusus yang disebut sebagai kecap lemes 'kata yang halus' yang bersifat eufemistis.[2] Basa kasarBasa kasar atau basa loma adalah bahasa yang dipergunakan antara penutur dengan penutur lainnya yang sederajat, baik itu usia, pangkat, kedudukan, dan lain-lain, contohnya adalah rakyat biasa terhadap sesama rakyat, bangsawan terhadap sesama bangsawan, dan sebagainya. Bahasa ini dicirikan dengan penggunaan kosakata umum dalam bahasa Sunda yang disebut sebagai kecap loma yang bersifat akrab dan fleksibel.[2] Ragam lainnyaDalam perkembangannya, ragam bahasa dalam undak-usuk basa sering berubah-ubah, contohnya untuk kosakata dalam basa lemes, beberapa di antaranya masih memiliki padanan lain dengan tingkatan yang lebih tinggi berupa kecap luhur atau kecap lemes pisan 'kata yang sangat halus' yang digunakan dalam bahasa lemes pisan dan ada tingkatan yang lebih rendah seperti kecap sedeng 'kosakata sedang' yang digunakan dalam bahasa sedeng, semua kosakata tersebut memiliki derajat formalitasnya tersendiri dan tingkatannya berada di atas kecap loma. Beberapa contoh padanan kecap lemes dari kecap loma di antaranya adalah, datang 'datang' (loma) = rawuh (lemes pisan), sumping (lemes) dan dongkap (sedeng).[2] Kecap lemes pisan digunakan terhadap kalangan yang amat dihormati, misalnya raja, presiden, dan bupati. Contoh penggunaannya sebagai berikut:[2][d]
Kecap lemes biasanya digunakan untuk kalangan yang cukup dihormati. Contoh penggunaannya dijabarkan dalam kalimat di bawah ini.[2]
Kecap sedeng digunakan untuk diri sendiri dalam konteks basa lemes, seperti contohnya dalam kalimat berikut ini.[3]
Basa kasar dapat dibagi lagi menjadi dua jenis berdasarkan kosakatanya, yaitu basa kasar biasa yang mempergunakan kecap loma, dan basa kasar pisan yang mempergunakan kecap cohag. Bila basa kasar biasa atau basa loma dipergunakan untuk berbicara dengan orang yang sudah akrab, maka basa kasar pisan atau basa cohag dipergunakan ketika seseorang sedang memarahi lawan bicara serta bisa juga digunakan untuk mendeskripsikan hewan. Contoh kecap loma yang berpadanan dengan kecap cohag adalah,[e] balik = mantog 'pulang', nyatu = negék 'makan', ngomong = nyacapék 'berkata', sungut = bangus, bacot 'mulut', dan héés = molor 'tidur'.[4] Di samping itu ada pula yang disebut basa panengah 'bahasa pertengahan', yaitu ragam bahasa tidak terlalu kasar atau terlalu halus. Ragam ini dipergunakan untuk menghormati orang yang lebih rendah derajatnya tetapi usianya lebih tua, contohnya ketika bangsawan berbicara dengan orang yang sudah tua. Kosakata yang digunakan dalam basa panengah disebut sebagai kecap panengah dan jumlah kosakatanya terbatas, contohnya, kakandungan 'hamil', hilang 'mati', mireungeuh 'melihat', ngareungeu 'mendengar', nyaneut 'minum kopi', awak 'engkau', dan hidep 'kamu'. Contoh penggunaan kecap panengah dapat dilihat pada kalimat di bawah ini.[d]
Tabel perbandinganDi bawah ini adalah tabel yang berisi perbandingan beberapa contoh kosakata lemes pisan, lemes, sedeng dan loma beserta pengertiannya dalam bahasa Indonesia.[5]
Kata asal dan Kata turunanKata asal, atau kata dasar, adalah kata yang tidak dapat disingkat atau tidak diketahui ciri tertentu yang menunjukkan asalnya, seperti misalnya calana 'celana'. Pada umumnya kata asal atau kata dasar dalam bahasa Sunda terdiri dari dua suku, meskipun ada juga kata asal yang hanya terdiri dari satu suku, seperti bis 'hampir', da 'karena', rék 'akan', di 'di', jeung 'dan', ka 'ke', geus 'sudah', dan sok ,'sering'.[6] Kata turunan (bahasa Sunda: kecap rundayan) adalah kata-kata yang masih dapat disingkat, dan dapat diketahui ciri-cirinya bahwa kata tersebut mempunyai asal. Misalnya, dicalanaan 'dipakaikan celana', masih dapat dikembalikan kepada bentuk asalnya yakni, calana 'celana'. Ciri yang terdapat pada kata tersebut melekatnya di- pada awal, dan -an pada akhir. Ciri kata turunan disebut rarangkén atau papakéan 'imbuhan'. Jika imbuhan yang melekat pada kata turunan dilepaskan, yang tertinggal adalah asal kecap 'asal kata'. Kata dihurungkeun, misalnya, dapat ditelusur asal katanya adalah hurung 'menyala'.[6] Dari sebuah kata asal, dapat diproduksi banyak sekali kecap rundayan atau kata turunan. Seperti misalnya, Kata inum 'minum', dapat menghasilkan kata turunan nginum 'meminum', diinum 'diminum', kainum 'terminum', sainum 'seminuman', pada nginum 'minum (beramai-ramai)', nginuman 'meminumi', nginumkeun 'meminumkan', inuman 'minuman', diinuman 'diminumi', diinumkeun 'diminumkan', ngarinuman 'meminumi (beramai-ramai)', dan masih banyak lagi.[6] Dalam bahasa Sunda terdapat tiga macam imbuhan, yaitu:
Semua imbuhan di atas harus dirangkaikan dengan kata asalnya, kecuali yang tidak diberi tanda strip seperti pada dan para. Awalan n-, ny-, m-, dan ng- disebut sengau, yang perwujudannya sebagai berikut:[7]
Banyak sekali kata turunan yang diproduksi dengan lebih dari satu imbuhan (konfiksasi), balk awalan, akhiran, dan juga sisipan. Misalnya, méréan 'memberi (peluang)', dibéréan 'diberi', silialungkeun 'saling melemparkan', mangmawakeun 'menolongbawakan', pakumpulan 'perkumpulan', piluangeun 'apa yang baik (diperingatkan sebagai pengalaman)', satarabasna 'terus-terang', tingkolébat 'berkelebatan', tingcalengir 'menyeringai (ramai-ramai)', tingsoloyong 'bergerak di atas air (perahu)', patingburinyay 'berkilatan', kabaheulaan 'kepurba-purbaan', nyangigirkeun 'mendampingkan', nyanghunjarkeun 'menyelonjorkan', pada nyarekelan '(ramai-ramai, bersama-sama) memegangi', dan barangawaskeun 'mengawaskan'.[9] Kata ulangKata ulang adalah kata yang diucapkan dua kali. Bentuknya terbagi menjadi berbagai macam jenis, di antaranya yaitu:[9]
Kata MajemukKata Majemuk adalah dua patah kata yang selalu dipergunakan bersama-sama, ada tiga jenis kata majemuk dalam bahasa Sunda yang dijabarkan seperti di bawah ini.[13]
Kata Majemuk yang bermakna konotatif disebut sebagai babasan yang kurang lebih berfungsi sebagai sebuah ungkapan (idiom). Contoh babasan seperti, panjang leungeun 'panjang tangan' atau goréng kokod 'tangan jelek' yang bermakna 'suka mencuri'. Di samping itu, ada pula yang disebut kecap ngaruntuy 'runtutan kata' yang berupa dua, tiga atau lebih kata yang diucapkan sama seperti kata majemuk tetapi memiliki makna denotatif. Contoh, geus lain-lainna deui 'sudah bukan apa-apa lagi', teu antaparah atau teu tata pasini 'tanpa basa-basi, tiba-tiba', teu hir teu walahir 'tidak ada hubungan', kateuteuari 'sia-sia', dalah dikumaha 'bagaimana caranya', dan lain sebagainya.[17] Ada banyak kata majemuk yang masih bisa diturunkan bentuknya, seperti dihurunsuluhkeun 'dianggap sama saja', dialungboyongkeun 'dijadikan bola mainan' ngabuntutbangkong 'tidak ada ujung pangkalnya', diapilainkeun 'diabaikan, tidak dianggap', dan lain-lain.[17] Catatan
ReferensiSitiran
Daftar pustaka
Pranala luar
|