Pentingnya memahami al-Qur'an dan menghormati ahlulbait, penghormatan Muhammad kepada Ali bin Abi Thalib – menurut Syiah sebagai bukti penunjukan Ali sebagai penerus Muhammad serta sempurnanya ajaran agama Islam
Khotbah Ghadīr Khum (bahasa Arab: غَدِير خُم) adalah peristiwa berkumpulnya umat Muslim untuk menghadiri khotbah yang disampaikan oleh Nabi Islam, Muhammad pada 16 Maret 632 M (18 Zulhijah 10 H). Kegiatan ini diyakini berlokasi di Ghadir Khum, berlokasi di daerah yang sekarang ini disebut al-Juhfah (Rabigh) di antara Makkah dan Madinah, saat nabi besar Muhammad SAW singgah sementara setelah selesainya Haji Wadak.
Dalam khotbahnya ini, tepatnya sebelum kematiannya pada Juni 632 M (11 H), Muhammad mengeluarkan pernyataan tentang Ali bin Abi Thalib, yang merupakan saudara sepupu sekaligus menantunya, "Barang siapa yang menjadikanku sebagai maula, maka Ali adalah maula." Penganut Syiah yakin bahwa itu adalah sebuah tanda bahwa Ali layak menjadi khalifah bagi umat Muslim setelah Muhammad serta merayakan peringatan tersebut setiap tahun sebagai Idulghadir. Penganut Sunni menganggap pernyataan itu sebagai penegasan sederhana atas penghargaan Muhammad terhadap Ali.
Ghadir Khum merujuk pada pertemuan umat Islam untuk menghadiri khotbah Muhammad serta lokasinya, yang merupakan sebuah kolam (ghadir) yang dialiri oleh mata air terdekat di sebuah wadi bernama Khumm, yang terletak di antara Makkah dan Madinah.[1] Lembah ini diyakini terletak di wilayah Juhfah,[2] sebuah persimpangan antara Madinah, Mesir, dan Irak.[3]
Beberapa sumber menjelaskan etimologi bahwa Khum berarti 'pendusta', dan lembah itu dinamai demikian karena air kolam itu asin dan tidak layak untuk dikonsumsi.[4] Pada saat peristiwa tersebut terjadi, penduduk asli daerah tersebut yaitu Bani Khuza'ah dan Bani Kinanah, telah meninggalkan daerah itu karena merupakan wilayah padang rumput dengan iklim yang sangat panas.[1] Sebelum Muhammad berkhotbah di situ, lokasi itu kemungkinan besar tidak pernah digunakan sebagai perhentian kafilah.[5] Dalam sumber-sumber Syiah, lingkungan Khum yang keras mungkin menandakan bahwa Muhammad ditugaskan untuk menyampaikan pengumuman penting di sana, atau bahwa dia ingin menandai momen itu dalam ingatan, atau bahwa dia menginginkan banyak saksi sebelum para jamaah haji berpisah.[6]
Latar belakang
Sepuluh tahun setelah Muhammad hijrah ke Madinah dan pada hari terakhir Zulkaidah, Muhammad melaksanakan haji beberapa waktu sebelum ia meninggal.[7] Haji ini kemudian dikenal sebagai haji wadak.[7] Dalam khotbahnya di Padang Arafah[8] dan kemudian lagi di Ghadir Khum menurut banyak riwayat,[1][9][10] Muhammad memberi tahu umatnya tentang kematiannya. Setelah menunaikan ibadah haji, ia berangkat dalam perjalanan pulang haji dari Makkah ke Madinah, bersama rombongan umat Islam. Khotbah di Ghadir Khum berlangsung selama perjalanan pulang di antara jemaah Muslim ini,[2] mungkin berjumlah puluhan ribu.[11]
Khotbah
Di Ghadir Khum, Muhammad memanggil kafilah Muslim untuk singgah sebelum salat berjemaah, tepat sebelum para jamaah haji berpisah,[2] meminta mimbar untuk dinaikkan, dinaungi oleh cabang-cabang pohon palem.[1] Setelah salat,[12] Muhammad berkhotbah di tengah-tengah Muslim, sebagaimana diriwayatkan dalam Hadis ats-Tsaqalain, ia menjelaskan pentingnya dua hal, yakni Al-Qur'an dan ahlulbait (terj. har.'orang rumah', maksudnya keluarganya).[9][13][14][1][10] Hadis ini muncul baik dalam kitab-kitab Sunni dan Syiah. Versi yang muncul dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, berbunyi:
Aku akan meninggalkan di antara kamu dua hal yang, jika kamu berpegang teguh padanya, kamu tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya adalah yang paling utama: Kitab Allah, ibarat tali yang direntangkan dari langit ke Bumi, dan keturunanku, ahlulbaitku.[13]
Muhammad mungkin mengulangi pernyataan ini beberapa kali,[13][15] dan ada beberapa versi yang sedikit berbeda dari hadits ini dalam sumber Sunni.[13] Sebagai contoh, versi yang muncul dalam as-Sunan al-Kubra, sebuah kitab Sunni yang lain, juga memuat riwayat berikut, "Perlakukanlah dua [peninggalan] setelahku dengan hati-hati."[16] Kemudian, Muhammad menggandeng tangan Ali, dan bertanya apakah dia tidak lebih dekat (aula) dengan orang-orang beriman daripada mereka dengan diri mereka sendiri,[1] kemungkinan merujuk pada ayat 33:6 Al-Qur'an.[17][18] Ketika mereka menegaskan,[1] Nabi kemudian bersabda,
"Barang siapa yang menjadikanku sebagai maula, maka Ali juga menjadi maula," (bahasa Arab: من كنت مولاه فعلي مولاه)[2][19][12][1]
yang menurut Syiah disebut sebagai "Hadis Wilayah".[9] Muhammad kemungkinan mengulanginya sebanyak 3 atau beberapa kali, sebagaimana riwayat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.[14][16] Ia melanjutkan lagi, "Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali," menurut beberapa sumber,[9] termasuk sumber Sunni Syawahid at-Tanzil dan sumber Syiah Nahj-al-Haqq.[20] Sejarawan Sunni Ibnu Katsir (w. 774/1373) dan juga Ahmad ibn Hanbal (w. 241/855) dalam musnad-nya menceritakan bahwa sahabat Muhammad, Umar, memberi selamat kepada Ali setelah khotbah dan mengatakan kepadanya, "Kamu sekarang telah menjadi maula dari setiap laki-laki dan perempuan yang beriman."[1][21]
Kesejarahan
Kesejarahan Ghadir Khum dipertentangkan di antara komunitas Muslim,[1][22][23][24] karena riwayat tradisinya adalah "di antara yang paling luas diakui dan dibuktikan" dalam sumber-sumber Islam klasik, bahkan ketika pernyataan yang dibuat pada kegiatan tersebut banyak ditafsirkan.[2] Beberapa variasi ada dalam sumber-sumber klasik,[2] dan ada bobot yang signifikan dari riwayat berbeda.[1] Kisah Ghadir Khum, misalnya, muncul dalam Berbagai Pertanda yang Masih Ada dari Abad-Abad Lampau karya sejarawan Sunni al-Biruni, yang masih bertahan dalam salinan Ilkhanat awal abad ke-14 oleh Ibnul-Kutbi.[25] Kecenderungan bahwa salinan ini berasal dari Syiah terlihat jelas dari gambar-gambar Ali, termasuk yang berjudul Penunjukan Ali di Ghadir Khum.[26]
Riwayat tentang Ghadir Khum muncul di banyak tempat yang berbeda baik dalam karya hadis Sunni maupun Syiah, dan kisah ini kadang-kadang dapat disilangkan tanpa menyinggung persoalan sektarian. Ulama Syiah Amini, misalnya, menggunakan sumber-sumber Sunni untuk membuat daftar lebih dari seratus sahabat dan delapan puluh empat tabiin yang menceritakan peristiwa itu,[27] dan kebanyakan di antara mereka adalah Sunni.[28] Upaya serupa dilakukan oleh para penulis Syiah, Musavi dan Mahfouz.[29] Beberapa riwayat terbaik dari peristiwa tersebut, misalnya yang ditulis oleh sejarawan Ya'qubi, sosok pencinta ahlulbait,[1] dan juga sejarawan Sunni Ibnu Asakir (w. 571/1176),[9][1] dan juga kisah-kisah yang muncul dalam kitab hadis kanonik, seperti Musnad Ibnu Hanbal.[1] Sejumlah besar hadits terkait tentang Ghadir Khum juga dikumpulkan bersama dengan sanadnya oleh Ibnu Katsir.[1] Pada sumber Sunni, Jafri menyertakan kutipan dari Sunanat-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan karya-karya Ibnul Atsir al-Jazari, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abd Rabbih, dan al-Jahiz.[30]
Penulis lain seperti ath-Thabari (w. 310/923), Ibnu Hisyam (w. 218/833), dan Ibnu Sa'ad (w. 168/784-5) jarang atau tidak mengisahkan Ghadir Khum,[1] mungkin karena riwayat tersebut tampaknya membenarkan klaim Syiah.[9][31] Alternatifnya, ada kemungkinan bahwa para penulis ini tidak ikut menafsirkan peristiwa tersebut untuk menghindari murkanya penguasa Sunni hanya karena mendukung klaim Syiah tentang penerus Nabi.[1][9][32] Para penulis Barat, yang karya-karyanya didasarkan pada penulis-penulis ini, jarang menggunakan riwayat Ghadir Khum.[1] Meskipun Ghadir Khum tidak muncul dalam Tarikh ath-Thabari, penulisnya meriwayatkan bahwa Muhammad secara terbuka menolak beberapa keluhan tentang perilaku Ali di Yaman dalam "kronologi" yang sama dengan Ghadir Khum dan dari otoritas tentang peristiwa tersebut. Maria M. Dakake menduga bahwa penulis sengaja mengganti hadis Ghadir Khum dengan yang lain untuk tetap menghormati Ali tanpa harus mendukung klaim-klaim Syiah.[33] Demikian pula, sebagai pegawai senior dari Dinasti Buwaihi, asy-Syarif ar-Radi (w. 406/1016) tidak menyebutkan Ghadir Khum dalam Nahj al-Balaghah-nya, mungkin untuk menghindari kemarahan dari Abbasiyah yang Sunni.[9]Shah-Kazemi menulis sebuah riwayat dari penganut Ahli Hadis pada abad ke-3 H (abad ke-9 M) di Baghdad yang mengingkari peristiwa tersebut,[17] yang coba disangkal oleh ath-Thabari dalam al-Walayah yang sudah tidak ada lagi,[17][33] atau Kitab al-Fada'il yang belum selesai.[1][28][9]
Hubungan dengan ayat Al-Qur'an
Dalam sumber-sumber Syiah dan sedikit dari Sunni,[17] dua ayat Al-Qur'an dikaitkan dengan Ghadir Khum: Surah 5 (Al-Ma'idah) ayat 3, yang menjelaskan kesempurnaan Islam, dan ayat 67, yang memerintahkan Muhammad untuk memenuhi perintah untuk tablig (menyampaikan).[34][9] Ayat yang terakhir ini disebut Ayat Tabligh, dikaitkan dengan Ghadir Khum oleh ulama Sunni Jalaluddin as-Suyuthi dan Fakhruddin Ar-Razi[35] serta ulama Syiah Ali bin Ibrahim Qumi (w. 328/939).[36][34][9][1] Ayat ini berbunyi:
Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.[37]
Ayat 5:3 Al-Qur'an, juga disebut sebagai Ayat Kesempurnaan Islam, juga dikaitkan dengan Ghadir Khum oleh tokoh Sunni ath-Thabari (w. 310/923) dan al-Baghdadi (w. 463/1071)[38] serta tokoh Syiah al-Tusi (w. 460/1067).[39][34][9] Sementara itu, Ya'qubi[40] dan para mufassir yang lain memandang bahwa ayat itu turun setelah Haji Wadak.[41] Ayat tersebut berbunyi:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.[41]
Literatur lainnya
Riwayat Ghadir Khum juga muncul dalam sastra klasik Arab.[1][42][9] Yang paling awal, menurut Veccia Vaglieri (w. 1989) dan Jafri, adalah sebuah puisi yang diyakini dinisbatkan kepada Hasan bin Tsabit (w. 674),[1][28] yang menemani Muhammad saat haji.[28] Menurut Jafri, puisi ini ada dalam sumber Syiah dan sedikit Sunni.[42] Puisi tersebut memuat baris berbunyi, "Berdirilah, wahai Ali, karena aku menemukanmu sebagai imam dan pembimbing setelah aku [Muhammad] tiada."[17][21][43] Terkait keaslian puisi ini, Amir-Moezzi tidak menemukan nisbat tersebut bermasalah,[9] sedangkan Jafri menganggap sangat tidak mungkin peristiwa-peristiwa ini akan berlalu tanpa dicatat oleh bin Tsabit, yang merupakan "penyair-perawi Muhammad".[42] Tokoh Syiah al-Kumayt bin Zayid al-Asadi (w. 126/743) adalah penyair awal lainnya yang menyusun syair dengan tema yang sama.[9]
Penafsiran
Ketika kesahihan Ghadir Khum tidak dipertentangkan, penafsirannya menjadi kontroversial di antara kalangan Sunni dan Syiah.[44]Maula adalah kata Arab yang bersifat polisemi, pemaknaannya dapat bervariasi dalam berbagai periode dan konteks.[45] Sebelum Islam muncul, kata tersebut awalnya memiliki makna yang berbeda-beda menurut suku.[46] Kemudian, kata ini dipakai juga dalam al-Qur'an dan Hadis dengan pemaknaan yang berbeda-beda, seperti 'Tuan', 'wali', dan 'penolong'.[45] Untuk konteks Ghadir Khum, penafsiran makna kata maula cenderung terpecah menurut sektenya. Sumber-sumber Syiah menafsirkan kata ini sebagai 'pemimpin', 'penguasa', dan 'pelindung', [28] sedangkan pandangan Sunni tentang khotbah ini cenderung memberikan sedikit penjelasan,[1] atau memaknai walaya dalam hadis tersebut sebagai 'kecintaan',[47] atau mengganti kata maula dengan kata 'wali Allah'.[1][9][48] Dengan demikian, Syiah memandang Ghadir Khum sebagai penunjukan Ali terkait suksesi agama dan politik Muhammad,[49][50][17] sedangkan Sunni menganggapnya sebagai pernyataan tentang hubungan antara dua orang tersebut,[51][9][52] atau bahwa Ali harus melaksanakan apa yang diminta Muhammad.[51]
Dalam satu kesempatan selama masa kekhalifahannya, Ali diketahui meminta umat Islam untuk tampil dengan kesaksian mereka tentang Ghadir Khum.[53][54][55] Dengan melakukan itu, menurut McHugo, Ali secara terbuka mengeklaim telah dipercayakan oleh Muhammad dengan otoritas spiritual dan politik yang lebih besar daripada yang lain, terutama para pendahulunya.[53] Pandangan Madelung dan Shah-Kazemi mirip.[55][56] Menurut Lesley Hazleton, seorang penulis agama dan politik, salah satu kata-kata Muhammad di Ghadir Khum, "Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali," adalah janji prasetia di Timur Tengah pada waktu itu..[57] Ali dan putranya Hasan keduanya menuntut janji prasetia serupa dari pendukung mereka selama kekhalifahan mereka.[58] Hadis Ghadir Khum juga dikutip oleh Ammar bin Yasir, sahabat Ali, untuk mendukung hak-haknya kepada kekhalifahan menurut sejarawan Syiah Ibnu A'tsam al-Kufi (abad ke-9) tentang kesepakatan sebelum meletusnya Pertempuran Shiffin (657). Hal ini tampaknya merupakan contoh paling awal dalam sumber-sumber sejarah.[59]
Pandangan Syiah
Untuk kelompok Muslim Syiah, Ghadir Khum menandakan penunjukan Ali sebagai pemimpin umat Muslim setelah Muhammad.[60] khususnya, bagi mereka ini adalah pengumumannya yang paling umum tentang suksesi Ali.[61][62] Riwayat Syiah menjelaskan bagaimana Umar dan sahabat lainnya mendatangi Ali setelah khotbah untuk memberi selamat dan berjanji prasetia kepadanya, bahkan memanggilnya sebagai amirulmukminin (terj. har.'pemimpin orang-orang beriman').[1][63]
Bagi Syiah, pernyataan yang terjadi di Ghadir Khum kepada ribuan Muslim di siang hari yang panas hampir tidak mendukung interpretasi Sunni tentang kecintaan (muhabbah) dan dukungan (nusra) kepada Ali.[47] Kedua hal ini merupakan kewajiban setiap muslim terhadap muslim lainnya, bukan hanya Ali, sehingga melemahkan tafsir Sunni lagi.[47] Alternatifnya, tokoh Sunni Ibnu Katsir (w. 1373) menganggap Ghadir Khum sebagai jawaban atas keluhan tentang Ali selama ekspedisinya ke Yaman,[1] sedangkan tokoh Syiah Ibnu Syahrasyub (w. 1192) menganggap bahwa Muhammad menyangkal keberatan tersebut, "Jangan mengeluh tentang Ali, karena beliau sangat waspada hanya demi Allah."[17] Praktik standar dalam akidah Syiah adalah menghilangkan kemungkinan makna maula dalam hadis satu per satu hingga hanya tersisa makna yang lebih kuat.[40]
Terkait ayat-ayat Al-Qur'an yang dihubungkan, Tabatabai (w. 1981), penulis al-Mizan, mencoba membuktikan bahwa "pada hari ini" dalam Ayat Kesempurnaan Islam (5:3) adalah hari Ghadir Khum. Mencatat keputusasaan orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam dalam ayat ini,[64] ia berargumen bahwa keputusasaan ini mengikuti penunjukan Ali untuk memimpin umat Muslim yang baru terlahir setelah Nabi wafat. Ia menambahkan bahwa kesempurnaan agama dalam ayat tersebut adalah perwalian (wilayah) Ali dan pemenuhan janji ilahiah sebagaimana dalam ayat 24:55 Al-Qur'an.[65] Pandangan serupa juga dilontarkan oleh teolog Syiah yang lain.[66][67]
Terkait ayat Tabligh (5:67), para penafsir Syiah menyatakan bahwa Muhammad mengkhawatirkan penerapan petunjuk ilahinya untuk mengumumkan Ali sebagai penggantinya, karena takut akan reaksi beberapa sahabatnya. Setelah turunnya ayat ini, Muhammad menyampaikan khotbahnya di Ghadir Khum, menurut sumber-sumber ini.[36]Hossein Nasr dan rekan penulisnya memandangnya sebagai hubungan yang "paling masuk akal" antara Ayat Tabligh dan peristiwa-peristiwa setelah Haji Wadak, termasuk Ghadir Khum. Pembenaran mereka adalah surah ke-5 al-Qur'an sering dikaitkan dengan tahun-tahun terakhir Muhammad di Madinah.[68]
Pandangan Sunni
Untuk kelompok Muslim Sunni, Ghadir Khum tidak ada hubungannya dengan suksesi Muhammad.[69] Alih-alih, peristiwa ini sering dikaitkan dengan ekspedisi Ali ke Yaman, tempat ia baru saja kembali sebelum Haji Wadak. Ali diyakini telah memberlakukan pedoman Islam secara ketat untuk pembagian harta rampasan secara adil yang kabarnya membuat marah beberapa tentara. Sejarawan Sunni Ibnu Katsir, misalnya, mendukung Ali dalam riwayatnya tentang peristiwa tersebut tetapi juga menunjukkan bahwa khotbah Ghadir Khum hanya dimaksudkan sebagai pernyataan publik tentang cinta dan penghargaan Muhammad kepada Ali mengingat peristiwa-peristiwa sebelumnya..[1] Menerima penjelasan ini seperti itu, bahwa Muhammad menyetarakan Ali dengan dirinya sendiri dalam khotbah besar di Ghadir Khum masih memberikan dasar yang kuat untuk klaim Syiah, saran Jafri.[52]
Untuk Sunni, juga tidak terbayangkan bahwa sebagian besar sahabat akan bertindak salah dan mengabaikan penunjukan Ali di Ghadir Khum.[49] Shaban dan Poonawala menunjukkan bahwa umat Muslim tidak bertindak seolah-olah mereka telah mendengar tentang hal itu,[70][71] sedangkan Shaban dan Lewis (w. 2018) menganggap penunjukan ini tidak mungkin terjadi.[70][72] Sebaliknya, Amir-Moezzi menulis bahwa tokoh Syiah Amini telah menyusun sejumlah besar bukti sejarah Sunni dan Syiah,[9] untuk mendukung penafsiran Syiah atas Ghadir Khum.[34] Mengutip penunjukan Umar (m. 634–644) oleh Abu Bakar (m. 632–634) untuk melanjutkan kepemimpinan, Lalani pernah menyatakan bahwa Muhammad memang menunjuk penerusnya tetapi diabaikan oleh umat.[73] Pandangan Hassan Abbas juga mirip,[74] dan pandangan Syiah juga bahwa masyarakat mengabaikan penunjukan Ali.[75] Mereka menambahkan bahwa jumlah suara tidak dapat menjadi faktor dalam kesukuan mengingat keputusan dibuat oleh pemimpin suku,[49] dan bahwa mayoritas tidak menyiratkan legitimasi dalam Al-Qur'an.[76] Beberapa juga berpendapat bahwa Muhammad akan membuat khotbah penting semacam itu sebelumnya saat haji, sementara Abbas menganggap ini sebagai kritik terhadap penilaian Muhammad.[21]
Para mufassir Sunni juga berpendapat bahwa Ayat Ikmal (5:3) mengacu pada penetapan manasik haji selama Haji Wadak atau penetapan hukum makanan di sisa ayat ini. Kritik terhadap pandangan ini, yang disuarakan oleh Tabatabai, adalah mengabaikan perintah tambahan tentang riba yang diturunkan setelah Ayat Ikmal oleh beberapa riwayat.[77][39] Sebagian besar ulama Sunni menghubungkan Ayat Tabligh (5:67) dengan posisi genting Muhammad di Makkah selama tahun-tahun awal Islam,[36] atau hubungan Muhammad dengan Ahli Kitab (pengikut ajaran monoteistik sebelumnya),[37] sedangkan Nasr et al. menganggap ayat ini mungkin dikaitkan dengan Haji Wadak atau Ghadir Khum.[68]
Tanggal 18 Zulhijah, menurut Sunni, bukanlah hari raya atau hari penting. Sementara itu, umat Syiah merayakan tanggal tersebut sebaga Idulghadir, yakni hari ketika Islam menjadi agama yang sempurna dengan ditunjuknya Ali sebagai penerusnya.[1][9] Syiah menghormati hari tersebut dengan melaksanakan haji ke Karbala.[1][69]
Robinson, Basil (2000). "Images of Muhammad in al-Biruni's Chronology of Ancient Nations". Dalam Hillenbrand, Robert. Persian Painting from the Mongols to the Qajars: Studies in Honour of Basil W. Robinson. Pembroke Persian Papers, 3. London and New York: I. B. Tauris in association with the Centre of Middle Eastern Studies, University of Cambridge. ISBN9781850436591.
Lalani, Arzina (2011). "Ghadir Khumm". Oxford Bibliographies. Diakses tanggal 9 January 2022.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Dakake, Maria Massi (2008). The Charismatic Community: Shi'ite Identity in Early Islam. SUNY Press. ISBN978-0-7914-7033-6.
Shah-Kazemi, Reza (2014). "Ali ibn Abi Talib (599-661)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopedia of the Prophet of God. ABC-CLIO. hlm. 20–24. ISBN9781610691789.