Anwar Suprijadi lahir di Kota Semarang, Jawa Tengah pada 23 Desember 1948. Ayahnya adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan tour and travelhaji dan umrah, sedangkan ibunya adalah seorang guru. Ia merupakan anak terakhir dari enam bersaudara; dan sebagai anak bungsu, ia sudah dilatih untuk hidup mandiri, bertanggung jawab, serta berani dengan tantangan. Di masa kecil hingga masa mudanya, ia sangat menyukai renang dan banyak menjuarai olahraga renang. Setelah ia lulus SMA, ia kemudian menjalani pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomika dan BisnisUniversitas Diponegoro dan mengambil program studi ekonomi perusahaan, dan lulus tahun 1972.[1]
Karier
Karier di PJKA
Berawal dari membaca koran yang menampilkan sebuah iklan lowongan kerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Suprijadi mencoba melamar di PJKA. Begitu ia melamar kerja, ia langsung ditolak HRD perusahaan tersebut hanya karena mereka mengira dia lulus SMA. Ia berupaya agar dirinya tetap bisa diterima karena ia sebenarnya sudah lulus kuliah. Upaya melobi HRD pun berhasil, dan langsung mengikuti tes. Walaupun sarjana ekonomi, ia justru dididik di bidang operasi dan teknis. Bahkan dalam tes tersebut, ia diminta untuk memanjat menara instalasi kabel listrik dan menjadi pengatur perjalanan kereta api (PPKA).[1]
Dua tahun berselang, Suprijadi memilih untuk berhenti bekerja di PJKA dan ingin beralih menjadi karyawan Bank Negara Indonesia (BNI). Namun kariernya di Bank BNI tidaklah lama, dan Kaperjanka pun justru mencari dirinya dan meminta kepada Direktur Personalianya agar Suprijadi kembali ke PJKA. Suprijadi pun mengiyakan dengan syarat, menyediakan job description dengan jelas. Setelah disepakati, rekan-rekan kerjanya pun menyusul untuk kembali ke PJKA. Ia pun menjalani pendidikan lanjutan dan mendapat brevet (sertifikat kecakapan), kemudian diangkat menjadi Pengawas Kereta Api untuk rute Bandung–Sukabumi dan Bandung–Cikampek (waktu itu masuk Inspeksi 2 Bandung). Ada total 25 stasiun yang berada di bawah pengelolaannya.[1]
Suprijadi kemudian dipindahkan ke Surabaya dan mulai membangun keluarga barunya, dengan menikahi Herawati Pudyastuti.[1] Saat bertugas di Surabaya, ia ditawari untuk S2 di Institut Teknologi Bandung jurusan Transportasi, dan ia pun lulus tahun 1983, dan dipindahkan sebagai Kepala Bidang Operasi di Eksploitasi Jawa Bagian Timur. Selanjutnya ia dipindahkan lagi ke Jakarta. Pada saat ia menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Operasi di Jakarta, terjadi tabrakan kereta api Bintaro 1987 yang menimbulkan 139 tewas dan 254 terluka. Suprijadi kemudian ditunjuk menjadi Kepala Ekspertasi. Menurutnya, penyebab utama insiden ini adalah masalah indisipliner penumpang dan pegawai kereta api. Untuk melaksanakan langkah represif, PJKA menggandeng Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian untuk menggelar operasi yustisi. Tercatat, dalam operasi yustisi tersebut, terdapat 10.000 penumpang terjaring; termasuk tidak memiliki tiket, menjadi calo tiket, serta buang air sembarangan. Empat bulan menjadi Kepala Ekspertasi, ia diangkat menjadi Direktur Operasi.[2]
Direktur Utama Perumka
Pada tahun 1990 hingga 1991, terjadi transisi perubahan bentuk BUMN sektor perkeretaapian di Indonesia (PJKA menjadi Perumka). Pada 29 November 1990, Suprijadi, yang kala itu dicalonkan menjadi Dirut Perumka, menjadi pembicara dalam dengar pendapat di hadapan Komisi V DPR RI yang saat itu diketuai oleh G.M. Tampubolon. Dalam dengar pendapat itu, Suprijadi mengatakan bahwa upaya pengalihan bentuk usaha dari Perjan menjadi Perum bertujuan untuk meningkatkan pelayanan penumpang serta mendorong pengembangan usaha untuk mewujudkan transportasi berkelanjutan. Pengalihan bentuk usaha tersebut diundangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 tanggal 30 Oktober 1990. Selain itu, ia juga memaparkan rencana pengembangan kawasan heritage perkeretaapian Ambarawa, penataan aset bersejarah di Surabaya, serta inventarisasi dan sertifikasi aset.[3]
Pada tanggal 2 Januari 1991, Perumka akhirnya diresmikan oleh Menteri Perhubungan kala itu, Azwar Anas.[4] Setelah perubahan nama tersebut, Suprijadi dipercaya menjadi Direktur Utamanya. Pada masa ini, ia mulai mencoba membuat Perumka melakukan ekspansi menjadi berorientasi nilai, dengan melakukan penataan kereta eksekutif. Pada tahun 1992, Perumka meluncurkan kelas kereta Spesial. Kelas Spesial ini dirangkaikan dengan kereta api Mutiara Utara dengan tarif Rp130.000,00 untuk rute Jakarta–Surabaya (kala itu). Kereta spesial tersebut, diberi nama Bali dan Toraja.[5] Saat menjabat sebagai Dirut Perumka, proyek prasarana kereta api yang telah dituntaskan adalah proyek rel layang Jakarta–Manggarai.[6] Selain itu, muncul gagasan untuk memperkenalkan kereta api eksekutif yang mengutamakan kecepatan dan ketepatan waktu, serta berorientasi nilai, yang akan diperkenalkan saat peringatan HUT ke-50 RI. Gagasan tersebut diwujudkan sebagai KA Argo.[7]
Namun, hubungan antara Menteri Perhubungan, yang saat itu dijabat oleh Haryanto Dhanutirto, menjadi retak akibat perbedaan pendapatnya dengan Suprijadi. Menurut Suprijadi, kebijakan yang dikeluarkan olehnya tidak sesuai aturan tetapi dipaksakan agar sesuai. Menurutnya, "Kalau kita tetap berpegang teguh pada peraturan [yang dibuat Dhanutirto] maka kita akan diganti. Tapi kalau mau aman maka kita nurut perintah atasan tetapi kita akan melanggar peraturan." Selama 4 tahun ia menjabat sebagai Dirut Perumka hingga akhirnya diganti oleh Soemino Eko Saputro pada 27 Januari 1995, dan di masa Saputro inilah, apa yang dikehendaki oleh Suprijadi akan terwujud.[8]
Karier pasca-Dirut Perumka
Setelah Suprijadi selesai menjabat sebagai Dirut Perumka, ia direncanakan menjadi Staf Ahli Menteri Perhubungan. Ia pun menghadap Menteri Perhubungan untuk menanyakan statusnya. Karena tidak ada kejelasan, ia pun memilih untuk berhaji segera setelah itu. Begitu menyelesaikan wukuf, di Arafah, ia dipanggil pulang ke Jakarta untuk dilantik menjadi Direktur Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil, Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Suprijadi bertugas mengembangkan kemitraan perusahaan dan membuka konsultasi bisnis untuk wirausahawan kecil. Pada tahun 1998, ia kembali ke Departemen Perhubungan Republik Indonesia dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Departemen; merangkap sebagai Presiden Komisaris Telkom Indonesia. Pada masa ia menjabat, ia berupaya untuk memuluskan privatisasi Jakarta International Container Terminal (JICT). Lagi-lagi ia berselisih pendapat dengan Tanri Abeng yang saat itu menjabat sebagai Menteri BUMN, sehingga status jabatannya sebagai Presiden Komisaris Telkom dicopot.[9]
Berikutnya, pada tanggal 27 April 2006, Suprijadi diangkat oleh Mulyani menjadi Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru, menggantikan Eddy Abdurrachman. Dirinya dipandang oleh Sri Mulyani sebagai figur berkualitas dan berintegritas untuk mengurusi kepabeanan. Di bawah Sri Mulyani, administrasi kepabeanan dan perpajakan dirombak total. Alih-alih berkompromi dengan sistem lama yang sudah terkesan bobrok, Mulyani tidak memiliki sifat kompromi dan main-main dalam memberantas korupsi, terkhusus di lingkungan Kementerian Keuangan. Hasilnya, terbit sebuah surat keputusan bersama (SKB) antara Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri BUMN untuk menghapus ketentuan mengenai rangkap jabatan bagi ASN Indonesia, terkhusus eselon I, sebagai direksi dan komisaris perusahaan. Menurut Mulyani, rangkap jabatan menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam konflik kepentingan, dan menyuburkan peluang untuk melakukan praktik korupsi. Akibatnya, Suprijadi harus keluar dari Komisaris Utama PT Krakatau Steel, begitu pula Darmin Nasution dari Bursa Efek Indonesia.[13]
Di bawah kepemimpinannya sendiri, tugas pertama sekaligus menantang bagi Suprijadi adalah melanjutkan program pemberantasan mobil impor ilegal yang telah dilaksanakan sejak 2003. Namun hal ini bukanlah perkara mudah, karena menurutnya, ada "orang kuat" yang membekingi impor mobil ilegal ini, yakni pejabat dan politikus. Suprijadi pun blak-blakan berkata, "'Orang kuat' itu biasanya menelepon kami, tapi sekarang kami cuekin saja. Karena masalah ini negara bisa dirugikan miliaran rupiah." Kasus penyelundupan mobil mewah itu, menurutnya, terjadi di dua tempat: Batam, Kepulauan Riau dan Entikong, Kalimantan Barat. Hal ini semakin dipermudah karena adanya perjanjian Malindo 1996, yang memungkinkan kemudahan melintasi perbatasan Indonesia–Malaysia. Alhasil pada 2006, sebanyak 4.500 mobil diselundupkan ke Indonesia secara ilegal.[14]
Hingga tahun 2009, capaian penerimaan cukai negara di bawah administrasi Suprijadi mencapai Rp51,97 triliun (95,27% dari target penerimaan cukai APBN Perubahan 2009).[15] Pada 31 Desember 2009, masa jabatannya berakhir dan ia pensiun sebagai abdi negara. Secara blak-blakan ia mengatakan bahwa setelah pensiun, ia akan bersama keluarganya dan melakukan pekerjaan rumah tangga harian.[16]
Kehidupan pribadi
Saat bekerja di PJKA Inspeksi 9 Surabaya, Suprijadi menikah dengan Herawati Pudyastuti pada tanggal 17 Januari 1974, yang saat itu juga bekerja di PJKA bagian operasi. Ia menikah di Jember. Dari pernikahannya itu, keluarga Suprijadi dikaruniai 3 orang anak: Dyah Novita Andriastuti, Widya Desy Andranti, dan Arief Yuwono Andrianto.[1]
Kasus
Pada tanggal 13 Juli 2006, Suprijadi diadukan oleh Komite Anti Manipulasi Pajak dan Aset Rakyat (KAMPAR) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena dituduh memanipulasi dana pensiun karyawan Perumka sebesar Rp2 triliun, yang tidak dicairkan kepada 10.870 pensiunan pegawai PJKA/Perumka. Koordinator KAMPAR, Faizal Assegaf, mengatakan bahwa DPR pernah meminta Suprijadi untuk mencairkan dana Rp550 miliar dari Rp2 triliun, tetapi tidak pernah merespons. Saat posisi Dirut Perumka dijabat oleh Suprijadi, ia mendapat perlakuan khusus sebagai seorang PNS, sementara bawahannya justru diubah statusnya menjadi "setara karyawan swasta" seperti perusahaan perseroan (Persero). Bahkan pada waktu yang sama, KAMPAR juga meminta KPK mengusut dugaan keterlibatan Suprijadi dalam kasus korupsi di Departemen Perhubungan, yang menyebabkan Kepala Biro Keuangan, Harun Letlet, sudah diadili dan dipenjara.[17]
Pada tanggal 24 Agustus 2009, Suprijadi diperiksa oleh kejaksaan terkait dengan masalah perjanjian pengelolaan tanah dan bangunan milik PT Kereta Api Indonesia di Sukabumi, yang akan dikelola oleh pihak swasta. Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Sukabumi sudah meminta keterangan 9 saksi atas kasus tersebut.[18]
^"Kereta Layang: Melayang di Atas Jalur Kumuh". Majalah Tempo. 22: 32. 1992.
^Sampurno, F.H. (2021). The Last Chance: kebangkitan industri strategis Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. hlm. 66–67. ISBN9786022602644.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ferizal (2022). Sejarah lahirnya puskesmas, ASN, BKN, Kementerian PANRB, Korpri, KUA, dan akreditasi puskesmas (edisi ke-Cetakan pertama). Sukabumi, Jawa Barat: CV Jejak. ISBN978-623-338-580-0.
ifa (2007). "Anwar Suprijadi: "Sebagai Pimpinan Harus Tahu Kesulitan Anak Buah..."". Warta Bea Cukai. 391: 76–79.