Penyangkalan genosida Armenia adalah pernyataan yang dibuat oleh Kesultanan Utsmaniyah dan partai yang saat itu berkuasa, Komite Persatuan dan Kemajuan, bahwa mereka tidak melakukan tindakan genosida terhadap warga Armenia selama Perang Dunia I. Namun, ada banyak bukti yang menegaskan terjadinya kejahatan ini, dan sebagian besar ahli membenarkannya.[2][3] Para pelaku menyangkal telah melakukan tindakan genosida tersebut dengan mengklaim bahwa orang-orang Armenia dimukimkan kembali karena alasan-alasan militer, bukan untuk dimusnahkan. Setelah genosida berakhir, dokumen-dokumen yang memberatkan dihancurkan secara sistematis, dan penyangkalan genosida Armenia telah menjadi kebijakan setiap pemerintahan yang memerintah di Republik Turki hingga 2023[update] dan diterapkan juga di Azerbaijan sejak tahun 1991
Penyangkalan terhadap genosida Armenia bergantung pada argumen yang digunakan oleh Komite Persatuan dan Kemajuan untuk membenarkan tindakan mereka. Penyangkalan ini mengacu pada asumsi bahwa, "relokasi" orang-orang Armenia adalah tindakan sah yang dilakukan oleh negara dalam menanggapi pemberontakan Armenia secara nyata atau hal yang dianggap mengancam keberadaan kesultanan selama masa perang. Para penyangkal menegaskan bahwa Komite Persatuan dan Kemajuan bermaksud untuk memukimkan kembali orang-orang Armenia, alih-alih membunuh mereka. Mereka juga mengklaim bahwa jumlah korban tewas telah dilebih-lebihkan atau mengaitkan kematian dengan faktor-faktor lain, seperti dugaan perang saudara, penyakit, cuaca buruk, pejabat setempat yang nakal, atau gerombolan Kurdi dan para penjahat. Sejarawan Ronald Grigor Suny meringkas argumen utama para penyangkal sebagai "tidak ada genosida yang terjadi, dan orang-orang Armenia-lah yang mesti disalahkan."[4] Penyangkalan biasanya disertai dengan retorika yang menggambarkan orang-orang Armenia sebagai pengkhianat, agresif, kriminal, dan ambisius dalam hal wilayah.[5]
Salah satu alasan terpenting untuk menyangkal genosida Armenia adalah karena peristiwa tersebut memfasilitasi pendirian negara-bangsa Turki, dan pengakuan atas peristiwa tersebut akan bertentangan dengan mitos-mitos pendirian Turki.[6] Turki telah secara aktif sejak 1920-an untuk mencegah pengakuan resmi atas genosida tersebut atau bahkan penyebutannya di negara-negara lain. Upaya-upaya ini termasuk menghabiskan jutaan dolar untuk melobi, membentuk lembaga penelitian, serta menggunakan intimidasi dan ancaman. Penyangkalan juga mempengaruhi kebijakan domestik Turki dan diajarkan di sekolah-sekolah. Beberapa warga Turki yang mengakui adanya genosida tersebut menghadapi tuntutan hukum, karena dianggap "menghina ke-Turki-an". Upaya negara Turki selama seabad untuk menyangkal genosida, membedakannya dengan kasus-kasus genosida lain dalam sejarah.[7]Azerbaijan juga menyangkal genosida dan berkampanye untuk menentang pengakuannya secara internasional. Sebagian besar warga Turki dan partai politik di Turki, mendukung kebijakan penyangkalan negara, dan penyangkalan ini berkontribusi pada konflik Nagorno-Karabakh serta kekerasan yang sedang berlangsung terhadap orang-orang Kurdi di Turki. Sebuah survei melibatkan 1.500 orang pada tahun 2014 yang dilakukan oleh EDAM, sebuah lembaga think-tank di Turki, menemukan bahwa hanya 9% warga Turki yang mengakui adanya genosida tersebut.[8][9]
Keberadaan orang Armenia di Anatolia terdokumentasi sejak abad keenam SM, nyaris dua ribu tahun sebelum datangnya bangsa Turki ke wilayah tersebut.[11][12] Meskipun reformasi Tanzimat pada abad ke-19 bertujuan untuk menyetarakan status non-Muslim, Kesultanan Utsmaniyah memperlakukan orang Armenia dan non-Muslim lainnya sebagai warga negara kelas dua di bawah pemerintahan Islam.[13] Pada 1890-an, orang-orang Armenia mengalami pemaksaan untuk memeluk agama Islam dan meningkatnya perampasan tanah, yang mendorong segelintir orang untuk bergabung dengan partai-partai revolusioner seperti Federasi Revolusi Armenia, yang juga dikenal sebagai Dashnaktsutyun.[14] Pada pertengahan 1890-an, pemerintah Utsmaniyah mensponsori pembantaian Hamidian yang menewaskan sedikitnya 100.000 orang Armenia. Pihak berwenang Utsmaniyah gagal mencegah pembantaian Adana pada 1909, yang menewaskan sekitar 17.000 orang Armenia.[15][16][17] Pihak berwenang Utsmaniyah menyangkal bertanggung jawab atas pembantaian ini, dan malah menuduh kekuatan Barat ikut campur dan orang-orang Armenia melakukan provokasi. Mereka menampilkan pihak Muslim sebagai korban utama dan gagal untuk menghukum para pelakunya.[18][19][20] Pola penyangkalan yang sama kemudian dilakukan untuk menyangkal genosida Armenia.[20][21]
Pada akhir 1914, selama invasi Utsmaniyah ke wilayah Rusia dan Persia, paramiliter Utsmaniyah melakukan pembantaian terhadap orang-orang Armenia setempat.[28] Beberapa tentara Armenia Utsmaniyah membelot ke pihak Rusia. Hal ini digunakan oleh Komite Persatuan dan Kemajuan dan kemudian para penyangkal sebagai bukti terhadap pengkhianatan Armenia. Meskipun demikian, para sukarelawan Armenia dalam angkatan bersenjata Rusia sebagian besar adalah orang Armenia Rusia.[29][30][31] Pembantaian meningkat menjadi genosida usai Utsmaniyah kalah telak melawan Rusia dalam Pertempuran Sarikamish pada Januari 1915, yang dituding sebagai akibat dari pengkhianatan Armenia. Sebagai dampaknya, para tentara dan perwira Armenia dicopot dari jabatan mereka berdasarkan perintah 25 Februari yang dikeluarkan oleh Menteri PerangEnver Pasha.[28][32] Para pemimpin Utsmaniyah menganggap insiden-insiden perlawanan Armenia yang terisolasi sebagai bukti pemberontakan umum.[33]
Pada pertengahan April, setelah para pemimpin Utsmaniyah mengambil keputusan untuk melakukan genosida,[35] orang-orang Armenia membarikade diri mereka sendiri di kota Van bagian timur.[36]Pertahanan Van digunakan sebagai alasan untuk aksi-aksi anti-Armenia pada masa itu dan masih menjadi elemen penting dalam karya-karya yang berusaha menyangkal atau membenarkan genosida.[37] Pada 24 April, ratusan intelektual Armenia ditangkap di Konstantinopel, dan deportasi sistematis terhadap orang-orang Armenia pun dimulai. Undang-undang hukum deportasi 27 Mei memberikan perlindungan legimitasi untuk deportasi tersebut. Organisasi Khusus bertanggung jawab untuk mengawal konvoi-konvoi deportasi, yang sebagian besar terdiri dari perempuan, anak-anak, dan orang tua. Orang-orang ini menjadi sasaran pemerkosaan dan pembantaian secara sistematis. Tujuan mereka adalah Gurun Suriah, di mana orang-orang yang selamat dari pawai kematian ditinggalkan agar mati kelaparan atau tewas karena penyakit di kamp-kamp darurat.[38] Deportasi hanya dilakukan di wilayah-wilayah yang jauh dari pertempuran aktif, sementara di dekat garis depan, orang-orang Armenia dibantai secara langsung.[39] Para pemimpin Komite Persatuan dan Kemajuan memerintahkan deportasi, dan Menteri Dalam Negeri Talat Pasha memainkan peran utama, karena ia tahu bahwa ia mengirim orang-orang Armenia menuju kematian mereka.[40] Dalam telegram tertanggal 13 Juli 1915, Talat menyatakan bahwa "tujuan dari deportasi orang-orang Armenia adalah penyelesaian akhir dari Masalah Armenia."[41]
Para sejarawan memperkirakan 1,5 hingga 2 juta orang Armenia tinggal di Kekaisaran Utsmaniyah pada 1915, dan di antara 800.000 hingga 1,2 juta orang dideportasi selama berlangsungnya genosida. Pada 1916, gelombang pembantaian menargetkan orang-orang Armenia yang tersisa di Suriah, dan pada akhir tahun itu, hanya 200.000 orang yang masih hidup.[42] Sekitar 100.000 hingga 200.000 perempuan dan anak-anak diintegrasikan secara paksa ke dalam keluarga Muslim melalui kawin paksa, adopsi, dan pindah agama.[43][44] Negara menyita dan mendistribusikan kembali harta benda milik orang-orang Armenia yang dibunuh atau dideportasi.[45][46] Selama pendudukan Rusia di Anatolia timur, pasukan Rusia dan Armenia membantai sebanyak 60.000 Muslim. Penyangkalan seringkali dalam bentuk kesetaraan palsu antara aksi pembantaian ini dan genosida.[47][48]
Tindakan genosida terdokumentasi secara ekstensif dalam arsip Utsmaniyah, dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh para diplomat asing (termasuk dari negara-negara netral dan sekutu Utsmaniyah), laporan saksi mata dari para penyintas Armenia dan misionaris Barat, serta proses-proses Pengadilan Militer Khusus Utsmaniyah.[2] Talat Pasha juga menyimpan catatan statistiknya sendiri, yang mengungkap perbedaan besar antara jumlah orang-orang Armenia yang dideportasi pada tahun 1915 dan mereka yang selamat pada tahun 1917.[49][50] Sebagian besar cendekiawan non-Turki menerima genosida tersebut sebagai fakta sejarah, dan semakin banyak sejarawan Turki yang mengakui dan mempelajari genosida tersebut.[3]
Cikal bakal
Kekaisaran Utsmaniyah
Penyangkalan genosida adalah upaya meminimisasi (meremehkan) sebuah peristiwa yang dinyatakan sebagai genosida, baik dengan menyangkali fakta-fakta yang ada, maupun dengan mempertanyakan maksud dari para pelakunya.[51] Penyangkalan hadir sejak awal sebagai bagian penting dari genosida Armenia, yang dilakukan dengan kedok pemindahan tempat.[52][53] Penyangkalan timbul karena Kekaisaran Utsmaniyah ingin mempertahankan kenetralan Amerika Serikat dalam perang tersebut dan mempertahankan dukungan keuangan dan militer dari Jerman.[54]
Pada Mei 1915, Rusia, Inggris, dan Prancis mengeluarkan komunike diplomatik bersama kepada pemerintah Utsmaniyah yang mengutuk "kejahatan terhadap kemanusiaan" Utsmaniyah dan mengancam bahwa pejabat Utsmaniyah yang terbukti bersalah akan dimintai pertanggungjawaban.[56] Namun, pemerintahan Utsmaniyah menyangkal bahwa telah terjadi pembantaian orang-orang Armenia, dan mengklaim bahwa orang-orang Armenia telah berkolusi dengan musuh. Mereka berargumen bahwa kedaulatan nasional memungkinkan mereka untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang Armenia. Mereka juga menuduh bahwa orang-orang Armenia telah membantai Muslim dan menuduh Sekutu melakukan kejahatan perang.[57]
Pada awal 1916, pemerintah Utsmaniyah menerbitkan sebuah karya dua jilid berjudul The Armenian Aspirations and Revolutionary Movements, yang menyangkal bahwa negara tersebut telah berniat untuk memusnahkan bangsa Armenia.[58] Pada saat itu, pernyataan ini tidak dipercaya secara luas oleh dunia internasional.[59] Namun, beberapa Muslim, yang sebelumnya merasa malu dengan kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Armenia, mengubah pandangan mereka sebagai akibat dari propaganda tentang kekejaman yang dituduh dilakukan oleh orang-orang Armenia.[60] Tema-tema penyangkalan genosida yang muncul pada masa perang, kemudian didaur ulang dalam penyangkalan genosida oleh Turki.[53][59]
Gerakan nasionalis Turki
Genosida Armenia sendiri memainkan peran penting dalam kehancuran Kekaisaran Ottoman dan berdirinya Republik Turki.[6] Penghancuran kelas menengah Kristen, dan redistribusi properti mereka, memungkinkan terciptanya borjuasi Muslim/Turki yang baru.[61][62][63] Terdapat kesinambungan yang signifikan antara Kekaisaran Ottoman dan Republik Turki, dan Partai Rakyat Republik merupakan penerus Komite Persatuan dan Kemajuan yang melakukan genosida.[64][65]Gerakan Nasionalis Turki bergantung pada dukungan dari mereka yang telah melakukan genosida atau memperkaya diri mereka sendiri dari genosida tersebut, sehingga menciptakan insentif untuk bungkam.[66][67] Penyangkalan dan minimalisasi kekejaman masa perang sangat penting bagi pembentukan konsensus nasionalis Turki.[68]
Setelah genosida, banyak orang yang selamat mencari sebuah negara Armenia di Anatolia timur; peperangan antara nasionalis Turki dan Armenia berlangsung sengit, dengan kekejaman yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Tuntutan politik di kemudian hari dan pembunuhan warga Muslim oleh Armenia sering kali digunakan untuk membenarkan genosida 1915.[69][70]Perjanjian Sèvres memberikan wilayah yang luas kepada Armenia di Anatolia timur, tetapi ketentuan ini tidak pernah diimplementasikan karena invasi Turki ke Armenia pada tahun 1920.[71][72]Pasukan Turki melakukan pembantaian terhadap orang-orang Armenia yang selamat di Cilicia dan membunuh sekitar 200.000 orang Armenia setelah invasi ke Kaukasus dan Republik Armenia Pertama; oleh karena itu, sejarawan Rouben Paul Adalian mengatakan bahwa "Mustafa Kemal [pemimpin gerakan nasionalis Turki] menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh Talaat dan Enver pada tahun 1915."[73][74][75]
Pemerintah Ottoman di Konstantinopel mengadakan pengadilan militer terhadap beberapa pelaku pada tahun 1919 untuk menenangkan kekuatan Barat. Meski begitu, bukti-bukti disabotase, dan banyak pelaku yang terdorong untuk melarikan diri ke pedalaman. Realitas pembunuhan massal yang disponsori negara tidak dapat disangkal, tetapi banyak kalangan masyarakat yang menganggapnya perlu dan dibenarkan.[76][77] Seperti yang dinyatakan dalam laporan Kantor Luar Negeri Britania Raya, "tidak satu pun dari seribu orang Turki yang bisa membayangkan bahwa ada orang Turki yang pantas digantung karena membunuh orang Kristen."[78] Kemal berulang kali menuduh orang-orang Armenia merencanakan pemusnahan Muslim di Anatolia.[79] Dia membandingkan "orang Armenia yang suka membunuh" dengan orang Turki, yang digambarkan sebagai bangsa yang sama sekali tidak bersalah dan tertindas.[80] Pada tahun 1919, Kemal membela kebijakan pemerintah Utsmaniyah terhadap orang-orang Kristen, dengan mengatakan, "Apa pun yang telah menimpa elemen-elemen non-Muslim yang tinggal di negara kita, adalah hasil dari kebijakan separatisme yang mereka kejar dengan cara yang biadab, ketika mereka membiarkan diri mereka dijadikan alat intrik asing dan menyalahgunakan hak-hak istimewa mereka."[81][82]
Di Turki
Penyebab
Sejarawan Erik-Jan Zürcher berpendapat bahwa, semenjak gerakan nasionalis Turki bergantung pada dukungan koalisi besar dari para pihak yang mendapatkan keuntungan dari genosida tersebut, tidak mungkin gerakan tersebut lekang dengan masa lalu.[66] Semenjak pembentukan republik, genosida tersebut dipandang sebagai keharusan dan raison d'état.[85][86] Kebanyakan pelaku utama, terutama Talat Pasha, dihormati sebagai pahlawan nasional Turki. Banyak sekolah, jalan raya dan masjid masih mengambil nama dari mereka.[87] Orang-orang yang didakwa dan dihukum mati oleh pengadilan pada masa setelah perang atas kejahatan melawan orang-orang Armenia, seperti Mehmet Kemal dan Behramzade Nusret, dihormati sebagai syuhada nasional yang mulia dan para keluarga mereka dianugerahi oleh negara dengan barang-barang Armenia yang disita.[78][88] Sejarawan Turki Taner Akçam menyatakan bahwa, "Tidak mudah bagi suatu bangsa untuk menyebut para bapak bangsanya sebagai pembunuh dan pencuri."[89] Kieser dan sejarawan lain berpendapat bahwa "alasan tunggal paling utama dari ketidakmampuan untuk menerima kekejaman adalah keutamaan pembantaian Armenia untuk pendirian negara-bangsa Turki."[6] Sejarawan Turki Doğan Gürpınar berkata bahwa pengakuan genosida akan berujung pada pertanyaan terhadap dugaan mendasar dari negara-bangsa Turki.[90]
Satu faktor dalam menjelaskan penyangkalan adalah Sindrom Sèvres, sebuah keyakinan populer bahwa Turki dikepung oleh para musuh bebuyutan.[91][92] Meskipun kecil kemungkinannya bahwa pengakuan akan berujung pada perubahan wilayah apapun, banyak pejabat Turki meyakini bahwa pengakuan genosida adalah bagian dari rencana untuk mempartisi Turki atau menuntut ganti rugi lainnya.[93][94][95] Pengakuan genosida dianggap oleh negara sebagai ancaman terhadap keamanan nasional Turki, dan orang-orang Turki yang melakukannya dipandang sebagai pengkhianat.[96][97] Pada kerja lapangan di sebuah desa Anatolia pada 1980-an, antropolog Sam Kaplan menemukan bahwa "kekhawatiran besar bahwa orang-orang Armenia akan kembali ... dan merebut kembali tanah-tanah mereka masih mencengkeram khayalan orang-orang lokal".[98]
Penghancuran dan penghilangan barang bukti
Sebuah maklumat pemerintah Utsmaniyah melarang warga asing dari pengambilan foto-foto para pengungsi Armenia atau jasad yang tergeletak di sisi-sisi jalan tempat pawai kematian dilakukan. Para pelanggar diancam dengan penangkapan.[99] Hukum penyensoran yang diberlakukan secara ketat mencegah para penyintas Armenia dari menerbitkan memoar, melarang "penerbitan apapun yang tidak sesuai dengan kebijakan umum negara".[100][101] Orang-orang yang mengakui genosida tersebut didakwa dengan hukum melawan "penghinaan terhadap ke-Turki-an".[94] Talat Pasha mendekritkan bahwa "setiap hal harus dilakukan untuk meniadakan kata 'Armenia' di Turki".[102] Di Republik Turki pada masa setelah perang, warisan budaya Armenia telah menjadi bahan penghancuran sistematis dalam upaya menghapus keberadaan Armenia.[103][102] Pada 5 Januari 1916, Enver Pasha memerintahkan agar segala tempat yang berasal dari nama Yunani, Armenia, atau Bulgaria diubah, sebuah kebijakan yang sepenuhnya diimplementasikan di republik tersebut pada masa berikutnya, sampai pada 1980-an.[104]Pemakaman massal korban genosida dihancurkan, meskipun banyak yang masih berdiri.[105] Setelah gencatan senjata tahun 1918, dokumen-dokumen yang tidak diinginkan dalam arsip-arsip Utsmaniyah dihancurkan secara sistematis.[106] Catatan pengadilan militer pada masa setelah perang di Konstantinopel juga dihilangkan.[107][108] Mengakui bahwa beberapa dokumen arsip mendukung posisinya, pemerintah Turki mengumumkan bahwa arsip-arsip yang sejalan dengan "permasalahan Armenia" akan dibuka pada 1985.[109] Menurut sejarawan Turki Halil Berktay, diplomat Nuri Birgi melakukan pembersihan arsip kedua pada masa itu.[110] Arsip-arsip resmi dibuka pada 1989,[109] namun dalam penerapannya, beberapa arsip masih tersegel, dan akses ke arsip lain dibatasi pada para cendekiawan yang sepemahaman dengan penjelasan resmi Turki.[111][112]
Historiografi Turki
Ketika Mustafa Kemal berpidato pada tahun 1927, yang merupakan fondasi dari historiografi Kemalis, taktik pembungkaman dan penyangkalan dilakukan untuk menangani kekerasan terhadap orang-orang Armenia. Dalam pidato lainnya, ia menghadirkan Turki sebagai pihak yang bersih dari segala tindakan yang salah dan sebagai korban kejahatan Armenia yang mengerikan.[113][114][115] Selama beberapa dasawarsa, historiografi Turki mengabaikan genosida Armenia. Salah satu pengecualian awal adalah pelaku genosida Esat Uras yang menerbitkan The Armenians in History and the Armenian Question pada 1950. Buku Uras, yang kemungkinan ditulis dalam menanggapi klaim-klaim wilayah Soviet setelah Perang Dunia II, adalah novel sintetis dari argumen-argumen sebelumnya yang diberikan oleh Komite Persatuan dan Kemajuan pada masa perang, dan menghubungkan penyangkalan masa perang dengan "penjelasan resmi" mengenai genosida tersebut yang berkembang pada 1980-an.[116][117]
Pada 1980-an, menyusul upaya Armenia agar genosida mendapat pengakuan dan gelombang pembunuhan oleh para militan Armenia, Turki mulai menyatakan penjelasan resmi dari "permasalahan Armenia", yang membingkainya sebagai masalah terorisme kontemporer alih-alih genosida masa lalu. Para pensiunan diplomat direkrut untuk menulis karya-karya denialis, yang diselesaikan tanpa metodologi profesional atau standar etika, dan berdasarkan pada informasi arsip terpilah sesuai dengan Turki dan berseberangan dengan Armenia.[118][119][120]Dewan Perguruan Tinggi dibentuk pada 1981 oleh junta militer Turki, dan telah berperan penting dalam mengukuhkan "pembelajaran 'nasional' alternatif dengan sistem rujukannya sendiri", menurut Gürpınar.[121][109] Di samping penelitian akademik, Türkkaya Ataöv mengajarkan perkuliahan universitas pertama tentang "permasalahan Armenia" pada 1983.[109] Pada abad ke-21, Perhimpunan Sejarah Turki, yang dikenal karena publikasi-publikasi yang menegakkan pandangan resmi pemerintah Turki, menjadikan perlawanan klaim-klaim genosida sebagai salah satu fungsi utamanya.[122][123][124]
Pada sekitar tahun 1990, Taner Akçam, yang bekerja di Jerman, menjadi sejarawan Turki pertama yang mengakui dan mempelajari genosida tersebut.[125] Pada 1990-an, universitas-universitas swasta mulai didirikan di Turki, yang diizinkan menantang pandangan yang didukung negara.[126] Pada 2005, para akademisi di tiga universitas Turki mengadakan sebuah konferensi akademik yang membahas tentang genosida. Dijadwalkan untuk diadakan pada Mei 2005, konferensi tersebut tertunda menyusul kampanye intimidasi, namun kemudian diadakan pada bulan September.[127][128][129] Konferensi tersebut mengajukan tantangan besar pertama terhadap mitos pendirian Turki dalam diskursus publik di negara tersebut[129] dan menghasilkan pembuatan historiografi non-denialis alternatif oleh para akademisi elit di Istanbul dan Ankara, sebanding dengan historiografi denialis saat ini.[130][131] Para akademisi Turki yang menerima dan mempelajari genosida tersebut pada kenyataannya menerima ancaman kematian dan dakwaan karena menghina ke-Turki-an.[132][133] Para cendekiawan Barat umumnya mengabaikan historiografi denialis Turki karena mereka menganggap metodenya tidak ilmiah—khususnya dalam pemakaian sumber selektif.[134][135]
Pendidikan
Baik negeri maupun swasta, sekolah-sekolah Turki diwajibkan memakai buku-buku pelajaran sejarah yang disetujui oleh Kementerian Pendidikan.[136][137][139] Negara menggunakan monopoli ini untuk meningkatkan dukungan untuk posisi denialis resmi,[137][140] menyudutkan orang-orang Armenia dan menggambarkan mereka sebagai musuh.[141][142] Selama beberapa dasawarsa, buku-buku pelajaran tersebut tidak menyebutkan orang-orang Armenia sebagai bagian dari sejarah Utsmaniyah.[143][144][145] Sejak 1980-an, buku-buku pelajaran membahas "peristiwa tahun 1915", namun mengalihkan kesalahan dari pemerintahan Utsmaniyah ke pihak lain. Mereka menuduh kekuatan-kekuatan imperialis telah menghasut orang-orang Armenia mengacaukan kekaisaran, dan menuduh bahwa orang-orang Armenia melakukan pengkhianatan atau menimbulkan ancaman. Beberapa buku pelajaran menyatakan bahwa deportasi tersebut terjadi dan orang-orang Armenia meninggal, namun menghadirkan tindakan tersebut sebagai keharusan dan dibenarkan. Sejak 2005, buku-buku pelajaran menuduh orang-orang Armenia mendalangi genosida melawan Muslim Turki.[144][146][147] Pada 2003, para murid dari setiap kelas ditugaskan untuk menulis esai yang menyangkali genosida tersebut.[148]
Masyarakat
Selama beberapa dasawarsa, genosida tersebut menjadi hal tabu dalam masyarakat Turki.[149] Göçek menyatakan bahwa interaksi antara negara dan masyarakat lah yang membuat penyangkalan menjadi sangat gigih.[150] Selain negara Turki, para intelektual dan masyarakat sipil Turki juga menyangkali genosida tersebut.[151] Karya-karya fiksi Turki yang menyinggung genosida tersebut seringkali menyangkalinya, sambil mengklaim bahwa penjelasan fiksi tersebut berdasarkan pada kisah nyata.[152] Mengingat banyak orang di Turki timur telah mewariskan ingatan dari peristiwa tersebut, pakar genosida Uğur Ümit Üngör berkata bahwa "pemerintah Turki sedang menyangkal sebuah genosida yang diingat oleh penduduknya sendiri."[153] Negara Turki dan kebanyakan masyarakat juga bertindak bungkam terhadap penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis lain di Kekaisaran Utsmaniyah dan Republik Turki melawan orang-orang Yunani, Asiria, Kurdi, Yahudi dan Alevi.[56][154][155]
Kebanyakan orang Turki mendukung kebijakan negara terkait penyangkalan genosida. Beberapa orang mengaku bahwa pembantaian terjadi namun memandangnya sebagai tindakan yang dibenarkan terhadap pengkhianatan orang Armenia.[156][157] Kebanyakan orang masih menganggap orang-orang Armenia sebagai kolom kelima.[69] Menurut Halil Karaveli, "kata [genosida] menghasut reaksi yang emosional yang kuat di kalangan orang Turki dari sepanjang perjalanan masyarakat dan dari setiap kecenderungan ideologis".[158] Wartawan Armenia–Turki Hrant Dink berbicara terbuka dalam dukungannya dalam menghadapi kebenaran sejarah untuk mencapai masyarakat yang lebih baik dan rekonsiliasi antar kelompok etnis. Ia didakwa karena menghina ke-Turki-an dan dibunuh pada 2007 oleh seorang ultranasionalis Turki.[159][160] Pada 2013, sebuah kajian yang mengambil sampel para mahasiswa Turki di Amerika Serikat menemukan bahwa 65% sepakat dengan pandangan resmi bahwa kematian orang-orang Armenia terjadi akibat "perang antar-komunal" dan 10% lainnya menyalahkan orang-orang Armenia yang menyebabkan kekerasan.[161] Sebuah survei tahun 2014 menemukan bahwa hanya 9% warga Turki yang berpikir bahwa pemerintah mereka harus mengakui genosida tersebut.[8][9] Kebanyakan orang meyakini bahwa pengakuan semacam itu diberlakukan oleh orang-orang Armenia dan kekuatan asing tanpa ada manfaatnya bagi Turki.[162] Kebanyakan orang Kurdi, yang juga mengalami penindasan politik di Turki, mengakui dan mengecam genosida tersebut.[163][164]
Politik
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang beraliran konservatif Islam berkuasa pada 2002[165][166] dan memegang pandangan sejarah yang mengkritik Komite Persatuan dan Pembangunan dan era Republik awal. Posisi tersebut awalnya berujung pada beberapa liberalisasi dan persebaran pandangan yang lebih luas yang dapat dinyatakan di ruang terbuka. AKP menyatakan pendekatannya terhadap "peristiwa tahun 1915" sebagai alternatif untuk penyangkalan genosida dan pengakuan genosida, dengan menyatakan penderitaan bersama.[167][168] Sepanjang waktu, dan khususnya sejak kudeta gagal tahun 2016, pemerintahan AKP menjadi makin otoriter. Penindasan politik dan penyensoran menjadikan orang-orang makin sulit untuk membahas topik-topik kontroversial seperti genosida Armenia.[169] Hingga 2020[update], seluruh partai politik besar di Turki, kecuali Partai Demokratik Rakyat (HDP) yang pro-Kurdi, serta sejumlah besar media dan organisasi perhimpunan sipil pro- dan anti-pemerintahan, mendukung penyangkalan. Pihak pemerintah maupun oposisi sama-sama sangat menentang pengakuan genosida di negara-negara lain.[170] Tidak ada anggota pemerintah Turki yang menganggap apa yang terjadi pada orang-orang Armenia sebagai kejahatan, apalagi genosida.[171][172][173] Pada 24 April 2019, perdana menteri Recep Tayyip Erdoğan bercuit, "Pemindahan geng-geng Armenia dan para pendukung mereka... merupakan tindakan paling masuk akal yang dapat dilakukan pada periode semacam itu".[174]
Turki berupaya untuk menyatakan penyangkalan genosidanya di luar negeri semenjak 1920-an,[175][176] atau, dengan kata lain, sejak genosida itu sendiri.[177][178] Upaya seabad Turki untuk menyangkal genosida Armenia membuat genosida tersebut berbeda dari genosida lain dalam sejarah. Menurut pakar genosida Roger W. Smith, "Tidak ada contoh lain di mana pemerintah melakukan tindakan ekstrem seperti itu untuk menyangkal bahwa sebuah genosida yang masif telah terjadi."[7] posisi strategis negara tersebut di Timur Tengah, aliansi Perang Dingin dengan Barat, dan keanggotaan NATO adalah hal yang utama bagi kemampuan Turki untuk menyangkali genosida tersebut dan mengecam pengakuannya.[179][180] Para sejarawan menggambarkan peran negara lain dalam memperbolehkan penyangkalan genosida oleh Turki sebagai sebuah bentuk dari kolusi.[181][182][183]
Menurut sosiolog Levon Chorbajian, Turki memiliki "modus operandi yang masih sepenuhnya konsisten dan memperjuangkan pendirian maksimalis, tanpa menawarkan kompromi meskipun terkadang mengisyaratkannya, dan melakukan intimidasi dan ancaman."[190][179] Termotivasi oleh kepercayaan akan konspirasi Yahudi global, Kemenlu Turki merekrut orang-orang Yahudi Turki untuk ikut serta dalam upaya denialis. Para pemimpin Yahudi Turki membantu mengurungkan resolusi-resolusi yang mengakui genosida tersebut, dan menghindarkan penyebutannya di konferensi-konferensi akademik dan museum-museum Holokaus.[191] Hingga 2015[update], Turki mengeluarkan jutaan dolar setiap tahun untuk melakukan lobi melawan pengakuan genosida tersebut.[192] Pada 2020, Akçam berkata bahwa Turki sepenuhnya kalah dalam perang informasi atas genosida Armenia pada ranah akademik dan diplomatik. Penjelasan resminya diperlakukan seperti denialisme biasa.[189]
Dari 1915 sampai 1918, Jerman dan Kesultanan Utsmaniyah mengadakan "upaya propaganda penyangkalan bersama."[194] Surat-surat kabar Jerman berulang kali menyangkal bahwa pemerintahan Utsmaniyah melakukan kejahatan dan mengisahkan tuduhan pengkhianatan Armenia.[195][196] Buku panduan penyensoran pemerintah mewajibkan pembatasan ketat terhadap pernyataan tentang orang-orang Armenia, meskipun hukuman bagi para pelanggarnya bersifat ringan.[197] Pada 11 Januari 1916, deputi sosialis Karl Liebknecht menyatakan masalah genosida dalam Reichstag, mendapatkan jawaban bahwa pemerintahan Utsmaniyah "telah terpaksa, karena intrik-intrik yang menghasut dari musuh-musuh kita, untuk memindahkan penduduk Armenia ke wilayah tertentu, dan menjadikannya tempat tinggal mereka yang baru." Pernyataan Liebknecht tersebut disambut dengan tertawaan.[198][199] Dalam pengadilan tahun 1921 terhadap Soghomon Tehlirian atas pembunuhan Talat Pasha, sangat banyak bukti yang menyatakan bahwa penyangkalan tersebut tidak dapat dipertahankan. Golongan nasionalis Jerman kemudian menggambarkan apa yang mereka ketahui sebagai pemusnahan disengaja orang Armenia sebagai sesuatu yang dibenarkan.[200]
Pada Maret 2006, kelompok-kelompok nasionalis Turki mengadakan dua kirab di Berlin yang ditujukan untuk memperingati "pembunuhan Talat Pasha" dan memprotes "kebohongan genosida." Para politikus Jerman mengkritik kirab tersebut, dan jumlah suaranya rendah.[201] Ketika Bundestag memutuskan untuk mengakui genosida Armenia pada 2016, media Turki mengkritik keras resolusi tersebut dan sebelas deputi berdarah Turki mendapatkan perlindungan polisi karena ancaman pembunuhan.[202] Komunitas besar Turki di Jerman dikutip sebagai alasan mengapa pemerintah ragu-ragu[203] dan organisasi-organisasi Turki melakukan lobi menentang resolusi tersebut dan mengadakan unjuk rasa.[204]
Amerika Serikat
Sejarawan Donald Bloxham menyatakan bahwa, "Dalam esensi paling nyata, 'penyangkalan genosida' diterima dan dilanjutkan oleh pemerintahan Amerika Serikat sebelum istilah genosida dicetuskan."[205][206] Di Turki pada masa antar-perang, para diplomat Amerika Serikat berpengaruh seperti Mark L. Bristol dan Joseph Grew memajukan pandangan golongan nasionalis Turki bahwa genosida Armenia adalah perang melawan unsur-unsur imperialisme.[206][207] Pada 1922, sebelum menerima konsesi Chester, Colby Chester berargumen bahwa umat Kristen dari Anatolia tidak dibantai. Tulisannya menampilkan banyak tema dari penyangkalan genosida berikutnya.[208][209] Pada 1930an, kedubes Turki menghalangi rencana adaptasi film terhadap novel populer karangan Franz Werfel berjudul The Forty Days of Musa Dagh oleh perusahaan Amerika Serikat MGM, dengan mengancam akan memboikot film-film Amerika. Kedubes Turki, dengan dukungan Kemenlu AS, mengupayakan penurunan layar terhadap film tersebut pada 1950-an dan 1960-an.[205][210]
Turki memulai lobi politik pada sekitar tahun 1975.[211]Şükrü Elekdağ, dubes Turki untuk AS dari 1979 sampai 1989, bekerja keras untuk melawan tren pengakuan genosida Armenia dengan memengaruhi para akademisi, kepentingan bisnis, dan kelompok Yahudi.[212] Para anggota komite United States Holocaust Memorial Museum melaporkan Elekdağ berkata kepada mereka bahwa keselamatan orang Yahudi di Turki tidak terjamin jika museum tersebut menyoroti genosida Armenia.[213] Pada masa penugasannya, Institute of Turkish Studies (ITS) dibentuk, didanai $3 juta dari Turki, dan negara tersebut mengeluarkan $1 juta setiap tahun untuk hubungan masyarakat.[212] Pada 2000, Elekdağ mengeluhkan bahwa ITS telah "kehilangan fungsinya dan keefektifannya."[211] Turki mengancam memotong akses Amerika Serikat ke pangkalan-pangkalan udara penting di Turki karena telah mengakui genosida tersebut.[179] Pada 2007, sebuah resolusi Kongresional untuk pengakuan genosida gagal karena tekanan Turki. Para penentang UU tersebut berkata bahwa genosida telah terjadi, namun menentang pengakuan resminya karena berdampak pada hubungan baik dengan Turki.[214] Setiap tahun sejak 1994, presiden Amerika Serikat mengeluarkan pesan peringatan pada 24 April. Turki terkadang melakukan tekanan-tekanan untuk menghindarkan presiden dari pemakaian kata "genosida".[192][215] Pada 2019, kedua dewan Kongres mengesahkan resolusi yang secara resmi mengakui genosida tersebut.[180][216] Pada 24 April 2021, bertepatan dengan Hari Peringatan Genosida Armenia, Presiden Joe Biden menyebut peristiwa tersebut sebagai "genosida" dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Gedung Putih.[217]
Britania Raya
Pada sekitar tahun 2000, pengacara HAM Geoffrey Robertson menyatakan, "penyangkalan genosida telah mengakar sendiri dalam Departemen Timur [dari Foreign and Commonwealth Office (FCO)] ... sedemikian rupa sehingga memberi pengarahan kepada para menteri dengan mengabaikan fakta-fakta yang dapat dengan mudah dipastikan", seperti catatannya sendiri dari masa itu.[218] Pada 2006, dalam sebuah tanggapan terhadap debat yang dimulai oleh anggota parlemen Steven Pound, seorang perwakilan FCO berkata bahwa Britania Raya tidak mengakui genosida tersebut karena "buktinya tidak cukup tegas".[219]
Menurut sejarawan Rıfat Bali [de; tr] dan Marc David Baer, penyangkalan genosida Armenia menjadi faktor paling penting dalam normalisasi hubungan Israel dengan Turki.[220]Konferensi Holokaus dan Genosida Internasional tahun 1982, yang diadakan di Tel Aviv, meliputi enam presentasi mengenai genosida Armenia. Turki mengancam bahwa jika konferensi tersebut diadakan, negara tersebut akan menutup perbatasannya terhadap para pengungsi Yahudi dari Iran dan Suriah, yang membuatnya nyawa mereka berada dalam bahaya. Akibatnya, Kementerian Luar Negeri Israel bergabung dalam upaya yang sepenuhnya gagal untuk membatalkan konferensi tersebut.[221]
Pada April 2001, sebuah surat kabar Turki mengutip Menlu Shimon Peres berkata, "Kami menolak upaya menciptakan kemiripan antara Holokaus dan [genosida] Armenia yang dituduhkan. Tidak ada yang mirip dengan kejadian Holokaus. Ini adalah tragedi yang dialami oleh orang-orang Armenia, namun bukan genosida."[222][223] Menurut Charny dan Auron, pernyataan ini menyilangkan garis penyangkalan aktif genosida Armenia.[224] Pakar Eldad Ben Aharon menyatakan bahwa Peres singkatnya menjelaskan apa yang telah menjadi kebijakan Israel sejak 1948.[223] Hubungan Israel dengan Turki merenggang pada akhir 2010-an, namun hubungan Israel dengan Azerbaijan bersifat dekat dan Asosiasi Internasional Azerbaijan–Israel telah melakukan lobi menentang pengakuan genosida tersebut.[225]
Denialisme dalam akademik
Sampai abad ke-21, kajian Utsmaniyah dan Turki memarginalisasi pembantaian orang-orang Armenia, yang banyak akademisi pandang sebagai tindakan masa perang yang dibenarkan oleh kedaruratan dan menghindari diskusi yang mendalam. Bidang-bidang tersebut telah lama menikmati hubungan kelembagaan dengan negara Turki. Pernyataan-pernyataan oleh para akademisi dikutip untuk melanjutkan agenda penyangkalan Turki.[226] Para sejarawan yang mengakui genosida mengkhawatirkan pembalasan profesional terhadap pengekspresian pandangan mereka.[227][228] Metodologi penyangkalan sebanding dengan taktik industri tembakau atau penyangkalan pemanasan global: membiayai penelitian yang bias, menciptakan tabir asap dari keraguan, dan dengan demikian membuat sebuah kontroversi[229][230][231] di mana tidak ada disputasi akademik yang benar-benar terjadi.[232]
Pada permulaan 1980-an, pemerintah Turki mendanai lembaga-lembaga riset untuk mencegah pengakuan genosida.[233][234][211] Pada 19 Mei 1985, The New York Times dan The Washington Post menjalankan iklan dari Assembly of Turkish American Associations[235] di mana 69 akademisi—kebanyakan profesor sejarah Utsmaniyah yang bekerja di Amerika Serikat pada masa itu—menyerukan agar Kongres tidak mengadopsi resolusi mengenai genosida Armenia.[236][237][238] Kebanyakan penandatangan menerima upah penelitian yang didanai oleh pemerintah Turki, dan mayoritas bukanlah spesialis dalam bidang Kekaisaran Utsmaniyah akhir.[239][240]Heath Lowry, direktur Institute of Turkish Studies, membantu mengamankan penandatanganan tersebut. Atas upayanya, Lowry menerima Penghargaan Yayasan untuk Promosi dan Pengakuan Turki.[241][238] Sepanjang dasawarsa berikutnya, Turki mendanai enam ketua kajian Utsmaniyah dan Turki untuk melawan pengakuan terhadap genosida tersebut. Lowry diangkat menjadi salah satu ketuanya.[241] Menurut sejarawan Keith David Watenpaugh, resolusi tersebut memiliki "pengaruh mengerikan dan berkelanjutan terhadap generasi cendekiawan yang dibesarkan."[227] Pada 2000, Elekdağ mengakui bahwa pernyataan itu telah menjadi tidak berguna karena tidak ada penandatangan asli selain Justin McCarthy sepakat untuk menandatangani deklarasi serupa lainnya.[235]
Denialisme akademik paling terkini di Amerika Serikat menyoroti tuduhan pemberontakan Armenia, yang dikatakan untuk membenarkan penindasan Armenia sebagai pemberontakan balasan yang sah.[242] Pada 2009, Universitas Utah membuka "Proyek Kajian Turki", yang didanai oleh Turkish Coalition of America (TCA) dan dipimpin oleh M. Hakan Yavuz, dengan Elekdağ pada badan penasihat.[243][235]University of Utah Press menerbitkan banyak buku yang menyangkali genosida tersebut,[242][243] dimulai dengan The Armenian Massacres in Ottoman Turkey (2006) karya Guenter Lewy. Buku Lewy ditolak oleh sebelas penerbit. Menurut Marc Mamigonian, karya tersebut menjadi "salah satu buku pelajaran penyangkalan modern penting".[244][245] TCA juga memberikan bantuan keuangan kepadanya beberapa pengarang termasuk McCarthy, Michael Gunter, Yücel Güçlü, dan Edward J. Erickson untuk menulis buku-buku yang menyangkali genosida Armenia.[243] Menurut Richard G. Hovannisian, dari semua penyangkal terkini dalam bidang akademik, nyaris seluruhnya memiliki hubungan dengan Turki dan mereka yang berkewarganegaraan Turki, semuanya pernah bekerja untuk kementerian luar negeri Turki.[246]
Kontroversi integritas akademik
Kebanyakan pakar menganggap tidak etis bagi para akademisi untuk menyangkali genosida Armenia.[228][247] Di luar itu, terdapat banyak kontroversi tentang integritas akademik terkait penyangkalan genosida. Pada 1990, psikiatris Robert Jay Lifton menerima surat dari Nüzhet Kandemir [tr], dubes Turki untuk Amerika Serikat, mempertanyakan rujukan-rujukan kepada genosida Armenia dalam salah satu buku Lifton. Dubes tersebut secara tidak sengaja menyertakan draf surat dari Lowry yang menasihati dubes mengenai cara untuk menghindari penyebutan genosida Armenia dalam karya-karya ilmiah. Lowry kemudian diangkat menjadi Profesor Kajian Utsmaniyah Atatürk di Universitas Princeton, yang didanai oleh pemerintah Turki dengan uang sejumlah $750.000. Tindakannya dipandang sebagai "subversi pembelajaran".[248] Ia kemudian berkata bahwa menulis surat tersebut adalah sebuah kekeliruan.[249]
Pada 2006, sejarawan Ottomanis Donald Quataert—salah satu dari 69 penandatangan pernyataan tahun 1985 untuk Kongres Amerika Serikat[250]—mengulas The Great Game of Genocide, sebuah buku tentang genosida Armenia, setuju bahwa "genosida" adalah kata yang tepat untuk dipakai.[251] Artikel tersebut menantang apa yang disebut Quataert sebagai "tembok kebungkaman Utsmani"[252] terhadap masalah tersebut.[250][253][254] Berpekan-pekan kemudian, ia mundur dari jabatan ketua badan direktur Institute of Turkish Studies usai para pejabat Turki mengancam bahwa jika ia tidak menarik pernyataannya, pendanaan lembaga tersebut akan ditarik. Banyak anggota badan tersebut mengundurkan diri. Middle East Studies Association dan Turkish Studies Association mengkritik pelanggaran terhadap kebebasan akademik Quataert.[250][253][255]
Dalam ceramah yang ia sampaikan pada Juni 2011, Akçam menyatakan bahwa pejabat Kemenlu Turki berkata kepadanya bahwa pemerintah Turki memberikan uang kepada para akademisi di Amerika Serikat untuk penyangkalan dari genosida tersebut, memerhatikan adanya kebetulan antara apa yang sumbernya katakan dengan buku Gunter Armenian History and the Question of Genocide.[256] Hovannisian meyakini bahwa buku-buku yang menyangkali genosida tersebut diterbitkan karena selaras dalam penelaahan sejawat yang berujung pada "keselarasan kuat di antara banyak penelaah sepemahaman yang saling menguntungkan" tanpa mengajukan buku-buku tersebut kepada para akademisi yang akan menunjukkan kesalahan-kesalahannya.[257]
Pandangan resmi Turki didasarkan pada keyakinan bahwa genosida Armenia adalah tindakan negara yang sah dan sehingga tidak dapat ditantang atas dasar hukum atau moral.[258] Publikasi-publikasi dari sudut pandang tersebut sepakat dalam banyak fakta dasar dengan sejarah non-denialis, namun berbeda dalam penafsiran dan kesimpulannya.[259] Selaras dengan pembenaran Komite Persatuan dan Kemajuan atas tindakan-tindakannya, karya-karya denialis menampilkan orang-orang Armenia sebagai ancaman yang ada bagi kesultanan pada masa perang, sesambil menyangkal niat Komite Persatuan dan Kemajuan untuk memusnahkan orang-orang Armenia. Sejarawan Ronald Grigor Suny menjelaskan argumen denialis utama sebagai, "Tidak ada genosida yang terjadi, dan orang-orang Armenia-lah yang harus disalahkan."[4][260]
Karya-karya denialis menggambarkan orang-orang Armenia sebagai teroris dan separatis,[261] mengalihkan penyalahan dari Komite Persatuan dan Kemajuan kepada orang-orang Armenia.[262][263] Menurut logika ini, deportasi warga sipil Armenia adalah tanggapan yang dibenarkan dan diperlukan terhadap pengkhianatan Armenia, baik benar-benar nyata maupun dianggap nyata oleh otoritas Utsmaniyah.[264][265][266] Para pencetus mengutip doktrin kebutuhan militer dan menyatakan penyalahan kolektif terhadap seluruh orang Armenia atas pemberontakan militer beberapa orang, meskipun pada kenyataannya, hukum perang mengkriminalisasi pembantaian warga sipil.[267][268] Kematian dinyatakan berasal dari faktor di luar kendali pihak berwenang Utsmaniyah, seperti cuaca, penyakit, atau pejabat lokal yang tidak jujur.[269][270] Peran Organisasi Khusus disangkal[271][272] dan pembantaian justru disalahkan kepada orang-orang Kurdi,[61] "brigade-brigade" dan "kelompok-kelompok bersenjata" yang seharusnya beroperasi di luar kendali pemerintah pusat.[273]
Argumen lain meliputi:
Bahwa terdapat "perang saudara" atau menggeneralisasikan pemberontakan Armenia yang direncanakan oleh Federasi Revolusioner Armenia dalam kolusi dengan Rusia.[274][275] Arsip-arsip Utsmaniyah maupun sumber lainnya mendukung hipotesis ini, seperti yang dimajukan oleh salah satu pencetus teori tersebut, Edward Erickson.[264][276][277]
Bahwa jumlah orang Armenia yang tewas sebesar 300.000 atau lebih sedikit, mungkin tidak lebih dari 100.000.[278] Bloxham memandangnya sebagai bagaian dari tema paling umum dari pemahaman keberadaan Armenia di Kekaisaran Utsmaniyah untuk melemahkan kebutuhan untuk otonomi atau kemerdekaan.[279]
Bahwa kelompok-kelompok tertentu orang Armenia diselamatkan, yang menurut para pendukungnya membuktikan bahwa tidak ada upaya sistematis untuk memusnahkan orang-orang Armenia.[280] Beberapa orang secara salah mengklaim bahwa orang Katolik dan Protestan Armenia, serta keluarga-keluarga prajurit Armenia yang mengabdi dalam Angkatan Bersenjata Utsmaniyah tidak dideportasi.[281] Pertahanan hidup orang-orang Armenia di Smyrna dan Konstantinopel—yang direncanakan oleh Komite Persatuan dan Kemajuan namun hanya sebagian yang dijalankan karena tekanan dari Jerman—juga dikutip untuk menyangkal bahwa kepemimpinan Komite Persatuan dan Kemajuan memiliki niat genosida.[282][283]
Pernyataan palsu bahwa para penguasa Utsmaniyah mengambil tindakan untuk mengamankan nyawa dan harta benda Armenia pada masa deportasi mereka, dan mendakwa 1.397 orang karena menzalimi orang-orang Armenia pada masa genosida.[284][285]
Anggapan bahwa orang-orang Turki tidak dapat melakukan genosida, sebuah argumen yang seringkali didukung dengan klaim-klaim yang dilebih-lebihkan mengenai kemurahan hati Utsmaniyah dan Turki terhadap Yahudi.[291] Pada upacara resmi untuk mengenang Holokaus pada 2014, Menlu Turki Mevlüt Çavuşoğlu mengklaim bahwa, berbeda dengan Kristen Eropa, "Tidak ada akar genosida dalam sejarah kami."[292] Pada kunjungan ke Sudan pada 2006, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoğan menyangkali genosida Darfur karena "seorang Muslim tidak dapat melakukan genosida".[293][294]
Klaim-klaim genosida timbul dari pandangan dunia yang berprasangka, anti-Turki atau Orientalis.[243]
Pada penghujung akhir klaim denialis menyatakan bahwa bukan Turki yang melakukan genosida terhadap Armenia melainkan sebaliknya, seperti yang dinyatakan oleh Monumen dan Museum Genosida Iğdır.[295]
Penyangkalan genosida Armenia seringkali dibandingkan dengan penyangkalan Holokaus karena taktik serupa dalam menyalahartikan bukti, penyamaan palsu, klaim bahwa kejahatan diciptakan oleh propaganda perang dan bahwa lobi-lobi kekuatan membuat tuduhan genosida untuk keuntungan mereka sendiri, merendahkan pemusnahan sistematis sepihak terhadap kematian pada masa perang, dan mengalihkan penyalahan dari para pelaku ke para korban genosida. Bentuk negasionisme selaras dengan tujuan merehabilitasi ideologi yang dibawa terhadap genosida.[177][296]
Sejumlah negara Eropa mengadopsi hukum untuk mengkriminalisasikan penyangkalan genosida.[298] Hukum semacam itu bersifat kontroversial. Para penentangnya beranggapan bahwa mereka mengikis kebebasan berbicara.[299] Pada 1993, surat-surat kabar Prancis mencetak banyak wawancara dengan sejarawan Inggris-Amerika Bernard Lewis. Dalam wawancara-wawancara tersebut, ia berpendapat bahwa tidak ada genosida Armenia karena orang-orang Armenia yang membawa nasib mereka ke diri mereka sendiri.[300][301] Seorang jaksa negeri Prancis menyatakan dakwaan kriminal terhadapnya atas pernyataan-pernyataan tersebut berdasarkan Hukum Gayssot. Dakwaan tersebut gagal, karena pengadilan memutuskan bahwa hukum tersebut tidak dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa sebelum Perang Dunia II.[302] Dalam dakwaan sipil tahun 1995 yang dibawa oleh tiga penyintas genosida Armenia, pengadilan Prancis menindak pernyataan Lewis lewat Pasal 1382 Kitab Hukum dan mendendanya sejumlah satu franc, dan memerintahkan publikasi pendakwaan terhadap pembiayaan Lewis dalam Le Monde. Pengadilan menyatakan bahwa meskipun Lewis memiliki hak atas pandangannya, ekspresi mereka melukai pihak ketiga dan bahwa "hanya dengan menyembunyikan elemen-elemen yang bertentangan dengan tesisnya, terdakwa dapat menyatakan bahwa tidak ada 'bukti serius' tentang Genosida Armenia".[303][304][305]
Pada Maret 2007, pengadilan Swiss mendakwa Doğu Perinçek, seorang anggota Komite Talat Pasha (diambil dari nama pelaku utama genosida),[306][307][308] bersalah di bawah hukum Swiss atas dakwaan penyangkalan genosida. Perinçek mengajukan banding. Pada bulan Desember,[309]Mahkamah Agung Swiss menyatakan bahwa ia bersalah.[310][309]Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa turun tangan membatalkan Perinçek v. Swiss atas dasar kebebasan berbicara.[311] Meskipun Mahkamah HAM Eropa mengatur agar negara-negara anggota dapat mengkriminalisasi penyangkalan Holokaus, dakwaan tersebut dikritik karena menciptakan standar ganda antara Holokaus dan genosida lainnya, bersama dengan kegagalan untuk mengakui anti-Armenianisme sebagai motivasi untuk penyangkalan genosida.[307][312][313] Meskipun pengadilan tersebut tidak mengatur soal apakah peristiwa tahun 1915 dianggap sebagai genosida, banyak opini terpisah mengakui genosida tersebut sebagai fakta sejarah.[311] Perinçek dengan keliru menyebut pembatalan dakwaan tersebut dengan berkata, "Kita mengakhiri kebohongan genosida."[314]
Dampak
Kieser, Göçek, dan Cheterian menyatakan bahwa penyangkalan tersebut menghalangi Turki dari penerapan demokrasi penuh yang meliputi pluralisme dan hak asasi manusia, dan bahwa penyangkalan tersebut mendorong penindasan negara terhadap kelompok minoritas di Turki, khususnya Kurdi.[315] Akçam berkata bahwa penyangkalan genosida "merasionalisasikan penindasan agama dan etnis minoritas" dan menyudutkan penduduk menuju peristiwa-peristiwa kekerasan massa pada masa mendatang.[316] Sampai negara Turki mengakui genosida, ia berpendapat, "selalu ada hal potensi bahwa mereka dapat melakukannya lagi".[317]Vicken Cheterian berkata bahwa penyangkalan genosida "mengotori budaya politik seluruh masyarakat, di tempat kekerasan dan ancaman menjadi bagian dari keputusan politik terkait hak dasar dan praktek demokrasi".[318] Ketika mengakui genosida Armenia pada April 2015, Paus Fransiskus menambahkan, "menyembunyikan atau menyangkali kejahatan seperti membiarkan luka terus berdarah tanpa pembalut".[319]
Penyangkalan juga berdampak pada orang-orang Armenia, terutama orang-orang yang tinggal di Turki. Sejarawan Talin Suciyan menyatakan bahwa genosida Armenia dan penyangkalannya "berujung pada serangkaian kebijakan lain yang mendalangi proses tersebut dengan mencairkan harta benda mereka, membungkam dan menyudutkan para penyintas, dan menormalisasi segala bentuk kekerasan terhadap mereka".[320] Menurut artikel dalam Journal of Aggression, Maltreatment & Trauma, "[p]enyangkalan menghalangi penyembuhan luka yang ditimbulkan oleh genosida, dan menempatkan serangan terhadap identitas kolektif dan kelanjutan budaya nasional dari orang-orang yang bermain korban".[321] Göçek berpendapat bahwa "kurangnya pengakuan secara harfiah menghalangi luka yang dibuka oleh kekerasan masa lalu untuk sembuh".[322] Kegiatan kelompok militan Armenia pada 1970an dan 1980an, seperti Tentara Rahasia Armenia untuk Pembebasan Armenia dan Komando Keadilan Genosida Armenia, sebagian disebabkan oleh kegagalan upaya damai untuk melancarkan pengakuan Turki terhadap genosida tersebut.[323][324] Beberapa sejarawan, seperti Stefan Ihrig, berpendapat bahwa kekebalan pada para pelaku genosida Armenia, serta pembungkaman atau pembenaran terhadap kengerian kejahatan, menjadikan para pelaku Holokaus semakin berani.[325][203]
Turki menutup perbatasannya dengan Armenia pada 1993, menyusul Perang Nagorno-Karabakh Pertama antara Armenia dan Azerbaijan, negara yang berbahasa Turkic. Penutupan perbatasan tersebut mencederai ekonomi Armenia dan Turki timur.[192][327] Meskipun Armenia berniat untuk melakukan normalisasi hubungan tanpa prasyarat, Turki menuntut agar pihak Armenia meninggalkan segala dukungan untuk upaya pengakuan diaspora Armenia.[328] Terdapat dua upaya besar dalam rekonsiliasi Turki-Armenia—Komisi Rekonsiliasi Armenia Turki (2000–2004) dan Protokol Zurich (2009)—keduanya sama-sama gagal karena kontroversi atas genosida Armenia. Dalam kedua kasus, para mediator melakukan yang terbaik untuk mengesampingkan perselisihan historis, tetapi itu terbukti mustahil.[329] Kelompok-kelompok diaspora Armenia menentang inisiatif dan khususnya komisi sejarah untuk menyelidiki yang mereka anggap fakta-fakta yang sudah terbukti.[330] Bloxham berpendapat bahwa karena "penyangkalan selalu disertai oleh retorika pengkhianatan, agresi, kriminalitas dan ambisi wilayah Armenia, ini sebenarnya menunjukkan ancaman 'balas dendam' Turki yang laten."[5]
Sejak permulaan konflik Nagorno-Karabakh, Azerbaijan mengadopsi penyangkalan genosida Turki dan berupaya untuk mempromosikannya di mancanegara.[331][332] Genosida Armenia juga banyak disangkal oleh masyarakat sipil Azerbaijan.[333] Kebanyakan orang Armenia memandang hubungan antara genosida tersebut dan kekerasan anti-Armenia berikutnya seperti pogrom Sumgait tahun 1988, meskipun hubungan antara konflik Karabakh dan genosida Armenia lebih banyak dibuat oleh para elit Azerbaijan.[334] Para nasionalis Azerbaijan menuduh orang-orang Armenia memicu pogrom Sumgait dan pogrom anti-Armenia lainnya, mirip dengan tuduhan Turki terhadap genosida Armenia.[335]
Propaganda negara Azerbaijan mengklaim bahwa orang-orang Armenia mendalangi genosida terhadap orang-orang Azeri selama lebih dari dua abad. Genosida tersebut meliputi Traktat Gulistan (1813), Traktat Turkmenchay (1828), Komune Baku, pengerahan pasukan Soviet ke Baku pada Januari 1990 (menyusul pembantaian orang-orang Armenia di Baku), dan khususnya pembantaian Khojali tahun 1992. Menurut propaganda tersebut, orang-orang Armenia melakukan "genosida yang sebenarnya" dan dituduh membantai atau mendeportasi sebanyak 2 juta orang Azeri sepanjang masa itu.[333][336][337] Setelah itu, Azerbaijan, Turki dan diaspora Turki melobi pengakuan pembantaian Khojali sebagai genosida untuk merendahkan genosida Armenia.[338] Azerbaijan memandang negara manapun yang mengakui genosida Armenia sebagai musuh dan bahkan mengancam sanksi.[339] Cheterian berpendapat bahwa "warisan sejarah tidak terselesaikan dari genosida tahun 1915" membantu menyebabkan konflik Karabakh dan menghalangi penyelesaiannya, sementara "kejahatan mutlak itu sendiri terus terjadi sebagai model dan sebagai ancaman, serta sumber kekhawatiran yang ada".[334]
Referensi
Kutipan
^* Marchand, Laure; Perrier, Guillaume (2015). Turkey and the Armenian Ghost: On the Trail of the Genocide. McGill-Queen's Press. hlm. 111–112. ISBN978-0-7735-9720-4. Monumen genosida Iğdır adalah karikatur ultimat dari kebijakan pemerintah Turki yang menyangkal genosida 1915 dengan menulis ulang sejarah dan mengubah para korban menjadi pihak yang bersalah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Laycock, Jo (2016). "The Great Catastrophe". Patterns of Prejudice. 50 (3): 311–313. doi:10.1080/0031322X.2016.1195548. ... perkembangan penting dalam penelitian sejarah tentang genosida selama lima belas tahun terakhir ... tidak menyisakan ruang untuk meragukan bahwa perlakuan terhadap orang-orang Armenia Utsmaniyah merupakan genosida menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pencegahan dan Penghukuman Genosida.
Kasbarian, Sossie; Öktem, Kerem (2016). "One Hundred Years Later: the Personal, the Political and the Historical in Four New Books on the Armenian Genocide". Caucasus Survey. 4 (1): 92–104. doi:10.1080/23761199.2015.1129787. ... pandangan denialis telah banyak didiskreditkan di kalangan akademisi internasional. Keilmuan terkini telah sangat memvalidasi Genosida Armenia...
Kieser, Hans-Lukas; Öktem, Kerem; Reinkowski, Maurus (2015). "Introduction". World War I and the End of the Ottomans: From the Balkan Wars to the Armenian Genocide. Bloomsbury Publishing. ISBN978-0-85772-744-2. Kami sangat yakin, dan diperkuat oleh kontribusi-kontribusi dalam buku ini, bahwa satu-satunya alasan paling penting dari ketidakmampuan untuk menerima kesalahan adalah sentralitas pembantaian Armenia dalam pembentukan negara-bangsa Turki. Psikologi kolektif yang lebih dalam yang mendasari sentimen ini mengasumsikan bahwa setiap langkah untuk mengakui kesalahan akan menempatkan fondasi negara-bangsa Turki dalam bahaya dan akan mengarah pada kehancurannya.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Smith, Roger W. (2006). "The Significance of the Armenian Genocide after Ninety Years". Genocide Studies and Prevention. 1 (2): i–iv. doi:10.3138/G614-6623-M16G-3648. Genosida Armenia, pada kenyataannya, menerangi dengan kejelasan khusus tentang bahaya yang melekat pada manipulasi politik atas kebenaran melalui distorsi, penyangkalan, intimidasi, dan pemerasan ekonomi. Tidak ada contoh lain di mana sebuah pemerintah melakukan upaya ekstrem seperti itu untuk menyangkal bahwa genosida yang masif telah terjadi.
Tatz, Colin (2018). "Why is the Armenian Genocide not as well known?". Dalam Bartrop, Paul R. Modern Genocide: Analyzing the Controversies and Issues. ABC-CLIO. hlm. 71. ISBN978-1-4408-6468-1. Uniknya, seluruh aparat negara-bangsa telah ditugaskan untuk mengubah, memperbaiki, membelokkan, meredakan, menyangkal, mengelabui, membenarkan, mengaburkan, atau menghilangkan peristiwa tersebut. Tidak ada negara lain dalam sejarah yang begitu agresif mencari penindasan terhadap sepotong sejarahnya, mengancam segala sesuatu mulai dari pemutusan hubungan diplomatik atau perdagangan, penutupan pangkalan udara, hingga penghapusan entri tentang subjek tersebut dalam ensiklopedia internasional.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abMaksudyan, Nazan (2019). ""This Is a Man's World?": On Fathers and Architects". Journal of Genocide Research. 21 (4): 540–544 [542]. doi:10.1080/14623528.2019.1613816. Kaum nasionalis Turki mengikuti pola yang telah ditetapkan dengan tegas setelah pembantaian Hamidian, meskipun penelitian baru, mungkin membawa kronologi kejahatan dan penyangkalan tanpa hukuman lebih jauh ke belakang, pada paruh pertama abad kesembilan belas. Dalam setiap kasus kekerasan terhadap non-Muslim, reaksi pertama negara, meskipun terjadi perubahan rezim bersama dengan tokoh-tokoh yang terlibat, adalah penyangkalan.
^Suny 2015, hlm. 244–245. "Setiap insiden perlawanan Armenia, setiap penemuan gudang senjata, berubah menjadi visi pemberontakan Armenia yang terkoordinasi dan tersebar luas... Deportasi yang seolah-olah diambil karena alasan militer, dengan cepat menjadi radikal secara mengerikan menjadi kesempatan untuk menyingkirkan Anatolia sekaligus dan bagi semua orang, itu dianggap sebagai ancaman eksistensial yang mungkin segera terjadi untuk masa depan kekaisaran."
^Akçam, Taner (2019). "When Was the Decision to Annihilate the Armenians Taken?". Journal of Genocide Research. 21 (4): 457–480 [457]. doi:10.1080/14623528.2019.1630893. Sebagian besar ahli menempatkan tanggal yang memungkinkan untuk keputusan akhir pada akhir Maret (atau awal April).
^Kaiser, Hilmar (2010). "Genocide at the Twilight of the Ottoman Empire". Dalam Bloxham, Donald; Moses, A. Dirk. The Oxford Handbook of Genocide Studies (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 383. ISBN978-0-19-923211-6. Deportasi Armenia bukanlah hasil dari pemberontakan Armenia. Sebaliknya, orang-orang Armenia dideportasi ketika tidak ada gangguan bahaya dari luar. Jadi orang-orang Armenia dekat garis depan, sering dibantai di tempat dan tidak dideportasi. Deportasi bukanlah tindakan pengamanan terhadap pemberontakan, tetapi bergantung pada ketiadaan mereka.
^Akçam 2012, hlm. 341. "Berdasarkan Makalah Kementerian Dalam Negeri dari periode tersebut, dapat dengan yakin ditegaskan bahwa tujuan Komite Persatuan dan Kemajuan bukanlah memukimkan kembali para penduduk Armenia di Anatolia dan kompensasi yang setara atas barang-barang dan harta benda yang terpaksa mereka tinggalkan. Sebaliknya, penyitaan dan penggunaan barang-barang orang Armenia, selanjutnya dengan jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Unionis dimaksudkan untuk sepenuhnya menghilangkan semua kemungkinan kelangsungan hidup orang Armenia."
^Göçek 2015, hlm. 250. "Kesetaraan palsu dari kekerasan Armenia dengan versi kekerasan Turki tersebut, menutupi perbedaan antara dua penderitaan, dengan mengabaikan dua faktor. Secara skala, kedua penderitaan-penderitaan tersebut jelas jauh berbeda. Kekerasan yang diderita Muslim di wilayah timur, menyebabkan kematian paling banyak 60.000 Muslim, tetapi kekerasan kolektif yang dilakukan Komite Persatuan dan Kemajuan mengakibatkan kematian setidaknya 800.000 orang Armenia."
^Göçek 2011, hlm. 45–46. "First, none of these works, originally penned around the time of the events of 1915, question the occurrence of the Armenian "massacres" ("genocide" did not yet exist as a term)... The later ones, increasingly imbued with protonationalist sentiments, view the committed crimes as a duty necessary for the establishment and preservation of a Turkish fatherland."
^Hofmann, Tessa (2016). "Open Wounds: Armenians, Turks, and a Century of Genocide by Vicken Cheterian". Histoire sociale/Social history. 49 (100): 662–664. doi:10.1353/his.2016.0046. Pendirian republik Turki dan para pelaku genosida Komite Persatuan dan Kemajuan hingga hari ini diperingati dengan penuh kebanggaan. Masjid, sekolah dan taman kanak-kanak, jalan raya, dan alun-alun di Turki terus menyandang nama para pelaku tingkat tinggi. Kieser 2018, hlm. xii Avedian 2012, hlm. 816
^Gürpınar 2013, hlm. 420. "...the official narrative on the Armenian massacres constituted one of the principal pillars of the regime of truth of the Turkish state. Culpability for these massacres would incur enormous moral liability; tarnish the self-styled claim to national innocence, benevolence and self-reputation of the Turkish state and the Turkish people; and blemish the course of Turkish history. Apparently, this would also be tantamount to casting doubt on the credibility of the foundational axioms of Kemalism and the Turkish nation-state."
^Akçam 2012, hlm. xi. "'National security' not only explained and justified the traumatic events of the past but would also support the construction of genocide denial in the future. Thereafter, an open and frank discussion of history would be perceived as a subversive act aimed at partitioning the state. Well into the new millennium, Turkish citizens who demanded an honest historical accounting were still being treated as national security risks, branded as traitors to the homeland or dupes of hostile foreign powers, and targeted with threats."
^Göçek 2015, hlm. 2. "Because of this partial use of sources, the Western scholarly community finds the ensuing Turkish official discourse unscientific, propagandistic, and rhetorical and therefore does not address or engage it."
^Beberapa sekolah swasta dan sejumlah kecil sekolah negeri juga memakai buku-buku pelajaran alternatif yang tak diakui oleh Kementerian Pendidikan.[138]
^Aybak 2016, hlm. 13. "This officially distributed educational material reconstructs the history in line with the denial policies of the government portraying the Armenians as backstabbers and betrayers, who are portrayed as a threat to the sovereignty and identity of modern Turkey. The demonization of the Armenians in Turkish education is a prevailing occurrence that is underwritten by the government to reinforce the denial discourse."
^Galip 2020, hlm. 186. "Additionally, for instance, the racism and language of hatred in officially approved school textbooks is very intense. These books still show Armenians as the enemies, so it would be necessary for these books to be amended..."
^Erbal 2012, hlm. 52. "Turkish civil society and the academic and intellectual establishment within that civil society have also been either actively in denial or in some cases in service of a denialist state agenda or standing passively silent – another form of denial – for over 90 years."
^Galip, Özlem Belçim (2019). "The Armenian Genocide and Armenian Identity in Modern Turkish Novels". Turkish Studies. 20 (1): 92–119 [99]. doi:10.1080/14683849.2018.1439383.
^Demirel & Eriksson 2020, hlm. 9. "Turkish people['s]... narratives were based on the idea that Armenians were the perpetrators and that the Turks were the 'real' victims... the dominant Turkish response is a rejection of genocide allegations. The massacres, when admitted, are justified by the Turkish narrative of an alleged Armenian betrayal and the slaughter of Turks by Armenians. Losses during the exile are excused via a narrative of disease, and the attacks of rogue gangs."
^Oranlı, Imge (2021). "Epistemic Injustice from Afar: Rethinking the Denial of Armenian Genocide". Social Epistemology. 35 (2): 120–132. doi:10.1080/02691728.2020.1839593.
^Kasbarian, Sossie; Öktem, Kerem (2014). "Armenians, Turks and Kurds beyond denial: an introduction". Patterns of Prejudice. 48 (2): 115–120 [115–116]. doi:10.1080/0031322X.2014.910893.
^Palabiyik, Mustafa Serdar (2018). "Politicization of Recent Turkish History: (Ab)use of History as a Political Discourse in Turkey". Turkish Studies. 19 (2): 240–263 [254–255]. doi:10.1080/14683849.2017.1408414. ... tidak seperti CHP, beberapa simpatisan AKP menyalahkan mentalitas Unionis atas apa yang terjadi pada tahun 1915 terhadap orang-orang Armenia Utsmaniyah dengan melabelinya sebagai insiden yang tidak manusiawi atau kejahatan terhadap kemanusiaan; namun sama seperti CHP, mereka ragu-ragu untuk mengakui " relokasi ini" sebagai genosida. Hal ini disajikan sebagai cara ketiga antara penyangkalan genosida dan pengakuan genosida. Davutoğlu menyebutnya sebagai 'pendekatan penderitaan bersama' yang berfokus pada penderitaan kumulatif rakyat Ottoman selama Perang Dunia I...
^Akçam 2008, hlm. 121. "...the Turkish state... posits that the situation under review here does not warrant the use of the term 'crime'; even though there were some deaths, a state has the right to resort to such an operation."
^Baer 2020, hlm. 21, 145. "The turn to Jews as lobbyists on Turkey's behalf was based not only on the old myth of Turkish–Jewish friendship, but also on the anti-Semitic conspiracy theory that Jews control world governments, finance, and media."
^Ihrig 2016, hlm. 293. "... while the mood and the overwhelming evidence were such that genocide could no longer be denied, many nationalist papers now both accepted the charge of genocide against the Turks and justified it at the very same time."
^Fleck, André (2014). Machtfaktor Diaspora?: Armenische Interessenvertretung in Deutschland [Diaspora Power Broker? Representation of Armenian Interests in Germany] (dalam bahasa Jerman). LIT Verlag. hlm. 268–270. ISBN978-3-643-12762-4. von Bieberstein, Alice (2017). "Memorial Miracle: Inspiring Vergangenheitsbewältigung Between Berlin and Istanbul". Replicating Atonement: Foreign Models in the Commemoration of Atrocities (dalam bahasa Inggris). Springer International Publishing. hlm. 237–265 [259]. ISBN978-3-319-65027-2.
^Galip 2020, hlm. 97, 163. "The AKP government, a considerable number of Turkish groups, the opposition party in the Turkish parliament, institutions and both pro-government and anti-government Turkish media waged a war against [Cem] Özdemir and the German parliament expressing Islamic superiority, denial, hatred of Armenians and excusing the Armenian massacres by accusing Armenians of collaborating with Russia during the First World War."
^Baer 2020, hlm. 124. "President Jimmy Carter's Jewish aide, Stuart Eizenstat, reported that Turkish ambassador Şükrü Elekdağ (in office 1979–1989) told him that although Turkey had treated its Jews well for centuries and had taken in Jewish refugees from Nazi Germany, if the Armenian genocide were included in the new museum, 'Turkey could no longer guarantee the safety of the Jews in Turkey'." Elekdağ was also reported making a similar comment to another member of the Holocaust Memorial Museum Committee."
^Ben Aharon 2015, hlm. 646–648. "From Charny's testimony and Arazi's statements in document 404, it is clear that the lives of Iranian and Syrian Jews were at stake; the Turkish Foreign Ministry did not hesitate to use this sensitive situation to exert pressure on Israel."
^ abWatenpaugh, Keith David (2017). "Fatma Müge Göçek. Denial of Violence: Ottoman Past, Turkish Present, and Collective Violence against the Armenians, 1789–2009; Ronald Grigor Suny. "They Can Live in the Desert but Nowhere Else": A History of the Armenian Genocide". The American Historical Review. 122 (2): 478–481 [479]. doi:10.1093/ahr/122.2.478.
^Akçam 2012, hlm. 451. "What must be understood is that the thesis known in Turkey as the 'official version'... takes as its starting point the assumption that the events of 1915 were derived from governmental actions that were, in essence, within the bounds of what are considered normal and legal actions for a state entity and cannot therefore be explained through a recourse to criminality or criminal law. According to this assumption, under certain conditions a government or a state can resort to actions such as 'forcible deportation,' even if they result in the deaths of its own citizens, and there are no moral or legal grounds upon which such actions can be faulted."
^Chorbajian 2016, hlm. 167. "Denial of the Armenian Genocide, therefore, consists of a two-pronged complementary, yet also contradictory, argument we can call 'They Brought It on Themselves and It Never Happened'."
^Mamigonian 2015, hlm. 72. "Thus, each author offers excuses for the actions of the CUP leadership while shifting partial blame onto the victims themselves and, in the process, creates a new criterion for the victims of genocide: the need to be 'wholly innocent'."
^Suny 2009, hlm. 941. "What appears in the sources to have been the Turks' panic and paranoia at an imagined danger from their Armenian subjects has metastasized in the hands of apologists into justification for state-ordered murder."
^Kaligian 2014, hlm. 209. "One of the key arguments made by genocide deniers is that the deportations, and whatever 'unfortunate excesses' occurred during them, were not part of a plan of extermination but rather a response to an Armenian rebellion in the eastern provinces in collaboration with Russia."
^Moses, A. Dirk (2013). "Genocide vs. Security: a False Opposition". Journal of Genocide Research. 15 (4): 463–509. doi:10.1080/14623528.2013.856095. Ini adalah sebuah kesalahan besar; Lewy berbicara tentang 'orang-orang Armenia' seolah-olah perempuan dan anak-anak yang tak berdaya yang menjadi bagian dari barisan deportasi bertanggung jawab atas para pemberontak Armenia di wilayah lain di negara itu. Tuduhan "kesalahan kolektif" tidak dapat diterima dalam dunia akademis, apalagi dalam diskursus normal, dan menurut saya merupakan salah satu unsur utama dalam pemikiran genosida. Tuduhan ini gagal membedakan antara kombatan dan non-kombatan, yang mana hukum kemanusiaan internasional telah menegaskannya selama lebih dari seratus tahun.
^Robertson, Geoffrey (2015). An Inconvenient Genocide: Who Now Remembers the Armenians?. Biteback Publishing. hlm. 117. ISBN978-1-84954-822-9. 'Keharusan' dalam perang tidak pernah dapat membenarkan pembunuhan warga sipil secara sengaja: jika mereka dicurigai berkhianat atau setia kepada musuh, mereka dapat ditahan atau diinternir, atau diadili, tetapi tidak boleh dikirim ke medan perang di mana mereka diperkirakan tidak akan pernah kembali.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Kaligian 2014, hlm. 208."Deniers claim the Armenian Revolutionary Federation (ARF) fomented a rebellion, but they elide the fact that Turkey's ruling party tried to recruit the ARF to form a fifth column behind Russian lines... [They] base their positions on a book by Esat Uras, a perpetrator of the genocide, which created the template for denial."
^Dadrian 2003, hlm. 276. "An integral part of this argument of civil war is the assertion of "Armenian rebellion" for which purpose the four major Armenian uprisings, Shabin Karahisar (6 Juni–4 Juli 1915), Musa Dagh (30 Juli – September 1915), Urfa (29 September–23 Oktober 1915), and especially that of Van in the April 20–May 17, 1915 period, are cited as proof positive. Yet, without exception these uprisings were improvised last-ditch attempts to ward off imminent deportation and destruction. Without exception they were all local, very limited, and above all, highly defensive initiatives; as such they were ultimately doomed to failure."
^Kieser 2018, hlm. 237. "Sources from observers on the ground, as well as published Ottoman army sources from the provinces during spring 1915, do not support the claim of a general uprising."
^* Marchand, Laure; Perrier, Guillaume (2015). Turkey and the Armenian Ghost: On the Trail of the Genocide (dalam bahasa Inggris). McGill-Queen's Press. hlm. 111–112. ISBN978-0-7735-9720-4. Monumen genosida Iğdır adalah karikatur ultimat dari kebijakan pemerintah Turki yang menyangkal genosida 1915 dengan menulis ulang sejarah dan mengubah para korban menjadi pihak yang bersalah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Demirdjian 2018, hlm. 22–23. "Perincek's activities spread across a wider spectrum, including his membership in the Talat Pasha Committee, an organization considered as xenophobic and racist by the European Parliament, and established for the purpose of refuting the Armenian genocide."
^de Broux, Pierre-Olivier; Staes, Dorothea (2018). "History Watch by the European Court of Human Rights". The Palgrave Handbook of State-Sponsored History After 1945 (dalam bahasa Inggris). Palgrave Macmillan UK. hlm. 101–119 [104]. ISBN978-1-349-95306-6.
^Ertür 2019, hlm. 8. "The high profile of the case allowed Perinçek and his allies to claim in their media campaign that this would be the case that decides whether or not there was a genocide. The campaign was effective: the ECtHR Grand Chamber hearing was widely covered in the Turkish media as the trial that would put an end to the so-called 'hundred year-old genocide lie'... Perinçek and his party celebrated the judgment claiming in bold PR campaigns, 'We put an end to the genocide lie'."
^Ihrig 2016, hlm. 353–354. "First, Hitler's alleged words at the Obersalzberg—about who "still talked" about the Armenians—might not come from a watertight source, but the statement still accurately sums up one of the major lessons the Armenian genocide must have held for the Nazis: it must have taught them that such incredible crimes could go unpunished under the cover of war, even if one lost that war. That one could "get away" with genocide must have been a great inspiration indeed... the lack of a robust response by Christian Germany must have seemed especially significant to Hitler—for if this was its reaction to the extermination of Christian people, who would speak out against killing Jews?"
^Özbek, Egemen (2018). "The Destruction of the Monument to Humanity: Historical Conflict and Monumentalization". International Public History. 1 (2). doi:10.1515/iph-2018-0011.
^Cheterian 2018b, hlm. 892. "The ANM was ready to put aside the past in order to build normal relations with neighboring Turkey. Turkey, however, was not ready to forget the 1915 genocide and its consequences: the continuous Armenian diaspora struggle for recognition and reparation. It insisted that Yerevan must surrender politically on this issue, by withholding any diplomatic support for the 'recognition campaigns' abroad before normal diplomatic relations could be established or the border opened."
^Ben Aharon 2019, hlm. 346–347. "Importantly, the territorial conflict between the Azeris and the Armenians over control of Nagorno-Karabakh, triggered by the collapse of the Soviet Union, turned Azerbaijan into a stakeholder in the discourse on the Armenian genocide, and it led an extensive international campaign against recognition."
^Cheterian 2018b, hlm. 886. "... it is not possible to understand the ongoing conflict between Armenia and Azerbaijan without integrating the discourse of genocide denial produced in Turkey and adopted by Azerbaijan'.
^Cheterian 2018b, hlm. 898–899. "...the Azerbaijani elites' belief that the Armenian aggression of the 1980s and 1990s is a continuation of '1915'. As Armenians could not fight a stronger Turkey, they instead attacked the more vulnerable Azerbaijan. From the perspective of the Azerbaijani elite, countries that recognise the genocide of the Armenians are enemies of Azerbaijan."
Avedian, Vahagn (2018). Knowledge and Acknowledgement in the Politics of Memory of the Armenian Genocide (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN978-0-429-84515-4.
Suciyan, Talin (2015). The Armenians in Modern Turkey: Post-Genocide Society, Politics and History (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Publishing. ISBN978-0-85772-773-2.
Cheterian, Vicken (2018a). "Censorship, Indifference, Oblivion: the Armenian Genocide and Its Denial". Truth, Silence, and Violence in Emerging States. Histories of the Unspoken (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 188–214. ISBN978-1-351-14112-3.
Chorbajian, Levon (2016). "'They Brought It on Themselves and It Never Happened': Denial to 1939". The Armenian Genocide Legacy (dalam bahasa Inggris). Palgrave Macmillan UK. hlm. 167–182. ISBN978-1-137-56163-3.
Hovannisian, Richard G. (2001). "Denial: The Armenian Genocide as a Prototype". Remembering for the Future: The Holocaust in an Age of Genocide (dalam bahasa Inggris). Palgrave Macmillan UK. hlm. 796–812. ISBN978-1-349-66019-3.
Lattanzi, Flavia (2018). "The Armenian Massacres as the Murder of a Nation?". The Armenian Massacres of 1915–1916 a Hundred Years Later: Open Questions and Tentative Answers in International Law (dalam bahasa Inggris). Springer International Publishing. hlm. 27–104. ISBN978-3-319-78169-3.
Robertson, Geoffrey (2016). "Armenia and the G-word: The Law and the Politics". The Armenian Genocide Legacy (dalam bahasa Inggris). Palgrave Macmillan UK. hlm. 69–83. ISBN978-1-137-56163-3.
Dadrian, Vahakn N. (2003). "The Signal Facts Surrounding the Armenian Genocide and the Turkish Denial Syndrome". Journal of Genocide Research. 5 (2): 269–279. doi:10.1080/14623520305671.
Demirel, Cagla; Eriksson, Johan (2020). "Competitive Victimhood and Reconciliation: the Case of Turkish–Armenian Relations". Identities. 27 (5): 537–556. doi:10.1080/1070289X.2019.1611073.
Erbal, Ayda (2015). "The Armenian Genocide, AKA the Elephant in the Room". International Journal of Middle East Studies. 47 (4): 783–790. doi:10.1017/S0020743815000987.
Finkel, Evgeny (2010). "In Search of Lost Genocide: Historical Policy and International Politics in Post-1989 Eastern Europe". Global Society. 24 (1): 51–70. doi:10.1080/13600820903432027.
Gürpınar, Doğan (2013). "Historical Revisionism vs. Conspiracy Theories: Transformations of Turkish Historical Scholarship and Conspiracy Theories as a Constitutive Element in Transforming Turkish Nationalism". Journal of Balkan and Near Eastern Studies. 15 (4): 412–433. doi:10.1080/19448953.2013.844588.
Gürpınar, Doğan (2016). "The Manufacturing of Denial: the Making of the Turkish 'Official Thesis' on the Armenian Genocide Between 1974 and 1990". Journal of Balkan and Near Eastern Studies. 18 (3): 217–240. doi:10.1080/19448953.2016.1176397.
Gutman, David (2015). "Ottoman Historiography and the End of the Genocide Taboo: Writing the Armenian Genocide into Late Ottoman History". Journal of the Ottoman and Turkish Studies Association. 2 (1): 167. doi:10.2979/jottturstuass.2.1.167.
Hovannisian, Richard G. (2015). "Denial of the Armenian Genocide 100 Years Later: The New Practitioners and Their Trade". Genocide Studies International. 9 (2): 228–247. doi:10.3138/gsi.9.2.04.
Kaligian, Dikran (2014). "Anatomy of Denial: Manipulating Sources and Manufacturing a Rebellion". Genocide Studies International. 8 (2): 208–223. doi:10.3138/gsi.8.2.06.
Mamigonian, Marc A. (2015). "Academic Denial of the Armenian Genocide in American Scholarship: Denialism as Manufactured Controversy". Genocide Studies International. 9 (1): 61–82. doi:10.3138/gsi.9.1.04.
Smith, Roger W. (2015). "Introduction: The Ottoman Genocides of Armenians, Assyrians, and Greeks". Genocide Studies International. 9 (1): 1–9. doi:10.3138/gsi.9.1.01.
Turan, Ömer; Öztan, Güven Gürkan (2018). Devlet aklı ve 1915: Türkiye'de "Ermeni Meselesi" anlatısının inşası [Raison d'État and 1915: Turkey's "Armenian Question" and the Construction of Narratives] (dalam bahasa Turki). İletişim Yayınları. ISBN978-975-05-2349-6.