Orang Asiria terbagi ke dalam beberapa denominasi gereja yang saling berlawanan satu sama lain, yakni Gereja Ortodoks Suryani, Gereja Nestorian, dan Gereja Katolik Kasdim. Sebelum Perang Dunia I, mereka tinggal di daerah pegunungan dan terpencil dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah (beberapa di antaranya tidak memiliki kewarganegaraan). Upaya sentralisasi yang dilakukan Kesultanan tersebut pada abad ke-19 menyebabkan peningkatan kekerasan dan marabahaya bagi orang Asiria.
Pembunuhan massal terhadap penduduk sipil Asiria dimulai selama pendudukan Utsmaniyah di Azerbaijan dari Januari hingga Mei 1915, saat pembantaian tersebut dilakukan oleh pasukan Utsmaniyah dan Kurdi pro-Utsmaniyah. Di provinsi Bitlis, pasukan Utsmaniyah yang kembali dari Persia bergabung dengan suku Kurdi setempat untuk membantai penduduk Kristen lokal (Armenia dan Asiria). Pasukan Utsmaniyah dan Kurdi menyerang suku-suku Asiria Hakkari pada pertengahan tahun 1915, mengusir mereka pada bulan September, meskipun suku-suku tersebut telah mengerahkan pertahanan militer yang terkoordinasi. Gubernur Mehmed Reshid memprakarsai genosida semua komunitas Kristen di provinsi Diyarbekir, termasuk orang Kristen Suryani dan hanya mendapat perlawanan bersenjata sporadis di beberapa bagian Tur Abdin. Orang Asiria Utsmaniyah yang tinggal lebih jauh ke selatan yang saat ini dikenal menjadi bagian wilayah Irak dan Suriah tidak menjadi sasaran genosida.
Sayfo terjadi bersamaan dengan dan berkaitan erat dengan genosida Armenia, meskipun Sayfo dianggap tidak sesistematis dibandingkan genosida Armenia. Pihak lokal memainkan peran yang lebih besar ketimbang pemerintah Utsmaniyah dalam pembantaian ini, meskipun sejumlah penyerangan terhadap orang-orang Asiria tertentu juga dilaksanakan atas instruksi pemerintah Utsmaniyah. Motif pembantaian mencakup kurangnya kesetiaan yang dirasakan di antara beberapa komunitas Asyur terhadap Kesultanan Utsmaniyah dan adanya keinginan sejumlah orang Asiria untuk mengambil alih tanah air mereka. Pada Konferensi Perdamaian Paris 1919, delegasi Asiria-Kasdim mengatakan bahwa korban jiwa yang ditimbulkan berkisar 250.000 orang (sekitar setengah dari populasi sebelum perang); keakuratan angka ini tidak dapat dipastikan. Mereka kemudian merevisi perkiraan mereka menjadi 275.000 korban tewas di Konferensi Lausanne pada 1923. Studi penelitian mengenai Sayfo tidak sebanyak studi mengenai genosida Armenia. Upaya agar peristiwa ini diakui sebagai genosida dimulai pada tahun 1990-an, yang dirintis oleh diaspora Asiria. Meskipun beberapa negara mengakui bahwa orang Asiria di Kesultanan Utsmaniyah adalah korban genosida, namun pernyataan ini ditolak oleh pemerintah Turki.
Terminologi
Tidak ada padanan kata yang diterima secara universal dalam bahasa Inggris untuk endonimSuryoyo atau Suryoye. Pilihan istilah mana yang akan digunakan, seperti Asiria, Suryani, Aram, dan Kasdim, sering kali ditentukan dengan kecenderungan politis tertentu.[1][2][3]Gereja Timur adalah pihak yang pertama kali mengadopsi identitas dari Asiria kuno. Gereja Ortodoks Suryani secara resmi menolak penggunaan kata Asiria sejak tahun 1952, meskipun tidak semua Ortodoks Suryani menolak identitas Asiria.[4][5] Karena sistem pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah dibagi berdasarkan agama, para pejabat Utsmaniyah melabeli populasi mereka berdasarkan agama yang mereka anut, bukan berdasarkan etnisitas. Oleh karena itu, menurut sejarawan David Gaunt, "istilah 'Genosida Asyur' itu anakronistik (tidak digunakan pada masanya)".[6] Dalam bahasa Neo-Aram, bahasa yang secara historis digunakan oleh orang Asiria, pembantaian ini telah dikenal sejak tahun 1915 sebagai Sayfo atau Seyfo (ܣܝܦܐ, terj. harfiah: pedang), yang, sejak abad kesepuluh, kata ini juga berarti 'pemusnahan' atau 'kepunahan'.[7][8] Istilah-istilah lain yang digunakan oleh beberapa orang Asiria, diantaranya meliputi nakba (bahasa Arab untuk bencana) dan firman (bahasa Turki untuk perintah, karena orang Asiria percaya bahwa mereka dibunuh sesuai dengan keputusan resmi).[8]
Latar belakang
Orang-orang yang saat ini disebut sebagai orang Asiria, Kasdim, atau Aram berasal dari Mesopotamia Hulu. Secara historis, mereka menggunakan bahasa Aram. Nenek moyang mereka telah memeluk agama Kristen sejak abad pertama Masehi. Skisma besar yang pertama pada sejarah Kekristenan Suryani terjadi pada tahun 410, ketika orang-orang Kristen di Kekaisaran Sasaniyah (Persia) mendirikan Gereja Timur untuk membedakan diri mereka dari agama resmi Kekaisaran Romawi.[9]Gereja Siria Barat (kemudian menjadi Gereja Ortodoks Suryani) dipersekusi oleh penguasa Romawi karena perbedaan teologis, tetapi mereka tetap terpisah dari Gereja Timur. Perpecahan dalam Kekristenan Suryani dipicu oleh perbedaan politik antara kekaisaran dan antagonisme pribadi di antara para pendeta.[10] Komunitas-komunitas Kristen Timur Tengah hancur oleh Perang Salib dan invasi Mongol. Gereja Katolik Kasdim dan Gereja Katolik Suryani berpisah dari Gereja Timur dan Gereja Ortodoks Suryani, masing-masing selama abad keenam belas dan ketujuh belas dan masuk ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Setiap gereja menganggap satu sama lain sebagai bid'ah.[11]
Orang Asiria di Kesultanan Utsmaniyah
Dalam sistem millet-nya, Kesultanan Utsmaniyah mengakui denominasi agama ketimbang kelompok etnis: Süryaniler / Yakubiler (Ortodoks Suryani atau Jacobites), Nasturiler (Gereja Timur atau Nestorian),[11][6] dan Keldaniler (Gereja Katolik Kasdim). Sampai abad kesembilan belas, kelompok-kelompok ini adalah bagian dari millet Armenia.[12][13] Orang Asiria di Kesultanan Utsmaniyah tinggal pada daerah terpencil di daerah pegunungan untuk menghindari campur tangan dari kekuasaan negara.[14] Meskipun keterpencilan ini memungkinkan orang Asiria untuk menghindari wajib militer dan pajak, hal itu juga memperkuat perbedaan internal dan menghalangi munculnya identitas kolektif yang mirip dengan pergerakan kemerdekaan bangsa Armenia.[15] Berbeda dengan Armenia, orang Kristen Suryani tidak mengendalikan perniagaan Utsmaniyah secara tidak seimbang dan tidak memiliki populasi yang signifikan di negara-negara tetangga yang bermusuhan dengan Utsmaniyah.[16]
Tidak ada estimasi yang akurat tentang populasi Asyur sebelum perang, tetapi Gaunt memprediksi populasi sebanyak 500.000 hingga 600.000 jiwa. Midyat, di provinsi Diyarbekir (vilayet), adalah satu-satunya kota di Kesultanan Utsmaniyah yang mayoritas penduduknya adalah orang Asiria (Ortodoks Suryani, Kasdim, dan Protestan).[17] Umat Kristen Ortodoks Suryani terkonsentrasi di daerah pedesaan berbukit di sekitar Midyat, yang dikenal sebagai Tur Abdin. Di sana, mereka tinggal di hampir 100 desa dan bekerja di bidang pertanian atau membuat kerajinan tangan.[17][18] Budaya Ortodoks Suryani berpusat di dua biara di dekat Mardin (sebelah barat Tur Abdin): Mor Gabriel dan Deyrulzafaran.[19] Di luar area permukiman inti Suryani, ada juga populasi yang cukup besar di desa-desa dan kota-kota Urfa, Harput, dan Adiyaman.[20] Tidak seperti populasi Suryani di Tur Abdin, banyak dari orang-orang Suryani ini berbicara dalam bahasa-bahasa non-Aram.[14]
Di bawah Patriark Gereja Timur yang berbasis di Qudshanis, suku-suku Asiria menguasai pegunungan Hakkari di sebelah timur Tur Abdin (berdekatan dengan perbatasan Utsmaniyah-Persia).[17] Hakkari memiliki banyak gunung dengan puncak-puncak yang mencapai 4.000 meter (13.000 kaki) dan dipisahkan oleh ngarai-ngarai yang curam;[21] banyak daerah yang hanya bisa diakses dengan jalan setapak yang dibuat di lereng gunung. Suku-suku Asyur kadang-kadang saling berperang demi sekutu Kurdi mereka.[22] Pemukiman Gereja Timur dimulai di timur di pesisir barat Danau Urmia di Persia; sebuah daerah kantong Kasdim berada tepat di utara, di Salamas. Terdapat pula daerah Kasdim di sekitar Siirt di provinsi Bitlis (timur laut Tur Abdin dan barat laut Hakkari,[23] tidak terlalu memiliki banyak gunung seperti Hakkari),[21] tetapi sebagian besar orang Kasdim tinggal lebih jauh ke selatan di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Irak.[23]
Memburuknya konflik
Meskipun orang Kurdi dan Asyur terintegrasi dengan baik satu sama lain, Gaunt menulis bahwa integrasi ini "mengarah langsung ke dunia yang diwarnai dengan kekerasan, perampokan, penculikan dan pemerkosaan wanita, penyanderaan, pencurian ternak, perampokan, penjarahan, pembakaran desa-desa, dan kerusuhan yang kronis".[24] Upaya Asyur untuk mempertahankan otonomi mereka bertabrakan dengan upaya sentralisasi dan modernisasi Kesultanan Utsmaniyah pada abad kesembilan belas untuk memperkuat kendali terhadap wilayah tanpa kewarganegaraan tersebut.[25] Kekerasan massal pertama yang menargetkan orang Asiria terjadi pada pertengahan tahun 1840-an, ketika Amir Kurdi Badr Khan menghancurkan Hakkari dan Tur Abdin hingga menewaskan ribuan orang.[26][27] Selama perseteruan antar suku, sebagian besar kekerasan diarahkan ke desa-desa Kristen yang berada di bawah perlindungan suku lawan.[28]
Selama Perang Rusia-Turki tahun 1877-1878, negara Utsmaniyah mempersenjatai Kurdi dengan senjata modern untuk melawan Rusia. Ketika Kurdi menolak untuk mengembalikan senjata pada akhir perang, orang Asiria—yang mengandalkan senjata yang lebih tua—berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan menghadapi peningkatan kekerasan. Kavaleri Hamidiye khusus dibentuk pada tahun 1880-an dari suku-suku Kurdi yang setia kepada pemerintah; pembebasan mereka dari hukum sipil dan militer memungkinkan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan dengan kekebalan hukum.[28][29] Kebangkitan Islam politik dalam bentuk syekh Kurdi juga memperlebar jurang pemisah antara orang Asiria dan Muslim Kurdi.[30] Banyak orang Asiria terbunuh dalam pembantaian Diyarbekir tahun 1895.[31] Kekerasan semakin memburuk setelah Revolusi Turki Muda 1908, meskipun ada harapan orang Asiria bahwa pemerintah baru akan berhenti mempromosikan Islamisme anti-Kristen.[32][33] Pada 1908, 12.000 orang Asiria diusir dari lembah Lizan oleh amir Kurdi Barwari.[34] Karena meningkatnya serangan Kurdi yang tidak dapat dicegah oleh otoritas Utsmaniyah, Patriark Gereja Timur Mar Shimun XIX Benyamin memulai negosiasi dengan Kekaisaran Rusia sebelum Perang Dunia I.[17]
Perang Dunia I
Menjelang perang, Rusia dan Kesultanan Utsmaniyah berusaha mendekati populasi di wilayah satu sama lain untuk melakukan perang gerilya di belakang garis musuh. Kesultanan Utsmaniyah mencoba untuk merekrut Muslim Kaukasus dan Armenia, serta orang Asiria dan Azeri di Persia, dan Rusia melirik orang-orang Armenia, Kurdi, dan Asiria yang tinggal di Kesultanan Utsmaniyah.[35] Sebelum perang, Rusia menguasai sebagian wilayah timur laut Persia, termasuk Azerbaijan dan Tabriz.[36][37]
Seperti genosida lainnya, Sayfo disebabkan oleh beberapa hal. Kebangkitan nasionalisme menimbulkan persaingan gerakan nasional antara Turki, Kurdi, Persia, dan Arab, yang berkontribusi pada meningkatnya kekerasan di daerah perbatasan yang telah sarat konflik yang dihuni oleh orang Asiria. Sejarawan Donald Bloxham menyoroti pengaruh negatif kekuatan Eropa yang ikut campur dalam Kesultanan Utsmaniyah dengan alasan melindungi umat Kristen di sana. Imperialisme ini menempatkan umat Kristen Utsmaniyah pada risiko serangan balasan. Pada tahun 1912 dan 1913, kekalahan Utsmaniyah dalam Perang Balkan memicu eksodus pengungsi Muslim dari Balkan. Komite Persatuan dan Kemajuan memutuskan untuk memukimkan para pengungsi di Anatolia timur di tanah yang disita dari populasi yang dianggap tidak setia kepada kesultanan.[38] Ada hubungan langsung antara pengusiran terhadap penduduk Kristen dan penempatan kaum Muslim di daerah-daerah yang telah dihilangkan penghuninya.[39] Tujuan dari penggantian populasi adalah untuk Turkifikasi Muslim Balkan dan mengakhiri ancaman internal yang dirasakan dari populasi Kristen. Dengan politisi lokal yang cenderung menggunakan kekerasan terhadap non-Muslim, faktor-faktor ini membantu menghasilkan prakondisi untuk genosida.[40]
Politisi petinggi Komite Persatuan dan Kemajuan, Enver Pasha, mendirikan Organisasi Khusus paramiliter, yang loyal kepada dirinya seorang. Banyak anggotanya yang merupakan narapidana yang dibebaskan dari penjara untuk menjalankan tugas tersebut, beroperasi sebagai mata-mata dan penyabotase.[41] Kesultanan Utsmaniyah memerintahkan mobilisasi penuh untuk perang pada 24 Juli 1914, dan menyepakati aliansi Jerman-Utsmaniyah tak lama kemudian.[42] Pada bulan Agustus 1914, Komite Persatuan dan Kemajuan mengirim delegasi ke konferensi Armenia untuk menawarkan wilayah otonom Armenia jika Federasi Revolusioner Armenia mau menghasut pemberontakan pro-Utsmaniyah di Rusia jika terjadi perang. Orang-orang Armenia menolak; menurut Gaunt, tawaran serupa mungkin dibuat untuk Mar Shimun di Van pada 3 Agustus. Setelah kembali ke Qudshanis, Mar Shimun mengirim surat-surat yang mendesak para pengikutnya untuk "menunaikan secara sungguh-sungguh semua tugas mereka untuk Turki".[43] Orang-orang Asiria di Hakkari (seperti banyak warga Utsmaniyah lainnya) menolak program wajib militer tentara Utsmaniyah selama masa mobilisasi. Oleh sebab itu, banyak yang melarikan diri ke Persia pada bulan Agustus.[44] Namun, mereka yang berada di Mardin ikut serta dalam program wajib militer.[45]
Pembersihan etnis di Hakkari
Pembantaian terhadap orang Asiria dataran rendah
Pada bulan Agustus 1914, orang-orang Asiria di sembilan desa di dekat perbatasan terpaksa melarikan diri ke Persia ketika desa-desa mereka dibakar karena mereka menolak mengikuti program wajib militer tentara Utsmaniyah.[46] Pada tanggal 26 Oktober 1914, beberapa hari sebelum Kesultanan Utsmaniyah resmi memasuki Perang Dunia I, menteri dalam negeri Utsmaniyah, Talaat Pasha, mengirim surat telegram kepada Djevdet Bey, gubernur provinsi Van (yang mencakup Hakkari). Ketika serangan Utsmaniyah ke Persia direncanakan, kesetiaan orang Asiria Hakkari diragukan. Akibatnya Talaat memerintahkan pengusiran dan relokasi orang-orang Asiria yang tinggal di dekat perbatasan Persia untuk berpindah ke pemukiman Muslim di daerah barat; sekitar kurang dari dua puluh orang Asiria tinggal di setiap tempat relokasi, yang mengakibatkan rusaknya budaya, bahasa, dan cara hidup tradisional asli mereka.[47][48][49] Gaunt mengutip perintah ini sebagai awal dari Sayfo.[50] Pemerintah di Van melaporkan bahwa instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena kurangnya personel untuk menjalankannya, dan pada tanggal 5 November, prediksi mengenai pecahnya aksi protes dari kalangan Asiria ternyata tidak terjadi.[51] Orang-orang Asiria di Julamerk dan Gawar ditangkap atau dibunuh, dan pasukan milisi Utsmaniyah menyerang desa-desa Asiria di seluruh wilayah Hakkari sebagai hukuman atas penolakan mereka untuk menolak perintah tersebut.[50][49] Orang-orang Asiria, yang tidak menyadari peran pemerintah dalam peristiwa ini hingga Desember 1914, mengajukan protes kepada gubernur Van.[49]
Garnisun Utsmaniyah di kota perbatasan Bashkale dikomandoi oleh Kazim Karabekir, dan cabang Organisasi Khusus lokal oleh Ömer Naji [tr]. Pasukan Rusia merebut Bashkale dan Saray pada bulan November 1914 dan berhasil menduduki kedua kota itu selama beberapa hari. Setelah kota direbut kembali oleh Utsmaniyah, orang-orang Kristen lokal di kedua kota itu dihukum karena dianggap sebagai simpatisan Rusia, sebuah hukuman yang cukup berlebihan dan kurang berdasar.[52][53] Pasukan Utsmaniyah setempat yang terdiri dari gendarmeri, milisi Hamidiye, dan milisi Kurdi tidak dapat melakukan serangan terhadap suku-suku Asiria di dataran tinggi sehingga mereka hanya membatasi serangan mereka ke desa-desa Kristen dataran rendah yang minim persenjataan. Pengungsi dari daerah itu mengatakan kepada tentara Rusia bahwa "hampir seluruh penduduk Kristen laki-laki di Gawar dan Bashkale" telah dibantai.[54] Pada Mei 1915, pasukan Utsmaniyah yang mundur dari Bashkale membantai ratusan wanita dan anak-anak Armenia sebelum melanjutkan ke Siirt.[55]
Persiapan perang
Mar Shimun mendapat kabar mengenai pembantaian terhadap orang-orang Asiria di daerah dataran rendah. Ia meyakini bahwa suku-suku di dataran tinggi akan menjadi sasaran berikutnya. Melalui Agha Petros, seorang penerjemah Asiria yang bertugas pada konsulat Rusia di Urmia, Shimun menghubungi otoritas Rusia. Shimun melakukan perjalanan ke Bashkale untuk bertemu Mehmed Shefik Bey, seorang pejabat Utsmaniyah yang dikirim dari Mardin untuk mengambil hati orang-orang Asiria demi kepentingan Utsmaniyah, pada bulan Desember 1914. Shefik menjanjikan perlindungan dan uang sebagai imbalan atas janji tertulis bahwa orang-orang Asiria tidak akan berpihak pada Rusia atau mengizinkan suku-suku mereka mengangkat senjata melawan pemerintah Utsmaniyah. Para kepala suku mempertimbangkan tawaran itu, tetapi menolaknya.[56] Pada Januari 1915, orang-orang Kurdi memblokir jalur transportasi yang mengubungkan Qudshanis ke daerah suku-suku Asiria. Saudara perempuan patriark, Nyonya Surma, meninggalkan Qudshanis pada bulan berikutnya bersama dengan 300 orang.[57] Pada awal tahun 1915, suku-suku Hakkari bersiap untuk mempertahankan diri dari serangan berskala besar; mereka memutuskan untuk mengirim perempuan dan anak-anak ke daerah di sekitar Chamba di Tyari Hulu, dengan hanya menyisakan para pasukan tempur di belakang.[58] Pada tanggal 10 Mei, suku-suku Asiria mengadakan pertemuan dan mendeklarasikan perang (atau mobilisasi umum) untuk melawan Kesultanan Utsmaniyah.[59] Pada bulan Juni, Mar Shimun melakukan perjalanan ke Persia untuk meminta dukungan Rusia. Dia bertemu dengan Jenderal Fyodor Chernozubov di Moyanjik (di lembah Salmas). Jenderal tersebut menjanjikan dukungan Rusia untuk orang-orang Asiria. Sang patriark dan Agha Petros juga bertemu dengan konsul Rusia Basil Nikitin di Salmas tak lama sebelum tanggal 21 Juni, tetapi bantuan Rusia yang dijanjikan tidak pernah datang.[57]
Pada bulan Mei, para pejuang Asiria menjadi bagian dari pasukan Rusia yang dikerahkan untuk membantu pertahanan di Van; Haydar Bey, gubernur Mosul, diberi wewenang untuk menyerbu Hakkari. Talaat memerintahkan Haydar untuk mengusir orang-orang Asiria dan berkata, "Kita tidak boleh membiarkan mereka kembali ke kampung halaman mereka".[60] Operasi pembersihan etnis ini dieksekusi oleh Enver Pasha, Talaat Pasha, beserta otoritas militer dan sipil Utsmaniyah. Untuk melegalkan invasi ini, distrik Julamerk, Gawar, dan Shemdinan untuk sementara dipindahkan ke provinsi Mosul.[61] Tentara Utsmaniyah bergabung dengan suku-suku Kurdi setempat untuk melawan target-target yang ditentukan. Suto Agha dari suku Oramar Kurdi menyerang Jilu, Dez, dan Baz dari timur; Said Agha menyerang sebuah lembah di Tyari Bawah; Ismael Agha menargetkan Chamba di Tyari Hulu, dan amir Berwar Atas menyerang Ashita, lembah Lizan, dan Tyari Bawah dari barat.[55]
Invasi ke dataran tinggi
Operasi pengepungan gabungan diluncurkan pada 11 Juni.[55] Suku Jilu diserang pada waktu permulaan operasi oleh beberapa suku Kurdi; dalam operasi ini gereja Mar Zaya yang berdiri sejak abad keempat masehi, beserta artefak bersejarahnya, dihancurkan. Pasukan Utsmaniyah yang berbasis di Julamerk dan Mosul melancarkan serangan gabungan ke Tyari pada 23 Juni.[55][62] Haydar mula-mula menyerang desa-desa Tyari, Ashita dan Sarespido; kemudian, pasukan ekspedisi yang terdiri dari 3000 orang Turki dan Kurdi menyerang jalur pegunungan antara Tyari dan Tkhuma. Meskipun orang-orang Asiria berhasil memenangi sebagian besar dari pertempuran, mereka memiliki banyak korban jiwa dan juga mulai kekurangan amunisi, Mereka juga tidak memiliki senapan, senapan mesin, dan artileri produksi Jerman sebagaimana para penyerang mereka miliki.[63] Pada bulan Juli, Mar Shimun mengirim Malik Khoshaba dan uskup Mar Yalda Yahwallah dari Barwari ke Tabriz di Persia untuk meminta bantuan darurat dari Rusia.[62] Suku Kurdi Barzani membantu tentara Utsmaniyah dan menghancurkan Tkhuma, Tyari, Jilu, dan Baz.[64] Selama operasi, pasukan Utsmaniyah tidak mengambil tawanan.[65] Saudara laki-laki Mar Shimun, Hormuz, ditangkap ketika ia sedang belajar di Konstantinopel; pada akhir Juni, Talaat mencoba membuat suku-suku Asiria menyerah dengan mengancam untuk membunuh Hormuz jika Mar Shimun tidak menyerah. Orang-orang Asiria menolak, dan akhirnya dia tewas dibunuh.[66][67]
Karena kalah jumlah dan persenjataan, suku Asiria mundur lebih jauh ke daerah pegunungan tinggi tanpa disertai pasokan makanan[68][64] sembari menyaksikan rumah-rumah, ladang-ladang, dan ternak mereka dijarah.[65] Mereka tidak punya pilihan lain selain melarikan diri ke Persia, yang sebagian besar telah melakukannya pada bulan September. Sebagian besar pria bergabung dengan tentara Rusia, berharap untuk bisa kembali ke rumah.[64][69] Selama pertempuran tahun 1915, satu-satunya tujuan strategis orang-orang Asiria hanya bersifat defensif;[70] tujuan Utsmaniyah adalah untuk mengalahkan suku-suku Asiria dan mencegah kepulangan mereka.[71]
Pendudukan Utsmaniyah atas Azerbaijan
Pada tahun 1903, Rusia memperkirakan bahwa 31.700 orang Asiria tinggal di Persia.[72] Menghadapi serangan dari tetangga Kurdi mereka, desa-desa Asiria di perbatasan Utsmaniyah-Persia membentuk kelompok pertahanan diri; pada saat pecahnya Perang Dunia I, mereka telah dilengkapi dengan persenjataan yang baik.[73][22] Pada tahun 1914, sebelum deklarasi perang melawan Rusia, pasukan Utsmaniyah melintasi perbatasan ke Persia dan menghancurkan desa-desa Kristen di sana. Serangan berskala besar pada akhir September dan Oktober 1914 menargetkan banyak desa Asiria, dan para penyerang semakin mendekati Urmia.[74] Karena serangan yang dilakukan Utsmaniyah, ribuan umat Kristen yang tinggal di sepanjang perbatasan melarikan diri ke Urmia.[75] Yang lainnya tiba di Persia setelah melarikan diri dari sisi perbatasan Utsmaniyah. Proklamasi jihad pada November 1914 oleh pemerintah Utsmaniyah mengobarkan sentimen jihadis di daerah perbatasan Utsmaniyah-Persia, meyakinkan penduduk Kurdi setempat untuk berpihak pada Utsmaniyah.[76] Pada bulan November, Persia menyatakan kenetralannya. Namun, hal itu tidak ditanggapi oleh pihak-pihak yang bertikai.[73]
Rusia mengorganisir unit-unit milisi sukarelawan Asyur dan Armenia untuk memperkuat pasukan lokal Rusia melawan serangan Utsmaniyah.[77] Orang-orang Asiria yang dipimpin oleh Agha Petros menyatakan dukungan mereka untuk Entente, dan mulai menyusun pergerakan di Urmia. Agha Petros kemudian berkata bahwa dia telah dijanjikan oleh pejabat Rusia bahwa sebagai imbalan atas dukungan mereka, mereka akan memperoleh kemerdekaan setelah perang.[78] Para milisi Utsmaniyah di provinsi Van melintasi perbatasan Persia, menyerang desa-desa Kristen di Persia. Sebagai respon atas serangan itu, Persia menutup konsulat Utsmaniyah di Khoy, Tabriz, dan Urmia dan mengusir orang-orang Muslim Sunni. Otoritas Utsmaniyah membalas dengan pengusiran beberapa ribu orang Asiria Hakkari ke Persia. Setelah mereka bermukim kembali di desa-desa pertanian, orang-orang Asiria ini pun dipersenjatai oleh Rusia.[79] Pemerintah Rusia sadar bahwa orang-orang Asiria dan Armenia di Azerbaijan tidak dapat menghentikan tentara Utsmaniyah dan tidak peduli dengan bahaya yang akan dihadapi komunitas-komunitas ini ketika Utsmaniyah melakukan invasi.[80]
Pada tanggal 1 Januari 1915, Rusia tiba-tiba menarik pasukannya. Pasukan Utsmaniyah yang dipimpin oleh Djevdet, Kazim Karabekir, dan Ömer Naji menduduki Azerbaijan tanpa perlawanan.[81] Segera setelah penarikan pasukan Rusia, warga Muslim setempat melakukan pogrom terhadap orang Kristen; tentara Utsmaniyah juga menyerang warga sipil Kristen. Puluhan desa dijarah dan, dari desa-desa besar, hanya Gulpashan yang masih utuh. Berita tentang kekejaman itu menyebar dengan cepat, menyebabkan banyak orang Armenia dan Asiria melarikan diri ke Kaukasus Rusia; mereka yang berada di utara Urmia memiliki lebih banyak waktu untuk melarikan diri.[82] Menurut beberapa perkiraan, sekitar 10.000[83] atau 15.000 hingga 20.000 orang menyeberangi perbatasan ke Rusia.[84] Orang-orang Asiria yang menjadi sukarelawan untuk pasukan Rusia terpisahkan dari keluarga mereka, yang acapkali ditinggalkan.[85] Diperkirakan 15.000 pasukan Utsmaniyah mencapai Urmia pada 4 atau 5 Januari, dan Dilman pada 8 Januari.[86][87]
Pembantaian
Pasukan Utsmaniyah mulai menyerang desa-desa Kristen selama penarikan mundur mereka pada Februari 1915 ketika mereka dipukul mundur oleh serangan balik Rusia.[88] Menghadapi kekalahan ini yang mereka acukan kepada sukarelawan Armenia dan membayangkan potensi terjadinya pemberontakan Armenia yang luas, Djevdet pun memerintahkan pembantaian warga sipil Kristen untuk mengurangi potensi kekuatan dari unit sukarelawan Armenia di masa depan.[89] Beberapa suku Kurdi setempat berpartisipasi dalam pembunuhan, sementara suku-suku lainnya melindungi warga sipil Kristen.[90] Beberapa desa Asiria juga terlibat dalam perlawanan bersenjata ketika diserang.[86]Kementerian Luar Negeri Persia memprotes kekejaman itu kepada pemerintah Utsmaniyah, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk mencegahnya.[91][92]
Banyak orang Kristen tidak sempat melarikan diri selama Rusia menarik diri,[93] dan 20.000 hingga 25.000 pengungsi terdampar di Urmia.[91] Hampir 18.000 orang Kristen mencari perlindungan ke perwakilan Presbiterian dan Lazarist di kota itu. Meskipun terdapat keengganan untuk menyerang kompleks misionaris, banyak yang meninggal akibat penyakit.[94] Antara bulan Februari dan Mei (ketika pasukan Utsmaniyah menarik diri), ada kampanye eksekusi massal, penjarahan, penculikan, dan pemerasan terhadap orang-orang Kristen di Urmia.[91] Lebih dari 100 orang ditangkap di kompleks Lazarist, dan lusinan (termasuk Mar Dinkha, uskup Tergawer) dieksekusi pada 23 dan 24 Februari.[95] Di dekat Urmia, sebuah desa besar Suryani, Gulpashan diserang; para pria dibunuh, dan wanita serta anak-anak diculik dan diperkosa.[96][97]
Pada saat itu tidak ada misionaris di lembah Salmas yang melindungi orang-orang Kristen, meskipun beberapa Muslim setempat mencoba melakukannya. Di Dilman, gubernur Persia menawarkan perlindungan kepada 400 orang Kristen; namun ia terpaksa menyerahkan orang-orang itu kepada pasukan Utsmaniyah, yang mengeksekusi mereka di alun-alun kota[95]. Pasukan Utsmaniyah memancing orang-orang Kristen ke Haftevan (sebuah desa di selatan Dilman) dengan menuntut mereka untuk mendaftar di sana, serta menangkap orang-orang penting di Dilman yang dibawa ke desa tersebut untuk dieksekusi. Selama dua hari di bulan Februari, 700 hingga 800 orang (termasuk seluruh penduduk Kristen laki-laki) dibunuh di Haftevan. Pembunuhan dilakukan oleh tentara Utsmaniyah (dipimpin oleh Djevdet) dan suku Kurdi Shekak setempat, yang dipimpin oleh Simko Shikak.[98][95]
Pada bulan April, komandan tentara Utsmaniyah Halil Pasha tiba di Azerbaijan dengan tambahan pasukan dari Rowanduz. Halil dan Djevdet memerintahkan pembunuhan terhadap para pejuang Armenia dan Suryani yang bertugas di tentara Utsmaniyah, dan beberapa ratus orang pun terbunuh.[99][100] Dalam beberapa pembantaian lain di Azerbaijan pada awal tahun 1915, ratusan orang Kristen dibunuh[101] dan para wanita menjadi sasaran penculikan dan pemerkosaan;[102][103] tujuh puluh desa dihancurkan.[104] Pada bulan Mei dan Juni, orang-orang Kristen yang telah melarikan diri ke Kaukasus kembali untuk menemukan desa-desa mereka dihancurkan.[105] Para sukarelawan Armenia dan Asyur lalu balik menyerang umat Islam sebagai wujud balas dendam.[106] Setelah mundur dari Persia, pasukan Utsmaniyah menyalahkan orang Armenia dan Asyur atas kekalahan mereka dan membalaskan dendam terhadap orang Kristen Utsmaniyah. Kekejaman Utsmaniyah di Persia diliput secara luas oleh media internasional pada pertengahan Maret 1915, mendorong deklarasi pada 24 Mei oleh Rusia, Prancis, dan Inggris yang mengecam kekejaman mereka.[89][107]Buku Biru, kumpulan laporan saksi mata tentang kebiadaban Utsmaniyah yang diterbitkan oleh pemerintah Inggris pada tahun 1916, mendedikasikan 104 dari 684 halamannya untuk orang-orang Asiria.[108]
Batalion penjagal di Bitlis
Pemberontakan Kurdi di provinsi Bitlis ditumpas sesaat sebelum pecahnya perang pada bulan November 1914. Pemerintah Komite Persatuan dan Kemajuan putar haluan dari sebelumnya beroposisi terhadap resimen Hamidiye, sekarang merekrut mereka untuk mengatasi pemberontakan.[109][110] Sebagaimana di tempat-tempat lainnya, permintaan militer berubah menjadi penjarahan;[109][111] pada bulan Februari, rekrutmen batalion buruh mulai menghilang.[112] Pada bulan Juli dan Agustus 1915, 2.000 orang Kasdim dan Ortodoks Suryani dari Bitlis adalah termasuk di antara mereka yang melarikan diri ke Kaukasus ketika tentara Rusia mundur dari Van.[113]
Sebelum perang, Siirt dan daerah sekitarnya adalah kantong-kantong Kristen yang sebagian besar dihuni oleh umat Katolik Kasdim.[114] Pastor Katolik Jacques Rhétoré [fr] memperkirakan bahwa ada 60.000 orang Kristen yang tinggal di distrik Siirt (sanjak), termasuk 15.000 orang Kasdim dan 20.000 Ortodoks Suryani.[115] Kekerasan di Siirt dimulai pada tanggal 9 Juni dengan penangkapan dan eksekusi terhadap klerus Armenia, Ortodoks Suryani, dan Kasdim serta sejumlah tokoh penting, termasuk uskup Kasdim, Addai Sher.[116][117] Setelah mundur dari Persia, Djevdet memimpin pengepungan Van; ia melanjutkan ke provinsi Bitlis pada bulan Juni dengan 8.000 tentara, yang disebutnya sebagai "batalion penjagal" (bahasa Turki: kassablar taburu)[118]. Kedatangan pasukan ini di Siirt menimbulkan kekerasan yang lebih besar.[117] Gubernur distrik (mutasarrif) Serfiçeli Hilmi Bey dan walikota Siirt Abdul Ressak digantikan karena mereka tidak mendukung pembunuhan tersebut.[119][120] Sebanyak empat puluh pejabat lokal di Siirt mengorganisir pembantaian.[116]
Selama pembantaian yang berlangsung selama sebulan, orang-orang Kristen dibunuh di jalan-jalan atau rumah-rumah mereka (yang dijarah).[115]Keuskupan Kasdim di Siirt dihancurkan, termasuk perpustakaannya yang berisi manuskrip-manuskrip langka.[121] Pembantaian itu diorganisir oleh gubernur Bitlis Abdülhalik Renda, kepala polisi, walikota, dan penduduk lokal terkemuka lainnya.[122] Pembunuhan di Siirt dilaksanakan oleh orang-orang çetes, dan desa-desa di sekitarnya dihancurkan oleh orang-orang Kurdi;[115] banyak suku Kurdi setempat yang terlibat.[123] Menurut tentara bayaran Venezuela Rafael de Nogales, pembantaian itu direncanakan sebagai balas dendam atas kekalahan Utsmaniyah oleh Rusia.[115] De Nogales percaya bahwa Halil mencoba membunuhnya, karena Komite Persatuan dan Kemajuan telah menghilangkan saksi-saksi lainnya. Dia lalu pergi meninggalkan Siirt secepat yang dia bisa, melewati iring-iringan deportasi wanita dan anak-anak Suryani dan Armenia.[124]
Hanya 400 orang yang dideportasi dari Siirt; sisanya dibunuh atau diculik oleh kaum Muslim.[117] Orang-orang yang dideportasi (wanita dan anak-anak, karena para pria telah dieksekusi) yang dipaksa berjalan ke arah barat dari Siirt menuju Mardin atau ke selatan menuju Mosul, diserang oleh polisi.[119][125] Saat mereka melintas, harta benda mereka (termasuk pakaian mereka) dicuri oleh orang Kurdi dan Turki setempat. Mereka yang tidak mampu bertahan dibunuh, dan wanita yang dianggap menarik diculik oleh polisi atau orang Kurdi, diperkosa, dan dibunuh.[126] Salah satu lokasi penyerangan dan perampokan oleh orang Kurdi adalah jurang Wadi Wawela di kazaSawro, timur laut Mardin.[127] Tidak ada deportan yang mencapai Mardin,[119] dan hanya 50[119][117] sampai 100 orang Kasdim (dari 7.000 sampai 8.000 orang) yang mencapai Mosul.[128] Tiga desa Asiria di Siirt-Dentas, Piroze dan Hertevin-bertahan hidup dari Sayfo, yang ada sampai tahun 1968 ketika penduduknya beremigrasi.[129]
Setelah meninggalkan Siirt, Djevdet melanjutkan ke Bitlis dan tiba pada tanggal 25 Juni. Pasukannya membunuh para pria, sedangkan para wanita dan gadis diperbudak oleh orang Turki dan Kurdi.[119][130] Gereja Ortodoks Suryani memperkirakan jumlah korban di provinsi Bitlis mencapai 8.500 orang, terutama di Schirwan dan Gharzan.[131]
Diyarbekir
Situasi umat Kristen di provinsi Diyarbekir memburuk selama musim dingin 1914-1915; gereja Santo Efraim dirusak, dan empat pemuda dari desa Suryani Qarabash (dekat Diyarbekir) digantung karena desersi. Orang-orang Suryani yang memprotes eksekusi tersebut dipukuli oleh polisi, dan dua orang meninggal.[132][133] Pada bulan Maret, banyak tentara non-Muslim yang dilucuti dan dipindahkan ke batalyon buruh pembangunan jalan. Kondisi yang keras, penganiayaan, dan pembunuhan perorangan mengakibatkan banyak kematian.[134]
Pada tanggal 25 Maret, anggota pendiri Komite Persatuan dan Kemajuan Mehmed Reshid ditunjuk sebagai gubernur Diyarbekir.[135][136] Dipilih karena catatan kekerasan anti-Armenia-nya,[137] Reshid membawa tiga puluh anggota Organisasi Khusus (terutama orang Sirkasia) yang bergabung dengan narapidana yang dibebaskan.[135] Banyak pejabat lokal (kaymakam dan gubernur distrik) menolak untuk mengikuti perintah Reshid sehingga diganti pada bulan Mei dan Juni 1915.[138] Konfederasi Kurdi ditawari imbalan untuk mengizinkan agar klien-klien Suryani mereka dibunuh.[139][140] Sekutu-sekutu pemerintah menuruti (termasuk suku Milli dan Dekşuri), dan banyak yang telah mendukung pemberontakan Bedirhan anti-Komite Persatuan dan Kemajuan tahun 1914 beralih haluan dikarenakan pemusnahan terhadap orang-orang Kristen tidak mengancam kepentingan mereka.[139][141] Suku Raman menjadi algojo yang penuh antusias untuk Reshid, tetapi sebagian dari kepemimpinan Heverkan melindungi orang-orang Kristen; ini membatasi genosida yang dilakukan Reshid, dan memungkinkan kantong-kantong perlawanan untuk bertahan di Tur Abdin. Beberapa orang Yazidi, yang juga dianiaya oleh pemerintah Utsmaniyah, membantu orang-orang Kristen.[141] Para pembunuh di Diyarbekir biasanya adalah sukarelawan yang diorganisir oleh para pemimpin lokal, dan para pelaku independen mengambil bagian dari hasil jarahan.[142] Beberapa wanita dan anak-anak diculik oleh keluarga Kurdi atau Arab setempat.[143]
Ribuan orang Armenia dan beberapa ratus orang Suryani (termasuk seluruh pendeta mereka) di kota Diyarbekir ditangkap, diusir, dan dibantai pada bulan Juni.[144] Di Viranşehir kaza, sebelah barat Mardin, orang-orang Armenia dibantai pada akhir Mei dan Juni 1915. Orang Suryani-nya tidak dibunuh, tetapi banyak yang kehilangan harta benda mereka dan beberapa dideportasi ke Mardin pada bulan Agustus.[145] Secara total, 178 kota dan desa Suryani di dekat Diyarbekir dimusnahkan dan sebagian besar dihancurkan.[146]
Penargetan terhadap orang-orang Kristen non-Armenia
Di bawah kepemimpinan Reshid, pemusnahan anti-Kristen secara sistematis dilakukan di provinsi Diyarbekir yang meliputi orang-orang Suryani dan beberapa Ortodoks Yunani dan Katolik Yunani di provinsi itu.[147][148] Reshid tahu bahwa keputusannya untuk memperluas penindasan terhadap seluruh umat Kristiani di Diyarbekir bertentangan dengan keinginan pemerintah pusat dan ia menyembunyikan informasi yang relevan dari komunikasinya.[149] Berbeda dengan pemerintah, Reshid dan wakilnya di Mardin, Bedri Bey, mengklasifikasikan semua orang Kristen yang berbahasa Aram sebagai orang Armenia: yakni musuh Komite Persatuan dan Kemajuan yang harus dihabisi.[150] Reshid berencana untuk mengganti orang-orang Kristen Diyarbekir dengan pemukim Muslim yang dipilih dan disetujui untuk mengimbangi orang-orang Kurdi yang berpotensi memberontak, namun dalam praktiknya, daerah-daerah tersebut dihuni kembali oleh orang Kurdi dan genosida yang terjadi mengkonsolidasikan kehadiran Kurdi di provinsi tersebut.[151] Sejarawan Uğur Ümit Üngör mengatakan bahwa di Diyarbekir, "sebagian besar kasus pembantaian terjadi ketika milisi yang terlibat secara langsung diperintahkan oleh" Reshid dan "semua komunitas Kristen di Diyarbekir sama-sama terkena dampak genosida, meskipun orang Armenia sering kali secara khusus dipilih untuk langsung dibinasakan".[152] Pendeta Jacques Rhétoré memperkirakan bahwa Ortodoks Suryani di provinsi Diyarbekir kehilangan 72 persen populasi mereka, dibandingkan dengan 92 persen penganut Katolik Armenia dan 97 persen penganut Gereja Apostolik Armenia.[153]
Para diplomat Jerman menemukan bahwa deportasi Utsmaniyah juga menyasar kelompok-kelompok selain orang Armenia, yang mengarah pada keluhan dari pemerintah Jerman.[154][155]Austria-Hungaria dan Takhta Suci juga memprotes kekerasan terhadap non-Armenia.[156] Talaat Pasha mengirim telegram kepada Reshid pada 12 Juli 1915 bahwa "tindakan yang diambil terhadap orang-orang Armenia sama sekali tidak boleh diperluas ke orang Kristen lainnya ... Anda diperintahkan untuk segera mengakhiri tindakan ini".[156][157] Namun, tidak ada tindakan yang diambil terhadap Reshid yang memusnahkan orang Kristen Suryani atau membunuh pejabat Utsmaniyah yang tidak setuju dengan pembantaian itu. Pada tahun 1916, Reshid diangkat menjadi gubernur Ankara. Telegram Talaat kemungkinan dikirim sebagai tanggapan atas penentangan Jerman dan Austria terhadap pembantaian yang terjadi, tanpa ada ekspektasi untuk dilaksanakan.[156][157] Para pelaku mulai memisahkan orang Armenia dan Suryani pada awal Juli, dan hanya membunuh orang Armenia;[158][159] Namun, pembunuhan terhadap orang Suryani dilanjutkan pada bulan Agustus dan September.[160]
Distrik Mardin
Orang-orang Kristen di Mardin sebagian besar tidak tersentuh sampai Mei 1915.[148] Pada akhir Mei, mereka mendengar tentang penculikan wanita-wanita Kristen dan pembunuhan terhadap orang-orang Kristen kaya di tempat lain di Diyarbekir untuk mencuri harta benda mereka. Pemerasan dan kekerasan dimulai di distrik Mardin, terlepas dari upaya gubernur distrik Hilmi Bey[161]. Hilmi menolak tuntutan Reshid untuk menangkap orang-orang Kristen di Mardin, dengan mengatakan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman bagi negara.[148][162] Reshid mengirim Pirinççizâde Aziz Feyzi untuk menghasut kekerasan anti-Kristen pada bulan April dan Mei. Kemudian, Feyzi menyuap atau membujuk kepala suku Deşi, Mışkiye, Kiki dan Helecan untuk bergabung dengannya.[148][163] Kepala polisi Mardin, Memduh Bey, menangkap puluhan orang pada awal Juni dengan menggunakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan pengkhianatan dan ketidaksetiaan serta memeras uang dari keluarga mereka. Reshid menunjuk walikota dan pejabat baru di Mardin agar mengorganisir 500 orang milisi untuk melakukan pembunuhan.[148][164] Dia juga mendesak pemerintah pusat untuk menggulingkan Hilmi, yang kemudian dilakukan pada 8 Juni.[165][166] Dia digantikan oleh Shefik yang sama-sama menolak kebijakan Reshid, yang mana kemudian juga Reshid coba untuk dilengserkan.[167][168] Ibrahim Bedri yang kooperatif diangkat sebagai pejabat dan Reshid menggunakannya untuk menjalankan perintahnya melewati Shefik.[167][169] Reshid juga mengganti gubernur Midyat Nuri Bey dengan Edib Bey yang bergaris keras pada Juli 1915, setelah Nuri menolak bekerja sama dengan Reshid.[170]
Pada malam tanggal 26 Mei, para milisi tertangkap basah mencoba meletakkan persenjataan di sebuah gereja Katolik Suryani di Mardin. Tujuan mereka adalah untuk menuduh persenjataan itu sebagai bukti dari adanya pemberontakan Kristen untuk membenarkan pembantaian yang telah direncanakan.[171] Orang-orang Kristen Mardin yang kaya adalah yang pertama dideportasi meninggalkan kota pada 10 Juni dalam iring-iringan konvoi. Mereka yang menolak masuk Islam dibunuh di jalan menuju Diyarbekir. Setengah dari konvoi kedua, yang berangkat pada 12 Juni, telah dibantai sebelum utusan dari Diyarbekir mengumumkan bahwa orang-orang non-Armenia telah diampuni oleh sultan; sisa dari mereka kemudian dibebaskan.[172] Konvoi-konvoi lain dari Mardin menjadi sasaran pemusnahan dari akhir Juni hingga Oktober.[173] Ortodoks Suryani di kota itu membuat kesepakatan dengan pihak berwenang dan selamat, tetapi denominasi Kristen lainnya dibinasakan.[174][175]
Semua denominasi Kristen diperlakukan sama di pedesaan distrik Mardin.[176] Milisi dan Kurdi menyerang desa Tell Ermen pada tanggal 1 Juli, membunuh pria, perempuan, dan anak-anak tanpa pandang bulu di gereja setelah memperkosa kaum perempuan.[177] Keesokan harinya, lebih dari 1.000 orang Ortodoks dan Katolik Suryani dibantai di Eqsor oleh milisi dan Kurdi dari suku Milli, Deşi, Mişkiye, dan Helecan. Penjarahan berlanjut selama beberapa hari sebelum desa itu dibakar (yang bisa dilihat dari Mardin).[175][178] Di Nusaybin, perintah Talaat untuk mengampuni orang-orang Suryani diabaikan sebagaimana orang-orang Kristen dari semua denominasi (termasuk banyak anggota Gereja Ortodoks Suryani) ditangkap pada pertengahan Agustus dan dibunuh di sebuah jurang.[179][180] Di kaza Djezire (Cizre), pemimpin Ortodoks Suryani Gabro Khaddo bekerja sama dengan pihak berwenang, mencegah rencana perlawanan bersenjata, dan membayar tebusan yang besar pada bulan Juni 1915;[181] hampir semua orang Suryani dibunuh bersama orang-orang Armenia di kaza tersebut pada akhir Agustus.[179][180] Beberapa pria Armenia dan Ortodoks Suryani direkrut untuk bekerja dalam pembangunan jalan atau memanen tanaman sebagai pengganti mereka yang telah terbunuh. Pada bulan Agustus 1915, setelah panen selesai; orang-orang Armenia pun dibunuh, sedangkan orang-orang Suryani dibebaskan.[182]
Tur Abdin
Di Tur Abdin, beberapa orang Kristen Suryani melawan upaya pembasmian terhadap mereka.[183][184] Hal ini dianggap pengkhianatan oleh para pejabat Utsmaniyah,[184] yang melaporkan korban pembantaian sebagai pemberontak.[185] Orang-orang Kristen di Midyat mempertimbangkan perlawanan setelah mendengar tentang pembantaian di tempat lain, tetapi komunitas Ortodoks Suryani setempat pada awalnya menolak untuk mendukung hal ini.[186] Pada tanggal 21 Juni, 100 orang (kebanyakan orang Armenia dan Protestan) ditangkap, disiksa untuk pengakuan kalau yang lain telah berbuat salah, dan mereka pun dieksekusi di luar kota; hal ini membuat panik orang-orang Ortodoks Suryani.[187][176] Penduduk setempat menolak untuk menyerahkan senjata mereka, menyerang kantor-kantor pemerintah, dan memotong jalur telegraf; suku-suku Arab dan Kurdi setempat direkrut untuk menyerang orang-orang Kristen.[187]Kota itu berhasil diamankan pada awal Agustus setelah berminggu-minggu perang kota berdarah yang menewaskan ratusan orang Kristen.[188][184] Orang-orang yang selamat melarikan diri ke timur ke Iwardo yang memiliki peluang lebih besar untuk dipertahankan, yang kemudian berhasil dipertahankan dengan bantuan makanan dari Yazidi setempat.[184][189]
Pada bulan Juni 1915, banyak orang Suryani dari Midyat kaza dibantai; yang lain melarikan diri ke bukit-bukit.[190] Sebulan sebelumnya, suku-suku lokal dan suku Ramans mulai menyerang desa-desa Kristen di dekat Azakh (sekarang İdil) di jalan dari Midyat ke Djezire. Orang-orang yang selamat melarikan diri ke Azakh, karena desa itu dapat dipertahankan.[191][192] Desa-desa tersebut diserang dari utara ke selatan, memberikan waktu lebih banyak bagi para penyerang di Azakh (salah satu desa paling selatan) untuk bersiap-siap.[193] Desa yang sebagian besar penduduknya beragama Ortodoks Suryani menolak untuk menyerahkan umat Katolik dan Protestan, sebagaimana yang dituntut oleh pihak berwenang. Azakh pertama kali diserang pada tanggal 17[192] atau 18 Agustus, tetapi para pejuang berhasil memukul mundur serangan ini dan serangan-serangan berikutnya selama tiga minggu ke depan.[192][193]
Bertentangan dengan saran Jenderal Mahmud Kâmil Pasha, Enver memerintahkan pemberontakan ditekan pada bulan November.[191] Bagian dari Tentara Ketiga, Keempat, dan Keenam serta pasukan ekspedisi Turki-Jerman di bawah Max Erwin von Scheubner-Richter dan Ömer Naji dikirim untuk menghancurkan para pemberontak, yang terakhir dialihkan dari menyerang Tabriz.[194] Untuk membenarkan serangan terhadap Azakh, para pejabat Utsmaniyah mengklaim (tanpa bukti) bahwa "pemberontak Armenia" telah "membantai penduduk Muslim di wilayah tersebut dengan kejam".[194][195] Scheubner, yang skeptis terhadap serangan itu, melarang setiap orang Jerman untuk berpartisipasi.[194][196] Jenderal Jerman Colmar Freiherr von der Goltz dan duta besar Jerman di Konstantinopel, Konstantin von Neurath, memberi tahu Kanselir Theobald von Bethmann-Hollweg tentang permintaan Utsmaniyah untuk bantuan Jerman dalam menghancurkan perlawanan. Jerman menolak, karena khawatir bahwa Utsmaniyah akan menuduh bahwa Jerman yang memulai kekejaman anti-Kristen.[197][198] Para pejuang melancarkan serangan mendadak terhadap pasukan Utsmaniyah selama malam 13-14 November, yang menyebabkan gencatan senjata (dilobi oleh Jerman) yang mengakhiri perlawanan dengan syarat-syarat yang menguntungkan bagi penduduk desa.[199][200] Pada tanggal 25 Desember 1915, pemerintah Utsmaniyah memutuskan bahwa "alih-alih mendeportasi semua orang Suryani", mereka harus dikurung "di lokasi mereka sekarang".[201] Sebagian besar Tur Abdin telah hancur pada saat ini, kecuali desa-desa yang melakukan perlawanan dan keluarga-keluarga yang berlindung di biara-biara.[157] Orang-orang Suryani lainnya telah melarikan diri ke selatan, ke Suriah dan Irak saat ini.[202]
Setelah pengusiran mereka dari Hakkari, orang-orang Asiria dan ternak mereka dimukimkan kembali oleh otoritas pendudukan Rusia di dekat Khoy, Salmas dan Urmia.[69][203] Banyak yang meninggal selama musim dingin pertama karena kekurangan makanan, tempat tinggal, dan perawatan medis,[204] serta kebencian dari penduduk setempat akibat menurunnya standar hidup mereka.[69][203] Orang-orang Asiria dari Hakkari menawarkan jasa mereka kepada militer Rusia; meskipun pengetahuan mereka tentang wilayah sekitar berguna, mereka kurang terdisiplin.[205] Pada tahun 1917, penarikan diri Rusia dari perang setelah Revolusi Rusia meredupkan prospek kembalinya mereka ke Hakkari.[69][203] Sekitar 5.000 milisi Asiria[206] dan Armenia mengawasi daerah itu, tetapi mereka sering menyalahgunakan kekuasaan mereka dan membunuh orang-orang Muslim tanpa provokasi.[207]
Dari bulan Februari hingga Juli 1918, wilayah ini dilanda kekerasan etnis.[208][209] Pada tanggal 22 Februari, Muslim setempat dan gubernur Persia memulai pemberontakan melawan milisi Kristen di Urmia. Orang-orang Kristen yang terorganisir dengan baik, dipimpin oleh Agha Petros, secara brutal menumpas pemberontakan; ratusan (mungkin ribuan) orang terbunuh.[207] Pada tanggal 16 Maret, Mar Shimun dan banyak pengawalnya dibunuh oleh kepala suku Kurdi Simko Shikak, mungkin atas dorongan pejabat Persia yang takut akan separatisme Asyur, setelah mereka bertemu untuk membahas aliansi. Masyarakat Asyur lalu melakukan pembunuhan dan penjarahan; karena tidak dapat menemukan Simko, mereka membunuh para pejabat dan penduduk Persia.[210][211] Orang Kurdi menanggapi hal ini dengan membantai orang Kristen, tanpa memandang denominasi atau etnis.[209] Orang-orang Kristen dibantai di Salmas pada bulan Juni dan di Urmia pada awal Juli,[208] dan banyak perempuan Asyur diculik.[102]
Milisi Kristen di Azerbaijan bukan tandingan tentara Utsmaniyah ketika mereka menyerbu pada Juli 1918.[207] Pada 18 Juli, puluhan ribu orang Utsmaniyah dan Persia Asiria melarikan diri menuju selatan ke Hamadan. Di sana, Dunsterforce Inggris berkemah, untuk menghindari pasukan Utsmaniyah yang mendekati Urmia di bawah pimpinan Ali İhsan Sâbis.[212][213] Invasi Utsmaniyah diikuti oleh pembunuhan terhadap orang-orang Kristen, termasuk uskup agung Chaldea Toma Audo, dan pemecatan Urmia.[214][209] Beberapa orang tetap tinggal di Persia, tetapi ada pembantaian anti-Kristen lainnya pada 24 Mei 1919. Sejarawan Florence Hellot-Bellier mengatakan bahwa kekerasan antaretnis pada tahun 1918 dan 1919[209][208] "mencerminkan tingkat kekerasan dan kebencian yang telah terakumulasi sepanjang perang bertahun-tahun ini dan putusnya ikatan yang telah lama terjalin di antara penduduk wilayah Urmia".[62]
Pembuangan di Irak
Selama perjalanan ke Hamadan, orang-orang Asyur dilecehkan oleh pasukan khusus Kurdi[215] (mungkin atas hasutan Simko dan Sayyid Taha);[214] beberapa meninggal karena kelelahan. Banyak yang terbunuh di dekat Heydarabad, dan 5.000 lainnya selama penyergapan oleh pasukan Ottoman dan pasukan khusus Kurdi di dekat jalur gunung Sahin Ghal'e.[215] Bergantung pada Inggris untuk perlindungan, mereka dimukimkan kembali di sebuah kamp pengungsi di Baqubah (dekat Baghdad) yang menampung lima belas ribu orang Armenia dan tiga puluh lima ribu orang Asiria pada Oktober 1918.[209][216] Kondisi di kamp itu buruk, dan diperkirakan 7.000 orang Asiria meninggal di sana.[209] Meskipun Inggris meminta agar para pengungsi Asyur diizinkan untuk kembali, pemerintah Persia menolak.[209]
Pada tahun 1920, kamp di Baqubah ditutup dan orang-orang Asiria yang berharap untuk kembali ke Azerbaijan atau Hakkari dikirim ke utara ke Midan. Sekitar 4.500 orang Asiria dimukimkan kembali di dekat Duhok dan Akre di Irak utara.[217] Mereka bekerja sebagai tentara untuk penguasa Inggris di Mandat Irak, yang menjadi bumerang ketika Inggris tidak memenuhi janji-janji mereka yang berulang-ulang untuk memukimkan kembali orang-orang Asiria di tempat yang lebih aman. Setelah mandat berakhir, orang-orang Asiria terbunuh dalam pembantaian Simele 1933.[218] Setelah pembantaian itu, Prancis mengizinkan 24.000 hingga 25.000 orang Asiria untuk bermukim kembali di sepanjang Khabur di timur laut Suriah.[219] Orang Asiria lainnya diasingkan di Kaukasus, Rusia, atau Lebanon, dan beberapa beremigrasi ke Amerika Serikat, Kanada, Amerika Selatan, dan Eropa.[220]
Orang Asiria di Turki
Beberapa ribu orang Asiria tetap tinggal di Hakkari setelah tahun 1915 dan yang lainnya kembali setelah perang.[221] Dipersenjatai oleh Inggris, Agha Petros memimpin sekelompok orang Asiria dari Tyari dan Tkhuma yang ingin kembali pada tahun 1920; ia dipukul mundur oleh kepala suku Barwari, Rashid Bek dan tentara Turki.[217][222][223] Orang-orang Asyur yang tersisa diusir lagi pada tahun 1924 oleh tentara Turki yang dikomandoi oleh Kazim Karabekir dan gunung-gunung itu dilenyapkan penduduknya.[69][221] Di Siirt, orang-orang Suryani yang di-Islamisasi (terutama wanita) dibiarkan; keturunan mereka yang di-Kurdifikasi (atau di-Arabisasi) masih tinggal di sana.[224] Mereka yang selamat kehilangan akses ke properti mereka, menjadi buruh pertanian tanpa tanah atau (kemudian) menjadi kelas bawah perkotaan. Desa-desa Kristen yang tidak berpenghuni dimukimkan kembali oleh orang Kurdi atau Muslim dari Kaukasus.[225] Selama dan setelah genosida, lebih dari 150 gereja dan biara dihancurkan; yang lainnya diubah menjadi masjid atau penggunaan lainnya dan banyak manuskrip dan benda-benda budaya dihancurkan.[226][227]
Setelah tahun 1923, politisi lokal melakukan kampanye anti-Kristen yang berdampak negatif pada komunitas Suryani (seperti Adana, Urfa atau Adiyaman) yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh genosida 1915. Banyak yang terpaksa meninggalkan properti mereka dan melarikan diri ke Suriah dan akhirnya menetap di Aleppo, Qamishli, atau wilayah Khabur.[228] Terlepas dari upayanya untuk mengadili kaum nasionalis Turki yang mengingkari bahwa Ortodoks Suryani telah dianiaya selama perang, patriarkat Ortodoks Suryani diusir dari Turki pada tahun 1924.[228][146] Tidak seperti orang Armenia, Yahudi, dan Yunani, orang Asiria tidak diakui sebagai kelompok minoritas dalam Perjanjian Lausanne tahun 1923.[229] Populasi yang tersisa hidup tunduk pada para agha Kurdi, mengalami tekanan dan pelecehan yang mendorong mereka untuk beremigrasi.[230] Hukum Turki melakukan denaturalisasi terhadap mereka yang telah melarikan diri dan menyita harta benda mereka. Terlepas dari hak kewarganegaraan mereka, banyak orang Asiria yang tetap tinggal di Turki harus membeli kembali properti mereka dari para agha Kurdi atau berisiko kehilangan kewarganegaraan Turki mereka.[230] Sejumlah besar orang Asiria terus tinggal di Tur Abdin sampai tahun 1980-an.[231] Beberapa peneliti mendeskripsikan pengucilan dan pelecehan yang berkelanjutan terhadap orang Asiria di Turki sebagai perpanjangan dari Sayfo.[232]
Konferensi Perdamaian Paris
Pada tahun 1919, orang-orang Asiria menghadiri Konferensi Perdamaian Paris dan berusaha melobi ganti rugi atas kerugian perang mereka. Meskipun telah diberi label "delegasi Asyur" dalam historiografi, itu bukanlah delegasi resmi atau entitas yang kohesif.[233] Banyak peserta yang hadir menuntut ganti rugi tunai untuk kerugian perang mereka dan sebuah negara merdeka, dan semua menekankan bahwa orang Asiria tidak dapat hidup di bawah kekuasaan Muslim.[234] Wilayah yang diklaim oleh bangsa Asiria termasuk bagian dari Turki, Irak, dan Iran saat ini.[235] Meskipun ada simpati yang cukup besar untuk bangsa Asiria, tidak ada satupun tuntutan mereka yang dipenuhi.[236] Inggris dan Prancis memiliki rencana lain untuk Timur Tengah, dan gerakan nasionalis Turki yang sedang bangkit juga menjadi penghalang.[237][238] Bangsa Asiria mengingat bahwa Inggris telah menjanjikan mereka sebuah negara merdeka sebagai imbalan atas dukungan mereka, meskipun masih diperdebatkan apakah janji tersebut pernah dibuat;[207][239][240] banyak orang Asiria merasa dikhianati karena harapan ini tidak terpenuhi.[40]
Historiografi
Delegasi Asyur pada Konferensi Perdamaian Paris mengatakan bahwa jumlah korban jiwa mencapai 250.000 orang di Kesultanan Utsmaniyah dan Persia yang berjumlah sekitar setengah dari populasi sebelum perang. Pada tahun 1923, pada Konferensi Lausanne, mereka menaikkan perkiraan mereka menjadi 275.000. Sumber angka-angka ini tidak diketahui dan menurut Gaunt, keakuratannya sulit untuk diverifikasi: "Mengingat sifat konferensi perdamaian dan keinginan orang-orang Kristen untuk mendapatkan kompensasi atas besarnya penderitaan mereka, wajar jika mereka melebih-lebihkan angka-angka tersebut".[241] Meskipun lebih dari 50 persen populasi terbunuh di beberapa daerah, komunitas Asyur di Suriah dan Irak saat ini sebagian besar masih utuh.[242][243] Sayfo tidak sesistematis genosida Armenia; yang mana semua orang Kristen dibunuh di sejumlah tempat, sedangkan untuk kasus Asiria beberapa pejabat setempat membiarkan mereka hidup dengan menargetkan orang Armenia di tempat lain.[244][245] Genosida Asiria ini tidak seterkenal genosida Armenia,[246] sebagian karena targetnya terbagi di antara gereja-gereja yang saling bertentangan dan tidak membentuk identitas kolektif.[247] Menurut sejarawan Tessa Hofmann, pembunuhan orang Asiria di Diyarbekir dapat dianggap sebagai limpahan genosida Armenia; sedangkan Hakkari dan Azerbaijan, sebaliknya, adalah "genosida retributif dan khas masa perang".[248]
Korban jiwa, menurut delegasi Asiria-Kasdim pada Konferensi Perdamaian Paris[249]
Daerah
Korban jiwa
Catatan
Persia
40,000
Gaunt mengatakan bahwa angka ini mungkin terlalu berlebihan, dan "tidak ada angka yang dapat diandalkan untuk korban Asyur di Persia".[209] Menurut sejarawan Donald Bloxham, "kemungkinan ada 7.000 orang Asiria Persia" terbunuh pada tahun 1915.[250] Seorang pengamat Jerman memperkirakan bahwa 21.000 orang Kristen terbunuh di Azerbaijan antara Desember 1914 dan Februari 1915.[103]
Menurut Gaunt, "Ini adalah angka yang sangat tinggi dan harus disikapi dengan hati-hati".[251] Konsul Rusia Basil Nikitin memperkirakan bahwa 45.000 orang Asiria dari Hakkari melarikan diri ke Persia, dari lebih dari 70.000 penduduk sebelum perang.[252]
Pendeta Katolik Jacques Rhétoré [fr] memperkirakan bahwa dari total 144.185 umat Kristen yang tewas di Diyarbekir adalah 60.725 orang Ortodoks Suryani, 10.010 orang Kasdim, 3.450 orang Katolik Suryani, dan 500 orang Protestan. Perwira Angkatan Darat Inggris Edward Noel memperkirakan dari total 157.000 orang Kristen yang tewas dan di antaranya adalah 96.000 orang Ortodoks Suryani, 7.000 orang Kasdim, 2.000 orang Katolik Suryani, dan 1.200 orang Protestan.[253]
Menurut sejarawan Raymond Kévorkian, orang Asiria terhindar dari deportasi dari Harput;[254] Gaunt mengatakan bahwa genosida Armenia di Harput dianggap sebagai genosida [seluruh] Kristen [di sana].[69]
Rhétoré memperkirakan bahwa sebelum perang, 60.000 orang Kristen tinggal di distrik Siirt (termasuk 15.000 orang Kasdim dan 20.000 Ortodoks Suryani).[115] Gereja Ortodoks Suryani memperkirakan jumlah korbannya mencapai 8.500 orang di provinsi itu.[131]
Gaunt juga mendata Urfa sebagai tempat penduduk Asyur tidak terpengaruh oleh Sayfo.[228]
Total
250,000
—
Warisan
Bagi orang Asyur, Sayfo dianggap sebagai contoh modern terbesar tentang penganiayaan yang mereka alami.[255] Catatan saksi mata tentang genosida ini umumnya diturunkan secara lisan, bukan dalam bentuk tulisan; kenangan sering kali diwariskan dalam bentuk ratapan.[256] Setelah migrasi besar-besaran ke negara-negara Barat (di tempat orang Asiria memiliki kebebasan berbicara yang lebih besar) selama paruh kedua abad kedua puluh, kisah-kisah itu mulai disampaikan secara lebih terbuka oleh cucu-cucu dari korban-korban yang selamat.[257]
Pengakuan internasional
Selama dasawarsa 1990-an, sebelum adanya penelitian akademis pertama tentang Sayfo, kelompok-kelompok diaspora Asiria (yang terinspirasi oleh gerakan yang menyerukan pengakuan genosida Armenia) mulai mendesak pengakuan formal yang serupa.[258][259] Sejalan dengan kampanye politik, penelitian genosida Armenia mulai menempatkan orang Asiria sebagai bagian dari korban.[260] Pada bulan Desember 2007, Asosiasi Internasional Peneliti Genosida mengeluarkan resolusi yang mengakui genosida Asiria.[261][255][262] Sayfo juga diakui sebagai genosida dalam resolusi yang disahkan oleh Swedia (pada tahun 2010),[263][264] Armenia (2015),[265][266] Belanda (2015), dan Jerman (pada tahun 2016).[267][268] Terdapat sejumlah tugu peringatan di Armenia, Australia, Belgia, Prancis, Yunani, Swedia, Ukraina, dan Amerika Serikat mengenang para korban Sayfo.[269]
Pengingkaran dan pembenaran
Pemerintah Turki menyangkal bahwa Sayfo adalah genosida; namun, tidak seperti penyangkalan genosida Armenia, pemerintah Turki lebih memilih untuk menghindari topik ini.[270][271] Setelah genosida tahun 1915, pemerintah Turki pada awalnya membungkam pembahasannya dalam budaya tingkat tinggi dan karya-karya tulis.[272] Musik dan puisi non-Turki ditekan, dan Gereja Ortodoks Suryani tidak menganjurkan pembahasan tentang Sayfo karena takut akan ganjaran dari pemerintah Turki.[273] Mereka yang mencoba menjustifikasi penghancuran terhadap komunitas Asiria di Kesultanan Utsmaniyah, mengutip perlawanan militer yang dilakukan oleh beberapa orang Asiria terhadap pemerintah Utsmaniyah sebagai pembenaran. Menurut Gaunt dkk., "Dalam keadaan apa pun, negara tidak diperbolehkan untuk memusnahkan seluruh populasi hanya karena mereka menolak untuk mematuhi instruksi pemerintah yang penuh kebencian untuk mengosongkan rumah leluhur mereka".[274] Idealisasi orang Asiria terhadap para pemimpin militer mereka, termasuk mereka yang melakukan kejahatan perang terhadap orang-orang Muslim, juga dijadikan argumentasi oleh beberapa penyangkal sebagai alasan mengapa semua orang Asiria layak menerima nasib mereka.[275]
Pada tahun 2000, pendeta Ortodoks Suryani Turki Yusuf Akbulut secara diam-diam terekam mengatakan: "Pada waktu itu bukan hanya orang Armenia tetapi juga orang Asiria [Süryani] yang dibantai dengan dasar bahwa mereka adalah orang Kristen". Rekaman itu diberikan kepada jaksa Turki, yang menuduh Akbulut memicu kebencian etnis.[276][277] Aktivis diaspora Asiria memobilisasi dukungan untuk Akbulut, membujuk beberapa anggota parlemen Eropa untuk menghadiri persidangannya; setelah lebih dari setahun, ia pun divonis bebas dan dilepaskan.[263]
Warga Australia keturunan Turki yang diwawancarai oleh peneliti Adriaan Wolvaardt memiliki sikap yang sama terhadap Sayfo dan genosida Armenia, mereka menolak keduanya dengan menganggap keduanya tidak berdasar.[278] Wolvaardt menulis bahwa mengungkit Sayfo "dipandang sebagai bentuk kebencian yang ditujukan terhadap orang Turki",[279] yang beberapa di antaranya telah mempertimbangkan untuk meninggalkan pinggiran kota Sydney, Fairfield, setelah tugu peringatan Sayfo dibangun di sana.[279]
Altuğ, Seda (2021). "Culture of Dispossession in the Late Ottoman Empire and Early Turkish Republic". Reverberations: Violence Across Time and Space (dalam bahasa Inggris). University of Pennsylvania Press. hlm. 83–116. ISBN978-0-8122-9812-3.
Donef, Racho (2017). "Sayfo and Denialism: A New Field of Activity for Agents of the Turkish Republic". Let Them Not Return: Sayfo – The Genocide Against the Assyrian, Syriac, and Chaldean Christians in the Ottoman Empire. Berghahn Books. hlm. 205–218. ISBN978-1-78533-499-3.
Gaunt, David; Atto, Naures; Barthoma, Soner O. (2017). "Introduction: Contextualizing the Sayfo in the First World War". Let Them Not Return: Sayfo – The Genocide Against the Assyrian, Syriac, and Chaldean Christians in the Ottoman Empire. Berghahn Books. hlm. 1–32. ISBN978-1-78533-499-3.
Gaunt, David (2013). "Failed Identity and the Assyrian Genocide". Shatterzone of Empires: Coexistence and Violence in the German, Habsburg, Russian, and Ottoman Borderlands (edisi ke-illustrated). Indiana University Press. hlm. 317–333. ISBN978-0-253-00631-8.
Gaunt, David (2017). "Sayfo Genocide: The Culmination of an Anatolian Culture of Violence". Let Them Not Return: Sayfo – The Genocide Against the Assyrian, Syriac, and Chaldean Christians in the Ottoman Empire. Berghahn Books. hlm. 54–69. ISBN978-1-78533-499-3.
Gaunt, David (2020). "The Long Assyrian Genocide". Collective and State Violence in Turkey: The Construction of a National Identity from Empire to Nation-State (dalam bahasa Inggris). Berghahn Books. hlm. 56–96. ISBN978-1-78920-451-3.
Hellot, Florence (2003). "La fin d'un monde: les assyro-chaldéens et la première guerre mondiale" [The end of a world: the Assyro-Chaldeans and the First World War]. Chrétiens du monde arabe: un archipel en terre d'Islam [Christians of the Arab world: an archipelago in the land of Islam] (dalam bahasa Prancis). Autrement. hlm. 127–145. ISBN978-2-7467-0390-2.
Hellot-Bellier, Florence (2018). "The Increasing Violence and the Resistance of Assyrians in Urmia and Hakkari (1900–1915)". Sayfo 1915: An Anthology of Essays on the Genocide of Assyrians/Arameans during the First World War. Gorgias Press. hlm. 107–134. ISBN978-1-4632-0730-4.
Hofmann, Tessa (2018). "The Ottoman Genocide of 1914–1918 against Aramaic-Speaking Christians in Comparative Perspective". Sayfo 1915: An Anthology of Essays on the Genocide of Assyrians/Arameans during the First World War. Gorgias Press. hlm. 21–40. ISBN978-1-4632-0730-4.
Naby, Eden (2017). "Abduction, Rape and Genocide: Urmia's Assyrian Girls and Women". The Assyrian Genocide: Cultural and Political Legacies. Routledge. hlm. 158–177. ISBN978-1-138-28405-0.
Polatel, Mehmet (2019). "The State, Local Actors and Mass Violence in Bitlis Province". The End of the Ottomans: The Genocide of 1915 and the Politics of Turkish Nationalism (dalam bahasa Inggris). Bloomsbury Academic. hlm. 119–140. ISBN978-1-78831-241-7.
Talay, Shabo (2017). "Sayfo, Firman, Qafle: The First World War from the Perspective of Syriac Christians". Let Them Not Return: Sayfo – The Genocide Against the Assyrian, Syriac, and Chaldean Christians in the Ottoman Empire. Berghahn Books. hlm. 132–147. ISBN978-1-78533-499-3.
Talay, Shabo (2018). "Sayfo 1915: the Beginning of the End of Syriac Christianity in the Middle East". Sayfo 1915: An Anthology of Essays on the Genocide of Assyrians/Arameans during the First World War (dalam bahasa Inggris). Gorgias Press. hlm. 1–20. ISBN978-1-4632-3996-1.
Tamcke, Martin (2009). "World War I and the Assyrians". The Christian Heritage of Iraq: Collected papers from the Christianity of Iraq I-V Seminar Days (dalam bahasa Inggris). Gorgias Press. hlm. 203–220. ISBN978-1-4632-1713-6.
Üngör, Uğur Ümit (2017). "How Armenian was the 1915 Genocide?". Let Them Not Return: Sayfo – The Genocide Against the Assyrian, Syriac, and Chaldean Christians in the Ottoman Empire. Berghahn Books. hlm. 33–53. ISBN978-1-78533-499-3.
Wolvaardt, Adriaan (2014). "Inclusion and Exclusion: Diasporic Activism and Minority Groups". Muslim Citizens in the West: Spaces and Agents of Inclusion and Exclusion. Ashgate Publishing. hlm. 105–124. ISBN978-0-7546-7783-3.
Wozniak, Marta (2012). "Far from Aram-Nahrin: The Suryoye Diaspora Experience". Border Terrains: World Diasporas in the 21st Century (dalam bahasa Inggris). Brill. hlm. 73–83. ISBN978-1-84888-117-4.
Yalcin, Zeki (2009). "The Turkish Genocide against Christian Minorities during WW1 from the Perspective of Contemporary Scandinavian Observers". Suryoye l-Suryoye: Ausgewählte Beiträge zur aramäischen Sprache, Geschichte und Kultur [Suryoye l-Suryoye: Selected Contributions to Aramaic Language, History and Culture] (dalam bahasa Inggris). Gorgias Press. hlm. 213–228. ISBN978-1-4632-1660-3.
Yuhanon, B. Beth (2018). "The Methods of Killing Used in the Assyrian Genocide". Sayfo 1915: An Anthology of Essays on the Genocide of Assyrians/Arameans during the First World War (dalam bahasa Inggris). Gorgias Press. hlm. 177–214. ISBN978-1-4632-3996-1.
Artikel jurnal
Atto, Naures (2016). "What Could Not Be Written: A Study of the Oral Transmission of Sayfo Genocide Memory Among Assyrians". Genocide Studies International. 10 (2): 183–209. doi:10.3138/gsi.10.2.04.
Biner, Zerrin Özlem (2011). "Multiple imaginations of the state: understanding a mobile conflict about justice and accountability from the perspective of Assyrian–Syriac communities". Citizenship Studies. 15 (3–4): 367–379. doi:10.1080/13621025.2011.564789.
Gaunt, David (2015). "The Complexity of the Assyrian Genocide". Genocide Studies International (dalam bahasa Inggris). 9 (1): 83–103. doi:10.3138/gsi.9.1.05. ISSN2291-1847.
Yacoub, Joseph (2018). "Longtemps méconnu par la communauté internationale: le génocide assyro-chaldéen de 1915" [Long ignored by the international community: the Assyro-Chaldean genocide of 1915]. Relations Internationales (dalam bahasa Prancis). 173 (1): 45. doi:10.3917/ri.173.0045.