Genosida Yunani
Genosida Yunani (oleh orang Yunani disebut juga Pembantaian (η Σφαγή), Malapetaka Besar (η Μεγάλη Καταστροφή), atau Tragedi Besar (η Μεγάλη Τραγωδία)[3]), sebagiannya disebut Genosida Pontos, adalah pemusnahan sistematis penduduk Yunani Utsmaniyah Kristen dari tanah air historis mereka di Anatolia selama Perang Dunia I dan sesudahnya (1914–23). Peristiwa ini dilakukan oleh pemerintah Kesultanan Utsmaniyah terhadap warga Yunani di wilayah Kesultanan dan meliputi pembantaian, deportasi paksa yang melibatkan perjalanan maut, pengusiran di tempat, eksekusi acak, dan penghancuran unsur budaya, sejarah, dan monumen Ortodoks Kristen. Menurut berbagai sumber, beberapa ratus ribu orang Yunani Utsmaniyah tewas akibat peristiwa ini.[4] Sebagian besar pengungsi dan korban selamat melarikan diri ke Yunani, jumlahnya sekitar lebih dari seperempat dari total penduduk Yunani saat itu.[5] Beberapa lainnya, terutama dari provinsi-provinsi Timur, mengungsi ke Kekaisaran Rusia. Akibatnya, setelah Perang Yunani-Turki 1919–22 berakhir, sebagian besar orang Yunani di Asia Kecil telah pergi atau dibunuh.[6] Mereka yang tetap tinggal di Kesultanan Utsmaniyah dipindahkan ke Yunani sesuai perjanjian pertukaran penduduk antara Yunani dan Turki 1923, yang mengesahkan eksodus dan melarang kembalinya para pengungsi. Suku bangsa lain juga diserang oleh Kesultanan Utsmaniyah pada masa itu, termasuk Asiria dan Armenia, dan beberapa sejarawan serta organisasi menganggap penyerangan tersebut sebagai bagian dari kebijakan pemusnahan yang sama.[7][8][9][10][11][12][13][14] Pihak Sekutu Perang Dunia I mengutuk pembantaian yang didukung pemerintah Utsmaniyah ini dan menyebutnya kejahatan terhadap kemanusiaan. Tahun 2007, Asosiasi Peneliti Genosida Internasional mengesahkan sebuah resolusi yang mengakui bahwa kampanye Utsmaniyah terhadap minoritas Kristen di wilayah Kekaisaran, termasuk bangsa Yunani, adalah genosida.[15] Sejumlah organisasi lainnya juga telah mengeluarkan resolusi yang menyebut kampanye ini genosida, begitu pula dengan parlemen Yunani, Siprus, Swedia, Armenia, Belanda, Jerman[16][17] dan Austria. Latar belakangKeberadaan bangsa Yunani di Asia Kecil berakar setidaknya sejak masa Homeros sekitar 800-an SM.[19] Geografer Strabon menyebut Smyrna sebagai kota Yunani pertama di Asia Kecil.[20] Orang Yunani menyebut Laut Hitam sebagai "Euxinos Pontos" atau "laut ramah" dan sejak abad kedelapan SM mereka mulai melayari pesisirnya serta bermukim di sepanjang pantainya.[20] Kota-kota Yunani yang paling terkenal di Laut Hitam adalah Trebizond, Sampsounta, Sinope dan Heraclea Pontica.[20] Selama periode Hellenistik (334 SM - abad ke-1 SM) yang mengikuti penaklukan Aleksander Agung, kebudayaan dan bahasa Yunani mulai mendominasi Asia Kecil bahkan sampai ke kawasan tengahnya. Hellenisasi kawasan tersebut dipercepat di bawah kekuasaan Romawi dan Bizantium awal, dan pada abad-abad awal Masehi bahasa-bahasa Anatolia India-Eropa lokal telah punah, digantikan oleh bahasa Yunani Koine.[21][22][23] Kebudayaan Yunani di Asia Kecil terus berkembang selama milenium berikutnya di bawah Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang berbahasa Yunani, yang penduduknya disebut orang Yunani Bizantium. Penduduk Asia Kecil merupakan bagian besar dalam penduduk Kristen Ortodoks penutur bahasa Yunani di kekaisaran tersebut, sehingga, banyak tokoh penutur bahasa Yunan terkenal dalam periode seribu tahun ini (abad ke-4 sampai ke 15 M) merupakan orang Yunani Asia Kecil, termasuk Santo Nikolas (270-343 M), retorikawan Yohanes Khrysostomos (349-407 M), arsitek Hagia Sophia Isidore dari Miletos (abad ke-6 M), beberapa dinasti kekaisaran (Phokas (abad ke-10), Komnenos (abad ke-111)), serta cendekiawan Renaisans Georgios dari Trebizond (1395–1472 M) dan Basilios Bessarion (1403-1472 M). Ketika bangsa Turk memulai penaklukan Abad Pertengahan akhir mereka, warga Yunani Bizantium merupakan kelompok penduduk pribumi terbesar yang menempati Asia Kecil.[20] Bahkan setelah penaklukan Turk di bagian dalam Asia Kecil, pesisir Laut Hitam dan pegunungan daerah itu tetap menjadi tempat negara Yunani, yaitu Kekaisaran Trebizond, hingga akhirnya ditaklukan oleh Utsmaniyah pada 1461. Setelah Perang Dunia I pecah, Asia Kecil memiliki keragaman etnik yang besar. Penduduknya terdiri dari bangsa Turk, Azeri, Yunani, Armenia, Kurdi, Zaza, Kirkasia, Asiria, Yahudi, dan Laz. Salah satu penyebab Turki menindas penduduk Yunani adalah ketakutan bahwa mereka akan membantu musuh-musuh Kesultanan Utsmaniyah, serta kepercayaan di kalangan masyarakat Turk bahwa demi membentuk negara bangsa modern mereka perlu mentingkirkan suku bangsa asing di wiayah negaranya yang dianggap dapat mengancam integritas negara bangsa Turki modern.[24][25] Menurut seorang atase militer Jerman, menteri perang Utsmaniyah Ismail Enver menyatakan pada Oktober 1915 bahwa ia ingin "menyelesaikan persoalan Yunani selama perang... dengan cara yang sama seperti yang ia yakini dapat menyelesaikan persoalan Armenia."[26] PeristiwaPasca Perang BalkanMenyusul kesepakatan serupa yang dibuat dengan Bulgaria dan Serbia, Kesultanan Utsmaniyah menetapkan persetujuan pertukaran populasi kecil sukarela dengan Yunani pada 14 November 1913.[27] Perjanjian lainnya semacam ini disepakati pada 1 Juli 1914 untuk pertukaran sejumlah "penduduk Turk" dari Yunani dengan sejumlah penduduk Yunani dari Aydin dan Thrakia Barat, setelah Utsmaniyah mengusir para warga Yunani ini dari rumah-rumah mereka sebagai balasan atas perebutan beberapa pulau oleh Yunani.[5] Pertukaran ini tidak pernah diselesaikan karena meletusnya Perang Dunia I.[28] Pola Utsmaniyah ini, menggunakan pertukaran penduduk untuk mengesahkan pengusiran penduduk yang telah dilaksanakan, akan terulang dengan pertukaran penduduk antara Yunani dan Turki, yang mengesahkan dan menjadikan permanen eksodus penduduk Yunani Asia Kecil sebelumnya akibat genosida Yunani.[6][29] Bermula pada musim semi 1913, Utsmaniyah menerapkan program pengusiran dan migrasi paksa, berfokus pada orang Yunani di kawasan Aigeia dan Thrakia timur, yang keberadaannya di daerah ini dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.[30] Walaupun perbincangan untuk pertukaran penduduk masih dilakukan, satuan-satuan Organisasi Khusus (Teşkilat-ı Mahsusa) menyerang desa-desa Yunani dan memaksa warganya meninggalkan rumah-rumah mereka, digantikan oleh para pengungsi Muslim.[31] Pemerintah Utsmaniyah mengadopsi "mekanisme jalur ganda," memungkinkannya untuk menyangkal tanggung jawab dan pengetahuan sebelumnya mengenai tindakan intimidasi ini, mengosongkan pedesaan Kristen.[32] Insiden semacam ini terjadi di Phokaia pada 12 Juni 1914, sebuah kota di Anatolia barat sekitar dua puluh lima mil (40 km) sebelah barat laut Smyrna, di mana pasukan ireguler Turki membantai penduduknya. Dalam peristiwa tersebut, jenazah-jenazah dilemparkan ke dalam sumur, sedangkan warga yang selamat melarikan diri ke Yunani.[33] Keterlibatan militer lokal dan fungsionaris sipil pada beberapa kasus dalam merencanakan dan melakukan kekerasan serta penjarahan anti-Yunani memicu para duta besar Yunani dan negara-negara kuat serta Patriarkat mengajukan keluhan kepada Utsmaniyah.[34] Sebagai protes terhadap diamnya pemerintah terkait serangan-serangan ini dan apa yang disebut "boikot Muslim" terhadap produk Yunani yang telah dimulai pada 1913, Patriarkat menutup gereja dan sekolah Yunani pada Juni 1914.[34] Menanggapi tekanan internasional dan domestik, Talat Pasya melakukan kunjungan ke Thrakia pada April 1914 dan kemudian ke Aigeia untuk menyelidiki laporan dan berusaha menenangkan ketegangan bilateral dengan Yunani. Walaupun mengaku bahwa ia tidak memiliki kterlibatan dan pengetahuan mengenai peristiwa itu, Talat bertemu dengan Kuşçubaşı Eşref, kepala operasi "pembersihan" di pesisir Aigeia, selama perjalanannya dan menasihatinya untuk lebih berhati-hati agar tidak terlalu "terlihat".[35] Pada musim panas 1914 Organisasi Khusus, dibantu oleh pejabat pemerintah dan angkatan bersenjata, merekrut pria Yunani dengan usia militer dari Thrakia dan Anatolia barat untuk diikutsertakan ke dalam Batalion Buruh di mana ratusan ribu anggotanya meninggal.[36] Dikirim ratusan mil jauhnya ke pedalaman Anatolia, para anggota batalion ini ini dikerahkan dalam pembuatan jalan, konstruksi bangunan, penggalian terowongan serta kerja lapangan lainnya. Jumlah mereka banyak menyusut akibat privatisasi serta perlakukan yang buruk atau oleh pembantaian langsung oleh petugas Utsmaniyah.[37] Kebijakan penyiksaan dan pembersihan etnis diperluas ke wilayah-wilayah lainnya di Kesultanan termasuk Pontos, Kappadokia dan Kilikia.[38] Pengusiran paksa penduduk Kristen di Anatolia barat, terutama warga Yunani Utsmaniyah, memiliki banyak kemiripan dengan kebijakan terhadap orang Armenia, seperti diamati oleh duta besar AS Henry Morgenthau dan sejarawan Arnold Toynbee. Pejabat Utsmaniyah tertentu, seperti Şükrü Kaya, Nazım Bey dan Mehmed Reshid, memainkan peranan penting dalam dua peristiwa tersebut, satuan-satuan Organisasi Khusus dan Batalion Buruh terlibat dalam kedua kampanye itu, dan rencana ganda yang menggabungkan kekerasan tak resmi serta penutupan kebijakan penduduk negara diterapkan dalam kedua kasus.[39] Perang Dunia ISetelah November 1914 kebijakan Utsmaniyah terhadap penduduk Yunani berubah; kebijakan negara sejak itu dibatasi pada imigrasi paksa penduduk Yunani yang tinggal di kawasan pantai, terutama daerah Laut Hitam, dekat dengan front Turki-Rusia.[40] Perubahan kebijakan ini disebabkan oleh permintaan Jerman agar penganiayaan terhadap orang Yunani Utsmaniyah dihentikan, setelah Eleftherios Venizelos menyatakan kepada duta besar Jerman di Athena bahwa hal ini adalah syarat bagi netralitas Yunani. Venizelos juga mengancam akan melakukan kampanye serupa terhadap warga Muslim yang tinggal di Yunani seandainya kebijakan Utsmaniyah tidak berubah.[41] Walaupun pemerintah Utsmaniyah berusaha menerapkan perubahan kebijakan ini, upaya tersebut tidak berhasil, dan serangan, bahkan pembunuhan, terus berlangsung tanpa ada hukuman apapun dari pejabat lokal di provinsi-provinsi yang bersangkutan, meskipun insruksi berulang dikirimkan dari pemerintah pusat.[42] Kekerasan sewenang-wenang dan perampasan uang semakin meningkat, memicu Venizelos berpendapat bahwa Yunani harus bergabung dengan Entente.[43] Pada Juli 1915, chargé d'affaires Yunani menjelaskan bahwa deportasi tersebut "jelas-jelas bukanlah isu lainnya melainkan merupakan suatu perang mepemusnahan terhadap bangsa Yunani di Turki dan mereka memaksa penduduk setempat pindah agama ke Islam dengan tujuan jika setelah perang ada intervensi Eropa demi melindungi umat Kristen, maka jumlahnya di Turki tinggal sedikit."[44] Menurut George W. Rendel dari British Foreign Office, pada 1918 "...lebih dari 500.000 warga Yunani dideportasi, namun relatif sedikit yang selamat."[45] Dalam memoarnya, duta besar Amerika Serikat untuk Kesultanan Utsmaniyah antara 1913 dan 1916 menulis, "Di berbagai tempat orang-orang Yunani dikumpulkan dalam kelompok-kelompok dan, di bawah perlindungan pihak yang disebut polisi Turki, mereka digiring ke pedalaman, sebagian besarnya dengan berjalan kaki. Jumlah penduduk [Yunani] yang diusir dengan cara ini tidak diketahui pasti, diperkirakan antara 200.000 sampai 1.000.000 jiwa."[46] Meskipun ada perubahan kebijakan, penggosongan permukiman dan pemindahan penduduk Yunani terus berlangsung walau dalam skala terbatas. Kebijakan ini menyasar kawasan tertentu yang dianggap rawan secara militer, bukan seluruh penduduk Yunani. Seperti tercantum dalam catatan Patriarkat 1919, evakuasi banyak desa disertai dengan penjarahan dan pembunuhan, dengan banyak orang yang meninggal karena tidak diberi cukup waktu untuk menyiapkan perbekalan yang memadai atau karena dipindahkan ke tempat yang sulit ditinggali.[47] Kebijakan negara terhadap penduduk Yunani Utsmaniyah berubah lagi pada musim gugur 1918. Dengan pasukan Entente menduduki Lesbos, Khios dan Samos sejak musim semi, pasukan Rusia maju ke Anatolia, dan Yunani diperkirakan akan memasuki perang dengan memihak Sekutu, persiapan dilakukan untuk deportasi penduduk Yunani yang tinggal di kawasan perbatasan.[48] Yang menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Utsmaniyah adalah orang Yunani Pontos dan orang Yunani Kaukasus di Anatolia timur laut serta daerah Kars Oblast di Kaukasus Selatan, yang dituduh bertempur bersama atau berkomplot dengan Pasukan Kaukasus Rusia yang telah mengalahkan divisi Utsmaniyah pada Pertempuran Sarikamish. Pada 1917 Talat Pasya mengirim pesan untuk deportasi penduduk Yunani dari distrik Samsun "tiga puluh hingga lima puluh kilometer ke pedalaman" untuk berhati-hati agar "tidak ada serangan terhadap warga maupun harta bendanya".[49] Akan tetapi, pelaksanaan dekret pemerintah, yang mengambil bentuk sistematis sejak Desember 1916, ketika Behaeddin Syakir mendatangi daerah tersebut, tidak dilakukan seperti yang diperintahkan: para pria dimasukkan ke dalam batalion buruh, wanita dan anak-anak diserang, desa-desa dijarah oleh tetangga-tetangga Muslimnya.[50] Germanos Karavangelis, uskup Samsun, melaporkan kepada Patriarkat bahwa tiga ribu orang telah dipindahkan ke wilayah Ankara dan konvoi orang-orang tersebut telah diserang, dengan banyak yang terbunuh. Talat Pasya memerintahkan penyelidikan untuk penjarahan dan pengrusakan desa-desa Yunani oleh para bandit.[51] Pada 1917, perintah diberikan untuk mengesahkan pejabat militer dengan kendali operasi untuk memperluas jangkauannya, kini mencakup penduduk dari kota-kota di wilayah pantai. Akan tetapi di beberapa tempat penduduk Yunani tidak dipindahkan.[52] Orang-orang Yunani dikirim untuk tinggal di desa-desa Yunani di provinsi-provinsi pedalaman atau, dalam beberapa kasus, desa-desa yang ditinggali penduduk Armenia sebelum mereka dideportasi. Desa-desa Yunani yang dikosongkan selama perang akibat kecemasan militer kemudian ditempati oleh imigran dan pengungsi Muslim.[53] Menurut pesan yang dikirim ke provinsi-provinsi pada masa tersebut, harta benda bergerak maupun tidak bergerak milik penduduk Yunani tidak dilikuidasi, seperti milik orang Armenia, melainkan "disimpan".[54]
Pada 14 Januari 1917, Cosswa Anckarsvärd, duta besar Swedia untuk Konstantinopel, mengirimkan pesan seputar keputusan deportasi penduduk Yunani Utsmaniyah:
Metode penghancuran yang mengakibatkan korban jiwa secara tidak langsung, seperti deportasi yang melibatkan perjalanan maut, kelaparan di kamp buruh, kamp konsentrasi, dll, disebut sebagai "pembantaian putih".[45] Pejabat Utsmaniyah Rafet Bey terlibat aktif dalam genosida bangsa Yunani. Pada November 1916 ia menyatakan, "Kita harus memusnahkan bangsa Yunani sebagaimana yang pernah dilakukan pada bangsa Armenia... Hari ini saya mengirimkan pasukan ke pedalaman untuk membunuh setiap orang Yunani yang terlihat."[57] Perang Yunani-TurkiMenurut dokumen resmi Utsmaniyah, pada Januari 1919 pemerintah Utsmaniyah mengizinkan pemulangan sejumlah orang Yunani yang dideportasi, memberikan bantuan keuangan, dan mengembalikan harta benda mereka.[58] Pengadilan militer Turki 1919–20 mengadili tuduhan terhadap sejumlah pejabat Utsmaniyah terkemuka atas keterlibatan mereka dalam memerintahkan pembantaian terhadap bangsa Yunani dan Armenia.[59] Dalam suatu laporan pada Oktober 1920, seorang perwira Britania mejelaskan dampak pembantaian di Iznik di Anatolia barat laut di mana ia menyebutkan sedikitnya terdapat 100 jenazah pria, wanita, dan anak-anak yang sudah busuk dan dimutilasi. Jenazah-jenazah tersebut ada di dalam dan sekitar sebuah gua besar sekitar 300 yard dari dinding kota.[45] Pembantaian dan deportasi sistematis warga Yunani di Asia Kecil, sebuah program yang diterapkan tahun 1914, adalah penyebab kekerasan yang dilakukan pasukan Yunani dan Turki saat Perang Yunani-Turki, konflik yang mengikuti pendaratan di Smyrna[60][61] pada Mei 1919 dan berlangsung sampai perebutan kembali Smyrna oleh pasukan Turk dan Kebakaran Besar Smyrna bulan September 1922.[62] Sekitar 50.000[63] sampai 100.000[64] orang Yunani dan Armenia tewas dalam kebakaran dan pembantaian setelahnya. Menurut Norman M. Naimark, "perkiraan yang lebih realistis [untuk korban Kebakaran Besar Smyrna] berkisar antara 10.000 sampai 15.000". Sekira 150.000 hingga 200.000 warga Yunani terusir akibat kebakaran ini, sementara 30.000 warga Yunani dan Armenia kelas pekerja dideportasi ke pedalaman Asia Kecil, sebagian besar di antara mereka dibunuh dalam perjalanan atau meninggal akibat kondisi yang brutal.[65] George W. Rendel dari British Foreign Office, serta para diplomat lainnya, mengamati pembantaian dan deportasi bangsa Yunani selama Perang Yunani-Turki[66] dan memperkirakan bahwa Utsmaniyah membantai sekitar 348.000 orang Yunani Anatolia.[67] Ada pula pembantaian warga Turk oleh pasukan Yunani selama pendudukan Anatolia barat sejak Mei 1919 sampai September 1922.[62] Untuk pembantaian yang terjadi sepanjang Perang Yunani-Turki 1919–1922, sejarawan Britania Arnold J. Toynbee menulis bahwa pendaratan pasukan Yunani adalah peristiwa yang mendorong kekerasan yang terjadi kemudian:[68]
BantuanPada 1917, sebuah organisasi bantuan bernama Komite Bantuan untuk Orang Yunani Asia Kecil dibentuk sebagai tanggapan atas deportasi dan pembantaian warga Yunani di Kesultanan Utsmaniyah. Komite ini bekerja sama dengan Bantuan Timur Dekat dalam mendistribusikan bantuan kepada penduduk Yunani Utsmaniyah di Thrakia dan Asia Kecil. Organisasi ini dibubarkan pada musim panas 1921 namun penyaluran bantuan terus dilakukan oleh organisasi-organisasi bantuan lainnya.[69] Catatan kontemporerDiplomat Jerman dan Ausria-Hungaria, serta memorandum 1922 yang disusun oleh George W. Rendel tentang "Pembantaian dan Penganiayaan oleh Turki", memberikan bukti untuk rangkaian pembantaian dan pembersihan etnis sistematis bangsa Yunani di Asia Kecil.[66][70][71] Kutipan-kutipannya diatribusikan pada beragam diplomat, terutama duta besar Jerman Hans Freiherr von Wangenheim dan Richard von Kühlmann, wakil konsul Jerman Samsoun Kuchhoff, duta besar Austria Pallavicini dan konsul Samsoun Ernst von Kwiatkowski, dan agen tak resmi Italia di Angora Signor Tuozzi. Kutipan lainnya berasal dari pendeta dan aktivis, terutama misionaris Jerman Johannes Lepsius, dan Stanley Hopkins dari Bantuan Timur Dekat. Jerman dan Austria-Hungaria adalah sekutu Utsmaniyah dalam Perang Dunia I. Catatan-catatan itu menggambarkan pembantaian, pemerkosaan, dan pembakaran sistematis desa-desa Yunani, dan menyebutkan niatan oleh pejabat Utsmaniyah, yaitu Wazir Agung Utsmaniyah Mahmud Sevket Pasya, Rafet Bey, Talat Pasya dan Enver Pasya.[66][70][71] Selain itu, The New York Times dan koresponden-korespondennya menampilkan banyak rujukan terkait peristiwa itu, mencatat pembantaian, deportasi, pembunuhan individu, pemerkosaan, pembakaran keseluruhan desa Yunani, penghancuran gereja dan biara Ortodoks Yunani, perekrutan Batalion Buruh, penjarahan, terorisme, serta kekejaman-kekejaman lainnya terhadap orang Yunani, Armenia dan warga serta pejabat pemerintah Britania dan Amerika.[72][73] Surat kabar tersebut dianugerahi Penghargaan Pulitzer pertamanya pada 1918 "untuk layanan publik paling netral dan berjasa yang dilaksanakan oleh surat kabar Amerika-peliputan perang lengkap dan akurat".[74] Lebih banyak lagi media saat itu melaporkan kejadian dengan judul-judul serupa.[75] Henry Morgenthau, duta besar Amerika Serikat untuk Kesultanan Utsmaniyah pada 1913 hingga 1916 menyebut bahwa pemerintah Ustmaniyah melakukan "kampanye teror yang hina, penyiksaan kejam, pemaksaan wanita menjadi harem, pelacuran gadis tak berdosa, penjualan banyak perempuan seharga 80 sen masing-masingnya, pembunuhan ribuan orang serta deportasi ke dan kelaparan di gurun terhadap ratusan ribu orang lainnya, [serta] penghancuran ratusan desa dan banyak kota", semua ini merupakan bagian dari "eksekusi disengaja" dari "rencana untuk memusnahkan penduduk Kristen Armenia, Yunani dan Syria di Turki."[76] Akan tetapi, pada bulan-bulan sebelum Perang Dunia I, 100.000 orang Yunani dipindahkan ke pulau-pulau Yunani atau pedalaman yang disebutkan oleh Morgenthau, "sebagian besarnya adalah depportasi bermanfaat; yaitu, penduduk Yunani sesungguhnya dipindahkan ke tempat baru dan tidak terkena pembantaian. Kemungkinan ini adalah alasan mengapa dunia barat tidak memprotes deportasi ini..."[77] Konsul-Jenderal AS George Horton melaporkan, "Salah satu pernyataan paling cerdas yang diedarkan oleh para penyebar propaganda Turki adalah yang menyebutkan kaum Kristen yang dibantai adalah sama buruknya seperti pembantai mereka, bahwa itu adalah '50–50.' " Terkait hal ini ia berkomentar, "Seandainya bangsa Yunani, setelah pembantaian di Pontos dan Smyrna, membantai semua orang Turk di Yunani, catannnya akan menjadi 50–50—hampir." Sebagai saksi mata, ia juga memuji bangsa Yunani atas "perlakukan [mereka] [...] terhadap ribuan orang Turk yang tinggal di Yunani, sementara pembantaian mengerikan sedang berlangsung...", yang menurut pendapatnya merupakan "salah satu hal paling mengnspirasi dan indah dalam sejarah negara itu."[78][79] KorbanMenurut berbagai sumber, jumlah korban jiwa Yunani di kawasan Pontos di Anatolia berkisar antara 300.000 jiwa sampai 360.000 jiwa. Perkiraan korban jiwa di kalangan Yunani Anatolia secara keseluruhan jauh lebih tinggi, sebuah tim peneliti asal Amerika Serikat pada periode awal pascaperang menemukan bahwa jumlah orang Yunani yang dibunuh mungkin mendekati angka 900.000 jiwa.[2] Pakar ilmu politik Adam Jones juga mengajukan jumlah korban 750.000 jiwa.[1] Sejarawan Rudolph Rummel menyusun beragam angka dari beberapa penelitian untuk memperkirakan batas bawah dan atas untuk jumlah kematian antara 1914 dan 1923. Pekiraannya berkisar antara 289.000 hingga 459.000 jiwa akibat genosida Yunani selama periode ini.[81] Menurut jumlah dari pemerintah Yunani dan Patriarkat, sebanyak satu juta orang diperkirakan tewas dibantai dalam peristiwa ini.[82] Menurut International League for the Rights and Liberation of Peoples, antara 1916 dan 1923, hingga 350.000 orang Yunani Pontos dilaporkan dibunuh dalam pembantaian, penyiksaan dan perjalanan maut.[83] Merrill D. Peterson menyebutkan jumlah 360.000 korban jiwa untuk orang Yunani Pontos.[84] Menurut George K. Valavanis, "Jumlah korban jiwa di kalangan Yunani Pontos sejak Perang Besar [Perang Dunia I]sampai Maret 1924 diperkirakan mencapai 353.000 akibat pembunuhan, penggantungan, serta akibat hukuman, penyakit, dan kondisi sulit lainnya."[85] Constantine G Hatzidimitriou menulis bahwa, "jumlah korban jiwa di kalangan Yunani Anatolia selama PDI dan setelahnya mencapai 735.370".[86] Edward Hale Bierstadt menyatakan bahwa, "Menurut kesaksian resmi, bangsa Turk sejak 1914 telah membantai 1.500.000 orang Armenia dan 500.000 orang Yunani, pria, wanita, dan anak-anak, tanpa provokasi sedikit pun.".[87] Di konferensi Lausanne pada akhir 1922, Menteri Luar Negeri Britania Lord Curzon mengatakan, "satu juta orang Yunani telah dibunuh, dideportasi, atau meninggal dunia."[88] Pada 1916, Emanuel Efendi, seorang deputi Utsmaniyah, mengatakan bahwa "550.000 orang Yunani...telah dibunuh."[89] AkibatArtikel 142 dalam Perjanjian Sèvres tahun 1920, yang dipersiapkan setelah Perang Dunia I, menyebut Utsmaniyah sebagai "teroris" dan mengandung ketentuan "untuk memulihkan sebaik mungkin segala keburukan yang ditimpakan kepada orang-orang dalam peristiwa pembantaian" yang dilakukan oleh Utsmaniyah selama perang.[90] Perjanjian Sèvres tidak pernah diratifikasi oleh pemerintah Turki dan pada akhirnya digantikan oleh Perjanjian Lausanne. Perjanjian itu ditambahi "Deklarasi Pengampunan," tanpa menyebutkan ketentuan apapun terkait hukuman untuk kejahatan perang.[91] Pada 1923, pertukaran penduduk antara Yunani dan Turki mennghasilkan lenyapnya hampir seluruh keberadaan etnis Yunani di Turki serta hampir lenyapnya seluruh keberadaan etnis Turki di sebagian besar Yunani. Menurut sensus Yunani tahun 1928, 1.104.216 orang Yunani Utsmaniyah telah pergi ke Yunani.[92] Pada 1955, Pogrom Istanbul menyebabkan sebagian besar penduduk Yunani di Istanbul bermigrasi dari sana. Sejarawan Alfred-Maurice de Zayas mengidentifikasi Pogrom Istanbul sebagai sebuah kejahatan yang amat serius terhadap kemanusiaan dan ia menyatakan bahwa sedikit korban Yunani dan terutama migrasi besar orang Yunani setelah pogrom berkaitan dengan kriteria "niat untuk memusnahkan seluruh atau sebagian" dalam Konvensi Genosida.[93] PengakuanDiskusi akademisPada Desember 2007 International Association of Genocide Scholars (IAGS) meloloskan resolusi yang menegaskan bahwa kampanye tahun 1914–23 terhadap orang Yunani Utsmaniyah merupakan genosida.[94] Menggunakan istilah "Genosida Yunani", resolusi ini menegaskan bahwa penduduk Yunani Utsmaniyah menjadi korban genosida bersama kelompok lainnya seperti orang Armenia dan Asiria. Resolusi tersebut diadopsi pada 1 Desember 2007 dan rilis persnya diedarkan oleh organisasi itu pada 16 Desember.[95] Reolusi IAGS ini diloloskan dengan dukungan mayoritas yang amat besar.[96][97] Beberapa sejarawan yang meneliti genosida Armenia seperti Peter Balakian, Taner Akçam, Richard Hovannisian dan Robert Melson menyatakan bahwa masalah ini mesti diteliti lebih jauh sebelum suatu resolusi dapat diloloskan."[98] Sejarawan Mark Mazower menyatakan bahwa deportasi orang Yunani oleh Utsmaniyah berlangsung dalam "skala yang relatif kecil dan tidak tampak seperti telah dirancang untuk berakhir dengan kematian korban. Apa yang terjadi pada orang Armenia adalah sesuatu yang berbeda".[99] Manus Midlarsky mengamati perbedaan antara pernyataan niat genosida terhadap orang Yunani oleh pejabat Utsmaniyah dengan tindakan mereka, pengurungan pembantaian di arean "sensitif" pilihan dan banyaknya orang Yunani yang selamat. Karena ikatan kebudayaan dan politik orang Yunani Utsmaniyah dengan negara-negara Eropa, Midlarsky berpendapat bahwa genosida "bukanlah pilihan yang baik bagi Utsmaniyah dalam kasus mereka."[100] Taner Akçam merujuk kepada catatan kontemporer yang menunjukkan perbedaan dalam hal perakukan terhadap orang Yunani Utsmaniyah dan Armenia selama Perang Dunia I dan menyimpulkan bahwa "terlepas dari kebijakan masa perang yang parah, secara khusus selama periode antara akhir 1916 dan bulan-bulan pertama 1917, perlakukan pemerintah terhadap orang Yunani -meskipun dalam beberapa cara sebandiing dengan tindakan terhadap orang Armenia- berbeda dalam hal cakupan, niat, dan motivasi".[101] Niall Ferguson membuat perbandingan antara pembantaian sporadis dalam masyarakat Yunani Pontos setelah 1922 dan nasib orang Armenia.[102] Terkait resolusi IAGS, sejatawan genosida seperti Dominik J. Schaller dan Jürgen Zimmerer menyatakan bahwa "ciri-ciri genosida dalam kampanye pembunuhan terhadap orang Yunani tampak sangat jelas".[103] Historian Angelos Elefantis "menyampaikan rasa terkejutnya atas penggunaan kata "genosida" hanya terkait pada pembantian Smyrna",[104] Seminar dan kuliah di beberapa universitas barat membahas peristiwa ini, termasuk di College of Charleston,[105] Universitas Michigan–Dearborn, yang memiliki satuan riset yang berdedikasi.[106] dan Universitas New South Wales[107]. PolitikMenyusul inisiatif dari anggota parlemen yang disebut sayap "patriotik" dalam kelompok partai PASOK yang berkuasa serta anggota parlemen berpikiran serupa dari Demokrasi Baru yang konservatif,[108] parlemen Yunani meloloskan dua hukum mengenai nasib orang Yunani Utsmaniyah; yang pertama pada 1994 dan yang kedua pada 1998. Dekret-dekret ini diterbiatkan dalam Lembaran Berita Pemerintah Yunani pada 8 Maret 1994 dan 13 Oktober 1998. Dekret 1994 menegaskan adanya genosida di kawasan Pontos di Asia Kecil dan menetapkan tangal 19 Mei sebagai hari peringatannya, sedangkan dekret 1998 menegaskan genosida orang Yunani di Asia Kecil secara keseluruhan dan menetapkan tanggal 14 September sebagai hari peringatannya.[109] Kedua hukum ini ditandatangani oleh Presiden Yunani namun tidak langsung diratifiksi setelah adanya intervensi politik. Surat kabar kiri Avgi ("Fajar") memiliki inisiatif untuk membekukan penerapan hukum ini. Topik ini kemudian menjadi pusat debat politik antara berbagai politisi Yunani, dengan kelompok kiri menentangnya. Presiden partai Synaspismos koalisi kiri-ekologis Nikos Konstantopoulos dan A. Elefantis, dikenal karena bukunya mengenai komunisme Yunani, merupakan beberapa politisi yang menyampaikan tentangan pada dekret ini. Akan tetapi, tidak semua kelompok kiri seperti itu, intelektual nasionalis sayap kiri nonparlemen[110] dan penulis, George Karabelias, dengan keras mengkritik Elefantis dan sejumlah orang lainnya, terutama di kelompok kiri, yang menentang pengakuan genosida serta menyebut mereka "sejarawan revisionis," menuduh sayap kiri umum Yunanai mengandung "evolusi ideologi yang meyimpang". Ia juga menyebut bahwa bagi sayap kiri Yunani, 19 Mei adala "hari amnesia".[111] Sebagai tanggapan atas hukum tahun 1998, pemerintah Turki mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa menggambarkan peristiwa tersebut sebagai genosida adalah "tanpa dasar sejarah apapun". Menteri Luar Negeri Turki menyatakan bahwa pemerintah Turki mengecam resolusi tersebut, ia mengatakan, "Dengan resolusi ini, kenyataannya Parlemen Yunanai yang harus meminta maaf kepada bangsa Turki atas penghancuran dan pembantaian berskala besar yang dilakukan oleh pihak Yunani di Anatolia, [resolusi ini] tidak hanya meneruskan kebijakan tradisional Yunani dalam mengubah sejarah, melainkan juga menunjukkan bahwa mentalitas ekspansionis Yunani masih ada."[112] Pada akhir 2000-an Partai Komunis Yunani mengadopsi istilah "Genosida Bangsa Yunani di Pontos" dalam surat kabar resminya serta berpartisipasi dalam acara peringatan.[113][114][115] Siprus juga secara resmi mengakui peristiwa ini sebagai suatu genosida.[116] Pada 11 Maret 2010, Riksdag Swedia meloloskan mosi yang mengakui adanya "tindakan genosida pembunuhan terhadap bangsa Armenia, Asiria/Suryani/Khaldea dan Yunani Pontos pada 1915".[117] Pada 14 Mei 2013, pemerintah New South Wales memperoleh mosi pengakuan genoside oleh Fred Nile dari Partai Demokratik Kristen, dan kemudian meloloskannya, menjadikan pemerintah New South Wales sebagai lembaga politik keempat yang mengakui genosida tersebut.[118] Pada Maret 2015, Majelis Nasional Armenia mengadopsi resolusi yang mengakui genosida Yunani dan Asiria.[119] Pada April 2015, Dewan Negara Belanda meloloskan resousi yang mengakui genosida Yunani dan Asiria.[120] Penyebab sedikitnya pengakuanPerserikatan Bangsa-Bangsa, parlemen Eropa dan Dewan Eropa belum membuat pernyataan apapun terkait genosida Yunani. Menurut Constantine Fotiadis, dosen Sejarah Yunani Modern di Universitas Aristoteles Thessaloniki, terdapat beberapa alasan mengapa ada kekurangan pengakuan secara luas dan penundaan dalam hal permintaan pengakuan, antara lain: Perjajian Lausanne pada 1923 tidak menyebutkan ketentuan apapun mengenai genosida Yunani; perjanjian damai berikutnya (Perjanjian Persahabatan Yunani-Turki pada Juni 1930) di mana Yunani memberikan sejumlah konsesi untuk menyelesaikan semua permasalahan antara dua negara demi perdamaian di kawasan tersebut; Perang Dunia II, Perang Saudara, Junta militer dan kericuhan politik di Yunani yang terjadi kemudian, memaksa Yunani untuk berfokus pada urusan dalam negerinya sendiri dan permasalahan lainnya allih-alih mencari pengakuan untuk peristwiwa genosida; dan lingkungan Perang Dingin di mana Yunani dan Turki diharapkan menjadi sekutu - menghadapi Komunisme sebagai musuh bersama - bukannya musuh atau pesaing.[121] Dalam bukunya With Intent to Destroy: Reflections on Genocide, Colin Tatz berpendapat bahwa Turki menolak genosida agar tidak membahayakan "mimpinya selama sembilan puluh lima tahun untuk menjadi lentera demokrasi di Timur Dekat".[122] Sementara sejumlah alasan mengenai penolakan Turki menurut Elizabeth Burns Coleman dan Kevin White, dalam buku mereka Negotiating the Sacred: Blasphemy and Sacrilege in a Multicultural Society, antara lain: risiko rasa bersalah dan malu jika bangsa yang mengaku sebagai "pejuang dan lentera demokrasi" melakukan pembantaian etnis; rasa takut bahwa pengakuan akan berujung pada tuntutan ganti rugi; pemikiran bahwa pengakuan akan membahayakan masa-masa awal Turki sebagai negara yang beru melakukan transisi; dan pemikiran bahwa penolakan pengakuan tidak akan mengalami banyak hambatan.[123] Tugu peringatanBanyak tugu peringatan penderitaan Yunani Utsmaniyah didirikan di seluruh Yunani dan sejumlah negara lain seperti Jerman, Kanada, Amerika Serikat, dan Australia.[124] Lihat pula
Catatan kaki
Daftar pustaka
90-411-1222-7.
Referensi
Bacaan lanjutanBuku
Artikel
|