Orang Kurdi menjadi kelompok mayoritas di Basur, Rojava, Bakur, Rojhilat dan kelompok minoritas yang signifikan di negara-negara tetangga seperti Turki, Suriah dan Iran, di mana gerakan-gerakan nasionalis Kurdi terus memperjuangkan tingkat otonomi yang lebih besar. Dengan demikian, orang Kurdi, yang berjumlah kira-kira 30–38 juta jiwa, adalah kelompok etnik terbesar yang tidak memiliki negara sendiri.
Etimologi
Asal usul yang tepat dari nama "Kurdi" masih tidak jelas,[32] meskipun diyakini bahwa istilah ini mendahului pembentukan kelompok etnis selama berabad-abad atau bahkan ribuan tahun.
G.S. Reynolds percaya bahwa istilah Kurdi kemungkinan besar terkait dengan istilah kuno yaitu Qardu. Akar umum Kurdi dan Qardu pertama kali disebutkan dalam tablet Sumeria dari milenium ketiga SM sebagai "tanah Kar-da."[33] Demikian pula, Hennerbichler percaya istilah Kurdi dan label etnis yang sama telah berasal dari kata batang Sumeria "kur" yang berarti gunung.[34]
Kata Kurdi pertama kali ditulis di sumber-sumber dengan bentuk Kurt (kwrt-) dalam risalah Persia Tengah (Karnamak Ardashir Papakan dan Matadakan i Hazar Dastan). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kelompok sosial atau suku yang ada sebelum perkembangan modern bangsa etnis.[35] Istilah ini diadopsi oleh penulis Arab dari era Islam awal dan secara bertahap menjadi terkait yang merujuk pada sebuah penggabungan dari suku-suku nomaden Iran dan orang-orang yang menjadi Iran serta kelompok-kelompok di wilayah tersebut.[36][37][38]Sherefxan Bidlisi menyatakan bahwa ada empat pembagian etnis Kurdi: Kurmanji, Lur, Kalhor, dan Guran, yang masing-masing berbicara dengan dialek atau bahasa dengan variasi yang berbeda. Dari jumlah tersebut, menurut Ludwig Paul, hanya Kurmanji dan mungkin Kalhuri yang sesuai dengan bahasa Kurdi, sementara dari Luri dan Gurani adalah dengan bahasa yang berbeda. Meskipun demikian, Ludwig menulis bahwa linguistik tidak memberikan definisi ketika bahasa menjadi dialek, dan dengan demikian, faktor-faktor non-linguistik berkontribusi pada kesatuan etnis dari beberapa kelompok yang menuturkan, yaitu Kurmanji, Kalhur, dan Guran.[39]
Geografis
Karaktar geografis Kurdistan yang terdiri dari gugusan perbukitan, struktur sosial yang sangat sarat sentimen tribalisme, serta sistem mata pencarian yang mengandalkan pertanian dan menggembala memang membuat bangsa dan wilayah Kurdistan menjadi semi-eksklusif sepanjang sejarahnya selama sekitar 3.000 tahun.
Sepanjang sejarahnya, tidak ada satu bangsa atau kekuatan pun yang mampu menguasai secara penuh bangsa dan wilayah Kurdi. Yunani, Romawi, Persia, dan bahkan dinasti berbasis Islam selalu gagal menundukkan secara penuh bangsa Kurdi. Pada era modern pun, sistem yang melahirkan negara seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah gagal pula menguasai secara penuh wilayah Kurdi.
Namun, secara geopolitik, karakter geografis Kurdi justru membawa petaka karena harus menerima wilayah itu terbagi di antara lima negara pasca-Perang Dunia I.
Terpecahnya geografis, sejarah, dan politik bangsa Kurdistan terjadi pertama kali pada tahun 1514 menyusul pertempuran Chaldiran antara Dinasti Safawiyah dan Ottoman yang membawa mereka menandatangani sebuah perjanjian pembagian pengaruh di wilayah Kurdi.
Dalam berbagai perjanjian tersebut dicapai pembagian final wilayah dan bangsa Kurdi, yaitu Kurdi Utara (Turki) yang memiliki wilayah terluas, yakni 194.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 13 juta jiwa; Kurdi Timur (Iran) yang memiliki wilayah terluas kedua, yakni 125.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 8 juta jiwa; Kurdi Selatan (Irak) yang memiliki wilayah terluas ketiga, yakni 72.000 kilometer persegi dengan penduduk 6 juta jiwa; Kurdi Barat (Suriah) yang memiliki wilayah terluas keempat, yakni 18.000 kilometer persegi dengan penduduk 1 juta jiwa; dan Kurdi Armenia (bekas Uni Soviet) yang memiliki luas 18.000 kilometer persegi dengan penduduk 1 juta jiwa.
Tercabik-cabiknya wilayah Kurdi itu membuat pupusnya impian bangsa Kurdi memiliki negara sendiri. Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani (1900-1979), sepanjang hidupnya dikenal berjuang bagi berdirinya negara Kurdi. Memang di bawah pimpinan Mustafa Barzani sempat berdiri negara Kurdi, dengan nama Republik Mahabad (tahun 1946) di wilayah Kurdistan Iran. Namun, negara ini hanya mendapatkan pengakuan kedaulatan terbatas. Pembagian wilayah menjadi faktor penyebab terjadinya keretakan dalam struktur budaya dan politik bangsa Kurdi. Mereka berada di bawah sistem politik pemerintahan pusat yang memang beragama di negara-negara yang menjadi tempat keberadaan bangsa Kurdi itu.
Karakteristik suku Kurdi
Agama
Jauh sebelum masuknya Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Persia kuno seperti Zoroastrianisme, Mithraisme, Maniisme dan Mazdakisme. Beberapa kuil penyembahan api peninggalan zaman itu masih terdapat sampai sekarang, antara lain di Ganzak (Takab), Bijar. Mereka juga sempat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Nasrani. Namun, pengaruh agama-agama tersebut hampir semuanya terkikis habis dengan datangnya Islam pada abad ke-7 Masehi. Patut dicatat, Kurdistan terletak tidak jauh (hanya 50 mil) dari Baghdad dan 200 mil saja dari Damaskus; keduanya merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, dan keilmuan Islam di periode awal masuknya Islam.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika saat ini mayoritas orang Kurdi (60%), terutama yang berbahasa Kurmanji, adalah pemeluk Islam Sunni yang bermazhab Syafi‘i. Sebagian kecil (sekitar 1 juta orang) menganut Islam Syiah, khususnya yang tinggal di Kermanshah, Kangawar, Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan timur Kurdistan (bagian Iran), serta mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman dan Maras di barat Kurdistan (bagian Turki).
Sebagaimana minoritas Arab Suriah, golongan Syi‘ah Kurdi umumnya adalah pengikut aliran Alevi (atau ‘Alawi). Istilah “Alevi” bagi mereka punya konotasi ganda: pertama, sebagai pengikut Sayyidina ‘Ali ra dan, kedua, sebagai penyembah api atau penganut Zoroaster (dari kata alev yang berarti api). Kaum Alevi percaya bahwa Ali adalah manifestasi atau perwujudan (avatar) Roh Jagad Raya pada Babak Kedua dari Kehidupan Semesta, seperti dalam ajaran Yarshan. Di samping mengagungkan api dan cahaya, penganut Alevi biasanya bersujud menyembah matahari terbit dan bulan, sambil melantunkan tembang-tembang tertentu.
Mereka juga mengadakan pertemuan rutin yang disebut Ayini Jam. Aliran ini sempat dilarang keras dan diberantas pada zaman Daulat Usmaniyah, terutama pada masa pemerintahan Sultan Salim sekitar tahun 1514. Sempalan lainnya adalah Nushairiyah, yang mengagung-agungkan Salman al-Farisi (sahabat Nabi) dan menobatkannya sebagai avatar nomor satu.
Bahasa
Di zaman pra-Islam, orang Kurdi menggunakan bahasa Pahlavi, bahasa Parsi kuno yang masih serumpun dengan Sanskerta dan bahasa-bahasa Eropa. Setelah kedatangan Islam dan invasi nomad Turki, orang-orang Kurdi mulai menggunakan dialek suku Kurmanji, sebuah kabilah energetik dari dataran tinggi Hakkari yang berhasil membendung pengaruh Turki di Kurdistan. Begitu kuatnya pengaruh suku Kurmanji hingga mayoritas orang Kurdi masih banyak yang menyebut diri mereka “Kurmanji”, dan bahasa mereka “Kurmanji”. Adapun sekarang ini, terdapat dua dialek utama dalam bahasa Kurdi: pertama, Kurmanji, dan kedua, Sorani (atau sering juga disebut “Kurdi”). Sub-dialeknya antara lain: Kermanshah, Leki, Gurani dan (Dimili) Zaza.
Mengenai sub-suku, sejarawan Kurdi Syarafuddin Bitlisi (w. 1597 M) menyatakan dalam kitabnya Sharafnamah (Mukadimah 7-9) bahwa bangsa Kurdi terbagi empat, masing-masing mempunyai dialek dan adat-istiadat sendiri, yakni Kurmanji, Lur, Kalhur, dan Guran.
Mata pencaharian
Seperti layaknya penduduk pegunungan, suku Kurdi hidup menetap dengan mata pencaharian pertanian dan peternakan. Namun setelah invasi bangsa Arya dan Turki ke wilayah mereka, sebagian mereka memilih cara hidup nomad (berpindah-pindah).
Kelebihan Suku Kurdi
Tradisi Keilmuan
Bangsa Kurdi terkenal berani, kuat dan gigih. Mereka banyak berperan dalam menyebarkan dan membela Islam. Tidak sedikit tokoh-tokoh agama (ulama), pemimpin dan pejuang Islam yang notabene adalah suku Kurdi. Sebut saja, misalnya, Ibn Khallikan (w. 681 H/ 1282 M, sejarawan, pengarang kitab Wafayat al-A‘yan ), ‘Syaikh al-Islam’ Ibn Taymiyyah (w. 728 H/ 1328 M), Ibn al-Atsir (w. 630 H/ 1232 M, pengarang Usud al-Ghabah, Ibn Qutaybah al-Dinawari (w. 276 H/ 889 M, pengarang kitabTa’wil Musykil al-Qur’an), Ibn ash-Shalah as-Syahrazuri (w. 634 H/ 1236 M, pakar ilmu hadis yang terkenal dengan Muqaddimah-nya), Syaikh Ibrahim al-Gurani (pengarang kitab Ithaf adz-Dzakiyy), Badi’uz-Zaman al-Hamadani (w. 1007 M, pengarang kitab Al-Maqamat), Bediüzzaman Said Nursî (bahasa Arab: بديع الزمان سعيد النورسي) dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam di Turki yang berfikiran modern dan moderat, dan tentunya Shalahuddin al-Ayyubi (c. 1138 - 4 Maret1193), panglima perang dan pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Kristen.
Menurut Ensiklopedi Islam, Kurdi bernyanyi dan menari di semua festival ulang tahun mereka, dan upacara pernikahan. Folkloric tarian ini adalah salah satu faktor utama dalam membedakan Kurdi dari tetangga populasi Muslim. Tari Kurdi memiliki berbagai versi dan banyak seperti berikut: Dilan, Sepe, Geryan, Chapi.
Pada abad ke-7, orang-orang Arab menaklukkan wilayah Kurdi dan dikonversi mayoritas Kurdi Islam. Mayoritas hari ini orang-orang Kurdi adalah Muslim, yang berhaluan mazhab Syafi’i dengan membuat sekolah Sunni Islam, membedakan mereka di wilayah tersebut, (dan ke tingkat yang lebih rendah banyak, Hanafi) Sekolah Sunni Islam . Ada juga minoritas suku Kurdi yang Syiah Muslim, terutama yang tinggal di Ilam dan Kermanshah provinsi Iran dan Irak Tengah (“Al-Fayliah” Kurdi). Para Alevis lain adalah agama minoritas di antara Kurdi, terutama ditemukan di Turki. Ada juga Kurdi Agnostics .
Beberapa upacara tradisional lebih dikenal Kurdi atau festival meliputi: Pir Shalyar, Buka Barana, Newroz.
Warisan budaya Kurdi berakar di salah satu kebudayaan tertua di dunia. Sehubungan dengan asal Kurdi, itu sebelumnya dianggap cukup untuk menggambarkan mereka sebagai keturunan Carduchi, yang menentang mundur dari Sepuluh Ribu melalui gunung-gunung pada abad ke-4 SM. Namun, ada bukti permukiman kuno lebih di wilayah Kurdistan. Bukti awal dikenal dan budaya yang berbeda terpadu (dan mungkin, etnis) oleh orang-orang Kurdi mendiami pegunungan tanggal kembali ke Halaf budaya 6.000 SM hingga 5.400 SM. Hal ini diikuti oleh penyebaran Ubaidian budaya, yang merupakan pengantar asing dari Mesopotamia.
Kelemahan Suku Kurdi
Bangsa Tanpa Negara
Sesuai dengan sejarah politik Kurdi yang cukup tua, bangsa Kurdi termasuk bangsa yang kurang beruntung. Bahkan, Kurdi disebut sebagai bangsa tragis akibat karakter geografis, sentimen tribalisme, tirani, dan kolonialisme.
Tragedi bangsa Kurdi itu pun kemudian dikenal dengan nama “problem Timur”. Ironinya, problem Kurdi sering kali dilupakan, diabaikan. Tidak ada pembelaan terhadap bangsa Kurdi, bahkan dijadikan komoditas politik kekuatan regional maupun internasional untuk tujuan politik tertentu.
Walau kartu Kurdi dipakai, sama sekali tanpa ada niat tulus dari siapa pun untuk mencari solusi yang adil soal eksistensi bangsa Kurdi. Karena itu, tidak heran jika Kurdi pun seperti duri dalam daging bagi setiap pemerintah pusat di negara-negara modern saat ini, seperti Turki, Irak, Iran, dan Suriah.
Negara-negara itu juga sepakat mencegah dengan segala cara berdirinya negara Kurdi yang berdaulat di mana pun. Negara-negara itu beralasan, jika Kurdi memiliki negara sendiri di salah satu wilayah negara tersebut, hal itu akan mengobarkan nasionalisme seluruh bangsa Kurdi. Selanjutnya, hal ini bisa mengancam kekuasaan mereka pada wilayah Kurdi di negara masing-masing.
Bahkan, ada kesepakatan tidak tertulis di antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah untuk mencegah lahirnya negara Kurdi walau pada saat bersamaan mereka bisa menggunakan kartu Kurdi untuk mengganggu negara tetangga yang lain. Misalnya, Iran atau Turki sering menggunakan kartu Kurdi Irak untuk menggoyang pemerintah pusat di Baghdad, dan demikian juga sebaliknya.
Ada beberapa faktor yang membuat bangsa Kurdi terserak-serak dan gagal mewujudkan impian untuk memiliki negara sendiri. Pertama, kentalnya sentimen kesukuan yang membuat bangsa Kurdi tidak pernah bersatu secara kebangsaan. Hal ini menyebabkan sulitnya lahir seorang pemimpin Kurdi yang bisa menyatukan bangsanya. Walau memiliki satu identitas, yakni Kurdi, kelompok ini juga terbagi-bagi lagi ke dalam berbagai suku. Kedua, Kurdi menjadi korban kediktatoran pemerintah pusat di negara-negara di mana bangsa Kurdi berada menyusul pembagian pasca-Perang Dunia I. Ketiga, kolonialisme turut merobek-robek kesatuan bangsa Kurdi.
Para pemerintah diktator yang menaungi bangsa Kurdi itu, misalnya, tidak mengakui eksistensi bangsa Kurdi. Pemerintahan diktator itu juga menolak eksistensi bahasa Kurdi di negaranya.
Turki, Iran, dan Irak yang memiliki warga Kurdi dalam jumlah besar juga tidak mengakui keberadaan bangsa Kurdi di dalamnya. Pemerintahan di negara-negara tersebut bersikukuh hanya satu bangsa, budaya, dan bahasa di negara mereka. Jika realitas sosial di negara-negara itu ada banyak budaya dan bahasa, maka yang diakui hanya satu dan yang lain harus disingkirkan. Kurdi selalu menjadi korban. Itulah realitas politik yang dihadapi bangsa Kurdi di Turki, Iran, Irak, dan Suriah.
Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, misalnya, menolak mengakui keberadaan bangsa Kurdi di Turki serta melarang bahasa Kurdi diajarkan di sekolah-sekolah. Ataturk menolak menyebut nama Kurdi dan menamakan bangsa Kurdi di Turki sebagai bangsa Turki pegunungan. Sensus penduduk di Turki sampai saat ini menjuluki kelompok yang ada di Turki sebagai Kurdi Turki pegunungan.
Saddam Hussein di Irak tidak kalah brutalnya dibandingkan dengan Kemal Ataturk. Saddam bahkan pernah melakukan aksi pembumihangusan atas 1.000 desa Kurdi dan menyebarkan penduduk desa-desa tersebut ke seluruh penjuru Irak.
Ada juga kasus pembantaian terhadap warga Kurdi di Halabjah, Irak, tahun 1988, dengan menggunakan bom kimia. Ini merupakan salah satu perbuatan terkeji Saddam Hussein terhadap warga Kurdi.
Di mata dunia, Kurdi adalah potret etnis yang malang. Mereka tercerai-berai di seantero empat negara berbeda: Turki, Suriah, Iraq dan Iran. Sedihnya lagi, karena minoritas di keempat negara itu, sering kali kepentingan bangsa Kurdi diabaikan oleh pemerintah masing-masing negara tempat mereka berdiam. Akibatnya gampang ditebak, mereka ingin memisahkan diri dari negara induk masing-masing lalu mendirikan negara Kurdi.
Tentu saja keinginan mereka, yang dinilai sebagai gerakan separatisme, segera ditentang oleh pemerintah masing-masing negara. Bahkan tidak hanya ditentang, tetapi juga ditumpas. Itulah yang menyebabkan Saddam membumihangus kawasan utara yang didiami Kurdi. Amerika dan koalisinya membuat aturan zona larangan terbang di langit Iraq kawasan ini.
Alhasil, pada masa kini suku Kurdi tergolong sebagai suku bangsa yang tertindas di negeri sendiri. Padahal, kalau melihat catatan sejarah Islam, akan kita temukan adanya pahlawan besar Islam yang bernama Salahuddin Ayyubi yang notabene beretnis Kurdi. Juga ada Ibnu Taimiyah, ulama besar yang kesohor dari suku Kurdi.
Dengan kata lain salah seorang anak suku Kurdi pernah menjadi orang yang sangat berjasa pada dunia Islam. Namun kini anak keturunan Shalahudin dan Ibnu Taimiyah bernasib malang, ditindas di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Islam di Timur Tengah.
Frustasi Memperjuangkan Kemerdekaan
Dibandingkan dengan penduduk negara-negara Arab lainnya bahkan di dunia suku Kurdi adalah salah satu suku bangsa besar karena jumlahnya yang mencapai 30 juta jiwa. Akibat kolonialisme Barat di Timur Tengah, rumpun bangsa Persia yang mendiami daerah Kurdistan ini terancam hilang dalam sejarah dunia. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya. Tumbangnya Rezim Irak karena invasi AS misalnya, berhasil membuka akses politik kaum Kurdi ini.
Dilihat sejarahnya, sebenarnya kemerdekaan Kurdi pernah dijanjikan oleh Presiden ASWoodrow Wilson (1856-1924) melalui perjanjian Sevres (the Treaty of Sevres) tahun 1920 antara Kesultanan Utsmaniyah dan sekutu AS untuk membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Turki Usmani. Hanya saja terbentuknya negara baru Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Ataturk yang meliputi sebagian besar wilayah Kurdistan telah memupus harapan itu. Sejak itu konflik antara suku Kurdi dan Turki terus berkembang. Pasca kemerdekaan Irak tahun 1932 bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran dan Turki. Karena frustasi akan semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi yang kerap kali melancarkan aksi-aksi terorisme.
Friksi dan Penindasan
Friksi adalah sebuah pergeseran, perpecahan, atau pergeseran yang berupa paham atau pendapat (Widodo, 2001:165). Jalan paling mudah untuk memecah kekuatan suku Kurdi dalam menghimpun diri menuju kemerdekaan adalah dengan menciptakan faksi-faksi di antara mereka yang satu sama lain saling bermusuhan. Ini karena tidak ada figur pemersatu di kalangan mereka. Terpecahnya mereka dalam tiga wilayah negara yang berbeda juga telah membuat suku ini semakin tersegmentasi. Bahkan negara-negara di mana suku Kurdi berada sering kali mencoba melakukan program asimilasi secara paksa hingga pemusnahan bangsa terbesar di dunia Arab ini. Di Irak Utara misalnya terdapat dua kubu yang dipimpin oleh Barzani, the Kurdistan Democratic Party (KDP) dan partai Jalal Talabani, The Patriotic Union of Kurdistan (PUK). Keberadaan suku Kurdi yang non-Arab itu ternyata menjadi hambatan tersendiri bagi Saddam Hussein dalam menjalankan obsesinya menggelorakan semangat nasionalisme Arab. Pada tahun 2003 saat invasi AS ke Irak, daerah basis suku Kurdi di Irak Utara dijadikan sebagai pangkalan militer AS. Ternyata, dukungan AS dan perhatian organisasi-organisasi sosial dunia (LSM) berhasil menyelamatkan bangsa Kurdi di Irak dari penindasan yang sudah berlangsung lama. Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan dan pemusnahan akhirnya dengan dukungan AS Jalal Talabani sendiri terpilih menjadi Presiden Irak.
Di Iran suku Kurdi walaupun berasal dari rumpun bangsa Persia tetapi tetap saja hidup terpinggirkan. Ini karena mereka adalah para penganut Sunni yang berbeda dengan agama mayoritas negara Iran. Setelah bertahun-tahun lamanya melakukan penindasan pada kelompok Kurdi, Iran akhirnya dapat melemahkan kekuatan Kurdi. Pada akhir tahun 1920-an, misalnya, Iran berhasil membunuh pemimpin Republik Mahabad Kurdistan, Qazi Muhammad dan Ismail Agha Simko. Di bawah pemerintahan Ayatollah Khomeini militer Iran juga berhasil melakukan pembunuhan terhadap dua pimpinan kharismatik Kurdistan, Abdul Rahman Gasemblou (1989) dan Sadeq Sharafandi (1992). Dalam konflik Irak-Iran 1980-1990 rakyat Kurdi baik Iran maupun Irak sering memanfaatkan keberadaan suku Kurdi di perbatasan untuk melakukan serangan dari dalam. Akibatnya minoritas Kurdi Irak dan Iran selalu dicuragai oleh pemerintahnya masing-masing sebagai kelompok yang membantu kekuatan musuh. Memang kelompok minoritas ini sangat rentan terhadap intervensi asing, termasuk AS, yang dapat menjadi ancaman serius bagi keamanan negara-negara yang bersangkutan.
Nasib bangsa Kurdi di Turki juga tidak lebih baik. Mayoritas suku Kurdi memang tinggal di Turki bagian tenggara dan lebih setengahnya hidup berbaur di ibu kota Ankara. Sebagai keturunan bangsa Persia, suku Kurdi menjadi salah satu hambatan gerakan nasionalisme dan sekularisme Turki. Meskipun mereka berhasil mendirikan Negara Darurat Kurdistan di wilayah Turki pada tahun 1922-1924 dan Republik Mahabad Kurdistan tahun 1946 tetapi dapat dihancurkan oleh militer Turki. Dampaknya sejak tahun 1924 Turki melarang penggunaan bahasa Kurdi di tempat umum. Operasi militer besar-besaran terus dilakukan untuk menumpas gerakan pro kemerdeaan yang mengakibatkan ribuan jiwa kehilangan nyawa.
^ abcdeThe Kurds: culture and language rights (Kerim Yildiz, Georgina Fryer, Kurdish Human Rights Project; 2004): 18% of Turkey, 20% of Iraq, 8% of Iran, 9.6%+ of Syria; plus 1–2 million in neighboring countries and the diaspora
^ abSandra Mackey , “The reckoning: Iraq and the legacy of Saddam”, W.W. Norton and Company, 2002. Excerpt from pg 350: “As much as 25% of Turkey is Kurdish.”
^Ismet Chériff Vanly, “The Kurds in the Soviet Union”, in: Philip G. Kreyenbroek & S. Sperl (eds.), The Kurds: A Contemporary Overview (London: Routledge, 1992). pg 164: Table based on 1990 estimates: Azerbaijan (180,000), Armenia (50,000), Georgia (40,000), Kazakhstan (30,000), Kyrghizistan (20,000), Uzbekistan (10,000), Tajikistan (3,000), Turkmenistan (50,000), Siberia (35,000), Krasnodar (20,000), Other (12,000), Total 450,000
^"Fakta: Kurdere i Danmark". Jyllandsposten (dalam bahasa Danish). 8 May 2006. Diakses tanggal 24 December 2013.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^"Население Кыргызстана" (dalam bahasa Russian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-15. Diakses tanggal 2014-05-31.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^D.N. Mackenzie, "The Origin of Kurdish", Transactions of Philological Society, 1961, pp 68–86
^G. Asatrian, Prolegomena to the Study of the Kurds, Iran and the Caucasus, Vol.13, pp. 1–58, 2009: "Generally, the etymons and primary meanings of tribal names or ethnonyms, as well as place names, are often irrecoverable; Kurd is also an obscurity"
^G. S. Reynolds, A Reflection on Two Qurʾānic Words (Iblīs and Jūdī), with Attention to the Theories of A. Mingana, Journal of the American Oriental Society, Vol. 124, No. 4 (October –December, 2004), pp. 675–689. (see p.683, 684 & 687)
^F. Hennenrbichler. (2012). The Origin of Kurds. Advances in Anthropology, 2.2: pp. 64-79.
^G. Asatrian, Prolegomena to the Study of the Kurds, Iran and the Caucasus, Vol.13, pp. 1–58, 2009. Excerpt 1: ""Generally, the etymons and primary meanings of tribal names or ethnonyms, as well as place names, are often irrecoverable; Kurd is also an obscurity"
" Excerpt 2: "It is clear that kurt in all the contexts has a distinct social sense, “nomad, tent-dweller”.It could equally be an attribute for any Iranian ethnic group having similar characteristics. To look for a particular ethnic sense here would be a futile exercise." pg 24: "The Pahlavi materials clearly show that kurd in pre-Islamic Iran was a social label, still a long way off from becoming an ethnonym or a term denoting a distinct group of people."
^McDowall, David. 2000. A modern history of the Kurds. London: I.B. Tauris. p9
^G. Asatrian, Prolegomena to the Study of the Kurds, Iran and the Caucasus, Vol.13, pp. 1–58, 2009
^Ludwig Paul, "HISTORY OF THE KURDISH LANGUAGE" in Encyclopedia Iranica "Linguistics itself, or dialectology, does not provide any general or straightforward definition of at which point a language becomes a dialect (or vice versa). To attain a fuller understanding of the difficulties and questions that are raised by the issue of the “Kurdish language,” it is therefore necessary to consider also non-linguistic factors."
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Kurdish people.