Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditas perdagangan yang penting sejak masa Romawi. Pala disebut-sebut dalam ensiklopedia karya Plinius "Si Tua". Semenjak zaman eksplorasi Eropa pala tersebar luas di daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Grenada). Istilah pala juga dipakai untuk biji pala yang diperdagangkan.
Tumbuhan ini berumah dua (dioecious) sehingga dikenal pohon jantan dan betina. Daunnya berbentuk elips langsing. Buahnya berbentuk lonjong seperti lemon, berwarna kuning, berdaging dan beraroma khas karena mengandung minyak atsiri pada daging buahnya. Bila matang, kulit dan daging buah membuka dan biji akan terlihat terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu buah menghasilkan satu biji berwarna putih ketika masih muda dan berwarna coklat gelap apabila sudah matang.
Pemanfaatan buah pala bisa berupa biji, salut bijinya (arillus), dan daging buahnya. Dalam perdagangan, salut biji pala dinamakan fuli, atau dalam bahasa Inggris disebut mace, dalam istilah farmasi disebut myristicae arillus atau macis). Daging buah pala dinamakan myristicae fructus cortex. Tanaman pala merupakan tanaman yang cukup lama pertumbuhannya hingga pemanenan. Panen pertama dilakukan 7 sampai 9 tahun setelah pohonnya ditanam[1] dan mencapai kemampuan produksi maksimum setelah 25 tahun. Tumbuhnya dapat mencapai 20m dan usianya bisa mencapai ratusan tahun.
Sebelum dipasarkan, biji dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya. Pengeringan ini memakan waktu enam sampai delapan minggu. Bagian dalam biji akan menyusut dalam proses ini dan akan terdengar bila biji digoyangkan. Cangkang biji akan pecah dan bagian dalam biji dijual sebagai pala.
Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran, dan minuman penyegar (seperti eggnog). Minyaknya juga dipakai sebagai campuran parfum atau sabun. Selain itu, tanaman ini juga kaya akan manfaat, diantaranya buah pala yang terdiri dari kulitnya dapat dijadikan bahan tambahan obat pengusir nyamuk; dagingnya yang mengandung banyak nutrisi dapat dijadikan bahan dasar pembuatan berbagai jenis makanan dan minuman seperti manisan, sirup, dan permen; biji dan fulinya sering dijadikan sebagai bahan utama pembuatan minyak atsiri; begitu juga dengan daunnya, namun pada daging buahnya pun sering dijadikan bahan baku minyak atsiri.[2][3]
Kondisi optimal untuk tumbuh dan pembibitan
Tanaman pala secara umum dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian sekitar 0-700 mdpl dengan kebutuhan curah hujan yang cukup tinggi yaitu 2000–3500 mm/tahunnya dan kelembapan udara sekitar 50-80 %. Tanaman ini dapat tumbuh biasanya hingga ketinggian pohon 5-15 meter atau bahkan dapat mencapai 30 meter. Pala cocok tumbuh pada suhu udara sekitar 20-30oC dengan struktur tanah tempat tumbuhnya memiliki rentang yang cukup besar yaitu dari tanah padat hingga berpasir serta memiliki derajat keasaman 5,5 – 7.[1]
Pada pembibitan tanaman pala biasanya dilakukan pengairan setiap 1-2 kali dalam sehari apabila tidak ada hujan sama sekali disertai penyiangan dari tanaman gulma disekitarnya dan juga perlakuan penggemburan tanah. Dilakukan pula penambahan pupuk tanaman seperti pupuk kandang, pupuk kompos, ataupun pupuk anorganik seperti urea setiap 3 bulan sekali. Pemanenan pala dapat dilakukan sebanyak 3 kali dalam satu tahun, yaitu saat awal musim hujan yang memberikan hasil buah pala dengan kualitas paling baik, lalu pertengahan musim hujan dengan biasanya buah pala yang siap panen berjumlah paling banyak diantara periode lainnya, kemudian jumlah pala siap panen menurun dan dapat dipanen pada akhir musim hujan.[1]
Penyebaran
Tanaman pala tersebar pada wilayah atau negara yang memiliki iklim tropis termasuk diantaranya Guangdong dan Yunan di Cina, Taiwan, Malaysia, Grenada di Kepulauan Karibia, Kerala di India, Sri Lanka, dan Afrika Selatan, terutama juga di negara asalnya yaitu Indonesia. Pada negara Indonesia, penghasil utama pala ada pada Kepulauan Maluku, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, dan Papua. Umur tanaman pala pun cukup panjang bahkan bisa mencapai 100 tahun.[4][5]
Pala di Indonesia
Indonesia memasok sekitar 60% dari total kebutuhan pasar pala dunia setiap tahunnya. Jawa Barat merupakan salah satu daerah sentra produksi pala pada tahun 2008 saja tercatat luas areal tanaman pala sekitar 4049 hektar dengan produksi 778 ton dan rata-rata produktivitas tanaman 359 kg/hektar dimana angka tersebut lebih tinggi dibanding produktivitas tanaman pala nasional. Kabupaten Sukabumi dan Bogor merupakan wilayah dengan produksi pala terbesar di Jawa Barat. Selain itu, di Jawa Barat pula telah banyak industri pengolahan pala yang lebih berkembang pesat dibanding daerah lainnya, diantaranya adalah minyak atsiri dan manisan pala[6][7]
Minyak Atsiri Pala dan Analisis Kandungannya
Produk utama dari tanaman pala adalah minyak atsiri yang dapat dihasilkan melalui penyulingan dari bahan baku berupa daging buah, biji, dan fuli pala. Pada minyak atsiri mengandung berbagai senyawa, yang paling banyak dan menjadi ciri khas adalah myristicin[8]. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 06-2388-2006) syarat kadar myristicin dalam minyak atsiri pala minimal 10%. Myristicin sebenarnya dapat dijadikan sebagai agen insektisida, penambah rasa pada rokok, chemopreventive dan hepatoprotective, namun senyawa ini dapat memberikan efek halusinasi yang sama seperti narkotik. Seiring perkembangan zaman, minyak atsiri pala ini bahkan dijadikan sebagai bahan baku aromaterapi yang bersifat menghilangkan stress karena adanya kandung myristicin-nya. Kandungan myristicin lebih tinggi kadarnya pada daging buah pala dibandingkan dengan biji dan fulinya.[8]
Pada SNI 06-2388-2006 pun didapati adanya syarat lain yang harus dimiliki oleh minyak atsiri pala, diantaranya adalah nilai rata-rata indeks bias pada suhu 20oC harus berkisar pada rentang 1,475-1,485. Minyak atsiri pala harus memiliki bau khas pala dengan memiliki warna dari tidak berwarna hingga kuning muda dengan berat jenis 20oC/20oC pada rentang 0,885-0,907. Minyak atsiri pala pun harus larut dengan sempurna dan tetap jernih pada etanol 90% dengan rentang 1:1-1:3. Kelarutan minyak atsiri pada etanol 90% sangat berkaitan dengan jenis komponen kimia yang terkandung didalamnya. Kandungan senyawa terpen teroksigenisasi seperti α-terpineol dam terpinen-4-ol banyak terkandung dalam minyak atsiri pala.Senyawa terpen teroksigenisasi lebih mudah larut dalam alkohol dibanding terpen, sehingga semakin tinggi kandungan terpen maka semakin rendah daya larutnya[9]
Telah dilakukan beberapa analisis kandungan senyawa dalam minyak atsiri pala salah satunya dengan pendekatan metabolomik. Analisis dilakukan pada minyak atsiri pala yang berasal dari daging buah menggunakan instrumen Gas chromatography–mass spectrometry (GC-MS) oleh Sipahelut dan Telussa pada tahun 2011. Didapati adanya 21 senyawa yang teridentifikasi diantaranya sebagai berikut[10].
α-thujene
α-pinene
Camphene
β-pinene
β-myrcene
α-phellandrene
Linalool
α-terpineol
Safrole
Myristicin
Mutu dan rendemen minyak atsiri dapat ditentukan distilasi atau penyulingannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, myristicin merupakan senyawa khas dan menjadi karakteristik utama dalam minyak atsiri pala dengan titik didih 276,5oC, paling tinggi diantara senyawa lainnya. Peningkatan mutu minyak atsiri dapat memanfaatkan pendekatan metabolomik, contohnya dengan membandingkan kadar myristicin juga senyawa lainnya pada berbagai metode distilasi seperti distilasi air dan air-uap. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sipahelut dan Telussa pada tahun 2011, metode penyulingan minyak atsiri pala dengan distilasi air menghasilkan lebih banyak myristicin yang terekstraksi karena bahan dasar mengalami kontak langsung dengan air mendidih sehingga senyawa lebih mudah keluar dari jaringan bahan. Maka dari itu, mutu minyak atsiri pala dapat dimaksimalkan salah satunya dengan peningkatan kadar myristicin terkekstraksi menggunakan distilasi air.[9]
Referensi
^ abc"Budidaya Tanaman Pala". Gen Agraris. 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-25. Diakses tanggal 4 April 2019 pukul 20.45 WIB..Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan)
^Jaiswal P, Kumar P, Singh VK, Singh DK. (2009). Biological effects of Myristica fragrans. Annu Rev Biomed Sci. 11:21–29.
^Nurfitriana, Siti. (2013). Pala: si Kecil Kaya Manfaat (online). https://www.kompasiana.com/sitinurfitriana/551b96d8813311263d9de176/pala-si-kecil-kaya-manfaat diakses pada 4 April 2019 pukul 22.01 WIB.
^Bustaman, S. (2008). Prospek Pengembangan Minyak Pala Banda Sebagai Komoditas Ekspor Maluku. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3): 93 – 98.
^Sudjarmoko, B. (2010). Kelayakan Pengusahaan Pala di Jawa Barat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri- Buletin RISTRI. 1(5). 217-226.
^ abMancha A., & Fuentes J., 2008. Evaluation of the health beneficial properties of the aromatic ether Myristicin, a volatile oil derived from various plants sources. The University of Texas-Pan American 1201 W. University Drive Edinburg, Texas 78539. www.agonline.tamu.edu/Myristicin_Nov9_330PM.ppt - Amerika Serikat, diakses pada 27 Februari 2009.
^ abSipahelut, Sophia & Telussa, Ivonne. (2011). Karakteristik Minyak Atsiri Dari Daging Buah Pala Melalui Beberapa Teknologi Proses. Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 4(2): 134.