Kepala Jungai adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.[1][2]
Dari kota kabupaten, perlu waktu minimal dua kali duapuluh empat jam menuju tempat ini. Belum ada jalan darat, yang ada hanya menyusuri sungai. Belum ada listrik yang dialirkan, yang ada hanya usaha untuk menyediakan sendiri penerangan sesuai kemampuan. Belum ada jaringan untuk komunikasi, yang ada hanya titip pesan lewat orang yang hilir mudik atau kalau yang bisa menulis atau mau menulis menyampaikan pesan melalui surat. Anda bisa membayangkan bagaimana orang membawa barang-barang yang dibutuhkan melalui Sungai Melawi yang pasang surut tak menentu itu.
Perjuangan menuju ke tempat yang tidak mudah didatangi ini tidak berhenti pada pelabuhan di mana perahu-perahu yang dibawa bisa menepi di waktu sore atau malam hari. Perlu waktu sekitar satu jam untuk sampai di Jungai dan lebih miris lagi ke Jengkarang memerlukan waktu sekitar tiga sampai empat jam lagi dengan perahu yang berbeda. Tampak aneh, tapi nyata. Sebab untuk ukuran manusia biasa, belum ada yang berani melewati megariam Tambuk. Bebatuan seperti disusun memagari setiap arus di megariam itu. Tidak ada yang luput dari empasan dan terjangan air yang berjatuhan dari bebatuan. Alam hanya membolehkan orang-orang yang tinggal di hulu megariam itu singgah di buntutnya yang diberi nama Buntut Tambuk.
Anda bisa menghitung risiko dari perjuangan yang membuntuti menuju pelosok ini. Tidak heran jika masyarakat harus membeli barang yang diperlukan dengan harga mahal. Bagaimana tidak, para pedagang pasti akan rugi jika biaya angkutan yang besar tidak dihitung. Dari pelabuhan menuju desa Jungai saja telah disepakati Rp1000 per kilogram. Anda bisa menghitung harga gula per kilo, harga semen per sak dan harga kebutuhan pokok yang lainnya dengan perhitungan ekonomi yang normal.
Tingginya kebutuhan yang diperlukan tidak sebanding dengan pendapatan masyarakat. Di pelosok ini, lapangan pekerjaan ada di hutan rimba. Kami berladang. Kami pergi ke hutan rimba mencari remah-remah kekayaan alam yang masih tersisa dengan segala risiko yang membuntutinya. Judulnya ‘kami mencari gaharu’, tetapi apapun yang dilihat berharga di alam rimba itu kami bawa meski tidak seberapa, sebab gaharu yang kami cari sedang bersembunyi.
Kami di pelosok ini tidak beruang bukan berarti tidak bekerja. Kami bekerja. Kami menunjukkan eksistensi kami sebagai makhluk pekerja. Tapi Anda harus tahu kami tidak ada jalan. Tidak berlaku bagi kami “di mana ada kemauan di situ ada jalan”. Sebab kami punya kemauan bahkan besar kemauan tetapi tidak ada jalan.
Referensi