Kali Baru Timur adalah sungai yang mengalir di wilayah Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan menjadi bagian dari dari Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai CiliwungCisadane.[1] Merupakan sebuah saluran irigasi berupa sungai buatan yang dibangun bersamaan dengan pintu air Katulampa untuk mengalirkan sebagian air sungai Ciliwung dari Bogor bagian timur ke Jakarta, di sepanjang sisi Jalan Raya Bogor, melalui Cimanggis, Depok, Cilangkap, sampai bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Jakarta Utara.[2][3] Sungai ini adalah satu dari dua saluran yang digali dari hulu sungai Ciliwung di Katulampa dan Kali Cisadane, pada abad ke-18, atas perintah Gubernur Jenderal VOCGustaaf Willem van Imhoff yang merancang kanal itu sebagai jalur pengangkutan hasil panen dari pedalaman Bogor menuju Batavia, di mana jejak proyek transportasi air itu masih tersisa, yakni Kali Baru Barat dan Kali Baru Timur. Meskipun Kali Baru Barat dan Kali Baru Timur adalah sungai buatan atau tidak alami, kedua saluran ini menjadi bagian dari 13 sungai yang mengalir melintasi Ibu Kota.[4]
Etimologi
Kalibaru adalah sebuah kawasan yang dulunya memiliki koneksi dengan aktivitas para nelayan di Pelabuhan Tanjung Priok. Pada era 1960-an, daerah tersebut sebagai pelabuhan ikan yang merupakan pindahan dari pelabuhan ikan Kali Kresek Lahoa yang ditutup pada 1967. Di pelabuhan itu dilakukan pendaratan, pelelangan, bongkar muat ikan dan pemasaran ikan. Daerah itu terdiri dari dua wilayah yaitu Kalibaru Timur dan Kalibaru Barat.[5]
Pada masa kejayaan jaring pukat harimau (trawl), pelabuhan itu tergolong ramai aktivitasnya, karena lokasinya berdekatan dengan pelabuhan kayu, juga terkait proyek pengembangan pelabuhan Tanjung Priok. Berdasarkan SK Gubernur DKI No.268/1977 tertanggal 8 Mei 1977, aktivitas pelabuhan itu bagi kapal ikan trawl ditutup. Sementara itu, untuk jenis perahu nelayan yang secara bertahap seluruhnya dipindahkan ke Muara Angke, serta aktivitas pelabuhan ikan Kalibaru berakhir pada 1988. Perkembangan selanjutnya, Kali Baru merupakan pelabuhan yang menyediakan prasaran khusus untuk bongkar muat kayu di Jakarta, yang keberadaannya di bawah manajemen Ditjen, Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan. Jadi, nama Kalibaru berasal dari nama pelabuhan ikan tempo dulu.[6]
Sejarah
Pada tahun 1739, pemerintah kolonial Belanda atas perintah Gubernur Jenderal Van Imhoff membuat Oosterslokkan ("Selokan Timur") yang berfungsi untuk irigasi dan pengangkutan barang dari pedalaman. Saluran dibuka tahun 1739 dan selesai 14 tahun kemudian, yakni pada 1753. Upaya memanfaatkan selokan timur sebagai sarana pengangkutan barang gagal karena memerlukan banyak pintu air untuk membendung. Selokan timur juga gagal digunakan sebagai kanal pelayaran karena ada kebocoran yang sulit diatasi. Akhirnya, selokan itu difokuskan untuk irigasi pertanian saja.[7]
Selokan timur memiliki tiga pintu air untuk mengairi sawah di daerah hulu di Ratim, Cibalok, dan Cibanon. Pasokan air di selokan itu juga ditambah dengan pembuatan bendung Katulampa di Buitenzorg (Bogor) tahun 1749. Selokan itu juga mengairi sawah seluas 9.075 hektar di tanah-tanah partikelir di sebelah timur Ciliwung.[7]
Tahun 1753, Oosterslokkan diperpanjang sampai ke kanal timur di Weltevreden (Lapangan Banteng), bergabung dengan kanal prapatan lalu dikenal dengan nama Kali Baru. Selokan timur beberapa kali rusak dan membutuhkan biaya besar untuk perbaikan. Lalu tahun 1776, Van Imhoff mengusulkan untuk menggali sebuah kanal lagi dari aliran Kali Cisadane untuk dialirkan ke Kali Ciliwung. Kanal ini kemudian dikenal dengan Westerslokkan atau "Selokan Barat", disebut Kali Baru Barat saat ini.[4][7] Jika selokan timur digali dari Katulampa sampai Meester (Jatinegara) dan mendapat pasokan air tambahan dari Kali Cikeas dan dialirkan hingga ke Kali Sunter, maka Westerslokkan atau "Selokan Barat" mengalir dari Kali Cisadane, melewati Kali Cipakancilan, masuk ke selokan barat (Kali Baru Barat), Matraman (Kali Minangkabau), dan masuk ke Kanal Banjir Barat.[8]
Hasil panen sawah yang dialiri Kali Baru Barat dan Timur sangat bagus. Di distrik Kebayoran, hasil sawah rata-rata 31 pikul per bahu (setara 0,7 hektar). Di Cilebut, Citayam, Depok, Pondok Cina, Tanjung Barat, dan Pondok Labu hasil padi per bahu antara 15 pikul dan 35 pikul. Sementara di daerah yang dialiri Kali Baru Timur di Cibinong, Tapos, Cilangkap, Cimanggis, Cilodong, Tanjung Timur, Kampung Makasar, Cililitan, Cawang, Kemayoran, Gedong Rubuh, dan Kelapa Gading, hasil padi berkisar antara 15 pikul dan 30 pikul per bahu.[4]
Tercatat sejak tahun 1960-an, Kali Baru Timur berkontribusi pada banjir di Jakarta bagian timur yang meliputi wilayah Sungai Sentiong Tanah Tinggi, Sumur Batu, Senen, Kali Baru Timur, dan Percetakan Negara.[7]
Tahun 1970-an, air jernih mengalir di Kali Baru Timur atau selokan timur (Oosterslokkan) dan batu-batu cadas putih terlihat di dasar kali karena aliran air yang bening. Sisi kiri dan kanan kali dipagari tanaman kecapi, jamblang, asam jawa, dan kenanga. Ikan gabus, tawes, lele, mas, dan udang air tawar hidup sehat di aliran kali yang mengalir di pinggir Jalan Raya Bogor itu. Anak-anak senang berenang di kali dan bermain seluncur dari Pondok Gede sampai ke pintu air (Kampung Gedong).[4] Air Kali Baru Timur pun menjadi berkah bagi masyarakat yang dilintasi. Bagi warga Gedong, selain untuk mengairi sawah, air digunakan untuk mandi, mencuci baju, bahkan untuk air minum. Karena posisi kali cukup dalam, warga membuat tangga berundak dari bambu.[4]
Suasana asri itu lalu berubah drastis pada 1975. Pabrik-pabrik mulai menyerbu kawasan di sepanjang Jalan Raya Bogor itu. Pabrik menyerap banyak karyawan dari kampung-kampung di Jawa. Laju urbanisasi pun tak terbendung. Sawah-sawah mulai beralih fungsi menjadi permukiman warga. Air kali lalu semakin keruh dan menghitam. Pabrik membuang limbah di kali. Warga mengotori aliran kali dengan pipa pembuangan kotoran dan limbah air. Kini, Kali Baru Timur menjadi selokan pembuangan dengan air berwarna coklat hingga kehitaman.[4]
Pada tahun 1990, air Kali Baru Timur masih mengairi areal persawahan yang terletak antara Bogor dan Jakarta seluas 2.414 hektare, tetapi pada tahun 2009 di Bogor dan Cibinong hanya tersisa 72 hektare, sedangkan di Jakarta sudah tidak ada lagi.[2]
Penamaan
Warga yang bermukim di kanan kiri saluran di daerah perbatasan DKI Jakarta dan Kota Depok, sampai daerah Cijantung, Cililitan, Cawang, bahkan Cipinang, umumnya mengenal dan menyebut saluran ini sebagai Kali Baru Timur.[4] Namun, sampai di daerah Matraman atau Pramuka, warga menyebutnya dengan nama beragam. Warga di Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, misalnya, ada yang menyebutnya Kali Paseban, Kali Bluntas, Kali Sentiong, atau Kali Murtado. Nama-nama itu mengacu pada nama kampung atau jalan di sekitar saluran. Warga pun tak banyak mengenal tentang sejarah dan fungsi kali tersebut.[4] Warga Kelurahan Senen, Jakarta Pusat, kebanyakan sama sekali tidak mengenal Kali Baru Timur, dan umumnya menyebut sebagai Kali Sentiong. Di kawasan ini, aliran Kali Baru Timur memang akan bertemu dengan Kali Sentiong sebelum masuk ke Kali Sunter.[4]
Hidrologi
Kali Baru Timur termasuk ke dalam Sistem Aliran Wilayah Timur DKI Jakarta, bersama Kali Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat dan Cakung, yang mempunyai debit masuk di hulu sebesar 139 m3/sec dan di hilir sebesar 237 m3/sec, serta debit keluar di hulu sebesar 39 m3/sec dan di hilir sebesar 40 m3/sec, meliputi lebih kurang 21 anak sungai.[9][10]
Diamati pada tahun 2016 bahwa di sepanjang Pasar Rebo, Jakarta Timur, kondisi Kali Baru Timur masih asri dengan turap alami dan beronjong batu kali. Ada jalan inspeksi di sepanjang kali. Tebing kali juga banyak ditanami pohon-pohon hijau. Di sepanjang kali berjajar toko-toko, kios, bengkel, pasar, mal, dan rumah makan. Sampai di Cililitan, aliran kali menyempit, bahkan mengalir di bawah salah satu pusat perbelanjaan di Cililitan. Aliran seolah terputus karena tersembunyi di bawah bangunan Pusat Grosir Cililitan. Di permukiman di belakang pusat perbelanjaan ini, kali "muncul" lagi, seolah bersumber dari tembok mal.[4]
Selain di pusat perbelanjaan itu, aliran Kali Baru Timur tersembunyi di bawah simpang susun Cawang, Jakarta Timur. Lebar saluran menyempit selepas tempat penyaringan sampah di sisi selatan simpang Cawang, melalui kolong, dan keluar di sisi utara menuju daerah Cipinang, lalu ke Matraman, Salemba, Johar Baru, hingga ke Kemayoran. Di Kemayoran, Kali Baru Timur bertemu dengan Kali Sentiong, lalu mengalir ke utara dan bertemu dengan Kali Ancol sebelum lepas ke Laut Jawa.[4]
Geografi
Sungai ini mengalir di wilayah barat laut pulau Jawa yang beriklim hutan hujan tropis (kode: Af menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[11] Suhu rata-rata setahun sekitar 27 °C. Bulan terpanas adalah Maret, dengan suhu rata-rata 30 °C, and terdingin Mei, sekitar 26 °C.[12] Curah hujan rata-rata tahunan adalah 3674 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Desember, dengan rata-rata 456 mm, dan yang terendah September, rata-rata 87 mm.[13]
Normalisasi
Kali Baru Timur merupakan salah satu sungai yang berpotensi membuat banjir di Jakarta,[14] karena kerap tersumbat tumpukan sampah.[15] Tim penyelam Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) yang sehari-hari bertugas di Dinas Penyelamatan Bawah Air (Dislambair) Koarmabar pernah diterjunkan ke lokasi penyumbatan gorong-gorong untuk membuka penyumbatan Sungai Kali Baru Timur, Cawang penyebab banjir di wilayah tersebut pada bulan Mei 2010.[15] Para penyelam Koarmabar dapat melakukan pembersihan secara bertahap masuk kedalam gorong-gorong dan telah berhasil menembus sepanjang 70 Meter dari 180 meter panjang gorong-gorong yang tersumbat oleh penumpukan sampah berbagai jenis yang menutup aliran air sungai tersebut dengan kondisi air yang sangat keruh dan pekat akibat pencemaran.[15] Kegiatan penyelaman itu terpusat pada gorong-gorong yang menjadi tempat saluran air sungai dari Katulampa Bogor menuju ke pintu 11 kemudian terbagi menuju hilir ke Kali Sentiong dan Ciliwung.[15]
^BBWS Ciliwung Cisadane. Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung Cisadane (PBPS CC). Archived in Konservasi DAS Ciliwung - April 2012.
^ abKarim, Mulyawan (ed.). Ekspedisi Ciliwung: laporan jurnalistik Kompas: mata air, air mata. Publisher: Penerbit Buku Kompas, 2009. ISBN 9797094243, 9789797094249. 280 pages. Journalistic reportage of an expedition along Ciliwung River, Jawa Barat, Indonesia.
^ abcdGunawan, Restu. Gagalnya sistem kanal: pengendalian banjir Jakarta dari masa ke masa. Penerbit Buku Kompas, 2010. ISBN 9797094839, 9789797094836. 398 pages. p. 158.
^Adolf Heuken SJ. Atlas Sejarah Jakarta.Yayasan Cipta Loka Caraka, 2014.
^DPUD DKI Jakarta. Potensi Debit Air Baku Pada Wilayah Sungai DKI Jakarta. 2003.