Kali Cakung terkait erat dengan Kali Jatikramat dan Kali Buaran. Ketiganya berkelok-kelok datang dari Bekasi dan saling terhubung hingga muara di Teluk Jakarta di kawasan Marunda melalui Cakung Drain. Kelok ini membuat sebagian warga Betawi yang bermukim di tepian Kali Cakung meyakini alur sungai dibuat oleh ular. Dulu, ketiga sungai itu sumber air untuk persawahan, bahkan bisa diminum. Sisa-sisa sawah terlihat di Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, dan di Kecamatan Cakung.[7]
Ketika Saluran Irigasi Tarum Barat atau yang lebih dikenal dengan nama Kali Malang dibangun sejak tahun 1966, hanya Kali Cakung yang tak dilalui saluran pengalir air baku air minum dari Waduk Jatiluhur itu.[8]
Pada tahun 1990, mulai banyak pendatang bermukim di Pulogebang, sehingga areal sawah berubah menjadi tempat tinggal. Sejak itu, Kali Cakung kerap meluap di musim hujan dan menyebabkan banjir tinggi.[7] Penelitian evolusi lahan di DKI Jakarta oleh Pieter J Kunu dan H Lelolterry, dosen pertanian Universitas Pattimura, Ambon, menunjukkan bahwa hal ini disebabkan karena pembangunan kota yang membuat 85 persen lahan di Jakarta kedap air, sehingga air permukaan tak lagi dapat diserap tanah dan akibatnya terjadi banjir. Jalan keluarnya ialah menambah badan air buatan untuk menampung air permukaan, yaitu Banjir Kanal Timur yang selesai dibangun pada tahun 2010.[7] Kanal ini memotong Kali Cakung, Buaran, Jati Kramat, Sunter, dan Cipinang, merupakan upaya teknologi mengatasi banjir, memberikan ruang bagi air di timur dan utara Jakarta. Sejak terpotong kanal, aliran air kelima sungai yang datang dari hulu kini bermuara di Kanal Timur. Sementara alur kelima sungai setelah terpotong kanal digunakan sebagai drainase pembuangan dari saluran-saluran permukiman dan industri. Dengan adanya Kanal Timur, ada banyak permukiman terselamatkan dari banjir.[7] Sebelum kanal itu ada, setiap musim hujan Kali Cakung meluap dan merendam rumah-rumah penduduk sampai hampir 1 meter.[8]
Setelah alur lama Kali Cakung di Pulogebang terpotong oleh Kanal Timur, dalam peta lama tergambar alur sungai kecil yang diidentifikasi sebagai Kali Cakung. Namun, di lapangan, alur sungai itu tak mudah ditemukan, karena hanya tersisa saluran air selebar sekitar 1 meter yang lebih menyerupai selokan, sekitar 300 meter dari bibir Kanal Timur. Alur Kali Cakung baru kembali melebar setelah beberapa ratus meter ke utara, seperti dijumpai di Jalan Rawa Kuning, Kelurahan Ujung Menteng, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, hingga mencapai lebar 3 meter.[8]
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Teuku Iskandar, seluruh alur lama sungai-sungai yang terpotong Kanal Timur itu kini berfungsi sebagai drainase. Karena berfungsi sebagai drainase, alur lama Kali Cakung hanya berisi air berwarna hitam karena seluruh airnya datang dari limbah rumah tangga dan industri. Tak hanya hitam, airnya juga berbau tak sedap.[8][9]
Hidrologi
Kali Cakung di Jakarta panjangnya 39,59 kilometer (24,60 mi), dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) seluas 154,78 km².[10] Curah hujan harian rata-rata sebesar 142 mm, dan debit puncak 60 m³.[10]
Geografi
Sungai ini mengalir di wilayah barat laut pulau Jawa yang beriklim hutan hujan tropis (kode: Af menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[11] Suhu rata-rata setahun sekitar 26 °C. Bulan terpanas adalah Agustus, dengan suhu rata-rata 28 °C, and terdingin April, sekitar 24 °C.[12] Curah hujan rata-rata tahunan adalah 3674 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Desember, dengan rata-rata 456 mm, dan yang terendah September, rata-rata 87 mm.[13]
Normalisasi
Guna mengantisipasi banjir tahun 2017, Suku Dinas Sumber Daya Air (Sudin SDA) Jakarta Utara melebarkan Kali Cakung Lama yang berada di Kelurahan Pegangsaan Dua, Kecamatan Kelapa Gading dan Kelurahan Sukapura, serta Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing sepanjang 1,5 km. Pengerukan ini dilakukan karena saat ini kondisi kali penuh dengan lumpur dan juga sudah menyempit.[14]