Ilmu kalam (bahasa Arab: عِلْم الكَلام, translit. ʿIlm al-kalām, har.'ilmu wacana'),[1] terkadang disebut "teologi skolastik" atau "teologi spekulatif", secara umum, adalah studi penggunaan pendekatan filsafat dalam menjelaskan akidah Islam.[2] Ilmu ini lahir dari kebutuhan untuk menegakkan dan mempertahankan prinsip-prinsip iman terhadap keraguan filsafat.[3][4] Namun, ilmu ini semakin dipertanyakan oleh para ulama yang berupaya menunjukkan bahwa kalam sebenarnya adalah demonstrativa, bukan dialektika, dan selalu kreatif secara intelektual.[5] Perlu dicatat bahwa definisi Ilmu Kalam telah berubah tergantung pada waktu dan konteks serta oleh siapa digunakan. [3]
Kata bahasa ArabKalām berarti "ucapan" atau "perkataan". Ada banyak dugaan mengapa disiplin ini awalnya disebut demikian; salah satu kontroversi terbesar dalam disiplin ini, pada abad kedua dan ketiga Hijrah, adalah mengenai apakah Al-Qur'an, sebagai Firman Allah, merupakan sifat abadi Tuhan dan oleh karena itu tidak diciptakan, atau diciptakan dalam wujud tulisan dan bunyi.[3][6] Seorang ulama dalam bidang ini disebut sebagai mutakallim (jamak: mutakallimūn), dan peran ini dibedakan dari peran para filsuf, fakih, dan ulama ushulfikih.[7]
Asal usul
Semenjak berdirinya Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M), ilmu kalam muncul sebagai "upaya untuk mengatasi" banyak "persoalan rumit" di awal sejarah Islam, menurut sejarawan Majid Fakhry.[8] Salah satunya adalah bagaimana membantah argumen-argumen yang “ditujukan pada Islam oleh orang-orang kafir, Nasrani, dan Yahudi”.[8] Hal lainnya adalah bagaimana menghadapi (apa yang oleh sebagian orang dianggap sebagai konflik antara) takdir orang-orang berdosa di Neraka di satu sisi dan "keadilan ilahi" di sisi lain. Ilmu kalam juga berusaha melakukan "upaya mengharmoniskan konflik penafsiran wahyu ilahi Al-Qur'an dan Hadis".[8]
Ahli Kalam
Pada awal Islam, Ahlul-Kalām (ahli kalam) dahulu merujuk kepada Muktazilah, beserta mazhab kecil lainnya. Sejarawan Daniel W. Brown menggambarkan ahli kalam sebagai salah satu dari tiga kelompok penting yang terlibat dalam perselisihan polemik mengenai sumber hukum Islam selama abad kedua Islam—dengan Ahlur-Ra'yi dan Ahlul-Hadits adalah dua kelompok lainnya. Ahlul-Kalām setuju dengan Ahlul-Hadits bahwa teladan nabi IslamMuhammad adalah otoritatif, tetapi mereka tidak meyakininya sebagai wahyu ilahi, sebuah status yang hanya dimiliki oleh Al-Quran (menurut pandangan mereka).[9] Mereka juga menolak otoritas hadis dengan alasan bahwa kumpulan hadis itu "penuh dengan riwayat yang kontradiktif dan tidak masuk akal", dan bahwa dalam sebuah fikih, keraguan sekecil apa pun terhadap suatu sumber sudah terlalu berlebihan.[10] Dengan demikian, mereka meyakini apa yang diwariskan Muhammad dapat ditemukan di suatu tempat, yaitu dalam sunnah yang terpisah dari hadis. Ahlul-Hadits lebih unggul daripada Ahlul-Kalām (dan umat Islam, atau setidaknya umat Islam arus utama, kini mengakui otoritas hadis), dan sebagian besar argumen mereka berasal dari tulisan-tulisan lawan mereka, seperti Imam Syafi'i.[10] Brown juga menggambarkan Muktazilah sebagai "ahlul-Kalām yang belakangan", yang menunjukkan bahwa ahl al-Kalām adalah cikal bakal kaum Muktazilah.[11]
Mazhab Kalam selanjutnya, seperti Kullabiyah, Asy'ariyah, dan Matuiridiyah, mengembangkan sistem yang akan mempertahankan inti keyakinan Islam sepenuhnya atas dasar rasional, dan terbuka untuk ikut memahami filsafat selain berpegang pada Al-Qur'an dan hadis.[6] Hal ini berbeda dengan kaum Muktazilah, yang kalamnya lebih mengedepankan akal, sehingga Al-Qur’an dan hadis hanya diterima jika sejalan dengan penafsiran rasionalisme mereka.[12]Mazhab Hambali dan pengikut Ahmad bin Hanbal kebanyakan menghindari kalam dan wacana filsafat, memandangnya sebagai perkara baru, dan hanya membahasnya jika diperlukan.[13]
Meskipun menuntut ilmu dipandang wajib bagi setiap umat Muslim, kajian kalam dianggap oleh para ulama bukanlah sesuatu yang betul-betul diperlukan dan hanya dikuasai oleh ulama yang berkualifikasi, sehingga sedikit masyarakat umum yang berminat padanya.[14]
Ulama salaf seperti asy-Syafi'i berpendapat bahwa perlu ada sejumlah orang yang dilatih ilmu kalam untuk membela dan menyucikan iman, tetapi bisa berubah menjadi kejahatan jika pendapat mereka diketahui oleh banyak orang.[13]
Senada dengan itu, al-Ghazali berpandangan bahwa ilmu kalam bukanlah tugas pribadi umat Islam melainkan tugas kolektif. Seperti halnya asy-Syafi'i, al-Ghazali melarang masyarakat untuk mempelajarinya dan hanya orang-orang yang paling mampu yang dapat melakukannya.[14]
Meskipun ilmu kalam mendominasi tradisi intelektual dalam Islam, beberapa ulama mengkritik penggunaannya. Misalnya, ulama Sufi mazhab Hambali, Khwaja Abdullah Ansari menulis sebuah kritik penggunaan kalam dalam risalah berjudul Dzamm al-Kalam, sedangkan ulama hadis Syafi'i Al-Baihaqi menyetujuinya dalam pemahaman yang benar.[12]
^ abJeffry R. Halverson, Theology and Creed in Sunni Islam, 2010: p 37. ISBN0230106587
^ abBlack Macdonald, Duncan (2008). Development of Muslim Theology, Jurisprudence, and Constitutional Theory, Chapter=III. The Lawbook Exchange, Ltd. hlm. 187. ISBN978-1584778585.
^ abBennett, Clinton (2012). The Bloomsbury Companion to Islamic Studies. Bloomsbury Academic. hlm. 119. ISBN978-1441127884.