Produksi kelapa sawit merupakan bagian penting dari ekonomi Indonesia karena negara ini merupakan produsen dan konsumen sawit terbesar di dunia. Indonesia memasok kurang lebih separuh pasokan sawit dunia.[1] Luas kebun sawit di Indonesia mencapai 6 juta hektar (dua kali luas negara Belgia). Pada tahun 2015, Indonesia berencana membangun 4 juta hektar kebun untuk produksi bahan bakar bio yang bersumber dari minyak sawit.[2] Per 2012, Indonesia memproduksi 35 persen minyak sawit berkelanjutan tersertifikasi (CSPO) dunia.[3]
Selain memenuhi kebutuhan pasar, Indonesia juga mulai merintis produksi biodiesel. Tiongkok dan India adalah pengimpor minyak sawit terbesar di dunia. Sepertiga minyak sawit dunia diimpor oleh dua negara tersebut.
Sejarah perkebunan
Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Aceh.Tepatnya di daerah Pulu Raja ( Sumatera Utara) dan di Sungai Liput (Aceh) Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[4]
Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.
Produksi
Sejak 1964, produksi minyak sawit di Indonesia naik drastis dari 157.000 ton menjadi 33,5 juta ton pada tahun 2014.[5] Minyak sawit mencakup 11% ekspor Indonesia dengan nilai $5,7 miliar. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memperkirakan ekspornya naik menjadi 40 juta ton pada tahun 2020. Jumlah produksi minyak sawit global menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencapai 50 juta ton pada tahun 2012, dua kali lipat jumlah produksi tahun 2002.[6] Kenaikan jumlah tersebut sesuai dengan kenaikan produksi minyak sawit Indonesia pada periode waktu yang sama, dari 10,3 juta ton tahun 2012 menjadi 28,5 juta ton tahun 2012.[5]
Produksi minyak sawit bergantung pada hutan hujan Indonesia yang luasnya terbesar ketiga di dunia setelah Amazon dan Kongo. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, sepertiga produksi sawit dipegang oleh petani kecil dan sisanya oleh perusahaan multinasional. Pohon kelapa sawit yang ditanam 25 tahun yang lalu memiliki tingkat produksi rata-rata empat ton minyak per hektar per tahun. Sejumlah produsen berencana menaikkan jumlah tersebut dengan memperkenalkan varietas kelapa sawit baru yang mampu melipatgandakan tingkat produksi per hektar.[6]
Kalimantan dan Sumatra adalah dua pulau yang memasok 96 persen produksi minyak sawit Indonesia.[7] Per 2011, luas kebun sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar, 6,1 juta hektar di antaranya merupakan kebun produktif. Karena itu, Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Menurut Bank Dunia, hampir 50% CPO yang diproduksi di negara ini diekspor dalam bentuk mentah, sedangkan sisanya diproses menjadi minyak makan. 50% produk minyak makan diekspor dan sisanya didistribusikan ke seluruh Indonesia.[8]
Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia yang mampu memasok setengah dari kebutuhan kelapa sawit dunia. Kelapa sawit yang dibudidayakan di Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu E. guineensis dan E. oleifera. Menurut data Kementerian Pertanian, jumlah tenaga kerja dan petani yang bekerja dalam perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan mencapai 5,99 juta pada tahun 2017. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 200.000 orang dibandingkan dengan tahun 2016. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indoensia, luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2013 hingga 2017 mengalami kenaikan, kecuali pada tahun 2016. Pada tahun 2016, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan sekitar 0,52 persen dibandingkan tahun 2015 menjadi 11,20 juta ha. Sedangkan pada tahun 2017, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan sebesar 9,8 persen dari tahun 2016 menjadi 12,30 juta ha dengan sebagian besar dikelola oleh PTPN. Hampir 70% perkebunan kelapa sawit erletak di Sumatra, dan sisanya tersebar di Aceh, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.. Perkebunan kelapa sawit tidak umum ditemukan di daerah Pulau Jawa karena karakteristik tanah dan iklim yang kurang mendukung pertumbuhan kelapa sawit. Di Jawa, perkebunan kelapa sawit dapat ditemui di daerah Jawa Barat dan Bnten. Perkebunan ini sebagian besar berasal dari peralihan perkebunan teh atau karet. Produksi minyak kelapa sawit berupa crude palm oil atau CPO terus mengalami peningkatan pada tahun 2013 hingga 2017. Pada tahun 2017, diperkirakan jumlah produksi CPO meningkat sebesar 9,46 perse menjadi 34,47 juta ton.[9]
Di Indonesia, kelapa sawit tersebar di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua
Kegunaan
MInyak sawit merupakan bahan dasar berbagai produk konsumsi, mulai dari cokelat, permen karet, lipstik, deterjen,[6] donat, sabun, hingga biodiesel.[7] Minyak sawit di Asia dimanfaatkan sebagai bahan dasar minyak makan dan mi sehingga melahirkan industri senilai $44 miliar. Sepertiga produksi minyak sawit dunia diekspor ke Tiongkok dan India.[7]
Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.[10]
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika.
Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.
Selain manfaat utama minyak sawit sebagai minyak makan, minyak sawit juga dapat digunakan sebagai pengganti lemak susu dalam pembuatan susu kental manis dan tepung susu skim [11]
Perusahaan
Perusahaan-perusahaan lokal dan global membangun pabrik penggilingan dan penyulingan, termasuk PT Astra Agro Lestari Tbk (penyulingan biodiesel berkapasitas 150.000 ton per tahun), PT Bakrie Group (pabrik biodiesel dan perkebunan baru), Surya Dumai Group (penyulingan biodiesel).[12]
Cargill (kadang beroperasi lewat CTP Holdings asal Singapura) membangun penyulingan dan penggilingan baru di Malaysia dan Indonesia, memperluas kapasitas penyulingannya di Rotterdam hingga 300.000 ton per tahun, serta mengambil alih perkebunan di Sumatra, Kalimantan, dan Papua Nugini.[butuh rujukan]
Wilmar International Limited memiliki perkebunan dan 25 penyulingan di seluruh Indonesia untuk memasok penyulingan biodiesel baru di Singapura, Riau, dan Rotterdam.[12]
Musim Mas Group memiliki perkebunan dan penyulingan di Malaysia dan Indonesia (Kalimantan, Medan, dan lain-lain). Perusahaan ini berkantor pusat di Singapura.
Marihat Research Station (MRS) di Pematang Siantar dikenal sebagai pusat penelitian perkebunan minyak sawit pertama di Indonesia. Salah satu ahli tanah yang pernah bertugas di MRS adalah Ir. Petrus Purba. Ia pernah bekerja di RISPA yang berkantor pusat di Medan.
Pada Agustus 2011, gubernur Aceh menerbitkan izin pemanfaatan 1.600 hektar hutan Tripa kepada perusahaan minyak sawit Kallista Alam .[13] Produsen minyak sawit Triputra Agro Persada kabarnya menambah luas kebunnya hingga dua per tiganya pada tahun 2015.[14]
Standardisasi
Produk utama dari kelapa sawit adalah minyak berupa crude palm oil (CPO) dan palm kernel oil (PKO). Kedua jenis minyak ini memiliki perbedaan sumber yaitu CPO berasal dari sabut kelapa sawit sedangkan PKO berasal dari biji atau kernel kelapa sawit. Standar kualitas minyak kelapa sawit ditentukan oleh beberapa faktor antara lain kandungan air dan kotoran, kandungan asam lemak bebas, warna bilangan peroksida. Penentuan kualitas ini mengacu pada beberapa standar seperti SNI, CODEX STAN, dan PORAM. Berdasarkan SNI 01-2901-2006, minyak kelapa sawit yang memenuhi standar memiliki warna kuning jingga hingga kemerahan, kandungan asam lemak bebas sebesar 5% b/b satuan, kadar kotoran sebesar 0,25% dan kadar air sebesar 0,25%.. Komponen karoten pada minyak kelapa sawit yang baik menurut CODEX STAN adalah 500 ppm. Sedangkan parameter DOBI menurut PORAM adalah sebesar 2,3 satuan. Produk olahan lebih lanjut yang dapat dihasilkan dari minyak kelapa sawit antara lain adalah cokelat, lipstik, margarin, detergen, sabun, dan biodiesel.[15][16][17]
Ancaman lingkungan terbesar yang dihadapi dunia akibat produksi minyak sawit adalah pembalakan hutan hujan (sumber minyak sawit) di Indonesia dan Malaysia. Deforestasi memakan sedikitnya 8 juta hektar hutan di Indonesia.[8] Deforestasi juga mengancam habitat spesies terancam seperti gajah pigmi Kalimantan, gajah Sumatra, harimau Sumatra, badak Sumatra, dan dua spesies orangutan yang hidup di hutan Kalimantan dan Sumatra. Pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk pekerja anak dan sistem rentenir juga terjadi di perkebunan Kalimantan dan Sumatra.[7] Menurut Greenpeace, produksi minyak sawit mengakibatkan deforestasi 25% hutan di Indonesia pada tahun 2009 sampai 2011.[6]
Di Kalimantan, deforestasi untuk pengembangna kebun kelapa sawit mengancam permukiman suku pribumi dan habitat orangutan.[18][19]
Kebijakan
Moratorium pembukaan hutan diberlakukan oleh pemerintah Indonesia mulai tahun 2011 sampai 2015. Hampir 80% pembukaan hutan di Indonesia tergolong sebagai pembalakan liar.[20]
Dewan Minyak Sawit Indonesia berencana menggunakan material kebun baru di kebun lama yang mampu melipatgandakan hasil produksi. Sebelumnya, produksi minyak sawit mencapai empat ton per hektar. Selain itu, pemerintah akan mendorong pengembangan kebun kelapa sawit di lahan kosong. Lahan kosong ini kabarnya mencapai 14 juta hektar di empat provinsi di Kalimantan.[6]