Minyak sawit yang diproduksi dari kelapa sawit adalah sumber pendapatan tetap bagi banyak petani di Asia Tenggara, Afrika Tengah dan Barat, dan Amerika Tengah. Minyak sawit sering dijadikan minyak goreng, diekspor sebagai bahan dasar makanan dan kosmetika, dan bahan bakar hayati. Kelapa sawit menghasilkan 10 kali lipat minyak per satuan wilayah daripada kacang kedelai, rapeseed, atau biji bunga matahari.[1]
Kelapa sawit menghasilkan 38% minyak nabati dunia meski hanya menduduki 5% lahan perkebunan minyak nabati dunia.[1] Perkebunan kelapa sawit semakin menjadi pusat perhatian karena berdampak buruk terhadap lingkungan, misalnya hilangnya hutan hujan.[2] Sejumlah pihak menyoroti pengusiran dan terganggunya populasi hewan dan manusia akibat perkebunan kelapa sawit.[3][4]
Statistik
Sekitar 1,5 juta petani kecil menanam kelapa sawit di Indonesia, 500.000 orang terlibat secara langsung di sektor sawit Malaysia, dan sekian ribu orang memiliki hubungan dengan industri terkait.[5][6]
Per 2006, luas total perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai [convert: nomor tidak sah].[7] Pada tahun 2005, Asosiasi Minyak Sawit Malaysia, produsen separuh sawit dunia, memperkirakan bahwa mereka mengelola hampir setengah miliar pohon sawit penyerap karbon.[5] Permintaan minyak sawit telah meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat.
Antara 1967 dan 2000, luas perkebunan di Indonesia bertambah dari kurang dari 2,000 kilometer persegi (0,772 sq mi) menjadi lebih dari 30,000 kilometer persegi (11,583 sq mi). Deforestasi di Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit (dan pembalakan ilegal) berlangsung sangat cepat sampai-sampai Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada tahun 2007 memperkirakan bahwa hutan Indonesia akan lenyap pada 2022. Tingkat penebangan hutan menurun dalam sepuluh tahun terakhir.[1]
Produksi global diperkirakan mencapai 46,9 juta ton pada tahun 2010, naik dari 45,3 juta pada tahun 2009. Kenaikan ini lebih banyak berasal dari Indonesia.[1]
Masalah sosial
Kelapa sawit adalah komoditas ekonomi bernilai tinggi dan menjadi sumber lapangan pekerjaan.[8][9] Kelapa sawit memungkinkan pemilik lahan kecil berpartisipasi dalam ekonomi tunai[10] dan memperbaiki infrastruktur lokal sekaligus membuka akses kesehatan dan pendidikan. Di beberapa wilayah, perkebunan kelapa sawit menggantikan praktik perkebunan tradisional, biasanya karena potensi nilai minyak sawit yang tinggi.[8][9]
Akan tetapi, ada beberapa peristiwa ketika hutan justru dikembangkan oleh pemilik perkebunan tanpa konsultasi atau kompensasi terhadap suku pribumi yang tinggal di sana. Ini terjadi di Papua Nugini,[4]Kolombia,[11] dan Indonesia.[12] Di negara bagian Sarawak, sejumlah pihak masih mempersoalkan apakah suku Long Teran Kanan telah diberitahu mengenai pengembangan hutan setempat untuk perkebunan sawit.[13] Pengambilalihan tanah adat memicu konflik antara pemmilik perkebunan dan penduduk setempat di negara-negara tersebut.[4][11][12][13]
Perkebunan sawit semakin mengancam keragaman hayati, mendorong ratusan ribu spesies hewan ke ambang kepunahan, melepaskan emisi karbon ke atmosfer, dan melanggar hak asasi manusia. Anak-anak berusia tujuh tahun bekerja keras di siang hari untuk membantu keluarganya, bahkan kadang tidak dibayar sama sekali. Selain kehancuran lingkungan, hak asasi manusia merupakan permasalahan terpisah yang sama membahayakannya. Industri sawit merupakan satu dari empat industri terburuk untuk tenaga kerja paksa dan anak-anak.
Menurut laporan tahun 2008 oleh berbagai LSM, termasuk Friends of the Earth, perusahaan-perusahaan kelapa sawit kabarnya merebut lahan secara paksa dari suku pribumi di Indonesia.[12] Selain itu, beberapa perkebunan sawit Indonesia bergantung pada tenaga kerja impor atau imigran ilegal sehingga banyak pihak yang mempersoalkan kondisi kerja dan dampak sosialnya.[14]
Masalah lingkungan
Di Indonesia, meningkatnya permintaan minyak sawit dan kayu mendorong pembukaan hutan hujan di taman nasional di Indonesia. Menurut laporan UNEP tahun 2007, sekitar 98 persen hutan Indonesia akan lenyap pada tahun 2022 akibat pembalakan legal dan ilegal, kebakaran hutan, dan pengembangan perkebunan kelapa sawit.[15]
Malaysia, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia, berjanji melindungi sedikitnya 50 persen luas negaranya. Per 2010, 58 persen wilayah Malaysia ditutupi hutan.[16] Perkebunan kelapa sawit dikritik karena:
Emisi gas rumah kaca: Deforestasi di hutan hujan mencakup 10 persen emisi CO2 yang dikeluarkan aktivitas manusia dan semakin mempercepat perubahan iklim.[17]
Di beberapa negara yang memiliki kebun sawit, penegakan hukum lingkungan yang longgar menyebabkan perkebunan sawit meluas sampai ke zona riparian[29] dan tersebarnya polutan seperti Palm Oil Mill Effluent (POME) ke lingkungan terbuka.[29] Praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan telah dikembangkan,[30][31] di antaranya penanganan POME secara anaerobik yang membuka jalan bagi produksi biogas (metana) dan listrik, tetapi sulit sekali mempertahankan pertumbuan optimal untuk organisme anaerobik yang mengubah asetat menjadi metana (khususnya Methanosaeta concilii, salah satu spesies Archaea).[32]
Emisi gas rumah kaca
Kerusakan terhadap lahan gambut (salah satu penyebabnya adalah produksi minyak sawit) diklaim mempercepat kerusakan lingkungan, termasuk empat persen emisi gas rumah kaca global[33] dan delapan persen seluruh emisi global akibat bahan bakar fosil,[34] karena membuka hutan hujan untuk perkebunan kelapa sawit. Sebagian besar hutan hujan Indonesia dan Malaysia tumbuh di tanah gambut yang menyimpan karbon dalam jumlah besar. Penebangan hutan dan pengeringan gambut untuk perkebunan sawit melepaskan karbon tersebut. Para peneliti mencoba mencari solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Mereka menyarankan apabila luas lahan yang dilindungi cukup dan masih ada cadangan hutan primer yang besar, industri minyak sawit tidak banyak berdampak terhadap kehidupan liar dan keragaman hayati. Organisasi lingkungan seperti Greenpeace, Roundtable on Sustainable Palm Oil, dan Amnesty International juga menyuarakan larangan terhadap perkebunan minyak sawit yang tidak berkelanjutan dan perusahaan-perusahaan yang membeli komoditas ekspornya.
Greenpeace mengklaim bahwa deforestasi seperti ini justru menghasilkan lebih banyak emisi daripada emisi yang sanggup dicegah bahan bakar hayati.[35][36][37] Greenpeace mengidentifikasi lahan-lahan gambut Indonesia, hutan hujan tropis unik yang tanahnya dapat dibakar untuk melepaskan emisi karbon, yang dihancurkan untuk perkebunan sawit. Lahan gambut merupakan perangkap karbon raksasa. Kehancurannya mencakup empat persen emisi global tahunan. Namun demikian, menurut Tropical Peat Research Laboratory, sedikitnya satu penelitian menunjukkan bahwa kebun sawit menurunkan jumlah karbon karena kelapa sawit juga mengubah karbon dioksida menjadi oksigen layaknya pohon biasa.[38] Seperti yang dilaporkan di Komunikasi Nasional Malaysia Kedua untuk Konvensi Kerangka Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, perkebunan sawit turut menurunkan jumlah karbon Malaysia.[39][butuh rujukan]
Greenpeace mencatat riwayat penghancuran lahan di provinsi Riau, tempat ditanamnya 25 persen kebun sawit Indonesia. Perusahaan berencana mengembangkan wilayah konsesinya hingga lebih dari 28,500 kilometer persegi (11,004 sq mi). Efeknya adalah separuh wilayah Riau akan ditebang.[butuh rujukan] Greenpeace mengklaim bahwa lahan gambut Riau akan mengalami kerusakan parah, padahal sebelumnya sudah dirusak oleh perkembangan industri. Lahan gambut Riau menyimpan 14,6 miliar ton karbon, kurang lebih emisi gas rumah kaca selama setahun.
Penelitian Greenpeace lewat Forest Defenders Camp di Riau mendokumentasikan aktivitas produsen minyak sawit besar di Indonesia yang menghancurkan lahan gambut dalam jumlah besar dan melanggar keputusan presiden serta perundangan kehutanan nasional. Minyak sawit yang diproduksi di lahan gambut telah memasuki rantai pasokan produk global. FoE dan Greenpeace memperkirakan bahwa hutan dan lahan gambut yang digantikan oleh kebun sawit melepaskan lebih banyak karbon dioksida daripada karbon dioksida yang dapat dicegah oleh bahan bakar hayati.[butuh rujukan]
Aktivis lingkungan dan konservasi diminta bekerja sama dengan perusahaan sawit untuk membeli tanah kebun sawit yang ada. Laba yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menciptakan cagar alam milik swasta.[40] Strategi ini dinilai lebih produktif daripada pendekatan konfrontasional yang mengancam mata pencaharian jutaan petani kecil.[40][41]
Di dua negara yang menyumbang 80% produksi minyak sawit dunia, Indonesia dan Malaysia, petani kecil mencakup 35–40% luas total kebun sawit dan 33% produksi sawit. Di tempat lain seperti Afrika Barat yang produknya memasok pasar domestik dan regional, petani kecil menghasilkan 90% produksi tahunan.[42]
Karena Malaysia berkomitmen mempertahankan tutupan hutan alami sebesar 50 persen, perkembangan kebun sawit melambat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Bernard Dompok, perluasan kebun sawit tidak memungkinkan lagi sehingga petani-petani Malaysia berfokus pada peningkatan produksi tanpa ekspansi.[16]
Pada Januari 2008, CEO Dewan Sawit Malaysia menulis surat untuk Wall Street Journal yang menyatakan bahwa Malaysia menyadari perlunya memiliki industri minyak sawit yang berkelanjutan.[43] Sejak itu, pemerintah Malaysia dan perusahaan-perusahaan sawit meningkatkan produksi Minyak Sawit Berkelanjutan Bersertifikasi (CSPO).[44] Malaysia diakui oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil sebagai produsen CSPO terbesar di dunia dengan porsi 50% pasokan dunia[45] dan 40% petani CSPO dunia.[46] Indonesia memproduksi 35% CSPO dunia.[44]
Di Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Mina Susana Setra memperjuangkan kebijakan yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan hak-hak pribumi. 99% konsesi sawit di Indonesia memiliki kaitan dengan tanah adat.[47] Pada tahun 2012, AMAN memimpin tim advokasi yang memenangkan kasus tanah adat di tingkat Mahkamah Konstitusi.[48] Namun dmeikian, implementasi program-program yang melindungi hak-hak suku pribumi, lingkungan, dan pengembang gagal terwujud kecuali dalam kasus-kasus tertentu.[47]
Afrika
Situasi di Afrika sangat berbeda bila dibandingkan dengan Indonesia atau Malaysia. Dalam Laporan Pembangunan Manusia 2007-2008, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa produksi minyak sawit di Afrika Barat sangat berkelanjutan karena dilakukan di tingkat petani kecil tanpa praktik monokultur yang merusak keragaman hayati. Program Pangan dan Pertanian PBB mendorong petani-petani kecil di seluruh Afrika untuk menanam kelapa sawit karena membuka kesempatan kehidupan dan pendapatan yang lebih baik bagi penduduk miskin.[25]
Biodiesel yang dihasilkan dari perkebunan sawit berkelanjutan (non-hutan) dan perkebunan tua mengurangi emisi gas rumah kaca.[53] Menurut Greenpeace, pembukaan lahan gambut untuk menanam sawit melepaskan gas rumah kaca dalam jumlah besar. Selain itu, biodiesel yang dihasilkan dari perkebunan sawit eks-gambut tidak mengurangi emisi gas rumah kaca.[54] Di sisi lain, penelitian Tropical Peat Research Unit di Malaysia menemukan bahwa perkebunan sawit di lahan gambut menghasilkan emisi karbon dioksida yang lebih rendah daripada di hutan rawa gambut. Namun, badan yang merilis penelitian ini diduga didanai oleh politikus yang memiliki kepentingan di industri minyak sawit.[55]
Pada tahun 2011, delapan perkebunan Federal Land Development Authority (FELDA) di Malaysia mendapat sertifikasi International Sustainability and Carbon Certification System (ISCC). Delapan perkebunan ini menjadi bagian dari rantai pasokan dan produksi biodiesel sawit berstandar ISCC pertama di Asia. Sistem sertifikasi ini mmengikuti Peraturan Energi Terbarukan Uni Eropa (Renewable Energy Directive; RED).[56] Tahun 2012, Komisi Eropa menyetujui skema sertifikasi bahan bakar hayati RSPO yang mengizinkan penjualan bahan bakar sawit bersertifikasi di Eropa.[57]
Keberlanjutan
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), berdiri tahun 2004, bertujuan mendorong produksi minyak sawit berkelanjutan dengan melibatkan para penanam, pemroses, perusahaan makanan, investor, dan LSM.[1] Sejak 2008, minyak sawit yang mematuhi standar RSPO mendapat status "minyak sawit berkelanjutan tersertifikasi" (certified sustainable palm oil; CSPO). Setelah dua tahun berjalan, minyak sawit CSPO menguasai 7 persen pasar minyak sawit global.[58] Per Oktober 2012, 12 persen minyak sawit telah menerima sertifikasi RSPO.[59] Namun, pada tahun pertama pelaksanaannya, hanya 30 persen minyak sawit berkelanjutan yang dipasarkan dengan label CSPO.[1]
Menurut The Economist tahun 2010, RSPO menuai kritik karena tidak menetapkan batas emisi gas rumah kaca untuk setiap perkebunan dan jumlah anggotanya hanya mewakili 40 persen produksi minyak sawit global.[1] Dalam laporan tahun 2007, Greenpeace mengkritik perusahaan-perusahaan makanan yang menjadi anggota RSPO karena mereka "bergantung kepada pemasok yang aktif melakukan penebangan hutan dan konversi lahan gambut".[60]
Setelah menerima sumbangan $1 miliar dari Norwegia, pada Mei 2010, Indonesia mengumumkan penangguhan izin pembukaan hutan dan lahan gambut selama dua tahun. Selain itu, Indonesia berencana mendirikan lembaganya sendiri yang serupa dengan RSPO. Sebagai sistem sertifikasi milik negara, lembaga ini akan mengeluarkan aturan-aturan yang berlaku untuk semua produsen minyak sawit di Indonesia.[1][61]
Tahun 2011, Malaysia mulai mengembangkan sertifikasi nasional bernama Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) untuk meningkatkan produksi minyak sawit berkelanjutan secara nasional.[62] Program sertifikasi yang menyasar produsen kecil dan menengah ini rencananya diluncurkan tahun 2014.[63] Malaysia juga melakukan analisis dampak lingkungan industri minyak sawit dengan pendekatan Life Cycle Assessment (LCA). LCA digunakan untuk menilai dampak lingkungan dari produksi bibit kelapa sawit,[64] tandan buah segar kelapa sawit,[65] minyak sawit mentah,[66] minyak inti sawit mentah,[67] dan minyak sawit suling.[68] Mereka juga melakukan analisis terhadap industri-industri hilir seperti kayu lapis kelapa sawit[69] dan biodiesel.[70]
Program kredit karbon
Produsen minyak sawit bisa mengikuti program Clean Development Mechanism (CDM). Negara-negara maju yang berinvestasi dalam proyek energi bersih di negara berkembang bisa memperoleh kredit karbon untuk mengganti emisi gas rumah kacanya sendiri dan mengurangi emisi global.[71]
Sebagian investor ragu-ragu berinvestasi dalam proyek bahan bakar hayati minyak sawit karena berdampak negatif terhadap hutan hujan tropis.[72] Namun, menurut perusahaan pengembang CDM YTL-SV Carbon, banyak proyek CDM di sektor minyak sawit berusaha memperbaiki pemanfaatan limbah demi mengurangi emisi gas rumah kaca dan tidak terlibat dalam pembukaan perkebunan baru.[73]
Pemanfaatan minyak berkelanjutan
World Wildlife Foundation (WWF) menerbitkan laporan tahunan mengenai pemanfaatan minyak sawit berkelanjutan oleh perusahaan-perusahaan besar. Menurut laporan tahun 2011, 31 dari 132 negara perusahaan yang disurvei mendapat skor bagus karena memakai minyak sawit berkelanjutan. Ketika laporan ini pertama dirilis tahun 2009, tidak ada perusahaan yang memakai minyak sawit berkelanjutan.[74]
WWF melaporkan bahwa 87 perusahaan berkomitmen sepenuhnya memakai minyak sawit berkelanjutan pada tahun 2015, antara lain Unilever dan Nestlé. Dua perusahaan ini sebelumnya didemo dan didesak oleh berbagai organisasi lingkungan pada akhir 2000-an.[1][75] Namun demikian, menurut WWF, jumlah pengguna minyak sawit berkelanjutan tidak banyak bertambah.[74]
Supermarket yang berkomitmen menjual produk-produk berbahan minyak sawit berkelanjutan, termasuk Walmart dan Carrefour, mengaku konsumen tidak begitu tertarik dan awam dengan kehadiran produk yang berkelanjutan. Mereka mengkhawatirkan potensi dampak rendahnya permintaan konsumen terhadap biaya dan ketersediaan minyak sawit berkelanjutan di masa depan.[76][77]
Lobi pemerintah
Negara-negara yang memproduksi produk saingan bisa dilobi supaya mengesahkan undang-undang proteksionisme yang menolak produk-produk hasil deforestasi. Cara lobi ini diusulkan oleh National Farmers Union dan Avoided Deforestation Partners. Menurut laporan mereka tahun 2010, apabila deforestasi hutan tropis global per tahun seluas [convert: nomor tidak sah] bisa dicegah, pendapatan sektor pertanian Amerika Serikat akan bertambah $190–270 miliar pada tahun 2012 sampai 2030. Namun, laporan ini dibantah oleh organisasi-organisasi lingkungan seperti Conservation International, Environmental Defense Fund, National Wildlife Federation, dan The Nature Conservancy. Mereka menyatakan laporan tersebut "hanya berlandaskan asumsi tanpa dasar bahwa deforestasi di negara-negara tropis mudah dihentikan dan kesimpulannya juga tidak realistis."[1][78]
^ abNellemann, Christian, ed. (6 February 2007). "The Last Stand of The Orangutan"(PDF). grida.no. United Nations Environment Programme. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2016-04-13. Diakses tanggal 16 October 2012.
^
Land Clearing and the Biofuel Carbon Debt.
Joseph Fargione, Jason Hill, David Tilman, Stephen Polasky, and Peter Hawthorne.
Published online 7 February 2008 DOI:10.1126/science.1152747 (in Science Express Reports)
Environment, the National Science Foundation DEB0620652, Princeton Environmental Institute, and the Bush Foundation. We thank T. Searchinger for valuable comments and insights, and J. Herkert for providing references. Supporting Online Material www.sciencemag.org.Abstract Supporting Online Material.
^Media, Tim (May 8, 2014). "Mina Setra Wakili Regio Kalimantan" (dalam bahasa Indonesian). Dewan Kehutanan Nasional. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-05-02. Diakses tanggal 31 March 2015.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Saunders, Daniel J.; Balagtas, Joseph V.; Gruere, Guillaume (March 2012). Revisiting the Palm Oil Boom in Southeast Asia(PDF) (Laporan). International Food Policy Research Institute. Diakses tanggal 11 October 2012.
^Halimah M., Ismail B. S., Salmijah S., Tan Y. A. and Choo Y. M. 2012. A Gate-to-gate Case Study of the Life Cycle Assessment of an Oil Palm Seedling. Tropical Life Science Research 23:15-23.
^Zulkifli H., Halimah M., Chan K. W. & Mohd Basri W. 2010. Life Cycle Assessment For Oil Palm Fresh Fruit Bunch Production From Continued Land Use For Palm Planted On Mineral Soil (Part 2). Journal of Oil Palm Research 22: 887-894.
^Vijaya S., Choo Y. M., Halimah M., Zulkifli H., Yew A. T. & Puah C. W. 2010a. Life Cycle Assessment of the Production of Crude Palm Oil (Part 3). Journal of Oil Palm Research 22:895-903.
^Vijaya S., Choo Y. M., Halimah M., Zulkifli H. Yew A. T. & Puah C. W. 2010b. Life Cycle Assessment of the Production of Crude Palm Kernel Oil (Part 3a). Journal of Oil Palm Research 22:895-903.
^Tan, Y. A., Halimah M., Zulkifli H., Vijaya S., Puah C. W., Chong C. L., Ma A. N. & Choo Y. M. 2010. Life Cycle Assessment of Refined Palm Oil Production and Fractination (Part 4). Journal of Oil Palm Research 22:913-926.
^Puah C. W., Choo Y. M. And Ma A. N. 2010. Life Cycle Assessment for the Production and Use of Palm Biodiesel (Part 5). Journal of Oil Palm Research 22:927-933.