Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah asosiasi yang terdiri dari berbagai organisasi dari berbagai sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, investor, akademisi, dan LSM bidang lingkungan) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.[1][2] RSPO didirikan tahun 2004 dengan kursi asosiasi berada di Zurich, Swiss, dan kesekretariatan berada di Kuala Lumpur, Malaysia dan kantor cabang di Jakarta. Organisasi ini diklaim telah memiliki 1000 anggota di lebih dari 50 negara.[3]
RSPO terinspirasi dari ide meja bundar pada legenda Arthurian di mana semua pelaku meja bundar yang sebagian besar para Ksatria dan Raja Arthur memiliki hak yang sama dalam forum tersebut. Meski demikian, tidak semua anggota memiliki hak voting di dalam RSPO, karena hanya produsen dan distributor besar saja yang memiliki hak voting. Anggota di luar produsen dan distributor, seperti akademisi, LSM lingkungan, dan anggota masyarakat tidak memiliki hak voting.[4][5]
Organisasi ini melakukan pertemuan tahunan yang menyertakan berbagai pemegang kepentingan (stakeholder) untuk bernegosiasi pada berbagai isu yang mempengaruhi industri minyak sawit.[6]
Respon
Pembentukan RSPO berjalan dengan kritik dari berbagai sektor, terutama LSM lingkungan. Isu utama mencakup dampak perluasan perkebunan kelapa sawit terhadap populasi orang utan, penghancuran hutan tropis untuk perkebunan kelapa sawit baru, dan pembakaran serta pengeringan lahan gambut. Anggota RSPO diizinkan untuk menebang habis hutan yang mampu menyebabkan tumbuhnya alang-alang (Imperata cylindrica),[7] sehingga hal ini memicu keraguan terhadap kelayakan dari RSPO.[8]
Sikap LSM mengenai RSPO cenderung terbagi, ada yang mendukung dan ada yang tidak.
Friends of the Earth International
FOEI mengkritik keras RSPO.[9]
"Secara umum, perusahaan RSPO berada pada prinsip dan kriteria teknis, tetapi masalah lingkungan dan sosial dari budi daya kelapa sawit sebagian besar berada dalam proses politik palsu, pengelolaan yang rendah, dan permintaan pasar yang tidak berkelanjutan. RSPO adalah proses sertifikasi yang bersifat sukarela untuk keanggotaan yang bersifat premium dan secara total menyesatkan "lambang hijau" bagi industri kelapa sawit. Lebih lanjut RSPO memberikan sertifikasi tanpa secara jelas menunjuk kepada beberapa dari isu struktural mendasar yang memunculkan dampak negatif dari budi daya kelapa sawit. Sehingga FOEI tidaklah mengenal RSPO sebagai proses sertifikasi yang kredibel dan hanya sebagai alat yang secara teknis tidak dapat menyelesaikan dampak yang besar dari budidaya kelapa sawit terhadap hutan, lahan, dan masyarakat."
Greenpeace
Greenpeace memiliki posisi sebagai pendukung dan pengkritik RSPO. Berdasarkan press release di website Unilever pada Desember 2009,[10] Direktur Eksekutif Greenpeace John Sauven menyatakan:
"Keputusan Unilever dapat mewakili suatu momen untuk mendefinisikan industri minyak sawit. Apa yang kita lihat di sini adalah pembeli terbesar dari minyak sawit dengan kemampuan finansialnya dalam memberikan keraguan terhadap penyuplai minyak sawit yang menghancurkan hutan hujan dan menebang habis lahan gambut. Hal ini menciptakan sebuah standar baru untuk diikuti oleh yang lain."
Namun Greenpeace Britania Raya menyatakan sebaliknya:[11]
"Usaha industri untuk membawa masalah deforestasi dalam kendali mereka datang melalui RSPO. Didirikan tahun 2004 untuk membawa standar ekologis dan etis yang jelas dalam produksi minyak sawit, dan anggotanya mencakup perusahaan papan atas seperti Unilever, Cadbury's, Nestlé, dan Tesco, juga penyalur minyak sawit seperti Cargill dan ADM. Bersama-sama semua perusahaan ini menyumbang 40 persen perdagangan minyak sawit global.
Namun sejak saat itu penghancuran hutan terus berlanjut. Banyak anggota RSPO yang tidak mengambil langkah apapun untuk menghindari praktik yang buruk terkait industri, seperti penebangan hutan secara besar-besaran dan pengambil alihan lahan milik masyarakat setempat tanpa persetujuan mereka. Di atas semua ini, RSPO sebenarnya menciptakan ilusi dari produksi minyak sawit berkelanjutan dan membenarkan ekspansi industri kelapa sawit."
Hasil investigasi yang dirilis pada tahun 2008 oleh Greenpeace[12] menemukan berbagai isu mengenai penyuplai utama minyak sawit untuk Unilever, di mana Unilever menerima laporan tersebut dan tidak akan menggunakan penyuplai itu.[13] Unilever dan Greenpeace juga mengumumkan mereka akan membentuk lobi untuk moratorium deforestasi akibat minyak sawit.[14]
Rainforest Action Network
Sebuah blog yang diposkan oleh David Gilbert, seorang peneliti RAN,[15] menyatakan ketidak puasan terhadap RSPO
"RSPO adalah pertemuan tahunan terbesar di dunia yang melibatkan industri minyak sawit, pakar lingkungan, advokat hak asasi manusia, dan anggota masyarakat. Sekarang saya menyaksikan seorang anggota masyarakat hutan Kalimantan berdiri di depan produsen minyak sawit, LSM, dan teknokrat, mengidentifikasikan dirinya sebagai korban dari ekspansi mintak sawit, dan membongkar kepalsuan yang dibawa para pebisnis terkaya di dunia bahwa minyak sawit menolong orang miskin."
World Wildlife Fund (WWF)
WWF pada tahun 2010 menyatakan:[16]
"Penebangan hutan untuk perkebunan kelapa sawit telah mengancam hutan terbesar di dunia, dan membahayakan spesies terancam seperti orang utan, dan membahayakan masyarakat yang hidup dari hutan. Namun dengan praktik manajemen yang lebih baik, industri minyak sawit dapat menyediakan manfaat tanpa mengancam kekayaan alam kita semua.
WWF hingga saat ini masih memantau industri minyak sawit.[17]
Lihat pula
Referensi
Pranala luar