Masjid Jami' Al-Makmur adalah sebuah Masjid bersejarah yang terletak di Jl. Raden Saleh Raya No. 30, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Masjid yang dibangun pada tahun 1890 ini merupakan pindahan dari sebuah Surau yang dibangun oleh Raden Saleh sekitar tahun 1860 di samping rumah kediamannya.
Sejarah
Sejarah Masjid Jami' Al-Makmur dimulai pada tahun 1860 ketika Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun sebuah Surau sederhana yang terbuat dari kayu dan gedek di samping kediamannya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Yayasan Masjid Al-Makmur, sesudah Raden Saleh meninggal dunia, tanah itu dimiliki oleh Sayed Abdullah bin Alwi Alatas, yang pemilikannya diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Negeri No 694 tanggal 25 Juni 1906, sebagai suatu kelanjutan dari Keputusan Pengadilan Negeri No. 145 tanggal 7 Juli 1905. Tanah itu dibeli melalui sebuah pelelangan. Tanah yang sangat luas ini kemudian oleh Sayed Abdullah Bin Alwi Alatas, salah satu tokoh gerakan Pan Islam dijual kepada Koningen Emma Ziekenhuis dengan harga 100 ribu gulden. Tapi karena yayasan ini ingin membangun rumah sakit, harganya dikurangi menjadi 50 ribu gulden dengan penegasan bahwa Masjid yang ada di sana tidak boleh dibongkar.[1]
Namun perjanjian jual beli tersebut diingkari oleh Koningen Emma Ziekenhuis. Akibatnya Surau yang dibangun oleh Raden Saleh dipindahkan ke samping kali Ci Liwung, sehingga tempat ibadah ini kerap kebanjiran. Tahun 1890 tercatat sebagai tahun ketika Masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain di lokasi Masjid sekarang. Walaupun begitu ternyata Koningen Emma Ziekenhuis tetap ingin memindahkan Masjid ini karena di lahan tersebut direncanakan akan dibangun sebuah Gereja. Persoalan ini akhirnya membuat masyarakat sekitar marah.[1] Bahkan sampai terdengar oleh H. Agus Salim. Kemudian oleh sebuah panitia yang didukung oleh Beliau,[2] dipugarlah Masjid tersebut pada tahun 1926. Di bagian depan Masjid kemudian ditambahkan lambang Organisasi Sarekat Islam yang sampai sekarang menjadi ciri khas Masjid tersebut. Keseluruhan proses pemugaran akhirnya selesai pada tahun 1936 menjadi bentuk Masjid yang sekarang.[1]
Setelah Indonesia Merdeka, Persoalan sengketa lahan antara Masjid dengan rumah sakit kembali memanas. Hal tersebut berawal ketika Kementrian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik berupa sertifikat tanah atas nama Dewan Gereja Indonesia (DGI). Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar Masjid termasuk tanah yang di atasnya dibangun Masjid itu diklaim milik DGI. Pada tahun 1987 saat perundingan Segitiga antara Gubernur DKI Jakarta, RS DGI Cikini dan pengurus Masjid, pihak RS DGI Cikini menyatakan kesediaannya untuk menyerahkan tanah tersebut. Namun pengurus Masjid menegaskan, "Kami tidak ada sangkut pautnya dengan DGI. Kami meminta agar tanah kami dikembalikan." Upaya perundingan juga turut dibantu oleh Wali kota Jakarta Pusat Abdul Munir pada tahun 1989 hingga tahun 1990.[1]
Akhirnya proses sengketa lahan antara Masjid dengan rumah sakit akhirnya dapat diselesaikan pada tahun 1991 setelah Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto mengumumkan sertifikat tanah atas nama RS PGI Cikini yang mencakup tanah Masjid Al-Makmur telah dicabut. Tanah Masjid telah dikembalikan kepada pihak semula dengan sertifikat tersendiri atas nama Yayasan Masjid Al-Makmur yang diketuai oleh Mayjen (purn) H. M. Joesoef Singedekane, mantan Gubernur Jambi.[1] Kemudian Masjid ini dijadikan bangunan Cagar Budaya oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999.[3]