Kerajaan Gelgel adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Pulau Bali.[1] Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.[2] Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan Kerajaan Majapahit.[3] Masyarakatnya terbagi menjadi Bali Hindu dan Bali Aga.[4] Keberhasilan Ekspedisi Majapahit-Bali pada tahun 1343 masehi menempatkan Arya Kutawaringin sebagai Penguasa Wilayah Gelgel. Kerajaan Gelgel berdiri setelah Kyayi Klapodiana/I Gusti Kubontubuh menjemput dan menghaturkan Istananya kepada Ida Sri Semara Kepakisan (Ngelesir) pada tahun 1383 masehi,dan berakhir pada masa pemerintahan Ki Agung Maruti setelah diserang oleh pasukan Dewa Agung Jambe I pada tahun 1687.[5]
Wilayah Kekuasaan
Raja Kerajaan Gelgel yang pertama adalah Dalem Ketut Ngelesir, beliau diabhiseka tahun 1383 M dan menempati bekas puri Arya Kuthawaringin, yang dihaturkan oleh Kyayi Klapodhyana/Kyayi Gusti Agung Anglurah Gelgel putra tertua Arya Kuthawaringin, dan puri tersebut dikenal dengan nama Puri Suwecalinggarsapura.[butuh rujukan] Ia adalah keturunan dari seorang jendral dari Kerajaan Majapahit.[6] Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali. Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1343 masehi terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Bali.[7] Pada abad ke-17, wilayah Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.[2] Selain itu, Kerajaan Gelgel juga menguasai seluruh wilayah Kerajaan Selaparang.[8] Gelgel tidak pernah berkuasa atas Jawa (Blambangan dan Pasuruan).
Sistem pemerintahan
Kerajaan Gelgel merupakan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem pemerintahan yang sama dengan kerajaannya, yaitu Manawa Sasana.[9] Sistem ini mengikuti ajaran agama Hindu, sehingga raja memiliki kekuasaan tertinggi dalam kerajaan. Selanjutnya terdapat sebuah dewan penasehat yang disebut rakryan Mahamantri dengan tugas membantu raja dalam menjalankan pemerintahan. Dewan ini terdiri dari Rakryan Mahamantri I Hino, Rakryan Mahamantri I Halu dan Rakryan Mahamantri I Sirikan. Tugas dari dewan penasehat kemudian dilaksanakan oleh dewan pelaksana yang disebut mantra ri pakirakiran. Anggotanya terdiri dari Rakryan Mapatih, Rakryan Demung, Rakryan Tumenggung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan.[10] Sistem pemerintahan dari Kerajaan Gelgel sepenuhnya berpusat di Desa Gelgel.[11]
Kemasyarakatan
Pada masa Kerajaan Gelgel terjadi perkembangan stratifikasi sosial dalam masyarakat Bali. Masyarakatnya dibedakan menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Bali Hindu adalah masyarakat Bali yang merupakan keturunan rakyat dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Bali Aga adalah masyarakat pribumi. Sistem kastawangsa hanya diberlakukan terhadap masyarakat Bali Hindu, sedangkan Bali Aga dianggap sebagai orang biasa yang tidak memiliki hak untuk membentuk wangsa.[4] Setelah wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel meluas hingga ke Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, kerajaan ini mulai terlibat hubungan politik dengan masyarakat dari Suku Bugis, Suku Makassar, dan Suku Sasak.[12]
Sejarah
Sejarah awal
Sejarah Gelgel dijelaskan secara rinci dalam kronik tradisional (babad), khususnya karya abad ke-18 Masehi berjudul Babad Dalem. Menurut teks-teks ini, penaklukan Bali Hindu oleh kerajaan Majapahit diikuti dengan dinasti bawahan di Samprangan (di masa sekarang, kabupaten Gianyar), dekat dengan pusat kerajaan lama Bedulu. Pelantikan ini terjadi pada masa Majapahit Gajah Mada (wafat 1364). Penguasa Samprangan pertama Sri Aji Kresna Kepakisan memiliki tiga putra. Yang tertua, Dalem Samprangan, menggantikan ayahnya, tetapi ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya Dalem Ketut Ngelesir, dijemput oleh Kiyai Klapodhyana, Anglurah Gelgel yang bergelar I Gusti Agung Bendesa Gelgel untuk menggantikan Ida Dalem Ille dan memberikan Keratonnya sehingga berdirlah kerajaan baru di Gelgel, sementara kekuasaan Samprangan memudar. Ia kemudian mengunjungi Majapahit dan menerima pusaka sakti dari raja Hayam Wuruk. Setelah beberapa saat kerajaan Majapahit jatuh ke dalam kekacauan dan lenyap, meninggalkan Dalem Ketut dan kerajaan Bali-nya sebagai pewaris budaya Hindu-Jawa.[13] Catatan tradisional ini bermasalah karena mencakup kesulitan kronologis yang tidak dapat didamaikan; penguasa Majapahit Hayam Wuruk meninggal pada 1389, sedangkan kejatuhan Majapahit terjadi jauh kemudian, pada awal abad ke-16.
Masa keemasan
Jelas dari perbandingan sumber eksternal dan asli bahwa Gelgel adalah pemerintahan yang kuat di Bali pada abad ke-16 M. Putra Dewa Ketut, Dalem Baturenggong, diperkirakan memerintah pada pertengahan abad ke-16. Dia menerima di istananya seorang Brahmana bijak bernama Nirartha yang telah melarikan diri dari kondisi kacau di Jawa. Hubungan pelindung-pendeta yang subur terjalin antara penguasa dan Nirartha, yang terlibat dalam kegiatan sastra yang luas. Pada masa Dalem Baturenggong, Lombok dan Sumbawa Barat diperkirakan berada di bawah kekuasaan Gelgel. Setelah kematiannya, putranya Dalem Bekung memimpin pemerintahan yang bermasalah yang ditandai oleh dua pemberontakan serius oleh bangsawan istana (secara tradisional terjadi pada 1558 dan 1578), dan kekalahan militer yang parah terhadap kerajaan Jawa Pasuruan.
Saudara laki-laki dan penerusnya Dalem Seganing adalah seorang raja yang sukses dengan masa pemerintahannya relatif lama dan bebas dari masalah internal. Daftar tanggal asli menempatkan kematiannya pada tahun 1623, meskipun beberapa sejarawan telah menempatkannya kemudian. Putra Dalem Seganing, Dalem Di Made, mengirimkan ekspedisi lain yang gagal melawan Jawa, yang dikalahkan oleh raja Mataram.[14] Di usia tuanya ia kehilangan kekuasaan dari menteri utamanya (patih), Anglurah Agung (Gusti Agung Maruti). Teks-teks asli tertentu menempatkan kematiannya pada tahun 1642, tetapi para sejarawan juga telah mengusulkan tahun 1651 atau c. 1665 sebagai tanggal yang benar.[15]
Sumber Belanda dan Portugis mengkonfirmasi keberadaan kerajaan yang kuat di abad 16 dan 17 M, dimana daerah tetangga Lombok, Sumbawa Barat dan Blambangan adalah tetangga yang dinamis. Disisi raja (dalem) berdiri menteri senior milik keluarga Agung dan Ler, dan garis keturunan dari para pembimbing Brahmana.[16] Kerajaan Gelgel terancam oleh kerajaan laut Makassar di c. 1619, yang menghilangkan kepentingannya di Sumbawa dan setidaknya sebagian Lombok.[17]
Belanda muncul pertama kali di pulau itu pada tahun 1597 dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa Gelgel. Hubungan selanjutnya antara Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan raja-raja Gelgel biasanya baik, meskipun usaha-usaha kerjasama politik yang konkret kebanyakan tidak berhasil. Portugis di Malaka mengirimkan ekspedisi misionaris yang gagal pada tahun 1635.[18]
Sumber-sumber Eropa menggambarkan Bali dalam hal ini sebagai pulau padat penduduk dengan lebih dari 300.000 orang dan produksi pertanian berkembang. Pada awal abad ke-17, perkembangan itu dikaitkan dengan jaringan ekonomi Kepulauan Asia Tenggara melalui pedagang dari daerah Pasisir di pantai utara Jawa. Para pedagang ini menukar lada dari bagian barat nusantara dengan kain kapas yang diproduksi di Bali, yang kemudian dibawa ke Indonesia bagian timur dan Filipina. Namun, tidak ada kategori yang signifikan dari pedagang asli Bali.[19]
Fragmentasi dan kejatuhan
Menurut sumber-sumber pribumi dan Belanda, pertempuran internal pecah pada 1651 setelah kematian seorang penguasa Gelgel, dan masalah-masalah internal berlanjut selama dekade-dekade berikutnya. Menteri kerajaan Anglurah Agung menetapkan dirinya sebagai penguasa Gelgel dari setidaknya 1665 tetapi menghadapi tentangan dari berbagai sudut. Akhirnya pada 1686, Anglurah Agung Maruti diserang oleh Panglima Perang Ida Dewa Agung Jambe yaitu Rakriyan Gusti Kubontubuh, Ki Gusti Hyang Taluh, Ki Gusti Ngurah Sidemen, Ki Dukuh Pemedilan, Ki Gusti Panji Sakti dan Ki Gusti Nyoman Pemedilan sehingga Anglurah Agung Maruti melarikan diri dan dikejar oleh Kyayi Gusti Ngurah Tubuh/Kyayi Nyanyap sehingga Sagung Maruti mengalami kekalahan. Setelah peristiwa ini, seorang keturunan dari garis kerajaan lama yang disebut Dewa Agung Jambe mengukuhkan dirinya sebagai penguasa atas yang baru, dengan kedudukannya di Klungkung (Semarapura).[20]
Kerajaan Klungkung bertahan hingga abad ke-20. Namun, kerajaan baru tidak mampu mengumpulkan kelompok elit di Bali seperti yang dilakukan Gelgel. Para penguasa (Dewa Agung) Klungkung tetap memegang jabatan sebagai raja tertinggi, tetapi pada kenyataannya pulau itu terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil (Karangasem, Sukawati, Buleleng, Tabanan, Badung, dan lainnya). Situasi fragmentasi politik ini berlanjut hingga penaklukan kolonial Belanda antara tahun 1849 dan 1908. Dengan pindahnya kursi kerajaan, Gelgel sendiri berubah menjadi desa yang dikelola oleh cabang sampingan dari dinasti Dewa Agung. Sekitar tahun 1730-an, penguasa Gelgel saat itu diserang dan dibunuh oleh tiga pangeran Karangasem, yang ayahnya telah ia bunuh.[21]
Pada tahun 1908, selama intervensi Belanda di Bali, penguasa lokal menyerang pasukan tentara kolonial Belanda, yang merupakan katalis untuk puputan dari Istana Klungkung (18 April 1908) di mana dinasti kerajaan dan para pengikutnya melakukan serangan bunuh diri terhadap pasukan Belanda yang bersenjata lengkap.[22]
Keruntuhan
Kekuasaan dari Kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-kerajaan di luar Pulau Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah Dalem Seganing mulai berkuasa pada tahun 1605, satu per satu wilayah Kerajaan Gelgel diserang dan direbut oleh kerajaan lain. Kesultanan Gowa juga merebut Pulau Sumba pada tahun 1633 dan menyerang Pulau Lombok pada tahun 1640.[3]
Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan Ki Agung Maruti memberontak dan merebut kekuasaan di Kerajaan Gelgel. Raja Dalem Di Made bersama para bangsawan lain yang mendukungnya, mengungsi ke desa Guliang. Pada tahun 1686, Dewa Agung Jambe dengan Pasukan dan Panglima Perangnya Rakriyan Gusti Kubontubuh, Ki Gusti Hyang Taluh, Ki Gusti Ngurah Sidemen, Ki Gusti Panji Sakti dan Ki Gusti Pemedilan menyerang Maruti. Pada tahun 1687, Maruti dikalahkan dan Dewa Agung Jambe kemudian mendirikan Kerajaan Klungkung dengan pusat pemerintahannya berada di Klungkung.[5] dengan Maha Patih Rakriyan Gusti Kubontubuh di Pekandelan Klungkung.
Peninggalan Kebudayaan
Asta Bumi
Kerajaan Gelgel mempunyai sistem tata ruang dan tata kota tradisional yang disebut Asta Bumi.[23] Asta Bumi digunakan untuk mengatur letak dapur, pekarangan dan tempat ibadah di dalam sebuah rumah. Selain itu, Asta Bumi juga digunakan dalam mengatur letak pura utama, pemukiman dan pemakaman.[24]
Pura Dasar Buana Gelgel
Pura Dasar Buana Gelgel menjadi simbol persatuan politik di Bali setelah Kerajaan Majapahit berkuasa di wilayah ini pada tahun 1343.[25] Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, pura ini menjadi tempat penyembahan bagi semua paham keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu Siwa, Hindu Pakraman, dan Hindu Pamongan.[26]
Keagamaan
Kerajaan Gelgel menetapkan sistem keagamaan Hindu Trimurti.[27] Pada masa awal pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Kerajaan Gelgel berkuasa dengan menempatkan perwakilan raja secara turun-temurun di setiap desa. Selain itu, para penguasa di desa-desa diwajibkan melakukan sumpah setia kepada raja dengan ritual Balik Sumpah. Ritual ini berupa kegiatan bekeliling desa dengan menggunakan kerbau. Ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kepercayaan lokal masyarakat Bali dan menggantikannya dengan kepercayaan agama Hindu dengan dewa utamanya yaitu Siwa.[28]
Pura Kawitan Pasek Gelgel
Pura Kawitan Pasek Gelgel terletak di bagian selatan dari Pura Dasar Buana Gelgel. Pura ini dikelola oleh dua belas keluarga utama dan dibantu oleh dua ribu keluarga cabang yang tinggal tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali. Di dalam pura ini terdapat dua lembar prasasti. Satu prasasti terbuat dari tembaga, sedangkan prasasti yang lainnya berbahan perak. Prasasti berbahan tembaga merupakan piagam yang diberikan oleh Raja Gelgel kepada sekretarisnya yang bernama I Gusti Dauh Bale Agung. Sedangkan prasasti yang berbahan perak merupakan piagam raja yang diberikan kepada Pasek Gelgel. Ia adalah seorang tokoh masyarakat yang bertugas sebagai pemangku Pura Dasar Buana Gelgel.[29] Kedua prasasti ini saling berhubungan dan membahas kisah penganugerahan jabatan sekretaris dan pengelola Pura Dasar Buana oleh Dalem Waturenggong kepada I Gusti Dauh Bale. Setelah I Gusti Dauh menjadi pertapa, Pasek Gelgel dipilih menjadi pemangku di Pura Dasar Buana Gelgel secara turun-temurun.[30]
Kerajaan Gelgel diduga sebagai negara vasal di bawah Majapahit 1343-c.1527. Adapun daftar raja-rajanya antara lain:
Dalem Samprangan (abad ke-14 atau c. 1502 ?) [anak Sri Kresna Kepakisan]
Arya Kuthawaringin, Anglurah Agung Gelgel (1343M - 1380M), Putranya Kyayi Klapodhyana memohon Dalem Ketut Ngelesir untuk bertahta di Gelgel
Dalem Ketut, dikenal juga dengan nama Dalem Ketut Ngelesir (abad ke-14 atau c. 1520 ?; Raja Bali di Gelgel; Perkiraan lain 1380-1460) [saudara Dalem Samprangan]
^I Wayan Warna dkk. (1986), Babad Dalem; Teks dan terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidkan dan Kebudayaan Provinsi Tingkat I Bali.
^H. Hägerdal (1998), 'Dari Batuparang ke Ayudhya; Bali and the Outside World, 1636-1655', Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 154-1, p.66-7.
^H. Creese (1991), 'Babad Bali sebagai sumber sejarah; Sebuah reinterpretasi dari jatuhnya Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147-2.
^P.A. Leupe (1855), 'Schriftelijck rapport gedaen door den predicant Justus Heurnius', Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 3, hlm. 250-62.
^H.J. de Graaf (1958), De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 255-63; H.J. de Graaf (1961), De regering van Sunan Mangu-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677, Vol I. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 25-7.
^H. Jacobs (1988), Dokumen Jesuit Makasar (1615-1682). Roma: Institut Sejarah Yesuit, hal. 35; C. Wessels (1923), 'Een Portugeesche missie-poging op Bali in 1635', Studiën: Tijdschrift voor Godsdienst, Wetenschap en Letteren 99, hlm. 433-43.
^B. Schrieke (1955), studi sosiologis Indonesia, Vol. I. Den Haag & Bandung: Van Hoeve, hal. 20-1.
^H.J. de Graaf (1949), 'Goesti Pandji Sakti, vorst van Boeleleng', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 83-1.
^H. Hägerdal (2001), penguasa Hindu, rakyat Muslim; Lombok dan Bali pada abad XVII dan XVIII. Bangkok: Teratai Putih, hal. 29.
^M. Wiener (1995), Alam yang terlihat dan tidak terlihat; Kekuasaan, sihir dan penaklukan kolonial di Bali. Chicago: Pers Universitas Chicago.