Stratifikasi sosial atau penstrataan sosial adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Menurut sosiolog Italia, Gaetano Mosca bahwa pembedaan di dalam masyarakat ini terkait dengan konsep kekuasaan, yakni ada sekelompok orang memang berkuasa atas kelompok orang yang lain.[1]
Selain terkait dengan konsep kekuasaan, stratifikasi sosial juga memiliki keterkaitan dengan konsep status sosial - sebuah konsep yang dikemukakan oleh antropolog Amerika Serikat, Ralph Linton. Dengan adanya status sosial, baik itu status utama (master status), status yang diraih (achieved status), dan status yang diperoleh (ascribed status). Adanya perbedaan-perbedaan status sosial itu juga turut mempengaruhi pembentukan stratifikasi sosial.[2]
Pengertian stratifikasi
Stratifikasi sosial menurut Pitirim Sorokin adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Social Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Statifikasi sosial menurut Max Weber adalah stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
Stratifikasi sosial menurut Astried S. Susanto adalah hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang baik secara vertikal maupun mendatar.[3]
Stratifikasi sosial menurut D. Hendropuspito adalah tatanan vertikal berbagai lapisan sosial berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan.[4]
Dasar-Dasar Pembentukan Pelapisan Sosial
Proses terbentunknya stratifikasi sosial terjadi melalui dua cara; (1) terjadi secara alamiah selaras dengan pertumbuhan masyarakat, dan (2) terjadi secara disengaja atau direncanakan manusia.[5] Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Ukuran kekayaan adalah kepemilikan harta benda seseorang dilihat dari jumlah materiil saja.[6] Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja,serta kemampuannya dalam berbagi kepada sesama
Ukuran kekuasaan dan wewenang
Ukuran kekuasaan dan wewenang adalah kepemilikan kekuatan atau power seseorang dalam mengatur dan menguasai sumber produksi atau pemerintahan.[6] Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat diukur dari gelar kebangsawanan atau dapat pula diukur dari sisi kekayaan materiil.[6] Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Jenis-Jenis Stratifikasi Sosial
Ada beberapa jenis stratifikasi sosial dalam masyarakat, biasanya hal ini terkait dengan nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat tersebut. Berikut ini adalah jenis-jenis stratifikasi sosial yang dijabarkan oleh sosiolog Universitas Indonesia, Kamanto Sunarto.[7]
Stratifikasi usia (age stratification). Dalam sistem stratifikasi ini anggota masyarakat yang lebih muda memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan anggota masyarakat yang lebih tua, contohnya anak sulung akan mendapatkan prioritas lebih dibandingkan anak bungsu, hal ini dapat dilihat dari sistem ahli waris di beberapa kerajaan di dunia. Di Britania Raya, Ratu Elizabeth II menjadi Ratu Inggris karena ia merupakan putri sulung Raja George VI. Lalu di Jepang ada Akihito yang menjadi Kaisar Jepang setelah ayahnya, Hirohito mangkat.[8]
Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification). Hal ini terkait dengan jenis kelamin seseorang, dimana antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda-beda, dan bahkan terkadang cenderung hirarkis. Dalam masyarakat patriatki, kedudukan laki-laki berada di atas perempuan, sementara dalam struktur masyarakat matriarki, perempuan-lah yang ada di atas laki-laki. Stratifikasi jenis ini sering bersinggungan dengan masalah-masalah gender.[8]
Stratifikasi agama (religious stratification). Stratifikasi jenis ini terkait dengan kedudukan agama atau kepercayaan yang dianut oleh sekelompok individu, terhadap agama atau kepercayaan kelompok lain.[8]
Stratifikasi etnis (ethnic stratification). Stratifikasi ini berhubungan dengan posisi kelompok etnis tertentu, terhadap kelompok etnis lainnya.[8]
Stratifikasi tertutup merupakan bentuk stratifikasi yang setiap anggota dari stratanya sukar melakukan mobilitas vertikal. Mobilitas dalam stratifikasi ini hanya terbatas pada mobilitas horizontal. Oleh karena itu, stratifikasi sosial ini bersifat diskriminatif[9]. Contohnya adalah sistem kasta yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Inggris dan Portugis pada masa kolonialisme di India, dimana anggota masyarakatnya dikelompokkan ke dalam 4 kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Pada sistem tersebut seseorang akan sulit melakukan perpindahan kelas, karena sistem kasta didapatkan melalui garis keturunan. Perlu untuk diperhatikan, sistem kasta ini bukan berasal dari Agama Hindu, walaupun idenya diambil dari agama tersebut. Agama Hindu tidak mengajarkan adanya kasta, melainkan Catur Warna yang merupakan diferensiasi sosial (pengelompokan dan pembagian kerja masyarakat secara horizontal). Pada Catur Warna, tidak ada profesi atau pembagian tugas yang lebih tinggi ataupun rendah antara satu sama lain. Setiap orang apapun profesi dan tugasnya dianggap sederajat. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu[10]. Hal ini sangat berbeda dengan sistem kasta yang menganggap rendah atau hina seseorang yang memiliki kasta di bawahnya .
Stratifikasi Sosial Terbuka
Startifikasi terbuka adalah bentuk stratifikasi yang memiliki sifat dinamis dan memiliki kemungkinan mobilitas yang sangat besar. Maksudnya, setiap anggota strata dapat berpindah-pindah dengan bebas dalam strata sosial, baik vertikal maupun horizontal. Walaupun kenyataannya mobilitas ini harus melalui perjuangan yang berat, kemungkinan untuk berpindah dalam strata ini selalu ada.[11]Contohnya, seseorang yang semula pekerjaannya hanya sebagai staff biasa di bank kemudian mendapatkan promosi untuk menjadi manager di cabangnya.
Catatan Kaki
^Sunarto 2004, hlm. 83 : "In all societies--from societies that re meagerly developed and have barely attained the dawning of civilization, down to the most advanced and powerful societies--two classes of people appear--a class that rules and a class that is ruled (Mosca, 1939)".
^Raharjo, Puji (2009). Sosiologi untuk SMA dan MA kelas XI(PDF). Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 21. ISBN978-979-068-751-6. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2020-10-26. Diakses tanggal 2020-11-14.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Grusky, David B. (2014). Social Stratification: Class, Race, and Gender in Sociological Perspective (4th edition). Boulder: Westview Press. ISBN978-0813346717.
Solon, Gary (March 2014). "Theoretical models of inequality transmission across multiple generations". Research in Social Stratification and Mobility. 35: 13–18. doi:10.1016/j.rssm.2013.09.005.