Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Pasraman adalah lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu-Buddha. Lembaga ini merupakan alternatif, karena pendidikan agama Hindu yang diajarkan di sekolah formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan di sekolah tinggi agama Hindu. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman tidak sebatas ilmu pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata hidup yang baik.[1]
Kata pasraman berasal dari kata “asrama” (sering ditulis dan dibaca ashram) yang artinya tempat berlangsungnya proses belajar mengajar atau pendidikan. Pendidikan pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan akhlak mulia dan sifat-sifat yang rajin, suka bekerja keras, pengekangan hawa nafsu dan gemar untuk menolong orang lain. Konsep pasraman yang berkembang sekarang diadopsi dari sistem pendidikan Hindu zaman dahulu di India, sebagaimana disuratkan dalam kitab suci Weda dan hingga kini masih tetap terpelihara. Sistem ashram menggambarkan hubungan yang akrab antara para guru (acarya) dengan para siswanya, bagaikan dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, sistem ini dikenal pula dengan dengan para nama sistem pendidikan gurukula. Beberapa anak didik tinggal di pasraman bersama para guru sebagai anggota keluarga dan para guru bertindak sebagai orang tua siswa sendiri. Proses pendidikan di pasraman dari masa lampau itu masih tetap berlangsung sampai saat ini dikenal pula dengan istilah lainnya yakni parampara, di Jawa dan di Bali dikenal dengan istilah padepokan atau aguron-guron. Dewasa ini di India terdapat ribuan pasraman yang diasuh oleh guru-guru kerohanian, bahkan cabang-cabang perguruan ini telah berkembang di Eropa dan di Indonesia.
Kini di Indonesia telah muncul dan berkembang banyak pasraman untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat Hindu, utamanya adalah masalah pendidikan agama Hindu dan di luar Bali. Karena keterbatasan tenaga guru agama Hindu, maka yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah pada umumnya, para siswa yang bersangkutan dapat mengikuti pendidikan agama Hindu melalui lembaga pasraman ini. Di luar Bali pendidikan pasraman pada umumnya berlangsung di lingkungan pura.
Strategi Dan Model Pembelajaran Pasraman
Pembelajaran itu seperti sebuah sistem yang terdiri dari beberapa bagian yang saling berkaitan: siswa, guru, materi pelajaran, dan cara mengajar. Cara mengajar ini sangat penting karena menentukan bagaimana siswa belajar. Ada cara mengajar yang lebih membuat guru aktif, tapi yang lebih baik adalah cara yang membuat siswa lebih aktif terlibat.
Pendidikan agama Hindu adalah pelajaran wajib bagi umat Hindu di semua jenjang pendidikan. Tujuannya adalah untuk membantu siswa memahami dan mempraktikkan ajaran agama Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran adalah suatu sistem. dalam proses ini ada beberapa komponen yang saling terkait dalam rangka mencapai tujuan. Komponen-komponen tersebut adalah siswa, guru, materi/bahan ajar, strategi/model pembelajaran. strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai pola umum aktivitas guru dan siswa di dalam mewujudkan kegiatan kegiatan belajar-mengajar. dari pola umum kegiatan itu dapat dilihat macam dan urutan kegiatan yang ditampilkan oleh guru dan siswa. Dalam hal ini ada strategi yang lebih menekankan pada aktivitas guru, namun ada juga yang menekankan kegiatan pada siswa. Orientasi dan pendekatan ke depan haruslah ditekankan pada aktivitas siswa.
Pendidikan agama Hindu merupakan salah satu bidang studi yang harus dipelajari sebagai persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang didesain dan diberikan kepada pebelajar yang beragama Hindu dengan tujuan untuk mengembangkan keberagamaan mereka.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Tujuan pendidikan agama Hindu tidak terbatas pada transfer ilmu pengetahuan (Knowledge) saja, sebenarnya tujuan pendidikan agama Hindu sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yakni bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat membangun manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa, sehingga jelas bahwa arah dan strategi pendidikan nasional adalah terbinanya manusia-manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan memperhatikan aspek-aspek kecerdasan, keterampilan dan keahlian.
Sejak zaman dahulu, pendidikan keagamaan Hindu telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ajaran-ajaran agama Hindu telah membentuk karakter bangsa dan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perkembangan peradaban. Dalam konteks pendidikan nasional, pendidikan agama Hindu terus relevan dan memainkan peran penting dalam membentuk generasi muda yang berkarakter dan bermartabat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menempatkan pendidikan agama sebagai salah satu komponen penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan peserta didik yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian yang mantap, dan berakhlak mulia.
Keempat komponen di atas menunjukkan betapa besar pengaruh pendidikan agama dan betapa strategisnya posisi guru agama dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan yang diharapkan tersebut di atas. Dengan kata lain guru agama memiliki peranan yang besar dalam membina moralitas bangsa.
Konsep Sārasamuccaya
Terkait dengan konsep di atas dimaknai bahwa pendidikan agama Hindu menghendaki perubahan tingkah laku secara menyeluruh, utuh, dan integral yang meliputi seluruh aspek (potensi) yang ada pada diri manusia karena manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna di antara makhluk hidup ciptaan Tuhan lainnya, seperti tertuang dalam kitab SārasamuccayaSloka 2 dan 4 sebagai berikut:
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wênang gumawayaken ikang subhāsubha karma, kuneng panêntasakêna ring subhakarma juga ikangaśubhakarma phalaning dadi wwang.
Artinya:
Di antarasemua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Kajeng, dkk, 2005: 8).
Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya,nimittaning mangkana, wênang ya tumulungawaknya sangkeng sangsāra, makasādhanangsubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.''
Artinya:
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia (Kajeng, dkk, 2005: 9).
Kesempurnaan tersebut dilihat dari potensi dasar yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, yaitu potensi yang memungkinkan mereka untuk berkembang dan memberdayakan alam semesta beserta segala isinya sebagai wahana mengembangkan diri dan mempertahankan kehidupannya. Ada tiga potensi dasar yang dimiliki oleh manusia, yaitu Sabda (kemampuan untuk bersuara), Bayu (Potensi berupa tenaga) dan Idep (potensi akal pikiran) yang dikenal dengan Tri Pramana. Tumbuh-tumbuhan memiliki satu potensi dasar yaitu tenaga untuk hidup atau bayu yang disebut eka Pramana, hewan memiliki dua potensi dasar, yaitu tenaga (bayu) dan sabda (suara) yang disebut dwi pramana. Dan manusia dikatakan paling sempurna karena memiliki tiga potensi, yaitu bayu (tenaga), sabda (suara) dan idep (akal-pikiran) yang disebut tri pramana. Dalam konsep Bloom disebut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Depdiknas, 2003: 2). Dengan memiliki tiga potensi dasar tersebut manusia dapat membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan berpikir atau akal yang dimilikinya dapat mengarahkan manusia dari perbuatan yang kurang baik dan mampu memperbaiki prilaku untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Kemampuan tersebut menjadi potensi utama bagi manusia untuk terus meningkatkan kualitas hidupnya. Secara fisik manusia adalah makhluk terlemah, tidak tahan panas, hujan, dingin, kulitnya mudah tergores, namun mereka mampu mengatasi segala kelemahan fisik yang dimilikinya dengan mengembangkan dan menciptakan teknologi sehingga mereka dapat menciptakan suasana yang aman dan nyaman, sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia mampu mendayagunakan alam semesta beserta segala isinya untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, namun pendayagunaan alam harus diimbangi dengan kecerdasan serta sikap yang arif dan bijaksana dengan penuh pertimbangan agar kelestarian alam senantiasa terjaga dengan baik, apabila alam tidak lestari, dapat menimbulkan bencana yang sangat dahsyat. Oleh karena itu mewujudkan manusia yang cerdas dan berprilaku yang baik hendaknya menjadi visi atau cita-cita pendidikan dan pembelajaran. Agar pendidikan nasional mampu mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan suatu strategi yang mantap yaitu langkah-langkah yang disusun secara terencana dan sistematis dengan menggunakan pendekatan, metode dan teknik tertentu. Sebagai pola pemikiran dan perilaku pendidikan yang dapat membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Subagia
Subagia (2007: 2) dalam makalahnya “ Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal” menyatakan bahwa pembelajaran pada dasarnya merupakan proses instruksi yang disampaikan guru kepada siswa. Agar terjadi proses pembelajaran yang baik, guru harus menyiapkan perangkat instruksi yang baik. Dalam hal ini instruksi diartikan sebagai seperangkat perencanaan pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran. Dengan memperhatikan ketiga potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut di atas, pembelajaran dapat direncanakan sesuai dengan kemampuan dasarnya, artinya pembelajaran dapat direncanakan untuk memanfaatkan potensi suara, potensi tenaga atau kemampuan gerak siswa dan potensi akal-pikiran. Potensi suara atau kemampuan berbahasa yang dimiliki siswa dapat dijadikan pijakan untuk merencanakan pembelajaran yang menggunakan kemampuan suara atau bahasa, misalnya mendengarkan informasi (informasi dari guru, radio, televisi), membaca informasi (informasi dari koran, majalah, buku, internet dan media massa lainnya). Potensi tenaga yang dimiliki oleh siswa dapat dijadikan pijakan untuk merencanakan pembelajaran yang memerlukan tenaga atau kegiatan fisik lainnya seperti melakukan pengamatan, kunjungan kerja dan lain sebagainya. Potensi akal-pikiran yang dimiliki siswa dapat digunakan sebagai pijakan untuk merencanakan pembelajaran yang memerlukan kemampuan berpikir seperti menganalisis situasi, memecahkan masalah, menjawab soal dan lain sebagainya.
Belajar pada dasarnya adalah proses yang bermakna untuk mencapai kompetensi/kecakapan hidup (life skill). Kecakapan hidup merupakan kebutuhan setiap orang, karena itulah belajar merupakan kegiatan untuk membentuk, mengembangkan dan menyempurnakan kecakapan hidup. Hanya mereka yang memiliki kecakapan hiduplah yang dapat bertahan dalam kehidupan dan menjadikan hidupnya lebih bermakna. Makna kehidupan terjadi dalam konteksnya, oleh karena itu pelajaran akan menjadi bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata siswa.
Secara garis besarnya, sumber belajar yang dapat digunakan dalam merencanakan pembelajaran ada dua, yaitu sumber belajar yang berupa material dan berupa dokumen informasi. Sumber belajar berupa material adalah bahan-bahan pelajaran yang dapat diamati secara langsung seperti: tumbuhan, hewan, masyarakat dan hasil-hasil teknologi. Sedangkan sumber belajar yang berupa dokumen informasi adalah buku-buku, media massa, majalah dan lain sebagainya. Kedua sumber belajar di atas dapat dipadukan dan bersifat saling melengkapi,
misalnya guru merencanakan pembelajaran tentang hewan dengan memadukan sumber belajar yang digunakan, yaitu dengan menggunakan buku bacaan dan pengamatan langsung terhadap hewan kemudian diteruskan dengan membaca informasi yang ada dalam buku atau dengan membaca buku terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan melihat hewan secara langsung. Perpaduan tersebut akan memperkuat pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Selain direncanakan berhadapan secara langsung dengan materi pelajaran, pembelajaran juga dapat direncanakan dengan memanfaatkan potensi akal pikiran siswa yang berkembang sesuai pengalamannya dan harus diyakini bahwa pikiran siswa tidak kosong. Dengan demikian pembelajaran dapat direncanakan dengan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya. Dalam perkembangannya melalui akal-pikiran, siswa memperoleh berbagai informasi melalui interaksinya dengan lingkungan. Subagia (2007: 3) dikatakan karena proses pembangunan pengetahuan dilaksanakan secara pribadi, tidak menutup kemungkinan pengetahuan yang dibangun bervariasi, dalam arti ada yang sudah benar, ada yang setengah benar, ada yang keliru, dan bahkan ada yang salah. Oleh karena itu untuk mengetahui hal tersebut dapat direncanakan pembelajaran yang mampu mengungkap pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Perencanaan pembelajaran ini dapat dilakukan dengan pemberian soal, pemberian masalah dan pemberian isu-isu yang aktual kepada siswa. Setelah pengetahuan awal siswa diketahui maka langkah berikutnya adalah pemberian instruksi yang dibantu oleh sumber belajar material atau sumber belajar yang berasal dari informasi-informasi yang telah didokumentasikan agar proses pembelajaran menjadi optimal.
Perpaduan sumber belajar antara yang satu dengan yang lainnya dapat memudahkan siswa untuk memahami materi pelajaran, karena siswa mempunyai keterbatasan dalam memahami materi ajar yang bersifat abstrak, sehingga perlu dibantu dengan menunjukkan materi yang bersifat konkret dan kontekstual. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajari, bukan mengetahuinya.
Menurut Syarief (1999)
Indonesia mempunyai penduduk yang cukup besar untk diberdayakan agar memiliki kontribusi terhadap pembangunan sehingga tidak menjadi beban negara. Kualitas Sumber Daya Manusia terbukti menjadi faktor determinan bagi keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Proses pemberdayaan dan peningkatan Sumber Daya Manusia tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan (Syarief, 1991: 1).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
Menurut penjelasan PP RI Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
(2005: 61), visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dengan visi di atas, ciri-ciri pendidikan yang dapat mewujudkan sumber daya manusia berkualitas menurut Syarief (1999: 2) adalah:
1) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan bercirikan kejujuran dan prilaku mulia,
2) Berbudaya ilmiah sehingga mampu menerapkan, mengembangkan dan menguasai tekhnologi yang berakar pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,
3) Menghargai waktu dan mempunyai etos kerja dan disiplin tinggi,
4) Kreatif, produktif, efisien dan berwawasan keunggulan,
5) Mempunyai wawasan kewiraswastaan dan kemampuan manajemen yang handal,
6) Mempunyai daya juang tinggi,
7) Mempunyai wawasan kebangsaan yang mengutamakan kesatuan dan persatuan bangsa,
8) Mempunyai tanggung jawab dan solidaritas sosial yang tinggi,
9) Mempunyai ketangguhan moral yang kuat sehingga tidak tergusur oleh arus negatif globalisasi dan
10) Mempunyai kesehatan fisik yang prima sehingga dapat berpikir dan bekerja secara produktif.
Menurut Syarief (1999), pendidikan yang berorientasi pada pembentukan sumber daya manusia berkualitas idealnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
Beriman dan bertaqwa: Menanamkan nilai-nilai keagamaan yang tercermin dalam perilaku jujur dan mulia.
Berbudaya ilmiah: Mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengintegrasikannya dengan nilai-nilai budaya bangsa.
Berorientasi pada kinerja: Menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, dan disiplin.
Inovatif dan produktif: Mampu berpikir kreatif, menghasilkan karya, dan bekerja efisien.
Wirausaha: Memiliki jiwa kewirausahaan dan kemampuan mengelola usaha.
Tangguh: Memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mudah menyerah.
Nasionalis: Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara.
Peduli sosial: Memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan.
Bermoral: Memiliki ketahanan moral yang kuat untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Sehat: Memiliki kondisi fisik yang prima untuk menunjang aktivitas sehari-hari
Menurut Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Bagus (2000: 14) disebutkan bahwa pendidikan adalah salah satu usaha untuk memberikan segala nilai-nilai kebatinan yang ada pada hidup rakyat yang berkebudayaan (dracht cultur over), tidak hanya berupa pemeliharaan akan tetapi juga dengan maksud memajukan serta mengembangkan kebudayaan menuju arah keluhuran dan kehalusan hidup manusia.
Menurut Adiputra
Menurut Adiputra dalam tulisannya mengenai dana punia untuk pendidikan (2002:7), pendidikan (guna widya) adalah hal yang patut, harus dan wajib diperioritaskan oleh setiap umat, karena kebahagiaan, kesejahteraan dan suka-duka hidup ini ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki oleh setiap umat. Maha Rsi Canakya dalam bukunya Nitisastra III.18 mengatakan: asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumur lima tahun, berikanlah hukuman (pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (16 tahun) didiklah dia sebagai teman (Darmayasa, 1992: 66).
Menurut Swami Siwananda
Tujuan pendidikan menurut Swami Siwananda dalam all About Hinduism sebagaimana dikutip dalam Titib (2003: 57) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mengantarkan seseorang menuju jalan yang benar dengan mewujudkan kebajikan, yang dapat memperbaiki karakternya sehingga mencapai kebebasan, kesempurnaan dan pengetahuan tentang Sang Diri (atma).
Senada dengan pendapat-pendapat di atas maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa latar belakang falsafah pendidikan menurut Veda adalah untuk menjadikan umat manusia meningkat kualitas hidupnya, yaitu manusia yang memiliki kasih sayang dan kebijaksanaan.
Pendidikan agama Hindu adalah upaya sadar dan terencana, menyiapkan peserta didik dalam mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Hindu dari sumber utamanya kitab suci, yaitu Sruti, Smrti, Sila, Acara dan Atmanastusti (Tim Penyusun, 2003: 4). Menurut Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I – XV, pendidikan agama Hindu adalah suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga anak didik sesuai dengan ajaran agama Hindu yang disebut dengan dharma[2] (PHDI, 1998: 23).
Punyatmadja (1994: 9) berpendapat bahwa pendidikan agama Hindu adalah pendidikan yang dilakukan melalui suatu proses yang disebut “aguron-guron” atau “ asewaka guru” yang artinya proses pendidikan yang menggunakan petunjuk-petunjuk kerohanian, amal, pengabdian yang disebut dengan dharma. Uraian Puniatmaja di atas menekankan pada ketaatan para siswa dalam proses pembelajaran kerohanian, sedangkan dalam Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I – XV lebih menekankan kepada anak didik agar hidup bermasyarakat sesuai dengan ajaran agama Hindu. Dengan demikian semua pendidikan hendaknya memperhatikan pembinaan sikap mental dan akhlak luhur bangsa agar peserta didik mampu membangun dirinya dan masyarakatnya. Tegasnya tujuan pendidikan agama Hindu adalah untuk membentuk manusia yang sujana, susila, dan subrata serta memiliki kepekaan sosial. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Hindu adalah suatu upaya yang dilaksanakan secara sadar dan terencana untuk membangun kualitas mental pribadi siswa sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Mencapai moksartham jagadhita
Pendidikan agama Hindu bertujuan untuk membantu siswa mencapai moksartham jagadhita, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan bagi diri sendiri dan seluruh makhluk. Proses pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan kesadaran akan tujuan hidup, memperkuat nilai-nilai moral, dan membekali siswa dengan pengetahuan yang relevan untuk menghadapi tantangan kehidupan.
Moksartham jagadhita[3]dan moksa memiliki makna yang berbeda, meskipun saling berkaitan.
Moksa adalah tujuan akhir dalam ajaran Hindu, yaitu pembebasan dari siklus kelahiran kembali (samsara) dan penyatuan diri dengan Brahman, atau realitas tertinggi. Moksa sering diartikan sebagai pencapaian pencerahan spiritual yang sempurna.
Moksartham jagadhita adalah sebuah frasa yang berarti "untuk mencapai moksa dan kesejahteraan dunia". Ini adalah tujuan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya fokus pada pencapaian spiritual individu, tetapi juga mencakup tanggung jawab sosial dan kesejahteraan umat manusia.
Pendidikan agama Hindu diarahkan untuk membangun kualitas mental pribadi siswa agar memiliki visi yang jelas, wawasan dan pengetahuan yang kontekstual, tujuan hidup yang jelas, komitmen terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup secara humoris dan kreatif dalam masyarakat yang pluralistik, kepedulian terhadap lingkungan dan berkarya sesuai dengan swadarmanya. Kualitas mental tersebut menjadi penentu arah, motivator, fasilitator dalam pengembangan swadarma hidupnya. Pendidikan agama Hindu diharapkan dapat membangun kesadaran tentang kehidupan, yaitu sadar bahwa hidup itu adalah untuk mencari makan, mendapatkan rasa aman, diterima oleh masyarakat, mendapatkan status kehormatan dan hidup untuk menemukan makna hidup sesuai dengan fungsi pendidikan agama Hindu, yaitu:
1. Penanaman nilai-nilai ajaran agama Hindu yang dapat dijadikan pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan hidup (Moksartham Jagadhita). 2. Pengembangan Sradha dan Bhakti kehadapan Hyang Widhi (Tuhan). 3. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum. 4. Penyiapan kemampuan sikap mental siswa yang ingin melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi. 5. Mempersiapkan kematangan dan daya resistensi siswa dalam mengadaptasi diri terhadap lingkungan fisik dan sosial. 6. Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. 7. Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif yang diakibatkan oleh pergaulan dunia luar.
Fungsi pendidikan agama Hindu tersebut di atas sesuai dengan tujuan pendidikan agama Hindu, yaitu bertujuan untuk menumbuhkembangkan dan meningkatkan Sradha (iman) dan Bhakti (ketaqwaan) siswa kehadapan Tuhan melalui pelatihan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu, sehingga menjadi insan Hindu yang darmika dan mampu mewujudkan cita-cita luhur Moksartham Jagadhita (Tim Penyusun, 2003: 5).
Sad Dharma
Sad dharma[4] adalah kunci untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama Hindu dengan lebih baik. Melalui metode-metode seperti dharma wacana, dharma sadhana, dan dharma santi, kita diajak untuk tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga menghayati dan menerapkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru-guru di Pasraman antara lain dengan menggunakan metode pembinaan agama Hindu yang dikenal dengan sad dharma, yaitu:
a. Dharma Tula, yaitu bertimbang wirasa atau berdiskusi.
Tujuan metode dharma tula adalah sebagai salah satu metode yang dapat dipakai sarana untuk melaksanakan proses pembelajaran agar siswa lebih aktif, dengan harapan para siswa nantinya mampu dan memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat serta dalam rangka melatih siswa untuk berargumentasi dan berbicara tentang keberadaan Hindu.
b. Dharma Wacana, adalah metode pembelajaran agama Hindu yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan materi pembelajaran agama Hindu kepada siswa.
c. Dharma Gita, adalah nyanyian tentang dharma atau sebagai dharma, maksudnya ajaran agama Hindu yang dikemas dalam bentuk nyanyian spiritual yang bernilai ritus sehingga yang menyanyikan dan yang mendengarkannya sama-sama dapat belajar menghayati serta memperdalam ajaran dharma.
d. Dharma Yatra, yaitu usaha meningkatkan pemahaman dan pengalaman pembelajaran agama Hindu melalui persembahyangan langsung ke tempat-tempat suci.
e. Dharma Sadhana, adalah realisasi ajaran dharma yang harus ditanamkan kepada siswa dalam rangka meningkatkan kualitas diri untuk selalu taat dan mantap dalam menjalankan ajaran agama Hindu.
f. Dharma Santi, yaitu kebiasaan saling memaafkan di antara sesame umat, bahkan di antara umat beragama.
Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" terwujud dalam kunjungan ke Pura Giripati Mulawarman. Melalui dialog lintas iman, peserta TEPELIMA ke-4 merasakan langsung bagaimana keberagaman agama dan budaya dapat memperkaya kehidupan bersama. Arsitektur pura yang unik menjadi latar bagi pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang memperkuat semangat persatuan dalam keberagaman.
Memperkuat toleransi dan saling pengertian antar umat
Kunjungan ke Pura Giripati Mulawarman dalam acara TEPELIMA[1] ke-4 menjadi ajang edukasi interkultural yang berharga. Peserta tidak hanya menikmati keindahan arsitektur Bali, tetapi juga mendapatkan wawasan mendalam tentang agama Hindu dari para pemandu. Pengalaman ini menunjukkan bahwa dialog lintas iman dapat menjadi sarana efektif untuk memperkuat toleransi dan saling pengertian antarumat beragama.