Dalem Di Made

Dalem Di Made adalah seorang raja Bali yang mungkin telah memerintah pada periode 1623-1642 di Kerajaan Gelgel.[1] Ia adalah anggota dari dinasti keturunan Ksatria dari Kerajaan Majapahit di Jawa dan menetap di Bali.

Pemerintahan

Dalem Di Made adalah salah satu dari empat belas putra Dalem Seganing. Setelah kematian pendahulunya, tertanggal 1623 dalam satu sumber, ia berhasil naik tahta Gelgel. Sumber utama pemerintahannya adalah Babad Dalem, karya literatur dari abad ke-18, dan catatan tentang pemerintahannya tidak sepenuhnya koheren. Babad Dalem memuji kemegahan istana Swecapura dengan istilah indah dan bersinar, dan memberikan banyak rincian tentang bangsawan yang terikat pada istananya.[2] Teks sejarah lainnya, Babad Ratu Tabanan, memberikan rincian tentang ekspedisi militer ke Jawa pada masa pemerintahannya. Tentara Bali, yang dipimpin oleh raja bawahan Gusti Wayahan Pamedekan, bertemu dengan Sultan Agung dari Mataram (berkuasa 1613–1646) dan dikalahkan secara meyakinkan.[3]

Kehilangan kekuasaan

Bagian terakhir dari Babad Dalem menceritakan bahwa kekuatan raja akhirnya menurun, dan bahwa berbagai bangsawan meninggalkan Gelgel. Kepala menteri raja, Anglurah Agung (wafat 1686), merebut kekuasaan, dan penguasa lama terpaksa mengungsi ke desa di dataran tinggi Guliang di kabupaten Bangli modern, di mana ia akhirnya meninggal. Bangsawan yang setia terutama Ki Gusti Kubontubuh (Kyayi Jumbuh) kemudian mampu menghidupi kedua putranya dan mengalahkan Anglurah Agung. Sebuah istana kerajaan baru kemudian dibangun di Klungkung (Semarapura), empat kilometer sebelah utara kediaman Gelgel lama.[4] Putra tertua dari almarhum raja, Dewa Agung Jambe I, ditetapkan sebagai penguasa, tetapi tidak seperti para pendahulunya, ia tidak dapat memegang kekuasaan atas seluruh Bali.[5] Pulau itu pada dasarnya terpecah menjadi sembilan kerajaan otonom yang akan bertahan hingga abad ke-19.[6]

Catatan eksternal pemerintahan

Dari sumber non-Bali diketahui bahwa Kerajaan Gelgel masih mengklaim Blambangan di Jawa Timur, Lombok, dan Sumbawa (termasuk bagian timurnya, Bima), pada tahun 1630-an.[7]

Perusahaan Hindia Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) mencoba mendapatkan Gelgel sebagai sekutu politik melawan Mataram pada tahun 1633, yang berakhir gagal. Belakangan, Bali melakukan serangkaian perang sendiri dengan Mataram atas kepemilikan Blambangan, pada rentang tahun 1635-1647. Akhirnya, pengaruh Bali atas Blambangan menang. Menurut sumber VOC, meninggalnya seorang penguasa Gelgel pada tahun 1651 menimbulkan konflik internal di Bali.[8] Kemudian, dari tahun 1665, Belanda mengadakan kontak dengan tuan baru Gelgel, Anglurah Agung dari Bali. Anglurah Agung ini disebutkan oleh teks-teks Bali dan Belanda sebagai tewas dalam pertempuran pada tahun 1686.[9] Tanggal sebenarnya kematian Dalem Di Made masih diragukan. Sejumlah sumber Bali menyebutkan tanggal 1642. Juga dikatakan bahwa ia adalah penguasa yang wafat pada tahun 1651, atau bahwa pemerintahannya berakhir paling lambat c. 1665.[10] Ia adalah penguasa Gelgel pertama yang disebutkan namanya dalam sumber Belanda, karena pangeran Bali, Raja Sangsit, yang menetap di Batavia pada tahun 1687, mengaku sebagai keponakannya.[11]

Keluarga

Dalem Di Made memiliki tujuh permaisuri: Istri pertama dan kedua adalah dua saudara kembar, Ni Gusti Peling. Istri ketiga bernama Ni Gusti Pacekan, putri Kiyayi Ler. Istri keempat bernama Ni Gusti Tangkeban, putri Gusti Agung. Istri kelima bernama Ni Gusti Selat, putri Gusti Kamasan. Istri keenam adalah putri Ki Dukuh Suladri; dan istri ketujuh adalah putri Gusti Jambe Pule dari Badung. Dia menjadi bapak sembilan putra; delapan di antaranya disebutkan dalam Babad Dalem. Sumber-sumber kemudian menyebutkan seorang putra lagi, Dewa Agung Jambe, yang kemudian menjadi penguasa pertama Klungkung pada tahun 1686.[12]

  • I Dewa Pemayun
  • I Dewa Pacekan
  • I Dewa Ketut
  • I Dewa Budi
  • I Dewa Bukian
  • I Dewa Tampuagan.
  • I Dewa Batan Nyambu
  • I Dewa Gianyar.
  • I Dewa Agung Jambe I, Pendiri Klungkung

Referensi

  1. ^ Candrasangkala [1], pp. 25-6.
  2. ^ I Wayan Warna et al. (tr.) Babad Dalem; Teks dan Terjemahan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tingkat I Bali 1986, pp. 94–5.
  3. ^ A.A. Gde Darta et al. (tr.), Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan. Denpasar: Upada Sastra 1996, pp. 100-1.
  4. ^ Margaret J. Wiener, Visible and invisible realms. Power, magic, and colonial conquest in Bali. Chicago & London: The University of Chicago Press 1995, pp. 128-9.
  5. ^ Helen Creese, "Sri Surawirya, Dewa Agung of Klungkung (c. 1722-1736): The historical context for dating the Kakawin Parthayana", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991.
  6. ^ A. Vickers, Bali, a paradise created. Singapore: Periplus 1989, p. 56–8.
  7. ^ Hans Hägerdal, "‘From Batuparang to Ayudhya; Bali and the Outside World, 1636-1656", Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 154 1998, pp. 70-1.
  8. ^ J.K.J. de Jonge, De opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indië, Vol. VI. 's-Gravenhage: Nijhoff 1872, p. 94.
  9. ^ H.J. de Graaf, "Goesti Pandji Sakti, vorst van Boeleleng", Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 83.
  10. ^ H. Creese, 'Balinese Babad as Historical Sources; A Reinterpretation of the Fall of Gelgel', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 147 1991.
  11. ^ H. Hägerdal, 'Bali in the Sixteenth and Seventeenth Centuries; Suggestions for a Chronology of the Gelgel Period', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 1995, p. 118.
  12. ^ I Wayan Warna et al. (tr.) 1986, pp. 94–5; H. Creese 1991.

Lihat pula

Daftar Pustaka

  • C.C. Berg, De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees.
Didahului oleh:
Dalem Seganing
Raja Bali
1623-1642
Diteruskan oleh:
Dewa Pacekan