Kerajaan Bedahulu

Kerajaan Badahulu
Kerajaan Péjéng
Kerajaan Singamandawa
Singhadwala

883 M–1347 M
Ibu kotaPejeng
Bahasa yang umum digunakanBali (utama)
Kawi dan sansekerta (religius)
Agama
Hindu (resmi)
PemerintahanMonarki
Raja 
• 882–913
Sri Kesari Warmadewa
• 1345–1347
Dalem Makambika
Sejarah 
• Didirikan
883 M
• Dikalahkan oleh Majapahit
1347 M
Digantikan oleh
Majapahit
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Badahulu atau Bedulu (disebut juga Kerajaan Pejeng karena lokasinya di Pejeng) adalah kerajaan kuno di pulau Bali pada abad ke-8 sampai abad ke-14 Masehi, yang memiliki pusat kerajaan di sekitar Pejeng (baca: pèjèng) atau Bedulu, Kabupaten Gianyar, Bali.

Diperkirakan kerajaan ini diperintah oleh raja-raja keturunan dinasti Warmadewa. Penguasa terakhir kerajaan Bedulu (Dalem Badahulu) yang menentang ekspansi kerajaan Majapahit pada tahun 1343 pimpinan Gajah Mada, namun berakhir dengan kekalahan Bedulu. Perlawanan Bedulu kemudian benar-benar padam setelah pemberontakan keturunan terakhirnya (Dalem Makambika) berhasil dikalahkan tahun 1347 M.

Setelah itu Gajah Mada menempatkan seorang keturunan brahmana dari Jawa bernama Sri Kresna Kepakisan sebagai raja (Dalem) di pulau Bali. Keturunan dinasti Kepakisan inilah yang di kemudian hari menjadi raja-raja di beberapa kerajaan kecil di Pulau Bali.

Sejarah

Nama Pejeng mulai dikenal sejak tahun 1705, melalui laporan naturalis Belanda Georg Everhard Rumphius, berjudul Amboinsche Reteitkamer. Dalam laporan tersebut, Rumphius menyebut keberadaan genderang (nekara) berbahan perunggu yang kemudian hari disebut Bulan Pejeng. Rumphius sendiri belum pernah melihat benda tersebut. Dia mendapat informasi dari orang lain yang menyatakan bahwa di Pejeng ada benda misterius dari perunggu. Benda ini dianggap meteorit dan bidang pukulnya yang bulat dianggap sebagai bulatan roda. Rumphius menulis, benda ini semula tergeletak di tanah, tidak seorang pun yang berani memindahkan karena takut mendapat celaka. Inventarisasi kepurbakalaan yang dilakukan Oudheidkundige Dienst (OD) atau Jawatan Purbakala Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian diteruskan oleh Balai Kepurbakalaan Indonesia, menemukan kenyataan Desa Pejeng memiliki peninggalan arkeologis yang amat beragam dan tersebar hampir di seluruh pelosok desa. Peninggalan-peninggalan purba dan tulisan-tulisan yang ada membuat para ahli memperkirakan Pejeng adalah pusat Kerajaan Bali Kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Bedahulu (883-1343 M). Kata "pejeng" sendiri diduga berasal dari kata "pajeng" (payung), karena dari desa inilah raja-raja Bali Kuno memayungi rakyatnya. Ada juga yang menduga berasal dari kata pajang, bahasa Jawa Kuno yang berarti sinar. Bagi tetua di Pejeng, sebelum Pejeng desa itu disebut Soma Negara, ibu kota Kerajaan Singamandawa.

Bulan Pejeng yang kini disimpan di Pura Penataran Sasih adalah nekara terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia: tinggi 186,5 cm dan garis tengah bidang pukul 160 cm. Nekara bertipe moko ini dalam perkembangan lebih lanjut menjadi model pertama untuk semua jenis moko yang kini banyak dijumpai di wilayah Indonesia lainnya dalam ukuran lebih kecil. Nama nekara terdapat dalam berbagai bahasa mulai dari kettledrum (Inggris), pauke atau metalltrommeln (Jerman), ketletrom (Belanda), kedeltrommeln (Denmark), hingga tambour metallique (Prancis), sebagai nama yang paling sering digunakan. Di Indonesia, nekara memiliki nama lokal beragam, seperti bulan untuk menyebut nama nekara dari Pejeng (Bali), tifa guntur (Maluku), makalamau (Sangeang), moko (Alor), kuang (Pulau Pantar), dan wulu (Flores Timur).

Bulan Pejeng berasal dari kebudayaan logam terutama perunggu di Asia Tenggara dimulai sekitar 3000-2000 SM berdasarkan hasil temuan di situs Dongson, Provinsi Thanh Hoc, Vietnam Utara. Nekara yang masih disakralkan oleh masyarakat Bali ini menunjukkan, bahwa di Masa Pra-Sejarah Pejeng telah dihuni oleh masyarakat yang memiliki tingkat kebudayaan tinggi dan terhubung dengan masyarakat internasional jauh sebelum pengaruh agama Hindu sampai di Bali.

Salah satu prasasti berangka tahun 875 Saka/953 M berbahasa Sansekerta menyebut nama "Sri Walipuram" yang mengandung arti, bahwa Bali merupakan suatu kerajaan. Selain itu juga, ada beberapa prasasti yang menyebut kata baladwipamandala, misalnya Prasasti Klandis menyebutkan;

“… ring maniratna singhasana siniwi sabalidwipamandala…” artinya: “… (sang raja) yang duduk di atas singgasana bertahtakan emas-permata dipuja oleh seluruh rakyat di wilayah Pulau Bali…”

Selanjutnya dalam Prasasti Dausa Indrakila A II (983 Saka/1061 M) menyebutkan:

“… nityasa kuminking sakaparipunnakna nikang balipamandala…” artinya: “… (raja) senantiasa memikirkan kesejahteraan rakyat di seluruh wilayah Pulau Bali…”.

Selain ungkapan tersebut, dalam Prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1103 Saka/1181 M, Bali disebut dengan istilah “baliwipanagara” yang dapat diartikan Bali merupakan suatu Negara.

Keberadaan Kerajaan Bali Kuno ini juga dikuatkan dengan peninggalan arca-arca kuno yang diletakkan dalam lingkungan pura di Pejeng yang dilindungi oleh masyarakat sampai sekarang, Misalnya saja, Arca Bhairawa di Pura Kebo Edan, Arca Ratu Mecaling di Pura Pusering Jagat (Pura Tasik), Pura Manik Galag (Pura Manik Corong) sebagai Pura Sad Kahyangan atau setananya Bhatara Manik Galang dan Pura Penataran Sasih.

Penemuan fragmen-fragmen pada prasasti di Pejeng juga mengungkap sejarah dan perkembangan aliran agama di Bali sejak sebelum abad ke-8 M. Penelitian ahli purbakala, Dr. R. Goris, yang diterbitkan pada 1926 menyebutkan, di masa Raja Dharma Udayana terdapat sembilan aliran keagamaan dengan penganut yang hidup berbaur dan berdampingan, yakni: Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Ke-sembilan aliran itu kemudian dikristalisasi oleh Senapati Mpu Rajakerta yang lebih dikenal sebagai Mpu Kuturan, dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Pakraman (Desa Adat Bali) hingga kini. Penyatuan aliran-aliran itu dipercaya terjadi di Pura Samuan Tiga, Pejeng.

Pejeng sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Bali Kuno yang menurunkan raja-raja besar dari Dinasti Warmadewa, berakhir setelah penyerbuan Patih Gajah Mada dari Majapahit ke Bali pada 1343 M. Oleh Gajah Mada, pusat Kerajaan dipindahkan ke Gelgel. Pada 1686, pasca raja terakhir Dinasti Gelgel, Dalem Di Made wafat, pusat kerajaan dipindahkan Klungkung. Pada periode Klungkung inilah, kekuasaan di Bali terpecah menjadi sembilan swapraja atau kerajaan kecil.[1]

Silsilah Raja-Raja Badahulu

Berikut adalah daftar silsilah raja yang berkuasa di Kerajaan Badahulu;

Wangsa Warmadewa

Berikut adalah raja-raja yang dianggap termasuk dalam wangsa Warmadewa:[2][3][4]

  • Śri Kesari Warmadewa (ca. 913-914 M), disebutkan dalam prasasti Blanjong (835 Ç), prasasti Panempahan dan prasasti Malet Gede (835 Ç)
  • Śri Ugrasena (ca. 915-942 M). Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Ç (915-942 M). Sedikitnya ada sembilan buah prasasti yang dikeluarkan, dan semuanya berbahasa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah prasasti Srokadan (837 Ç), Babahan I (839 Ç), Sembiran AI (844 Ç), Pengotan AI (846 Ç), Batunya AI (855 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila AI (857 Ç), Serai AI (858 Ç), Dausa, Pura Bukit Indrakila BI (864 Ç), Gobleg, Pura Batur A.
  • Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa (ca. 955-967 M) memerintah bersama dengan permaisurinya yaitu Sri Subhadrika Dharmmadewi pada kurun waktu 877-889 Ç (955-977 M). Sedikitnya ada 4 prasasti yang memuat nama raja suami-istri tersebut, yakni prasasti Manik Liu AI (877 Ç), Manik Liu BI (877 Ç), Manik Liu C (877 Ç), Kintamani A (889 Ç)
  • Indrajayasingha Warmadewa disebut juga Candrabhaya Singha Warmadewa (penguasa bersama, Saka 878-896/ca. 956-974 M), pendiri Tirta Empul dan berdasarkan prasasti Manukaya (882 Ç)
  • Janasadhu Warmadewa (ca. 975 M), satu-satunya prasasti atas nama raja tersebut adalah prasasti Sembiran AII (897 Ç).[5]
  • Śri Wijaya Mahadewi (ratu, ca. 983 M), Satu-satunya prasasti menyebut nama raja ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Ç)
  • Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni (ratu, sebelum 989-1007 M).[a] Memerintah bersama Dharma Udayana Warmadewa (ca. 989-1011 M) [suami Gunapriya] Raja suami-istri itu termuat dalam beberapa prasasti, yakni Prasasti Bebetin A I (911 Ç), Serai AII (915 Ç), Buwahan A (916 Ç), Sading A (923 Ç). Dalam prasasti, nama Gunapriyadharmapatni lebih dahulu disebutkan daripada Udayana. Pada tahun 933 Ç, terbit sebuah prasasti atas nama raja Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni Prasasti Batur, Pura Abang A (933 Ç).
  • Śri Ajñadewi atau Çri Adnya Dewi (ratu, ca. 1011-1016 M) yang mengeluarkan prasasti Sembiran AIII (938 Ç)
  • Airlangga (c. 1019-1042; Raja Medang Kahuripan) [kakak Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu]
  • Dharmawangsa Wardhana Marakatapangkaja atau Marakata Pangkaja Sthana Tunggadewa atau Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa(ca. 1016-1025 M) [anak Dharma Udayana] yang mengeluarkan prasasti-prasasti antara lain Prasasti Batuan (944 Ç), Prasasti Sawan AI (945 Ç), Tengkulak A (945 Ç), Buwahan B (947 Ç).
  • Anak Wungsu (ca. 971-999 Ç, 1025-1077 M) [adik Airlangga dan Marakata Pangkaja] Raja yang memerintah terlama diantara raja-raja pada jaman Bali Kuno. Ada 31 prasasti dikeluarkannya atau yang dapat diidentifikasikan sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya.
  • Śri Maharaja Walaprabhu (antara 1001-1010 Ç, 1079–1088 M) mengeluarkan tiga buah prasasti yaitu Prasasti Babahan II, prasasti Ababi A, prasasti Klandis.
  • Śri Maharaja Sakalendukirana Laksmidhara Wijayottunggadewi atau Paduka Sri Maharaja Sri Çlendukirana Isana Gunadharmma Lakumidhara Wijayatunggadewi (ratu, ca. 1088-1101 M) Gelar ini terbaca dalam prasasti Pengotan BI (1010 Ç) dan Pengotan BII (1023 Ç).
  • Śri Maharaja Sri Suradhipa (ca. 1115-1119) mengeluarkan prasasti-prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Ç), Angsari B (1041 Ç), Ababi, dan Tengkulak D.
  • Setelah berakhirnya masa pemerintahan raja Suradhipa, dimulailah masa pemerintahan "Wangsa Jaya" yang merupakan pecahan dari wangsa Warmadewa, secara beruntun memerintah di Bali terdapat empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu:
  1. Paduka Śri Maharaja Śri Jayaśakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M)
  2. Paduka Śri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M)
  3. Paduka Śri Maharaja Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M)
  4. Paduka Śri Maharaja Ekajayalancana beserta ibunya yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjjaya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasastinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).[6]

Wangsa Jaya

Berikut daftar raja Bali Kuno, Wangsa Jaya;[4]

Wangsa Singasari

Singasari menaklukkan Bali tahun 1284 M (1208 Ç)

  • Kryan Demung Sasabungalan (Saka 1206/1284 M)
  • Rajapatih Makakasar, Kbo Parud atau Kebo Parud Makakasir (wakil Singasari, ca. 1296-1324 M)[c] disebutkan dalam prasasti Pengotan E (1218 Ç) dan Sukawana D (1222 Ç). Apabila dilihat dari angka tahun prasasti yang dikeluarkan, maka rajapatih ini mengisi kekosongan pemerintahan setelah masa pemerintahan Raja Adidewalancana.
  • Sri Masula Masuli (Saka 1246/1324 M)

Singasari runtuh dan Bali menjadi kerajaan mandiri.

  • Mahaguru Dharmottungga Warmadewa atau Bethara Çri Maha Guru (sebelum 1324-1328 M) atau Bhatara Sri Mahaguru (1246-1247 Ç). Ia mengeluarkan tiga buah prasasti, namun memuat gelarnya berbeda-beda. Dalam prasasti Srokadan (1246 Ç) disebut dengan Paduka Bhatara Guru yang memerintah bersama-sama dengan cucunya (putunira), yakni Paduka Aji Sri Tarunajaya. Dalam prasasti Cempaga C (1246 Ç) disebut dengan gelar Paduka Bhatara Sri Mahaguru dan dalam prasasti Tumbu (1247 Ç) Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa.[4]
  • Walajayakertaningrat atau Çri Walajaya Krethaningrat atau Paduka Tara SriWalajayakattaningrat (1250 Ç, 1328-1337 M) [anak Dharmottungga], terbaca dalam prasasti Selumbung.[4]
  • Śri Astasura Ratna Bumi Banten atau disebut juga Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabhumibanten (ca. 1337-1343 M)[d] Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Ç.[4]

Majapahit menaklukkan Bali 1343 M.

Sisa peninggalan

Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli; di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem; serta di desa-desa Sembiran, Cempaga, Sidatapa, Pedawa, Tigawasa, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.

Beberapa objek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah Pura Jero Agung, Pura Samuan Tiga, Goa Gajah, Pura Bukit Sinunggal.

Referensi

  1. ^ "Sejarah Kerajaan Pejeng". www.pejeng.desa.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-06. Diakses tanggal 2019-02-14. 
  2. ^ (Inggris) The people of Bali Angela Hobart p.24
  3. ^ Sejarah 2. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-906-1. 
  4. ^ a b c d e "Tercatat 23 Nama Raja pada Masa Bali Kuno – Siapa Saja Mereka?". tatkala.co (dalam bahasa Inggris). 2020-01-29. Diakses tanggal 2020-10-20. 
  5. ^ Burials, texts and rituals Brigitta Hauser-Schäublin p.45
  6. ^ Dawan, Lanang (Sabtu, 14 Mei 2011). "ŚRI SURADHIPA". PEMECUTAN-BEDULU-MAJAPAHIT. Diakses tanggal 2019-12-18. 

Daftar pustaka

  • Sejarah Bali. Nyoka, Penerbit & Toko Buku Ria, Denpasar, 1990.

Catatan

  1. ^ ia memiliki tiga orang putra, Airlangga (Raja Medang-Kahuripan), Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu.
  2. ^ Permaisuri Jayapangus dan ibu dari Ekajayalancana. Tidak diketemukan tahunnya, namun diperkirakan bersama Ekajayalancana
  3. ^ Pada masanya terjadi gelombang kedatangan para Arya dan rohaniawan dari Kerajaan Singasari serta kedatangan para Mpu keturunan Saptra Rsi bersama Bhujangga
  4. ^ Para patihnya yang terkenal Pasung Grigis dan Kebo Iwa

Pranala luar