Kerajaan Karangasem

Kerajaan Karangasem

ᬓᬭᬗᬲᭂᬫ᭄
Karang Semadi
1600–1894
Bendera Kerajaan Karangasem
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang

Peta ini (Lombok abad 19.jpg) kemungkinan bermasalah, harap tinjau keabsahannya.

Templat pemeliharaan ini akan ditampilkan hingga masalah telah diatasi.

StatusKerajaan Maritim
Ibu kotaAmlapura
Bahasa yang umum digunakanBali (Utama) Sansekerta dan Kawi (Religius)
Agama
Hindu (Resmi)
PemerintahanMonarki Kerajaan
Anak Agung Agung 
• 1600 - ?
Gusti Nyoman Karang (pertama)
• 1908 - 1966
I Gusti Bagus Jelantik (terakhir)
Sejarah 
• Didirikan
1600
• Ditaklukkan Hindia Belanda
1894
Didahului oleh
Digantikan oleh
Gelgel
Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Karangasem (bahasa Bali: ᬓᬭᬗᬲᭂᬫ᭄, translit. Krajaan Karaṅasĕm) adalah salah satu kerajaan maritim Hindu yang berdiri pada abad ke-17 di bagian timur Pulau Bali. Pada masa kejayaannya, kerajaan Karangasem memiliki wilayah kekuasaan hingga Pulau Lombok, bahkan pada akhirnya menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun 1839.[1][2][3]. Setelah ditaklukkan Belanda pada tahun 1894, kerajaan ini berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Karangasem berstatus sebagai Daerah Tingkat II Karangasem dalam pemerintahan Provinsi Bali.

Sejarah

Asal nama

Nama Karangasem sebenarnya berasal dari kata Karang Semadi. Beberapa catatan yang memuat asal-muasal nama karangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang.

Pada prasasti tersebut diceritakan, bahwa pada tahun 1072 Saka, tanggal 12 bulan separo terang, Wuku Julungwangi di bulan Cetra, Bathara Guru menitahkan salah satu puteranya Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi ”...gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul...”, yang artinya ”datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata”.

Hyang Agnijaya diceritakan datang bersama dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Gunung Lempuyang dipilih Bathara Guru sebagai tempat untuk menyebarkan kasih-Nya bagi keselamatan umat manusia.

Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata lampu yang artinya terpilih, dan Hyang yang berarti Tuhan (Bathara Guru, Hyang Parameswara). Di Adri Karang inilah Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat bersemadi (Karang Semadi). Lambat laun nama Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.[4]

Berdirinya Kerajaan Karangasem

Pada abad ke-16 sampai abad ke-17, Karangasem berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dengan rajanya I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla menikahi janda I Gusti Arya Batanjeruk, patih kerajaan yang melakukan pemberontakan dan dibunuh di Desa Bungaya, dengan syarat bahwa setelah pernikahan keduanya, kelak anak dari janda Batanjeruklah yang menjadi penguasa. Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan kekuasaan kepada putra dari janda Batanjeruk inilah menandai awal mula berdirinya Kerajaan Karangasem yang dipegang oleh Dinasti Batanjeruk.[4]

Penaklukan Buleleng dan Lombok serta Penaklukkan Karangasem oleh Belanda

Para pemimpin yang terlibat perang di Lombok tahun 1894: Anak Agung Ketut Karangasem, Mayor Jenderal P.P.H. van Ham,[1] Mayor Jenderal J.A. Vetter (komandan),[1] Residen M.C. Dannenbargh, dan Gusti Gede Jelantik.
Gusti Gede Jelantik dan putranya, Gusti Bagus Jelantik, di Puri Agung Karangasem (sekitar tahun 1900-an).

Setelah Raja I Gusti Anglurah Ketut Karangasem wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gede Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat itu wilayah Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana.[4] Setelah wafat, I Gusti Gede Ngurah Karangasem digantikan oleh putranya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan nama I Gusti Gede Lanang Karangasem.

Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan kekuasaan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem, I Gusti Lanang Peguyangan, menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem berbalik dikuasai oleh raja Buleleng, I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan seorang punggawa kerajaan yang bernama I Gusti Bagus Karang pada tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.

Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem, berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gede Cotong menjadi raja Karangasem.[4] Setelah I Gusti Gede Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gede Karangasem.[4]

Kelompok-kelompok bangsawan Bali dari Kerajaan Karangasem kemudian mulai menguasai bagian barat Pulau Lombok. Salah satu dari mereka, yaitu kelompok Bali-Mataram, berhasil menguasai lebih banyak daripada kelompok asal Bali lainnya, dan bahkan pada akhirnya menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun 1839.[1][2][3] Sejak saat itu kebudayaan istana Bali juga turut berkembang di Lombok.[2]

Pada tanggal 25 Agustus 1891, putra penguasa Bali-Mataram yaitu Anak Agung Ketut Karangasem dikirim, beserta 8.000 orang tentara, untuk menumpas pemberontakan di Praya, yang termasuk wilayah Kerajaan Selaparang. Pada tanggal 8 September 1891, pasukan kedua, di bawah putra lainnya, Anak Agung Made Karangasem, yang berkekuatan 3.000 orang dikirimkan sebagai pasukan tambahan.[1] Karena tentara kerajaan tampak dalam kesulitan untuk mengatasi keadaan, diminta lagi bantuan penguasa bawahan Karangasem, yaitu Anak Agung Gede Jelantik, untuk mengirimkan 1.200 orang pasukan elit untuk menuntaskan pemberontakan.[1] Perang berkecamuk berkepanjangan sejak 1891 hingga 1894, dan tentara Bali-Mataram yang lebih canggih persenjataannya dilengkapi dengan dua kapal perang modern, Sri Mataram dan Sri Cakra, berhasil menduduki banyak desa yang memberontak dan mengelilingi kubu perlawanan Sasak yang terakhir.[1]

Pada tanggal 8 November 1894, Belanda secara sistematis menembakkan meriam kepada posisi pasukan Bali di Cakranegara, sehingga menghancurkan istana, menewaskan sekitar 2.000 orang Bali, sementara mereka sendiri kehilangan 166 orang.[3] Pada akhir November 1894, Belanda telah berhasil mengalahkan semua perlawanan Bali, dengan ribuan orang Bali menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan.[2] Lombok dan Karangasem selanjutnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan pemerintahan dijalankan dari Bali.[2] Gusti Gede Jelantik diangkat sebagai Regent oleh Belanda pada tahun 1894, dan ia memerintah hingga tahun 1908.[5]

Masa kolonial

Zaman pendudukan Belanda

Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem saat menerima kunjungan Gubernur Jenderal Dirk Fock pada tahun 1925.
Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem bersama istrinya. Perabotan-perabotan Puri Agung Karangasem yang tampak dalam foto adalah hadiah pemberian Ratu Wilhelmina dari Belanda.

Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu:

  • Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok
  • Zelfbestuurend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli
  • Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem

Demikianlah di Kerajaan Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder (penguasa) yaitu I Gusti Gede Jelantik pada tahun 1894-1908, dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem (Dewata di Maskerdam) pada tahun 1908-1950,[4] yang membawahi 21 Punggawa, yaitu Karangasem, Seraya, Bugbug, Ababi, Abang, Culik, Kubu, Tianyar, Pesedahan, Manggis, Antiga, Ulakan, Bebandem.[6] Dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 16 Desember 1921 No. 27 Stbl. No. 756 tahun 1921, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1922, Gouvernements Lanschap Karangasem dihapuskan, diubah menjadi daerah otonomi, langsung di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, terbentuklah Karangasem Raad yang diketuai oleh Regent I Gusti Bagus Jelantik, sedangkan sebagai Sekretaris dijabat oleh Controleur Karangasem.

Sebagai Regent, I Gusti Bagus Jelantik masih mempergunakan gelar Stedehouder. Jumlah Punggawa yang sebelumnya berjumlah 14 buah dikurangi lagi sehingga menjadi 8 buah, yaitu: Rendang, Selat, Sidemen, Bebandem, Manggis, Karangasem, Abang, Kubu. Dengan Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tertanggal 4 September 1928 No. 1, gelar Stedehouder diganti dengan gelar Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem. Dengan Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda tertanggal 30 Juni 1938 No. 1 terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 dia diangkat menjadi Zelfbestuur Karangasem (kepala swapraja). Bersamaan dengan terbentuknya Zelfbestuur Karangasem, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1938 terbentuk pulalah ZelfbestuurZelfbestuur di seluruh Bali, yaitu Klungkung, Bangli, Gianyar, Badung, Tabanan, Jembrana dan Buleleng, di mana penguasa swapraja-swapraja (Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.[6]

Dalam kehidupan sosial-budaya, akibat pengaruh pendidikan yang didapat pada abad ke-19, banyak para pemuda intelektual di berbagai daerah di Bali mendirikan perkumpulan-perkumpulan dan organisasi kepemudaan, keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1925 di Singaraja didirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah yang juga diberi nama "Suryakanta". Suryakanta menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama "Satya Samudaya Baudanda Bali-Lombok" yang anggotanya terdiri atas pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan uang untuk kepentingan studiefonds.

Masa pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur, Badung, pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali, termasuk Karangasem. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi Sutyo Renmei.[6]

Masa kemerdekaan

Puri Agung Karangasem di kota Amlapura.

Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan Oktober 1950, pemerintahan Swapraja Karangasem berbentuk Dewan Pemerintahan Karangasem yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.

Pada tahun 1951, istilah Anggota Majelis Pemerintah Harian diganti menjadi Anggota Dewan Pemerintah Karangasem. Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja di Bali diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat kabupaten, termasuk Karangasem.[6]

Daftar raja

Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem saat berada di Balai Maskerdam, bangunan utama Puri Agung Karangasem, tahun 1949.
  • Gusti Nyoman Karang (1600)[4]
  • Anglurah Ketut Karang
  • Anglurah Nengah Karangasem
  • Anglurah Ketut Karangasem (1691-1692)
  • Anglurah Made Karang
  • Gusti Wayahan Karangasem (w. 1730)
  • Anglurah Made Karangasem Sakti alias Bagawan Atapa Rare (1730-1775)
  • Gusti Gede Ngurah Karangasem (1775–1806)
  • Gusti Gede Ngurah Lanang (periode pertama, 1806–1822)
  • Gusti Gede Ngurah Pahang (1822)
  • Gusti Gede Ngurah Lanang (periode ke dua, 1822-1828)
  • Gusti Bagus Karang (1828–1838)
  • Gusti Gede Ngurah Karangasem (1838–1849)
  • Gusti Made Jungutan alias Gusti Made Karangasem (1849-1850)
  • Gusti Gede Putu (sebagai penguasa bawahan, 1850-1893)
  • Gusti Gede Oka (sebagai penguasa bawahan, 1850-1890)
  • Gusti Gede Jelantik (1890–1908)
  • Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem (1908-1966)
  • Anak Agung Agung Made Jelantik (sebagai kepala keluarga besar Puri Agung Karangasem, (1967-2007)[7]
  • Anak Agung Gede Putra Agung (sebagai kepala keluarga besar Puri Agung Karangasem, (2009-2023)[8]

Galeri

Lihat pula

Catatan kaki

Pranala luar