Dinasti Satawahana
Kekaisaran Sātavāhana (bahasa Telugu: శాతవాహన సామ్రాజ్యము, Maharashtri: सालवाहण, Sālavāhaṇa[3]) atau Kekaisaran Andhra, adalah dinasti kerajaan India yang berbasis dari Dharanikota dan Amaravati di Andhra Pradesh serta Junnar (Pune) dan Prathisthan (Paithan) di Maharashtra. Wilayah kekaisaran ini meliputi sebagian besar India sejak tahun 230 SM. Meskipun ada beberapa kontroversi mengenai kapan dinasti ini berakhir, biasanya diperkirakan bahwa dinasti ini berlangsung selama kira-kira 450 tahun, hingga tahun 220 M. Satavahana berperan dalam menciptakan perdamaian di India, menghalau serangan gencar dari bangsa asing setelah kemunduran Kekaisaran Maurya. Sātavāhana bermula sebagai feudatori dalam dinasti Maurya, namun kemudian menyatakan merdeka ketika Maurya mengalami kemunduran. Mereka dikenal sebagai pelindung Hinduisme dan Buddhisme yang menghasilkan monumen Buddha dari Ellora (sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO) hingga Amaravati. Sātavāhana merupakan salah satu negara India pertama yang mengeluarkan koin bergambar penguasa mereka. Mereka menjalin jembatan kebudayaan dan memainkan peranan penting dalam perdagangan serta perpindahan gagasan dan kebudayaan ke dan dari Dataran India-Gangga hingga ujung selatan India. Mereka harus bersaing dengan Sunga dan kemudian dengan Kanwa dari Magadha dalam mendirikan kekuasaan mereka. Di kemudian hari, mereka memainkan peranan penting dalam melindungi wilayah luas di India dari para penyerbu asing seperti bangsa Saka, Yavana dan Pahlawa. Secara khusus perjuangan mereka melawan Kshatrapas Barat berlangsung lama. Para penguasa besar dari Dinasti Satavahana seperti Gautamiputra Satakarni dan Sri Yajna Sātakarni berhasil menghalau para penyerbu asing seperti Kshatrapas Barat dan menghentikan ekspansi mereka. Pada abad ke-3 M, kekaisaran ini terpecah menjadi negara-negara yang lebih kecil. SejarahPara raja awal Satavahanas menguasai Andhra dan daerah Telangana modern yang merupakan wilayah pusat mereka. Pūrāna mendata sebanyak 30 raja Andhra. Banyak di antaranya diketahui pula dari koin dan prasasti. SimukaSetelah merdeka sekitar tahun 230 SM, Simuka, pendiri dinasti Satavahana, menaklukan Maharashtra modern dan sebagian Madhya Pradesh (termasuk Malwa). Ia digantikan oleh saudaranya Kanha (atau Krishna) (berkuasa 207–189 SM), yang selanjutnya memperluas negaranya ke barat dan selatan. SatakarniRaja berikutnya adalah Sātakarnī I, yang merupakan penguasa Satavahana yang keenam. Ia dikatakan memerintah selama 56 tahun. Satakarni mengalahkan dinasti Sunga di India Utara dengan merebut Malwa Barat dari mereka, dan melaksanakan kurban Weda dengan biaya yang besar, termasuk kurban kuda – Ashwamedha yajna. Ia juga berperang melawan penguasa Kalinga, Kharavela, yang menyebutkannya dalam prasasti Hathigumpha. Menurut Yuga Purana, ia menaklukan Kalinga setelah meninggalnya Kharavela. Ia memperluas kekuasaan Satavahana atas Madhya Pradesh dan menghalau Bangsa Saka dari Pataliputra, yang kemudian ia kuasai selama sepuluh tahun. Satakarni dianggap sebagai "Shata" dalam Yuga Purana, yang merupakan singkatan dari nama lengkap “Shri Sata” yang muncul dalam koin dari Ujjain. Satavahana adalah kerajaan asli India pertama yang mengeluarkan koinnya sendiri dengan gambar penguasanya, dimulai dari raja Gautamiputra Satakarni, sebuah praktik yang berasal dari para Satrap Barat yang ia kalahkan, yang sendirinya berasal dari para raja India-Yunani di barat laut. KoinKoin Satavahana menunjukkan indikasi unik mengenai teknologi, bahasa, bahkan ciri wajah mereka (rambut keriting, telinga panjang, dan bibir kuat). Mereka kebanyakan mengeluarkan koin timah dan tembaga. Sementara koin perak bergambar wajah biasanya dicetak di atas koin para raja Kshatrapa Barat. Tulisan pada koin Satavahana, di semua daerah dan periode, menggunakan dialek Prakerta tanpa terkecuali. Beberapa tulisan pada bagian belakang koin merupakan bahasa Telugu,[4] yang tampaknya telah digunakan di wilayah pusat mereka yang berbatasan dengan Godavari, Kotilingala, Karimnagar, Krishna, Amaravati, Guntur di Andhra Pradesh.[5] Koin Satavahana menampilkan beragam simbol tradisional, seperti gajah, singa, kuda, dan chaitya (stupa), serta "simbol Ujjain", Ka bersilang dengan empat lingkaran di ujungnya. Kaisar Ujjayini dalam legenda, yaitu Vikramditiya, yang pada namanya Vikram Samvat terinisiasi kemungkinan adalah Satakarni II, seorang kaisar Satavahana karena simbol Ujjayini juga muncul di koin Satavahana. Pencapaian kebudayaanDari semua raja Sātavāhana, Hāla (berkuasa 20–24 M) terkenal karena mengumpulkan sajak Maharashtri yang dikenal sebagai Gaha Sattasai (Sanskerta: Gāthā Saptashatī ), meskipun dari bukti linguistiknya, tampaknya karya yang kini ada telah disunting ulang pada satu atau dua abad berikutnya. Lilavati menggambarkan pernikahannya dengan seorang putri dari Sri Lanka. Satavahana memberikan pengaruh yang besar terhadap Asia Tenggara, menyebarkan kebudayaan, bahasa, dan agama Hindu ke kawasan tersebut. Selain wajah penguasa, koin Satavahana biasanya memiliki gambar kapal. Seni AmaravatiPara penguasa Satavahana juga terkenal atas kontribusi mereka terhadap seni dan arsitektur Buddha. Mereka membangun stupa-stupa besar di Lembah Sungai Krishna, termasuk stupa di Amaravati, Andhra Pradesh. Stupa-stupa itu dihiasai dengan lempengan marmer dan dipahat dengan adegan-adegan yang menggambarkan kehidupan Buddha, yang ditampilkan dalam ciri yang ramping dan gaya yang elegan. Kekaisaran Satavahana mengkolonisasi Asia Tenggara dan menyebarkan kebudayaan India ke daerah tersebut. Buddhisme Mahayana, yang kemungkinan muncul di Andhra (menurut pendapat lain di India barat laut), dibawa ke banyak tempat di Asia oleh kebudayaan bahari Satavahana yang kaya. Gaya pahat Amaravati juga disebarkan ke Asia Tenggara sekitaran masa ini. Seni SanchiSatavahana amat berkontribusi terhadap penghiasan stupa Buddha, Sanchi. Pintu gerbang dan pagar langkannya dibangun setelah tahun 70 M, dan tampaknya dikerjakan oleh Satavahana. Sebuah prasasti mencatat hadiah berupa salah satu arkitraf di Gerbang Selatan dari para seniman suruhan Kaisar Satvahana, Satakarni.[9] Secara umum, seni Buddha di Satavahana bersifat anikonik, yaitu bahwa orang Satavahana tidak menggambarkan Buddha dalam bentuk manusia. Kebiasaan ini berlangsung hingga akhir masa Satavahana pada abad ke-2 M. Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Satavahana. |