Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Monarchy of the United Kingdom di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)
Halaman ini berisi artikel tentang monarki Britania Raya. Untuk informasi tentang negara-negara lainnya yang berbagi orang yang sama sebagai penguasa monarki, lihat Alam Persemakmuran. Untuk penguasa monarki Britania Raya saat ini, lihat Charles III.
Penguasa monarki dan keluarga kandungnya memegang berbagai tugas resmi, seremonial, diplomatik dan perwakilan. Karena monarkinya bersifat konstitusional, penguasa monarki terbatas pada fungsi-fungsi nonpartisan seperti menganugerahi gelar kehormatan dan melantik Perdana Menteri. Menurut tradisi, penguasa monarki merupakan ketua komandan Angkatan Bersenjata Britania. Meskipun otoritas eksekutif mutlak resmi terhadap pemerintahan Britania Raya masih dipegang dan melalui prerogatif kerajaan penguasa monarki, kekuasaan tersebut hanya digunakan berdasarkan pada hukum-hukum yang dikeluarkan dalam Parlemen dan, dalam praktiknya, dilakukan saat konvensi dan preseden.
Dari 1080-an, kepemimpinan Wales Selatan dipegang oleh penerus keluarga-keluarga Norman yang menikah dengan keluarga bangsawan Wales lainnya sampai tahta Inggris dengan beberapa kepemimpinannya juga dipegang oleh Raja Inggris dalam haknya sendiri. Proses tersebut diselesaikan pada abad ke-13 saat utara Wales, sebuah sebuah kepangeranan, menjadi sebuah negara klien kerajaan Inggris, sementara Magna Carta memulai proses pengurangan kekuasaan politik monarki Inggris.
Dari 1603, saat penguasa Skotlandia Raja James VI mewarisi tahta Inggris sebagai James I, baik kerajaan Inggris maupun Skotlandia sama-sama dipegang oleh penguasa tunggal. Dari 1649 sampai 1660, tradisi monarki terpecah oleh Persemakmuran Inggris yang republikan, yang berujung pada Peperangan Tiga Kerajaan. Undang-Undang Pemukiman 1701 mengecualikan umat Katolik Roma, atau orang-orang yang menikah dengan orang Katolik, untuk memegang tahta Inggris. Pada 1707, kerajaan Inggris dan Skotlandia bergabung untuk membentuk Kerajaan Britania Raya, dan pada 1801, Kerajaan Irlandia bergabung untuk membentuk Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia. Penguasa Inggris menjadi kepala nominasi dari seluruh Kekaisaran Britania, yang meliputi seperempat permukaan bumi pada puncak kejayaannya pada 1921.
Pada 1920-an, lima dari enam orang Irlandia menginginkan agar Irlandia keluar dari Persatuan tersebut sebagai Negara Bebas Irlandia, dan Deklarasi Balfour mengakui perubahan dominion-dominion dari kekaisaran tersebut menjadi negara terpisah dan memerintah sendiri dalam Persemakmuran Bangsa-Bangsa. Setelah Perang Dunia Kedua, sebagian besar koloni dan teritori Britania meraih kemerdekaan, yang secara efektif membuat kekaisaran tersebut berakhir. George VI dan penerusnya, Elizabeth II, mengadopsi gelar Kepala Persemakmuran sebagai lambang perhimpunan bebas dari negara-negara anggota independennya.
Britania Raya dan lima belas monarki Persemakmuran lainnya yang berbagi orang yang sama sebagai penguasa monarki mereka disebut Wilayah Persemakmuran. Istilah Monarki Inggris dan penguasa monarki Inggris masih digunakan untuk merujuk kepada lembaga dan individual bersama tersebut; namun, setiap negara memiliki kedaulatan dan merdeka dari yang lainnya, dan penguasa monarki memiliki gelar dan sebutan untuk setiap kerajaan.
Penguasa Monarki mengambil sedikit bagian langsung dalam pemerintahan. Keputusan-keputusan untuk memberikan kekuasaan berdaulat didelegasikan dari Penguasa Monarki, baik oleh statuta atau oleh konvensi, kepada para Menteri atau para pejabat Mahkota, atau badan-badan masyarakat lainnya, yang secara eksklusif dari pribadi Penguasa Monarki. Segala tindakan negara dilakukan atas nama Mahkota, seperti Pelantikan Mahkota,[4] bahkan jika secara pribadi ditampilkan oleh Penguasa Monarki, seperti Pidato Penguasa Monarki dan Pernyataan Pembuka Parlemen, tergantung pada keputusan yang dibuat:
Peran penguasa berdaulat sebagai penguasa monarki konstitusional kebanyakan terbatas pada fungsi-fungsi nonpartisan, seperti memberikan penghargaan. Peran tersebut telah diakui sejak abad ke-19. Pada 1867, penulis konstitusional Walter Bagehot mengidentifikasikan monarki tersebut sebagai "bagian terdignifikasi" ketimbang "bagian efisien" dari pemerintah.[7]
Melantik Perdana Menteri
Saat dibutuhkan, Penguasa Monarki bertugas untuk melantik seorang Perdana Menteri baru (yang menurut konvensi memilih dan menentukan setiap Menteri Mahkota lainnya, dan bahkan memegang dan mengendalikan pemerintahan). Menurut konvensi konstitusional tak tertulis, Penguasa Berdaulat harus melantik seseorang yang memimpin dukungan Dewan Rakyat, biasanya pemimpin partai atau koalisi yang mendapatkan mayoritas kursi dalam Dewan tersebut. Perdana Menteri mengambil jabatan dengan menghadiri penguasa Monarki secara pribadi, dan setelah mencium tangan, pelantikan tersebut menjadi sah tanpa peresmian atau instrumen lainnya.[8]
Dalam sebuah parlemen gantung dimana tak ada partai atau koalisi yang menjadi mayoritas, penguasa monarki memiliki derajat tinggi dalam memilih orang untuk memimpin sebagian besar dukungan, meskipun biasanya adalah pemimpin partai terbesar.[9][10] Sejak 1945, hanya ada dua parlemen gantung. Yang pertama setelah pemilihan umum Februari 1974 saat Harold Wilson diangkat menjadi Perdana Menteri setelah Edward Heath mundur pasca kegagalannya membentuk koalisi. Meskipun Partai Buruh pimpinan Wilson tidak meraih suara mayoritas, mereka merupakan partai terbesar. Yang kedua setelah pemilihan umum Mei 2010, dimana Partai Konservatif (partai terbesar) dan Partai Liberal Demokrat (partai terbesar ketiga) sepakat untuk membentuk pemerintahan koalisi pertama sejak Perang Dunia II.
Membubarkan Parlemen
Pada 1950, Sekretaris Pribadi Raja Sir Alan Lascelles, menulis menggunakan pseudonim pada surat kabar The Times tentang konvensi konstitusional: menurut Prinsip-Prinsip Lascelles, jika pemerintahan minoritas meminta untuk membubarkan Parlemen untuk seruan sebuah pemilihan awal untuk memperkuat posisinya, penguasa monarki akan menolak, dan akan melakukannya di bawah tiga kondisi. Saat Harold Wilson meminta pembubaran pada akhir 1974, Ratu Elizabeth II meraih permintaannya saat Heath gagal membentuk koalisi. Pemilihan yang dihasilkan membuat Wilson meraih suara mayoritas kecil.[11] Penguasa monarki secara teori dapat melengserkan Perdana Menteri, tetapi belakangan ini, masa jabatan Perdana Menteri baru berakhir saat ia kalah dalam pemilihan, wafat atau mengundurkan diri. Penguasa monarki terakhir yang melengserkan seorang Perdana Menteri adalah William IV, yang melengserkan Lord Melbourne pada 1834.[12]Undang-Undang Parlemen Masa Jabatan Sah 2011 menghapuskan otoritas penguasa monarki untuk membubarkan Parlemen; UU tersebut secara khusus mempertahankan kekuasaan prorogasi penguasa monarki, tetapi, yang merupakan sebauh fitur reguler dari kalender parlementer.
Beberapa otoritas eksekutif pemerintah secara teoretikal dan nominal dipegang Penguasa Berdaulat dan dikenal sebagai hak istimewa kerajaan. Penguasa monarki bertindak selaras dengan konvensi dan preseden, yang hanya dapat memakai hak istimewa atas nasihat para menteri yang bertanggung jawab kepada Parlemen, sering kali melalui Perdana Menteri atau Dewan Penasihat.[13] Dalam prakteknya, kekuasaan hak istimewa hanya dilakukan atas nasihat Perdana Menteri – Perdana Menteri, dan bukannya Penguasa Berdaulat, yang memiliki kontrol. Penguasa monarki memperhatikan Perdana Menteri setiap minggu. Tak ada catatan perhatian tersebut yang diambil dan prosesnya masih disembunyi-sembunyikan secara bulat.[14] Penguasa monarki dapat mengeluarkan pandangannya, tetapi, sebagai pemimpin konstitusional, harus secara mutlak menerima keputusan-keputusan Perdana Menteri dan Kabinet (yang menyediakan mereka komando dukungan Dewan). Dalam pernyataan Bagehot: "Di bawah monarki konstitusional, Penguasa Berdaulat memiliki ... tiga hak – hak untuk berkonsultasi, hak untuk membujuk, hak untuk memperingatkan."[15]
Meskipun Hak Istimewa Kerajaan bersifat ekstensif dan persetujuan parlementer tak secara resmi diharuskan untuk penggunaannya, hak tersebut bersifat terbatas. Beberapa hak istimewa Mahkota tak digunakan atau secara permanen dialihkan ke Parlementer. Contohnya, penguasa monarki tak dapat mencanangkan dan mengumpulkan pajak-pajak baru; tindakan semacam itu berada di bawah naungan Undang-Undang Parlementer. Menurut laporan parlementer, "Mahkota tak dapat diberi kuasa-kuasa hak istimewa baru", dan Parlemen dapat mencabut kekuasaan hak istimewa apapun menurut pengesahan legislasi.[16]
Hak Istimewa Kerajaan meliputi kuasa untuk melantik dan melengserkan menteri-menteri, meregulasikan layanan sipil, mengeluarkan paspor, mendeklarasikan perang, membuat perdamaian, mengarahkan tindakan militer, dan menegosiasikan dan meratifikasikan traktat, aliansi dan perjanjian internasional. Namun, sebuah traktat tak dapat langsung dimasukkan pada hukum-hukum domestik Britania Raya; Undang-Undang Parlemen dibutuhkan dalam kasus semacam itu. Penguasa monarki merupakan kepala komandan Angkatan Bersenjata (Angkatan Laut Kerajaan Inggris, Angkatan Darat Kerajaan Inggris, dan Angkatan Udara Kerajaan Inggris), mengakreditasikan Komisioner-Komisioner Tinggi dan duta-duta besar Inggris, dan menerima diplomat-diplomat dari negara-negara asing.[16]
Ini merupakan hak istimewa penguasa monarki untuk memanggil dan mengundurkan Parlemen. Setiap sesi parlementer dimulai dengan panggilan penguasa monarki. Sesi parlementer baru ditandai dengan Pernyataan Pembuka Parlemen, dimana penguasa berdaulat membacakan Pidato dari tahta di Ruang Dewan Bangsawan, menjelaskan agenda legislatif Pemerintah.[17] Prorogasi biasanya diadakan sekitar setahun setelah sebuah sesi dimulai, dan secara resmi mengesahkan sesi tersebut.[18] Pembubaran mengakhiri masa jabatan parlementer, dan disusul oleh pemilihan umum untuk seluruh kursi dalam Dewan Rakyat. Pemilihan umum biasanya diadakan lima tahun setelah pemilihan sebelumnya berdasarkan pada Undang-Undang Parlemen Masa Jabatan Sah 2011, tetapi dapat dimajukan jika Perdana Menteri kurang diandalkan, atau jika dua pertiga anggota Dewan Rakyat memilih untuk mengadakan pemilihan awal.
Sebelum undang-undang yang disahkan oleh Dewan-Dewan dapat menjadi hukum, pengesahan kerajaan (persetujuan penguasa monarki) disyaratkan.[19] Dalam teorinya, pengesahan dapat diberikan (menjadikannya hukum undang-undang) atau ditolak (memakai hak veto terhadap undang-undang), tetapi sejak pengesahan 1707, pengesahan selalu diberikan.[20]
Penguasa berdaulat dianggap menjadi "tulang punggung keadilan"; meskipun penguasa berdaulat tak secara pribadi memerintah dalam kasus-kasus yudisial, fungsi-fungsi yudisial ditampilkan atas namanya. Selain itu, penerapan dilakukan atas perantara penguasa monarki, dan para anggota pemerintahan mendapatkan otoritas mereka dari Mahkota. Hukum umum menyatakan bahwa penguasa berdaulat "tidak dapat salah"; penguasa monarki tidak dapat diadili atas dakwaan-dakwaan kejahatan. Undang-Undang Pemprosesan Mahkota 1947 mengijinkan penegakan sipil terhadap Mahkota dalam kapasitas publiknya (yang merupakan penegakan melawan pemerintahan), tetapi bukan penegakan melawan penguasa monarki secara pribadi. Penguasa Berdaulat memegang "hak kasih istimewa", yang digunakan untuk melindungi para terdakwa atau meringankan hukuman.[13][16]
Penguasa monarki adalah "tulang punggung kehormatan", sumber dari seluruh penghormatan dan dignitas di Britania Raya. Mahkota membuat seluruh gelar kehormatan, melantik para anggota ordo-ordo kekesatriaan, memberikan gelar kestria dan menganugerahi penghargaan lainnya.[24] Meskipun gelar-gelar kehormatan dan kebanyakan penghargaan lainnya diberikan atas nasihat Perdana Menteri, beberapa penghargaan merupakan hadiah pribadi penguasa berdaulat, dan tidak diberikan atas nasihat kementerian. Penguasa monarki sendiri melantiki para anggota Order of the Garter, Order of the Thistle, Royal Victorian Order dan Order of Merit.[25]
Setelah penyerbuan dan pemukiman Viking pada abad kesembilan, kerajaan Anglo-Saxon Wessex menjadi kerajaan Inggris dominan. Alfred Agung memimpin Wessex, menyatakan dominasi atas barat Mercia, dan menyandang gelar "Raja Inggris".[26] Cucunya Æthelstan menjadi raja pertama yang memerintah atas sebuah kerajaan uniter yang meliputi perbatasan-perbatasan Inggris pada masa sekarang, melalui bagian-bagian konstituennya yang menjadi identitas regional yang kuat. Pada abad ke-11, Inggris menjadi lebih stabil, meskipun terjadi sejumlah perang dengan Denmark, dimana terjadi perang melawan monarki Denmark selama satu generasi.[27] Penaklukan Inggris pada 1066 oleh William, Adipati Normandy, menjadi peristiwa penting dalam hal perubahan politik dan sosial. Penguasa yang baru melanjutkan sentralisasi kekuasaan yang dimulai pada zaman Anglo-Saxon, sementara Sistem Feodal masih dikembangkan.[28]
William digantikan oleh dua putranya: William II dan Henry I. Henry membuat keoutusan kontroversial untuk mengangkat putrinya Matilda (anak tunggalnya) sebagai pewarisnya. Setelah Henry wafat pada 1135, salah satu putra William I, Stephen, mengklaim tahta tersebut dan meraih kekuasaan dengan dukungan dari sebagian besar baron. Matilda menentang kekuasaannya; akibatnya, Inggris masuk dalam masa yang dikenal sebagai the Anarchy. Stephen tetap bersikukuh terhadap kekuasaannya, tetapi setuju agar putra Matilda Henry menggantikannya. Henry menjadi raja Angevin Inggris pertama dan penguasa dinasti Plantagenet pertama dengan sebutan Henry II pada 1154.[29]
Masa pemerintahan kebanyakan penguasa Angevin diwarnai oleh pertikaian dan konflik sipil antara penguasa dan kaum bangsawan. Henry II menghadapi pemberontakan dari putra-putranya sendiri, yang kemudian menjadi Richard I dan John. Sehingga, Henry memutuskan untuk meluaskan kerajaannya, membentuk apa yang dikenal sebagai Kekaisaran Angevin. Setelah Henry meninggal, putra sulungnya Richard meneruskan tahtanya; ia absen dari Inggris pada sebagian besar masa pemerintahannya, karena ia pergi untuk bertarung dalam Perang Salib. Ia tewas saat mengepung sebuah istana, dan John menggantikannya.
Pemerintahan John diwarnai oleh konflik dengan para baron, terutama atas terbatasnya kekuasaan kerajaan. Pada 1215, para baron membujuk raja untuk mengeluarkan Magna Carta (Latin untuk "Piagam Besar") untuk melindungi hak dan kebebasan kaum bangsawan. Sejak itu, ketidaksetujuan berlanjut di Inggris dalam bentuk perang saudara yang dikenal sebagai Perang Baron Pertama. Perang tersebut makin tak terkendali setelah John wafat pada 1216, meninggalkan Mahkota dengan putranya yang berusia sembilan tahun Henry III.[30] Kemudian pada masa pemerintahan Henry, Simon de Montfort memimpin para baron dalam pemberontakan lainnya, yang memulai Perang Baron Kedua. Perang berakhir dengan kemenangan kaum royalis dan kematian beberapa pemberontak, tetapi bukan sebelum raja setuju untuk memanggil sebuah parlemen pada 1265.[31]
Penguasa berikutnya, Edward Longshanks, jauh lebih sukses dalam mempertahankan kekuasaan kerajaan dan bertanggung jawab terhadap penaklukan Wales. Ia berupaya untuk mendirikan dominasi Inggris di Skotlandia. Namun, penaklukan Skotlandia tertunda pada masa pemerintahan penerusnya, Edward II, yang juga menghadapi konflik dengan kaum bangsawan.[32] Pada 1311, Edward II memaksakan pencairan kembali beberapa kekuasaannya terhadap kabinet "ordainer-ordainer" baronial; namun, kemenangan militer membantunya mempertahankan kekuasaan pada 1322.[33] Pada 1327, Edward dilengserkan oleh istrinya Isabella. Putranya yang berusia 14 tahun menjadi Edward III. Edward III mengklaim Mahkota Prancis, yang berujung pada Perang Seratus Tahun antara Inggris dan Prancis.
Kampanye-kampanyenya menaklukan sebagian besar wilayah Prancis, tetapi pada 1374, seluruh wilayah taklukan direbut. Pemerintahan Edward juga diwarnai oleh perkembangan Parlemen lanjutan, yang menjadi terbagi dalam Dua Dewan. Pada 1377, Edward III wafat, meninggalkan Mahkota pada cucunya yang berusia 10 tahun bernama Richard II. Seperti beberapa pendahulunya, Richard II berseteru dengan para bangsawan yang berupaya merebut kekuasaan. Pada 1399, saat ia berkampanye di Irlandia, sepupunya Henry Bolingbroke merebut kekuasaan. Richard dilengserkan, ditahan, dan kemudian dibunuh, kemungkinan karena kelaparan, dan Henry menjadi raja dengan sebutan Henry IV.[34]
Henry IV merupakan cucu Edward III dan putra John dari Gaunt, Adipati Lancaster; sehingga, dinastinya dikenal sebagai Wangsa Lancaster. Sepanjang sebagian besar masa pemerintahannya, Henry IV terpaksa untuk menumpas rencana-rencana pelengseran dan pemberontakan; keberhasilannya sebagian karena kemampuan militer dari putranya, yang kemudian disebut Henry V. Pemerintahan Henry V sendiri, yang dimulai pada 1413, sebagian besar bebas dari serangan domestik, membuat raja tersebut bebas dari pengaruh Perang Seratus Tahun di Prancis. Meskipun ia menang, ia meninggal mendadak pada 1422 meninggalkan putranya yang masih bayi Henry VI di atas tahta dan memberi kesempatan bagi Prancis untuk melengserkan kekuasaan Inggris.[35]
Kegagalan para konselor Henry VI dan permaisurinya, Margaret dari Anjou, serta para pemimpin inefektualnya sendiri, berujung pada kejatuhan Wangsa Lancaster. Para anggota wangsa Lancastrer menghadapi tantangan dari Wangsa York, yang kepalanya adalah seorang keturunan Edward III bernama Richard, Adipati York. Meskipun Adipati York meninggal saat bertempur pada 1460, putra sulungnya, Edward IV, memimpin wangsa York menuju kemenangan pada 1461. Peperangan Mawar berlanjut pada masa pemerintahannya dan putranya Edward V dan saudaranya Richard III. Edward V menghilang, diyakini dibunuh oleh Richard. Akibatnya, konflik tersebut berpuncak pada kesuksesan cabang Lancaster yang dipimpin oleh Henry Tudor, pada 1485, saat Richard III tewas dalam Pertempuran Bosworth Field.[36]
Raja Henry VII menetralisir sisa-sisa pasukan York, sebagian karena pernikahannya dengan Elizabeth dari York, seorang pewaris wangsa York. Meskipun terampil dan bertalenta, Henri mendirikan kembali supremasi absolut di kerajaan, dan konflik-konflik dengan kaum bangsawan yang telah terjadi semenjak masa pemerintahan penguasa sebelumnya dapat diakhiri.[37] Masa pemerintahan raja Tudor kedua, Henry VIII, menjadi salah satu perubahan politik besar. Kebangkitan keagamaan dan kekisruhan dengan Sri Paus berujung pada perpecahan penguasa monarki dengan Gereja Katolik Roma dan berdirinya Gereja Inggris (Gereja Anglikan).[38]
Wales – yang telah ditaklukan berabad-abad sebelumnya, tetapi masih menjadi dominion terpisah – dianeksasi Inggris di bawah Undang-Undang Hukum di Wales 1535 dan 1542.[39] Putra dan penerus Henry VIII, Edward VI yang masih muda, melanjutkan reformasi keagamaan, tetapi kematiannya pada 1553 berujung pada terjadinya krisis suksesi. Hal ini membuat kakak tirinya yang Katolik Mary I mengambil alih keadaan, dan mengangkat Lady Jane Grey menjadi pewarisnya, Namun, masa pemerintahan Jane hanya berlangsung sembilan hari; dengan dukungan populer, Mary melengserkannya dan mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai penguasa sah. Mary I menikahi Philip dari Spanyol, yang dideklarasikan menjadi raja dan penguasa bersama, yang berujung pada peperangan di Prancis, upaya mengembalikan Katolik Roma di Inggris, dan membakar umat Protestan atas dakwaan bidah. Setelah ia meninggal pada 1558, pasangan tersebut digantikan oleh saudari tirinya yang Protestan Elizabeth I. Inggris kembali menjadi Protestan dan melanjutkan pertumbuhannya menjadi sebuah kekuatan besar dunia dengan membangun angkatan laut dan menjelajahi Dunia Baru.[40]
Di Skotlandia, seperti halnya Inggris, para penguasanya berkuasa setelah penarikan diri kekaisaran Romawi dari Inggris pada awal abad kelima. Tiga kelompok yang tinggal di Skotlandia pada masa itu adalah Pict di timur laut, Briton Keltik di selatan, termasuk Kerajaan Strathclyde, dan Gael atau Scotti (yang kemudian diberi nama Skotlandia), dari kerajaan kecil Irlandia Dál Riata di barat. Kenneth MacAlpin biasanya dipandang sebagai raja pertama Skotlandia bersatu (dikenal sebagai Scotia oleh para penulis berbahasa Latin, atau Alba bagi orang Scot).[41] Perluasan dominion-dominion Skotlandia berlanjut sepanjang dua abad berikutnya, dimana kawasan-kawasan lainnya seperti Strathclyde dicaplok.
Para penguasa Skotlandia awal tak mewariskan Mahkota secara langsung; sehingga adat tanistri diterapkan, dimana monarki memilih antara cabang-cabang berbeda dari Wangsa Alpin. Akibatnya, persaingan garis dinasti terjadi, sering kali berujung kekerasan. Dari tahun 942 sampai tahun 1005, tujuh penguasa monarki berturut-turut dibunuh atau tewas dalam pertempuran.[42] Pada 1005, Malcolm II yang naik tahta membunuh beberapa pesaing. Ia melanjutkan penyingkiran para lawan, dan saat ia wafat pada tahun 1034, ia digantikan oleh cucunya, Duncan I. Pada 1040, Duncan kalah dalam pertempuran di tangan Macbeth, yang dirinya sendiri dibunuh pada 1057 oleh putra Duncan Malcolm. Pada tahun berikutnya, setelah membunuh putra tiri Macbeth, Lulach, Malcolm naik tahta dengan sebutan Malcolm III.[43]
Dengan serangkaian pertempuran dan pelengseran pada masa berikutnya, lima putra Malcolm serta salah satu saudaranya secara bergantian menjadi raja. Kemudian, Mahkota jatuh ke tangan putra bungsunya, David I. David digantikan oleh cucunya Malcolm IV, dan kemudian William si Singa, Raja Skotlandia yang paling lama memerintah sebelum masa Uni Mahkota.[44] William ikut dalam pemberontakan melawan Raja Henry II dari Inggris namun saat pemberontakan tersebut gagal, William ditangkap oleh Inggris. Dalam tawar menawar demi pembebasannya, Willian dipaksa untuk mengakui Henry sebagai kepala feodalnya. Raja Inggris Richard I setuju untuk mengurus aransemen tersebut pada 1189, dengan mengembalikan ganti rugi uang yang besar yang dibutuhkan untuk Perang Salib.[45] William wafat pada 1214, dan digantikan oleh putranya Alexander II. Alexander II, serta penerusnya Alexander III, berupaya untuk mengambil alih Western Isles, yang masih berada di bawah kekuasaan Norwegia. Pada masa pemerintahan Alexander III, Norwegia meluncurkan sebuah invasi gagal terhadap Skotlandia; Traktat Perth membuat Skotlandia berkuasa di Western Isles dan kawasan-kawasan yang dipersengketakan lainnya.[46]
Kematian mendadak Alexander III akibat kecelakaan berkuda pada 1286 berujung pada krisis suksesi besar. Para pemimpin Skotlandia meminta Raja Edward I dari Inggris untuk membantu menentukan siapa yang menjadi pewaris sah. Edward memilih cucu Norwegia Alexander yang baru berusia tiga tahun, Margaret. Namun, saat ia sedang dalam perjalanan menuju Skotlandia pada 1290, Margaret meninggal di laut, dan Edward diminta lagi untuk menentukan antara 13 pengklaim tahta. Keputusan diambil setelah dua tahun dirundingkan, dan diputuskan bahwa John Balliol yang menjadi rajanya. Namun, Edward menuntut Balliol agar menjadi vasal, dan berupaya untuk meluaskan pengaruh terhadap Skotlandia. Pada 1295, saat Balliol menarik persekutuannya dengan Inggris, Edward I menginvasi. Pada sepuluh tahun pertama Perang Kemerdekaan Skotlandia, Skotlandia tidak mempunyai penguasa, sampai Robert the Bruce mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai raja pada 1306.[47]
Upaya Robert untuk menguasai Skotlandia berbuah kesuksesan, dan Skotlandia merdeka pada 1328. Namun, baru satu tahun kemudian, Robert wafat dan digantikan oleh putranya yang masih berusia lima tahun, David II. Dalam upaya merestorasi pewaris sah John Balliol, Edward Balliol, Inggris kembali menginvasi pada 1332. Pada empat tahun berikutnya, Balliol dimahkotai, dilengserkan, direstorasikan lagi, dilengserkan lagi, dan direstorasi lagi, dan dilengserkan lagi sampai ia kemudian menetap di Inggris, dan David menjadi raja selama 35 tahun berikutnya.[48]
David II wafat tanpa meninggalkan anak pada 1371 dan digantikan oleh keponakannya Robert II dari Wangsa Stuart. Masa pemerintahan Robert II dan penerusnya, Robert III, ditandai dengan berkurangnya kekuasaan kerajaan. Saat Robert III wafat pada 1406, para pemangku raja memerintah negara tersebut; penguasa monarkinya, putra Robert III James I, telah dibuang oleh Inggris. Membayar ransum besar, James kembali ke Skotlandia pada 1424; untuk mengembalikan otoritasnya, ia menggunakan tindakan tak semestinya, termasuk pengeksekusian beberapa musuhnya. Ia dibunuh oleh sekelompok bangsawan. James II melanjutkan kebijakan ayahnya dengan mempengaruhi kaum bangsawan namun ia tewas dalam sebuah kecelakaan pada usia tiga puluh tahun, dan dewan pemangku raja kembali berkuasa. James III dikalahkan dalam pertempuran melawan para earl Skotlandia yang memberontak pada 1488, yang berujung pada pengangkatan putranya yang lain: James IV.[49]
Pada 1513, James IV meluncurkan sebuah invasi ke Inggris dalam upaya mengambil kesempatan atas absennya Raja Inggris Henry VIII. Pasukannya menghadapi bencana di Lapangan Flodden; Raja, beberapa bangsawan senior, dan ratusan prajurit tewas. Karena putra dan penggantinya, James V, masih bayi, pemerintahan kembali diambil alih oleh para pemangku raja. James V memimpin perang lainnya dengan Inggris pada 1542, dan kematiannya pada tahun yang sama membuat Mahkota jatuh ke tangan putrinya yang masih berusia enam hari, Mary I. Dan sekali lagi, kekuasaan pemangku raja didirikan.
Mary, seorang Katolik Roma, memerintah pada masa kebangkitan keagamaan besar di Skotlandia. Akibat upaya-upaya dari para reformator seperti John Knox, kebangkitan Protestan terjadi. Mary memberikan sirene dengan menikahi sepupu Katolik-nya, Lord Darnley, pada 1565. Setelah Lord Darnley dibunuh pada 1567, Mary mengkontrak sebuah pernikahan yang bahkan lebih tak populer dengan Earl of Bothwell, yang banyak didakwa atas pembunuhan Darnley. Kaum bangsawan memberontak melawan Ratu, yang memaksanya untuk abdikasi. Ia kabur ke Inggris, dan Mahkota jatuh ke tangan putranya yang masih bayi James VI, yang dibesarkan sebagai seorang Protestan. Mary ditahan dan kemudian dieksekusi oleh ratu Inggris, Elizabeth I.[50]
Uni personal dan fase republikan
Kematian Elizabeth I pada 1603 mengakhiri pemerintahan Tudor di Inggris. Karena ia tak memiliki anak, ia digantikan oleh penguasa Skotlandia James VI, yang merupakan cicit dari kakak Henry VIII dan sepupu pertama Elizabeth yang dua kali dilengserkan. James VI memerintah di Inggris dengan sebutan James I setelah apa yang dikenal sebagai "Uni Mahkota". Meskipun Inggris dan Skotlandia ada dalam uni personal di bawah satu penguasa – James I menjadi penguasa pertama yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan "Raja Britania Raya" pada 1604[51] – mereka masih menjadi dua kerajaan terpisah. Penerus James I, Charles I, menghadapi konflik-konflik lanjutan dengan Parlemen Inggris terkait masalah kekuasaan kerajaan dan parlementer, khususnya kuasa untuk menerapkan perpajakan. Ia mendapatkan penentangan karena memerintah tanpa Parlemen dari 1629 sampai 1640, menerapkan perpajakan secara sepihak dan mengadopsi kebijakan keagamaan yang kontroversial (beberapa diantaranya menyerang Presbiterian Skotlandia dan Puritan Inggris). Upayanya untuk menegakkan Anglikanisme berujung pada pemberontakan terorganisir di Skotlandia ("Peperangan Uskup-uskup") dan disusul Peperangan Tiga Kerajaan. Pada 1642, konflik antara Raja dan Parlemen Inggris mencapai puncaknya dan Perang Saudara Inggris pun terjadi.[52]
Perang Saudara tersebut berpuncak pada eksekusi raja pada 1649, lengsernya monarki Inggris, dan pendirian Persemakmuran Inggris. Putra Charles I, Charles II, diangkat menjadi Raja Britania Raya di Skotlandia, tetapi ia terpaksa kabur ke luar negeri setelah ia menginvasi Inggris dan kalah pada Pertempuran Worcester. Pada 1653, Oliver Cromwell, pemimpin politik dan militer paling berpengaruh di negara tersebut, merebut kekuasaan dan mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai Lord Protector (secara efektif menjadikannya diktator militer, tetapi menolak gelar raja). Cromwell berkuasa sampai ia meninggal pada 1658, dimana ia digantikan oleh putranya Richard. Lord Protector baru tersebut hanya memiliki sedikit pemahaman dalam pemerintahan; ia kemudian mengundurkan diri.[53] Kurangnya pemimpin yang bersih berujung pada ketegangan sipil dan militer, dan tuntutan populer untuk merestorasi monarki. Pada 1660, monarki direstorasi dan Charles II kembali ke Inggris.[54]
Masa pemerintahan Charles II ditandai dengan berkembangnya partai-partai politik modern pertama di Inggris. Charles tak memiliki anak kandung, dan akan diteruskan oleh saudaranya yang Katolik Roma, James, Adipati York. Upaya parlemen untuk mengeluarkan/mengeksklusi James dari garis suksesi berkembang; "Para Petisioner", yang mendukung eksklusi, menjadi Partai Whig, sementara "Para Penentang", yang menentang eksklusi, menjadi Partai Tory. Undang-Undang Eksklusi gagal; pada beberapa kali, Charles II membubarkan Parlemen karena ia khawatir undang-undang tersebut disahkan. Setelah Parlemen dibubarkan pada 1681, Charles memerintah tanpa Parlemen sampai ia meninggal pada 1685. Saat James menggantikan Charles, ia mengeluarkan kebijakan yang memberikan toleransi keagamaan bagi umat Katolik Roma, meskipun ditentang beberapa kalangan Protestan. Beberapa orang menentang keputusan-keputusan James yang mendirikan sebuah tentara berjumlah besar, melantik orang-orang Katolik Roma pada jabatan-jabatan militer dan politik yang tinggi, dan menahan para rohaniwan Gereja Inggris yang menentang kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, sekelompok Protestan yang dikenal sebagai Immortal Seven mengundang putri James II, Mary dan suaminya William III dari Orange untuk melengserkan raja. William merestuinya dan datang ke Inggris pada 5 November 1688 untuk dukungan publik besar. Menghadapi perlawanan dari beberapa pejabat Protestannya, James kabur dari kerajaan tersebut dan William dan Mary (ketimbang putra Katolik James II) dideklarasikan menjadi Penguasa bersama Inggris, Skotlandia dan Irlandia.[55]
Pelengseran James, yang dikenal sebagai Revolusi Glorious, adalah salah satu peristiwa paling penting dalam evolusi panjang kekuasaan parlementer. Undang-Undang Hak Asasi 1689 memberikan supremasi parlementer, dan mendeklarasikan bahwa rakyat Inggris memegang hak-hak tertentu, yang meliputi bebas dari perpajakan yang dicanangkan tanpa persetujuan parlementer. UU Hak Asasi mewajibkan penguasa monarki haruslah orang Protestan, dan menyatakan bahwa, setelah William dan Mary, saudari Mary, Anne akan mewarisi Mahkota. Mary meninggal tanpa meninggalkan anak pada 1694, meninggalkan Wiliiam sebagai penguasa tunggal. Pada 1700, sebuah krisis politik berkembang, karena seluruh anak Anne meninggal, meninggalkannya sebagai satu-satunya orang yang berada dalam garis suksesi. Parlemen khawatir jika James II atau para pendukungnya, yang dikenal sebagai Jacobit, berupaya untuk mengklaim lagi tahta tersebut. Parlemen mengesahkan Undang-Undang Pemukiman 1701, yang menghindarkan James dan para kerabat Katolik-nya dari suksesi dan menjadikan para kerabat Protestan terdekat William, keluarga Sophia, Electress of Hanover, meneruskan garis tahta setelah saudari iparnya Anne.[56] Setelah pengesahan UU tersebut, William III wafat, dan Mahkota jatuh ke tangan Anne.
Setelah pengangkatan Anne, masalah suksesi kembali terjadi. Parlemen Skotlandia, yang menyatakan bahwa Parlemen Inggris tak memberitahukan mereka soal pemilihan keluarga Sophia sebagai para pewaris berikutnya, mengesahkan Undang-Undang Keamanan 1704, yang mengancam untuk mengakhiri uni personal antara Inggris dan Skotlandia. Parlemen inggris membalasnya dengan Undang-Undang Orang Asing 1705, yang mengancam akan mengacaukan ekonomi Skotlandia dengan membatasi perdagangan. Parlemen Skotlandia dan Inggris menegosiasikan Undang-Undang Uni 1707, yang menyatakan bahwa Inggris dan Skotlandia bersatu dalam sebuah Kerajaan Britania Raya yang tunggal, dengan suksesi di bawah aturan-aturan yang dijelaskan oleh Undang-Undang Pemukiman.[57]
Pada 1714, Ratu Anne digantikan oleh sepupu keduanya, dan putra Sophia, George I, Elector Hanover, yang mengkonsolidasikan jabatannya dengan mengalahkan para pemberontak Jacobit pada 1715 dan 1719. Penguasa yang baru kurang aktif dalam pemerintahan ketimbang beberapa pendahulu Inggris-nya, tetapi memegang kendali atas kerajaan-kerajaan Jermannya, yang Inggris masukkan dalam uni personal.[58] Kekuasaan berpindah ke para menteri George, khususnya Sir Robert Walpole, yang sering dianggap menjadi perdana menteri Inggris pertama, meskipun gelar tersebut tidak digunakan pada masa itu.[59] Penguasa berikutnya, George II, menyaksikan akhir ancaman Jacobit pada 1746, saat Stuart Katolik dikalahkan seluruhnya. Pada masa pemerintahan lama cucunya, George III, koloni-koloni Amerika milik Inggris lepas, bekas koloni-koloni tersebut membentuk Amerika Serikat, tetapi pengaruh Inggris di belahan dunia lainnya tetap bertumbuh, dan Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia dibentuk oleh Undang-Undang Uni 1800.[60]
Dari 1811 sampai 1820, George III terserang sebuah penyakit yang saat ini diyakini adalah pordiria, sebuah penyakit yang membuatnya tak mampu melaksanakan jabatan. Putranya, kelak George IV, menggantikannya sebagai Pangeran Pemangku Raja. Pada era kekuasaan pemangku raja dan pemerintahannya sendiri, kekuasaan monarki dikurangi, dan pada masa penerusnya, William IV, penguasa monarki tidak lebih banyak berinterfensi ketimbang kekuasaan parlementer. Pada 1834, William melengserkan Perdana Menteri dari Partai Whig, William Lamb, 2nd Viscount Melbourne, dan melantik orang dari Partai Tory, Sir Robert Peel. Namun, dalam pemilihannya, Peel kalah. Raja tidak mempunyai pilihan untuk mengangkat lagi Lord Melbourne. Pada masa pemerintahan William IV, Undang-Undang Reformasi 1832, yang mereformasi perwakilan parlementer, disahkan. Bersama dengan aturan lainnya yang disahkan seabad kemudian, UU tersebut membuat perluasan waralaban elektoral dan kebangkitan Dewan Rakyat sebagai cabang paling penting dari Parlemen.[61]
Peralihan akhir menuju monarki konstitusional dibuat pada masa pemerintahan panjang penerus William IV, Victoria. Sebagai seorang wanita, Victoria tidak dapat memerintah Hanover, yang hanya memperbolehkan suksesi dalam garis laki-laki, sehingga uni personal Britania Raya dan Hanover berakhir. Era Victoria ditandai dengan perubahan kebudayaan besar-besaran, kemajuan teknologi, dan pendirian Kerajaan Bersatu sebagai salah satu kekuatan terdepan di dunia. Dalam pengakuan kekuasaan Inggris atas India, Victoria dideklarasikan menjadi Kaisar Wanita India pada 1876. Namun, pemerintahannya juga ditandai dengan meningkatnya dukungan untuk gerakan republikan, karena masa berkabung permanen Victoria setelah kematian suaminya pada 1861.[62]
Putra Victoria, Edward VII, menjadi penguasa pertama dari Wangsa Saxe-Coburg dan Gotha pada 1901. Pada 1917, penguasa berikutnya, George V, mengubah "Saxe-Coburg and Gotha" menjadi "Windsor" dalam menanggapi simpatisan anti-Jerman yang berkembang pada masa Perang Dunia Pertama. Masa pemerintahan George V ditandai dengan pemisahan Irlandia dari Irlandia Utara, yang masih menjadi bagian dari Britania Raya, dan Negara Bebas Irlandia, sebuah negara independen, pada 1922.[63]
Monarki terbagi
Pada abad kedua puluh, Persemakmuran Bangsa-Bangsa terlepas dari Kekaisaran Inggris. Sebelum 1926, Mahkota Inggris memerintah atas Kekaisaran Britania secara kolektif; Dominion-Dominion dan Koloni-Koloni Mahkota menjadi subordinat dari Britania Raya. Deklarasi Balfour 1926 memberikan kemerdekaan penuh kepada Dominion-Dominion tersebut, yang secara efektif menciptakan sebuah sistem dimana seorang penguasa monarki tunggal beroperasi secara independen di setiap Dominion terpisah. Konsep tersebut disolidifikasikan oleh Statuta Westminster 1931,[64] yang dijadikan "sebuah traktat bagi negara-negara Persemakmuran".[65]
Monarki dijadikan lembaga eksklusif Inggris, meskipun sering kali masih disebut sebagai "Britania" untuk alasan hukum dan sejarah dan untuk konveniesi. Penguasa monarki menjadi penguasa monarki terpisah di monarki Britania Raya, monarki Kanada, monarki Australia, dan lainnya. Negara-negara independen dalam Persemakmuran tersebut berbagi penguasa monarki yang sama dalam hubungan mirip uni personal.[66][67][68][69]
Kematian George V pada 1936 disusul oleh pengangkatan Edward VIII, yang menyebabkan skandal publik saat mengumumkan keputusannya untuk menikahi janda Amerika Wallis Simpson, karena Gereja Inggris menentang pernikahan ulang terhadap orang yang dulunya bercerai. Sehingga, Edward mengumumkan keputusannya untuk abdikasi; Parlemen Britania Raya dan negara-negara Persemakmuran lainnya menerima permintaannya. Edward VIII dan anak-anak dari istri barunya dikeluarkan dari garis suksesi, dan Mahkota berpindah ke tangan saudaranya, George VI.[70] George menjabat sebagai figur penggerak bangsa Inggris pada Perang Dunia II, membuat kunjungan-kunjungan penanaman moral kepada para pasukan serta pabrik-pabrik munisi dan kawasan-kawasan yang dibom oleh Jerman Nazi. Pada Juni 1948, George VI mencairkan kembali gelar Kaisar India, meskipun masih menjadi kepala negara Dominion India.[71]
Mula-mula, setiap anggota Persemakmuran memiliki penguasa monarki yang sama dengan Britania Raya, tetapi saat Dominion India menjadi republik pada 1950, mereka tidak lagi berbagi penguasa monarki umum. Sebagai gantinya, penguasa monarki Inggris disebut sebagai "Kepala Persemakmuran" di seluruh negara anggota Persemakmuran, entah mereka kerajaan atau republik. Jabatan tersebut murni seremonial, dan tidak diwariskan oleh penguasa monarki Inggris sebagai hak namun ditentukan oleh orang-orang yang dipilih para kepala pemerintahan Persemakmuran.[72] Negara-negara anggota Persemakmuran yang berbagi orang yang sama sebagai penguasa monarki dikenal sebagai kerajaan-kerajaan Persemakmuran.
Pada 1155, satu-satunya Paus asal Inggris, Adrianus IV, meminta Raja Henry II dari Inggris untuk mengambil alih Irlandia sebagai kawasan federal di bawah kepemimpinan kepausan. Paus ingin penguasa Inggris menganeksasi Irlandia dan menjadikan gereja Irlandia mengikuti Roma, meskipun prosesnya sedang berjalan di Irlandia pada 1155.[73] Sebuah kekerabatan seluruh pulau Irlandia dibuat pada tahun 854 oleh Máel Sechnaill mac Máele Ruanaid. Penerus terakhirnya adalah Ruaidrí Ua Conchobair, yang menjadi Raja Irlandia pada awal 1166, dan mengasingkan Diarmait Mac Murchada, Raja Leinster. Diarmait meminta bantuan kepada Henry II, yang memberikannya sekelompok aristokrat dan petualang Inggris-Norman, pimpinan Richard de Clare, 2nd Earl of Pembroke, untuk membantunya merebut kekuasaan. Diarmait dan sekutu Inggris-Normannya berhasil dan ia kembali menjadi Raja Leinster. De Clare menikahi putri Diarmait, dan saat Diarmait wafat pada 1171, de Clare menjadi Raja Leinster.[74] Henry memutuskan agar de Clare menjadikan Irlandia menjadi kerajaan rival Norman, sehingga ia memajukan bulla kepausan dan menginvasi, memaksa de Clare dan aristokrat-aristokrat Inggris-Norman lainnya di Irlandia dan raja-raja dan pemimpin-pemimpin Irlandia besar untuk mengakuinya sebagai overlord.[75] Para pemimpin Inggris semakin memungkinkan untuk mengkolonisasikan seluruh pulau tersebut, tetapi pemberontakan Gaelik dari 1260-an mengakibatkan pulau tersebut terbagi antara para pemimpin Gaelik-Irlandia dan Inggris-Irlandia pada 1400. Beberapa pemimpin Inggris-Irlandia ter-Gaelisasikan, dan tak mengakui raja-raja Inggris kecuali secara nominal. Beberapa diantaranya menjadikan diri mereka sendiri raja, seperti Manus O'Donnell dan Conn O'Neill, 1st Earl of Tyrone.
Pada 1541, Raja Henry VIII dari Inggris terpecah dengan Gereja Roma dan mendeklarasikan dirinya sendiri menjadi Kepala Tertinggi Gereja Inggris. Pemberian Irlandia kepada penguasa Inggris oleh Paus menjadi tidak sah, sehingga Henry mengadakan pertemuan Parlemen Irlandia untuk mengubah gelarnya dari Pemimpin Irlandia menjadi Raja Irlandia.[76] Namun, karena sebagian wilayah pulau tersebut yang belum dikuasai Inggris, penaklukan Irlandia oleh Tudor merebak yang hanya membuat Kerajaan Irlandia berdiri pada 1603, bertepatan dengan Perang Sembilan Tahun (Irlandia). Selain itu, Irlandia masih memiliki parlemen sendiri, menjadikannya negara independen pada 1642-1649 (Konfederasi Irlandia), dan kembali pada 1688-91. Satu-satunya perang seperti Perang Williamite di Irlandia dan kemudian pendudukan mahkota Inggrsi dari 1692, dan negara-negara Inggris suksesif dari 1707, sampai kembali menjadi negara.
Pada 1800, akibat Pemberontakan Irlandia 1798, Undang-Undang Uni menggabungkan kerajaan Britania Raya dan kerajaan Irlandia ke dalam Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia. Seluruh pulau Irlandia masih menjadi bagian dari Britania Raya sampai 1922, saat yang sekarang menjadi Republik Irlandia meraih kemerdekaan sebagai Negara Bebas Irlandia, sebuah Dominion terpisah dalam Persemakmuran. Negara Bebas Irlandia berganti nama menjadi Éire (atau "Irlandia") pada 1937, dan pada 1949 mendeklarasikan dirinya sendiri sebagai republik, meninggalkan Persemakmuran dan melepaskan semua hubungan dengan monarki. Irlandia Utara masih masuk dalam Uni tersebut. Pada 1927, Britania Raya mengubah namanya menjadi Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara, sementara gelar penguasa monarki selama dua puluh tahun berikutnya menjadi "dari Britania Raya, Irlandia dan Dominion-dominion Inggris seberang Laut, Raja, Pembela Iman, Kaisar India".
Status modern
Pada 1990-an, Republikanisme di Britania Raya bertumbuh, terutama terhadap catatan publisitas negatif yang dikaitkan dengan Keluarga Kerajaan (apalagi setelah kematian Diana, Putri Wales).[77] Namun, jajak pendapat dari 2002 sampai 2007 menunjukkan bahwa sekitar 70–80% masyarakat Inggris mendukung keberkelanjutan monarki.[78][79][80][81]
Peran agama
Penguasa berdaulat merupakan Gubernur TertinggiGereja Inggris. Uskup-uskup agung dan uskup-uskup dilantik oleh penguasa monarki, atas nasihat Perdana Menteri, yang memilih orang terpilih dari daftar nominasi yang disiapkan oleh Komisi Gereja. Peran Mahkota dalam Gereja Inggris bersifat utama; rohaniwan paling senior, Uskup Agung Canterbury, merupakan pemimpin spiritual Gereja tersebut dan Komuni Anglikan seluruh dunia.[82][83] Penguasa monarki mengambil sumpah pada Gereja Skotlandia dan ia memegang kuasa untuk memilih Kepala Komisioner Tinggi untuk Sidang Umum Gereja tersebut, tetapi tidak mengambil bagian dalam kepemimpinannya, dan tidak menikmati kuasa terhadapnya.[84][85] Penguasa Berdaulat tak memainkan peran resmi dalam Gereja Wales atau Gereja Irlandia.
Hubungan antara kerajaan-kerajaan Persemakmuran memegang hukum suksesi pemerintahan untuk membagi tahta terhadap seluruh kerajaan tersebut. Suksesi diatur oleh statuta-statuta seperti Undang-Undang Hak Asasi 1689, Undang-Undang Pemukiman 1701 dan Undang-Undang Uni 1707. Aturan-aturan suksesi hanya dapat diubah oleh sebuah Undang-Undang Parlemen; hal ini tidak memungkinkan seseorang untuk menarik hak suksesinya. Undang-Undang Pemukiman menolak suksesi terhadap para keturunan Protestan sah dari Sophia dari Hanover (1630–1714), seorang cucu dari James I.
Setelah kematian seorang penguasa berdaulat, pewarisnya secara otomatis menggantikannya (dengan frase "Raja telah mati, panjang umur raja!"/"The king is dead, long live the king!"), dan pelantikan penguasa berdaulat baru secara terbuka diproklamasikan oleh Dewan Aksesi yang bertemu di Istana St James.[86] Setelah pengangkatan, seorang penguasa berdaulat baru diminta oleh hukum untuk membuat dan menuliskan beberapa sumpah Deklarasi Aksesi mula-mula diminta oleh Undang-Undang Hak Asasi, dan sebuah sumpah yang akan mereka "utamakan dan tujukan" kepada Gereja Skotlandia diminta oleh Undang-Undang Uni. Penguasa monarki biasanya dimahkotai di Biara Westminster, biasanya oleh Uskup Agung Canterbury. Koronasi tak menandakan bahwa penguasa berdaulat tersebut berkuasa; upacara tersebut biasanya dilakukan beberapa bulan setelah pengangkatan untuk memberikan waktu persiapan dan masa berkabung.[87]
Setelah seseorang naik tahta, ia berkuasa sampai mati. Satu-satunya abdikasi sukarela, yang dilakukan oleh Edward VIII, telah diatur oleh sebuah Undang-Undang Parlemen Khusus, Undang-Undang Deklarasi Abdikasi Yang Mulia 1936/His Majesty's Declaration of Abdication Act 1936. Penguasa monarki terakhir yang tidak secara sukarela dilengserkan dari kekuasaannya adalah James VII dan II, yang kabur ke pengasingan pada tahun 1688 saat Revolusi Glorious.
Suksesi kebanyakan diatur menurut primogenitur kognatik preferensi laki-laki, dimana para putra yang lebih dulu mewarisi ketimbang para putri, dan anak sulung mewarisi ketimbang adik-adiknya walau gendernya sama. Perdana Menteri Britania Raya, David Cameron, mengumumkan di Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran 2011 bahwa seluruh 16 kerajaan Persemakmuran, termasuk Britania Raya, telah sepakat untuk meniadakan aturan pengutamaan gender bagi siapapun yang lahir setelah tanggal pertemuan tersebut, 28 Oktober 2011.[88] Mereka juga sepakat bahwa penguasa monarki mendatang tak dilarang untuk menikahi orang Katolik Roma – sebuah hukum yang bermula dari Undang-Undang Pemukiman 1701. Namun, semenjak penguasa monarki juga menjadi Gubernur Tertinggi Gereja Inggris, hukum tersebut melarang orang Katolik Roma naik tahta. Bujukan legislasi Inggris membuat perubahan yang memberikan kelonggaran pada 25 April 2013 dan direstui pada Maret 2015 setelah legislasi setara disetujui di seluruh kerajaan Persemakmuran lainnya.[89]
Hanya orang yang beragama Protestan yang bisa mewarisi Mahkota. Orang Katolik Roma dilarang naik tahta.[90][91][92] Orang yang kurang mampu mewarisi Mahkota dianggap "mati alamiah" untuk keperluan suksesi, dan diskualifikasi tidak dapat diberikan kepada para keturunan sah orang tersebut.
Undang-Undang Kekuasaan Pemangku Raja membolehkan kekuasaan para pemangku raja pada saat penguasa monarki masih kecil atau yang tidak mampu melakukan tugasnya secara fisik dan mental. Saat pemangku raja dibutuhkan, orang terkualifikasi berikutnya dalam garis suksesi secara otomatis menjadi pemangku raja, meskipun mereka sendiri juga masih kecil atau tidak mampu melakukan tugasnya. Tujuan-tujuan khusus dibuat oleh Ratu Elizabeth II oleh Undang-Undang Pemangku Raja 1953, yang menyatakan bahwa Adipati Edinburgh (suami Ratu) dapat bertindak sebagai pemangku pada saat-saat yang dibutuhkan.[93]
Saat selama beberapa waktu sedang sakit atau absen dari kerajaan, penguasa berdaulat secara sementara menyerahkan fungsi-fungsinya ke para Konselor Negara, yang terdiri dari pasangan penguasa monarki dan empat anggota dewasa pertama dalam garis suksesi. Para Konselor Negara saat ini adalah: Adipati Edinburgh, Pangeran Wales, Adipati Cambridge, Pangeran Harry dan Adipati York.[94]
Sampai 1760, penguasa memegang seluruh pengeluaran resmi dari pendapatan warisan, yang meliputi profit-profit Lahan Mahkota (portofolio properti kerajaan). Raja George III sepakat untuk menyerahkan pendapatan-pendapatan warisan Mahkota kembali ke Civil List. dan aransemen tersebut berlaku sampai 2012. Sebuah Jasa Properti Tahunan Grant-in-aid dibayar untuk menjaga kediaman-kediaman kerajaan, dan sebuah Jasa Perjalanan Kerajaan tahunan Grant-in-Aid dibayar untuk perjalanan. Civil List menutupi sebagian besar pengeluaran, yang meliputi para petugas, kunjungan negara, pertunangan publik, dan hiburan resmi. Ukurannya ditentukan oleh Parlemen setiap 10 tahun; dana apapun diamankan sampai masa 10 tahun berikutnya.[95] Dari 2012 sampai 2020, Civil List dan Grants-in-Aid digantikan dengan Sovereign Grant tunggal, yang meliputi 15% pendapatan yang dipegang oleh Lahan Mahkota.[96]
Lahan Mahkota adalah salah satu kepemilihan properti terbesar di Britania Raya, yang seharga £7.3 miliar pada 2011.[97] Lahan tersebut dipercayakan, dan tak dapat dijual atau dimiliki oleh Penguasa Berdaulat dalam kapasitas pribadi.[98] Pada masa modern, profit-profit yang diserahkan dari Lahan Mahkota ke Perbendaharaan dimasukkan ke Civil List dan Grants-in-Aid.[95] Contohnya, Lahan Mahkota menghasilkan £200 juta pada tahun finansial 2007–8, sementara dana parlementer untuk penguasa monarki dilaporkan sejumlah £40 juta pada masa yang sama.[99]
Seperti halnya Lahan Mahkota, lahan dan aset Kadipaten Lancaster, portofolio properti-nya senilai £383 juta pada 2011,[100] dan dipercayakan. Pendapatan Kadipaten masuk Privy Purse, dan digunakan untuk dihabiskan dan tidak melalui tunjangan parlementer.[101]Kadipaten Cornwall merupakan sebuah lahan serupa yang dipercayakan untuk digunakan oleh putra sulung penguasa monarki. Royal Collection, yang meliputi karya-karya seni dan Perhiasan Mahkota, tidak dimiliki oleh Penguasa Berdaulat secara pribadi namun dipercayakan,[102] seperti halnya istana-istana yang diduduki di Britania Raya seperti Istana Buckingham dan Kastel Windsor.[103]
Penguasa berdaulat merupakan subyek dari pajak-pajak tak langsung seperti pajak nilai tambah, dan sejak 1993, Ratu telah membayar pajak pemasukan dan pajak pemberian utama pada pemasukan pribadi. Tunjangan Parlementer kepada Penguasa Berdaulat bukan sebagai pemasukan karena mereka secara tunggal merupakan untuk ekspeditur resmi.[104] Kaum Republikan memperkirakan bahwa biaya monarki sebenarnya, termasuk keamanan dan pemasukan potensial yang tidak diklaim oleh negara, seperti profit-profit dari kadipaten-kadipaten Lancaster dan Cornwall dan penyewaan Istana Buckingham dan Istana Windsor, sejumlah £334 juta setahun.[105]
Prakiraan kekayaan Penguasa Monarki beragam, tergantung pada apakah aset-aset yang ia miliki secara pribadi atau dipercayakan untuk negara dimasukkan. Majalah Forbes memperkirakan bahwa kekayaannya sejumlah US$450 juta pada 2010,[106] namun tak ada jumlah resmi yang diberikan. Pada 1993, Lord Chamberlain berkata bahwa sekitar £100 juta adalah "jumlah pendapatan bersih yang terlalu dilebih-lebihkan".[107]Jock Colville, yang merupakan mantan sekretaris pribadinya dan direktur banknya, Coutts, memperkirakan kekayaannya pada 1971 sejumlah £2 juta[108][109] (setara sekitar £28 juta pada masa sekarang[110]).
Kediaman resmi Penguasa Berdaulat di London adalah Istana Buckingham. Itu adalah tempat sebagian besar banquet negara, penobatan, pembaptisan anggota kerajaan dan upacara-upacara lainnya.[111] Kediaman resmi lainnya adalah Kastel Windsor, istana terbesar yang masih diduduki di dunia,[112] yang biasanya dipakai pada akhir pekan, Paskah dan saat Royal Ascot, sebuah pertemuan ras tahunan yang merupakan bagian dari kalender sosial.[112] Kediaman resmi Penguasa Berdaulat di Skotlandia adalah Istana Holyroodhouse di Edinburgh. Penguasa monarki singgah di Holyrood selama sekitar seminggu pada setiap tahun, dan saat mengunjungi Skotlandia berkenaan dengan kunjungan negara.[113]
Dulunya, Istana Westminster dan Menara London adalah kediaman utama Penguasa Monarki Inggris sampai Henry VIII mengakuisisi Istana Whitehall. Whitehall hangus terbakar pada 1698, sehingga dialihkan ke Istana St James. Meskipun digantikan sebagai kediaman London utama penguasa monarki oleh Istana Buckingham pada 1837, St James masih menjadi istana senior[114] dan masih menjadi kediaman Kerajaan seremonial. Contohnya, para duta besar asing diakreditasikan ke Court of St James's,[111][115] dan Istana-nya adalah tempat pertemuan Dewan Aksesi.[86] Itu juga digunakan oleh para anggota Keluarga Kerajaan lainnya.[114]
Gelar lengkap Penguasa Berdaulat saat ini adalah "Elizabeth the Second, by the Grace of God, of the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and of Her other Realms and Territories Queen, Head of the Commonwealth, Defender of the Faith" (bahasa Indonesia: Elizabeth Kedua, atas Rahmat Tuhan, dari Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara dan Kerajaan-kerajaan dan Kawasan-kawasan Ratu Lainnya, Kepala Persemakmuran, Pembela Iman).[117] Gelar "Kepala Persemakmuran" dipegang oleh Ratu secara pribadi, dan tidak dalam Mahkota Inggris.[72]Paus Leo X yang mula-mula memberikan gelar "Pembela Iman" kepada Raja Henry VIII pada 1521, yang dianugerahkan atas dukungannya terhadap Kepausan saat masa-masa awal Reformasi Protestan, terutama atas bukunya Pembelaan Tujuh Sakramen.[118] Setelah Henry berpisah dari Gereja Roma, Paus Paulus III menarik pemberian tersebut, tetapi Parlemen mengesahkan hukum yang melanjutkan penggunaannya.[119]
Penguasa Berdaulat dikenal sebagai "His Majesty" atau "Her Majesty" (bahasa Indonesia: Yang Mulia). Bentuk "Britannic Majesty" (bahasa Indonesia: Yang Mulia Inggris) muncul dalam traktat-traktat internasional dan paspor-paspor untuk membedakan penguasa monarki Inggris dengan para penguasa asing. Penguasa monarki memilih nama regnal-nya, yang tidak harus nama pertamanya – Raja George VI, Raja Edward VII dan Ratu Victoria tak memakai nama pertama mereka.
Jika hanya satu penguasa monarki yang menggunakan nama partikular, tidak ada ordinal yang digunakan; contohnya, Ratu Victoria tidak dikenal sebagai "Victoria I", dan ordinal tidak digunakan bagi para penguasa monarki Inggris yang memerintah sebelum Norman menaklukan Inggris. Pertanyaan apakah penomoran bagi para penguasa monarki Inggris berdasarkan pada para penguasa Inggris atau Skotlandia mencuat pada 1953 saat para nasionalis Skotlandia menentang Ratu menggunakan sebutan "Elizabeth II", atas dasar bahwa tak pernah ada "Elizabeth I" di Skotlandia. Dalam MacCormick v Lord Advocate, sebuah Pengadilan Sesi Skotlandia melawan para penggugat, menyatakan bahwa gelar Ratu adalah sebuah materi hak istimewa dan pilihannya sendiri. Sekretaris Dalam Negeri berkata kepada Dewan Rakyat bahwa para penguasa monarki semenjak Acts of Union telah konsisten menggunakan ordinal Inggris dan Skotlandia, dimana ordinal Inggris terjadi empat kali.[120] Perdana Menteri mengkonfirmasikan praktek tersebut, tetapi menyatakan bahwa "baik Ratu maupun para penasihatnya dapat menentukan para penerusnya".[121] Para penguasa masa mendatang akan menerapkan kebijakan tersebut.[122]
Biasanya, tanda tangan penguasa monarki meliputi nama regnal mereka namun tidak dengan ordinal, yang disusul oleh huruf R, yang merupakan kependekan dari rex atau regina (kata Latin masing-masing untuk raja dan ratu). Tanda tangan penguasa monarki saat ini adalah "Elizabeth R". Dari 1877 sampai 1948, para penguasa monarki yang memerintah menambahkan huruf I pada tanda tangan mereka, yang merupakan kependekan dari imperator atau imperatrix (kaisar atau Kaisar Wanita dalam bahasa Latin), dari status mereka sebagai Kaisar atau Kaisar Wanita India. Contohnya, Ratu Victoria bertandatangan "Victoria RI" dari 1877.
Lambang kerajaan Britania Raya adalah "Quarterly, I and IV Gules three lions passant guardant in pale Or [untuk Inggris]; II Or a lion rampant within a double tressure flory-counter-flory Gules [untuk Skotlandia]; III Azure a harp Or stringed Argent [untuk Irlandia]". Pendukungnya adalah Singa dan Unicorn; slogannya adalah "Dieu et mon droit" (Prancis: "Tuhan dan Hakku"). Sekitaran lambang tersebut merupakan sebuah perwakilan dari Garter yang mencantumkan slogan ordoKekesatriaan dengan nama yang sama; "Honi soit qui mal y pense". (Bahasa Prancis Lama: "Malulah siapa yang berpikir jahat kepadanya"). Di Skotlandia, penguasa monarki menggunakan bentuk lambang alternatif dimana seperempat bagian kiri atas dan kanan bawah mewakili Skotlandia, bagian kanan atas mewakili Inggris, dan bagian kiri bawah mewakili Irlandia. Slogannya adalah "In Defens"/"Dalam Pertahanan" (sebuah bentuk singkatan dari bahasa Skotlandia "In My Defens God Me Defend"/"Dalam Pertahananku Tuhan Membelaku") dan slogan Order of the Thistle; "Nemo me impune lacessit". (Latin: "Tidak ada yang memprovokasi saya dengan impunitas"); para pendukungnya adalah unicorn dan singa, yang mendukung escutcheon dan lance, yang mengibarkan bendera Skotlandia dan bendera Inggris.
Bendera resmi penguasa monarki di Britania Raya adalah Royal Standard/Standar Kerajaan, yang menggambarkan Lambang Kerajaan dalam bentuk spanduk. Bendera tersebut hanya dikibarkan di gedung-gedung, kapal-kapal dan kendaraan-kendaraan yang dimasukki Penguasa Berdaulat.[123] Standar Kerajaan tak pernah dikibarkan setengah tiang karena selalu ada penguasa berdaulat; saat seorang penguasa wafat, penerusnya otomatis menjadi penguasa berdaulat.[124]
Standar Kerajaan Britania Raya: Bendera resmi Penguasa Monarki
Standar Kerajaan Britania Raya yang digunakan di Skotlandia
^"In London, the revelations from [1989 Soviet defector Vladimir] Pasechnik were summarized into a quick note for the Joint Intelligence Committee. The first recipient of such reports is always Her Majesty, The Queen. The second is the prime minister, who at the time was [Margaret] Thatcher." Hoffman, David E. (Emanuel), The Dead Hand: The Untold Story of the Cold War Arms Race and Its Dangerous Legacy (N.Y.: Doubleday, 1st ed. [1st printing?] (ISBN 978-0-385-52437-7) 2009), p. 336 (author contributing editor & formerly U.S. White House, diplomatic, & Jerusalem correspondent, Moscow bureau chief, & foreign news asst. managing editor for The Wash. Post).
^Brock, Michael (September 2004; online edition, January 2008). "William IV (1765–1837)". Oxford Dictionary of National Biography. Oxford University Press. Retrieved 10 October 2008 (subscription required)
^ abDurkin, Mary; Gay, Oonagh (21 December 2005), The Royal Prerogative(PDF), House of Commons Library, diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 25 June 2008, diakses tanggal 10 October 2008
^Zines, Leslie (2008). The High Court and the Constitution, 5th ed. Annandale, New South Wales: Federation Press. ISBN 978-1-86287-691-0. p.314
^Corbett, P. E. (1940), "The Status of the British Commonwealth in International Law", The University of Toronto Law Journal, 3 (2): 348–359, doi:10.2307/824318, JSTOR824318
^Scott, F. R. (January 1944), "The End of Dominion Status", The American Journal of International Law, 38 (1): 34–49, doi:10.2307/2192530, JSTOR2192530
^Sayer, Jane E. (September 2004), "Adrian IV", Oxford Dictionary of National Biography, diakses tanggal 20 April 2008 (Subscription required)
^Flanagan, M. T. (September 2004), "Dermot MacMurrough", Oxford Dictionary of National Biography, diakses tanggal 20 April 2008 (Subscription required)
Bagehot, Walter; edited by Paul Smith (2001). The English Constitution. Cambridge University Press.
Brazier, Rodney (1997). Ministers of the Crown. Oxford University Press.
Brock, Michael (September 2004; online edition, January 2008). "William IV (1765–1837)". Oxford Dictionary of National Biography. Oxford University Press. Retrieved 22 April 2008 (subscription required).
Castor, Helen (2010). She-Wolves: the Women who Ruled England Before Elizabeth. Faber and Faber.
Cannon, John; Griffiths, Ralph (1988). The Oxford Illustrated History of the British Monarchy. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-822786-8
Ives, E. W. (September 2004; online edition, January 2008). "Henry VIII (1491–1547)". Oxford Dictionary of National Biography. Oxford University Press. Retrieved 20 April 2008 (subscription required).
Sayers, Jane E. (2004). "Adrian IV (d. 1159)". Oxford Dictionary of National Biography. Oxford University Press. Retrieved 20 April 2008 (subscription required).
Tomkins, Adam (2003). Public Law. N.Y.: Oxford University Press (Clarendon Law ser.).
Waldron, Jeremy (1990). The Law. Routledge.
Weir, Alison (1996). Britain's Royal Families: The Complete Genealogy. (Revised edition). London: Pimlico. ISBN 0-7126-7448-9.