Hendrik Robbert van Heekeren dalam karyanya The Stone Age of Indonesia (1972), meneliti dan memetakan Leang Pettae serta memasukannya ke klasifikasi situs gua prasejarah peninggalan Budaya Toala. Kehidupan penghuni gua Budaya Toala berlangsung sejak kala Pasca Plestosen hingga awal Masehi. Kehidupan Budaya Toala ini berlangsung cukup lama dan mampu bertahan beratus-ratus tahun lamanya. Kehidupan budaya tersebut masih sangat bergantung pada potensi ekologi sumber alam sekitarnya.[6][7]
Gua prasejarah
Leang Pettae termasuk ke dalam jenis gua prasejarah. Di gua yang berada di gugusan bukit karst ini memiliki tinggalan gua prasejarah yang unik dan beraneka ragam tinggalan arkeologis Budaya Toala Sulawesi Selatan. Gua ini memberikan gambaran kehidupan manusia masa lampau. Gua yang berada pada deretan gua-gua yang ada di hamparan pegunungan batu ini sangat menarik perhatian terutama para ilmuwan. Gua ini bertipe gua lingkungan lembah. Tinggalan arkeologi yang ditemukan di Leang Pettae antara lain lukisan di dinding gua bergambar cap telapak tangan dan lukisan babirusa, artefak batu (microlith), serpih bilah, mata panah berdasar bundar, mata panah berdasar bergerigi, lancipan muduk yang menyebar dalam pelataran gua, dan sampah dapur berupa kulit kerang yang terdeposit di bagian mulut gua. Di gua ini terdapat seni lukisan cadas berwarna merah dengan satu gambar atau motif binatang periode Pra-Austronesia, yaitu jenis babirusa. Adapun fosil fauna masa Budaya Toala yang ditemukan adalah phalanger ursinus, babyrousa babyrussa, macaca maura, dan sus celebensis.[3][4][1]
Leang Pettae memiliki pintu gua yang telah dipagari besi setinggi 1.500 cm. Dari pintu itu, gambar tangan sudah terlihat karena gua ini memang tidak terlalu dalam. Ada lima gambar telapak tangan, tapi hanya tiga yang utuh. Selain telapak tangan, ada pula babirusa dan sebuah mata tombak yang semuanya berwarna merah. Gua ini merupakan bukti sejarah adanya kehidupan manusia masa lalu yang menggunakan gua sebagai sarana untuk hunian, dan saat ini sudah dibuka untuk umum sebagai objek tujuan wisata. Pengunjung di situs ini berasal dari berbagai kalangan, yaitu terdiri atas pengunjung umum, asing, dinas, maupun dari kalangan pelajar/mahasiswa, dan ilmuwan.[8]
Hendrik Robbert van Heekeren mengklasifikasikan lapisan Budaya Toala dalam 3 lapisan, yaitu Toala III, Toala II, dan Toala I. Ian C. Glover menerapkan radiokarbon untuk mengetahui kurun waktu hunian di gua. Klasifikasi masa hunian pada gua didasari atas jenis temuan yang terkandung pada gua sebagai unsur lapisan budaya yang bersangkutan, yaitu Toala III sampai dengan Toala I. Berdasarkan kajian klasifikasi lapisan Budaya Toala masa hunian oleh Hendrik Robbert van Heekeren dan kajian hasil analisis radiokarbon dengan sistem penanggalan radiokarbon oleh Ian C. Glover, Situs Leang Pettae masuk pada klasifikasi lapisan Budaya Toala I dan II.[6][9][7]
Cagar budaya
Situs Leang Pettae ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros pada 10 Januari 2018. Penetapan situs menjadi cagar budaya berdasarkan SK Bupati Maros. Hal ini juga sudah berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sebelumnya, terlebih dahulu telah dilakukan pengkajian kelayakan oleh Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Maros. Setelah penetapan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros telah memiliki dasar hukum untuk mengelola, melestarikan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Leang Pettae merupakan salah satu elemen objek arkeologis dari banyaknya elemen objek arkeologis yang ada di Taman Prasejarah Leang-Leang. Taman Prasejarah Leang-Leang sendiri merupakan kawasan cagar budaya yang dikelola langsung oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan. BPCB Sulawesi Selatan telah mencatat hingga saat ini, bahwa di wilayah Kabupaten Maros ada 209 situs gua.[10][2]
Aksesibilitas
Lokasi gua ini dapat ditempuh dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dengan menggunakan angkutan umum. Jalanan menuju tempat ini sangat bagus, dan juga pemandangan di sekitarnya sangat indah. Batu-batuan besar berwarna hitam bertumpuk rapi di lapangan luas dengan pemandangan batu karakteristik yang sangat khas. Aksesibilitas menuju objek ini relatif mudah dengan adanya jalan poros kelurahan yang terhubung dengan Jalan Poros Bantimurung yang merupakan jalan provinsi (Jalan Poros Maros-Bone). Sepanjang jalan telah dibeton dan dilengkapi papan nama arah penunjuk jalan sehingga kemudahan akses kendaraan dan kenyamanan pengunjung dapat terpuaskan. Jalur kunjungan wisata gua prasejarah ini dapat dimulai dari Taman Prasejarah Leang-Leang. Jarak gua relatif dekat dan terlihat mudah untuk mengunjunginya.
^ abcAhmad, Amran; A. Siady Hamzah (2016). Database Karst Sulawesi Selatan 2016(PDF). Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. 37.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abHeekeren, van H.R. (1972). "The Stone Age of Indonesia (Second rev. ed., VKI No. LXI)". The Hague-Martinus Nijhoof.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)
^Glover, Ian C.; Bernnet Bronson, C. (1984). "Archaeological Radiocarbon Dates from Indonesia: A First List (Indonesia Circle No. 34, June 1984)". hlm. 37-44.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)
Nama yang dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat provinsi di Indonesia. Nama yang tebal dan dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat nasional di Indonesia.