Rammang-Rammang adalah sebuah kawasan bentang alam berupa gugusan pegunungan karst yang terletak di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Kawasan karst ini terintegrasi dengan Kawasan Karst Maros-Pangkep. Kawasan karst ini kini diberikan perlindungan khusus, karena kondisi kelestarian alamnya. Kawasan karst ini berada 42,30 km di sebelah utara Kota Makassar. Sebelumnya pada sekitar tahun 2005, kawasan ini pada beberapa titik dijadikan lokasi tambang marmer dan semen oleh sebuah perusahaan yang telah mendapat izin dari Dinas Pertambangan Kabupaten Maros,Pemerintah Daerah Kabupaten Maros. Namun, kelompok masyarakat lokal, para pecinta alam, pemerhati lingkungan, dan beberapa pihak lainnya turun tangan dan menolak kawasan ini dijadikan lokasi tambang. Pihak-pihak tersebut bahu-membahu menyuarakan penolakan adanya tambang hingga pada akhirnya selama dua tahun izin tambang dicabut dan Dinas Pertambangan Kabupaten Maros dibubarkan. Pada tahun 2007, kawasan karst Rammang-Rammang dirintis dan dijadikan salah satu objek wisata yang saat ini menjadi salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Maros. Destinasi wisata Rammang-Rammang telah meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dan menambah Pendapatan Asli Daerah.
Sejarah dan pengelolaannya
Dahulu, kawasan Rammang-Rammang ini hanya dapat dicapai lewat Pasar Kali Bone yang terletak di jalan poros Maros-Pangkep dengan menggunakan perahu. Kemudian, diketahui perusahaan semen Bosowa membuka akses dan membuat jembatan di desa Salenrang. Pembangunan jalan desa sesudahnya berpangkal dari gardu listrik PLN menembus kawasan ini, dan bersisian dengan situs Batu Tianang.[1] Kawasan Rammang-Rammang ini ialah bagian dari karst Maros-Pangkep.[2] Kawasan karst Rammang-Rammang sempat ditawar untuk ditambang oleh perusahaan marmer dan masyarakat sekitar sempat diiming-imingi jadi buruh dan karyawannya. Namun masyarakat tetap tidak gentar menolak.[3][4] Sekitar tahun 2007 silam, kawasan karst yang dilelang ialah sebesar 40 hektare untuk dieksplorasi oleh 3 perusahaan kaliber besar dari Cina oleh Pemda Kabupaten Maros.[5] Selain masyarakat yang didukung LSM dan akademisi menolak karena tahu akibatnya yang merusak,[6] kawasan ini sendiri juga telah dikelilingi oleh beberapa tambang semen dan salah satunya berjarak sekitar 4 km dari kawasan karst.[4] Sehingga, dilakukanlah aneka perlawanan dengan cara mengadukan hal tersebut kepada DPRD Maros, dan bernegosiasi dengan pemerintah juga pengusaha.[6] Pada 2011, mahasiswa dan masyarakat melayangkan surat ke Bupati Maros pada 21 Juli 2011, menentang rencana izin pertambangan marmer oleh PT Grasada Multinasional.[1] Setelah bersatunya masyarakat menolak dan bahkan selama 6 tahun berjuang melawan perusahaan tambang, warga berhasil menyelamatkan kawasan ini,[5] dan 12 izin usaha tambang dibatalkan sehingga membuka jalan kawasan ini untuk dijadikan sebagai tempat wisata.[4][6] Pada tahun 2017 lalu pula, kawasan karst ini telah menjadi Taman Nasional Geopark[5][7] dan sedang diajukan kepada UNESCO untuk menjadi UNESCO Geopark Global, atau geopark tingkat internasional.[7] Tahun 2018, pengunjung Rammang-rammang mencapai 74.708 orang, pada 2019 turun jadi 50.000 orang. Jumlah itu, dalam hitungan pengelola kawasan putaran uang yang masuk mencapai Rp7,4 miliar, dengan asumsi setiap pengunjung mengeluarkan antara Rp100.000-Rp150.000, dari mulai jasa parkiran, sewa perahu, hingga makanan.[1]
Kawasan ini mulai dibuka sebagai kawasan perlancongan pada 2015 dengan adanya kelompok sadar wisata. Usaha berkembang mulai dengan adanya penyewaan perahu, pemandu, makan minum, hingga pengelolaan penginapan. Pendapatan dari pengelolaan wisata, dipakai untuk keuntungan bersama dan kas desa.[6] Di kawasan ini, ada kampung Berua yang dihuni 15 kepala keluarga dengan 15 rumah panggung yang rerata penghuninya berprofesi petani padi dan jadi pemandu wisata. Sepanjang kawasan ini, tempat karst banyak ditumbuhi tanaman-tanaman nipah. Di dekat sungai ini, disediakan musala dan tempat tetirah untuk beristirahat. Masyarakat sini juga memakai perahu untuk sarana pengangkutan dari dan ke tambak maupun ke sawah.[2] Di kawasan ini, mengalir Sungai Pute dengan hutan batu yang tegak tinggi. Kampung Berua ini sendiri, dikelilingi menara karst dalam gua yang purba.[6]
Per 17 Maret 2020, untuk mencegah penyebaran pandemi koronavirus, kawasan wisata ini ditutup sementara.[8] Dalam pada waktu itu, Pemkab Maros lewat Disbudpar telah membagikan 185 paket sembako kepada masyarakat yang terdampak. Selama masa wabah, kawasan ini menjadi sepi pengunjung.[9]
Galeri
Lanskap sawah masyarakat lokal dan hutan karst Rammang-Rammang
Nama yang dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat provinsi di Indonesia. Nama yang tebal dan dimiringkan berarti merupakan cagar budaya peringkat nasional di Indonesia.