Leang Jarie

Leang Jarie
ᨒᨙᨕ ᨍᨑᨗᨕᨙ
Leang Jaria, Gua Jaria, Gua Jarie
Lukisan prasejarah di Leang Jarie yang dipotret antara tahun 1941-1953
Lua error in Modul:Location_map at line 423: Kesalahan format nilai koordinat.
LokasiDesa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
Koordinat05°01'57.1"S 119°41'12.9"E[1]
Panjang900 meter
Rentang tinggi30 meter
GeologiKarst / Batu kapur / Batu gamping
Situs webvisit.maroskab.go.id
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/
Wisata Gua Prasejarah
Leang Jarie
Informasi
Lokasi Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
Negara  Indonesia
Pemilik
Pembukaan Setiap hari pukul 08.00–16.00 WITA
Jenis objek wisata Edukasi arkeologi dan gua prasejarah
Situs web visit.maroskab.go.id
Situs Cagar Budaya Leang Jarie
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
PeringkatKabupaten
KategoriSitus
No. RegnasPO2016081200907
Lokasi
keberadaan
Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
Tanggal SK10 Januari 2018
Pemilik Indonesia
PengelolaDinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

Leang Jarie (Ejaan van Ophuijsen: Leang Djarie; Lontara Bugis: ᨒᨙᨕ ᨍᨑᨗᨕᨙ , transliterasi: Léang Jarié ) atau Leang Jaria (Lontara Makassar: ᨒᨙᨕ ᨍᨑᨗᨕ , transliterasi: Léang Jaria ) atau Gua Jarie (Lontara Indonesia: ᨁᨘᨕ ᨍᨑᨗᨕᨙ , transliterasi: Gua Jarie ) adalah situs arkeologi di wilayah Kabupaten Maros. Gua ini merupakan jenis gua prasejarah dan tipe gua horizontal dengan panjang ± 900 meter. Tinggalan arkeologi di gua ini antara lain lukisan dinding gua dan alat batu (serpih, bilah, tatal), dan pecahan yang terbuat dari batu chert dan gamping kersikan. Di dalam gua ini terdapat lukisan tangan manusia purba dan lukisan manusia purba (laki-laki) dengan kemaluan menjuntai ke bawah. Dari sekian banyak penemuan arkeologi di Kabupaten Maros, penemuan rangka manusia di situs gua ini pada 3 Mei 2018 oleh Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar yang paling spektakuler. Karena baru kali ini ditemukan rangka manusia purba dan nyaris utuh.[1][2][3][4][5][6]

Etimologi

Kata "léang" baik dalam Bahasa Bugis (Basa Ugi) maupun dalam Bahasa Makassar (Basa Mangkasara') memiliki makna "gua". Begitu pun juga kata "jari" baik dalam Bahasa Bugis (Basa Ugi) maupun dalam Bahasa Makassar (Basa Mangkasara') memiliki makna "tangan". Huruf "é" yang terletak di koda pada kata "jarié" menunjukkan penciri Bahasa Bugis yang mengandung makna penegasan pada objek. Huruf "a" yang terletak di koda pada kata "jaria" menunjukkan penciri Bahasa Makassar yang mengandung makna penegasan pada objek. Penamaan atau penyebutan "Leang Jarie" dan "Leang Jaria" berdasarkan pada berdasarkan pada kelompok etnis, namun memiliki makna yang sama.

Lokasi

Secara administratif, Leang Jarie berada di wilayah Desa Samangki, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia. Terletak pada posisi astronomis 05°01'57,1" LS dan 119°41'12,9" BT, pada ketinggian 30 mdpl. Gua ini masuk dalam Kawasan Karst Maros-Pangkep, Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Situs berupa gua prasejarah ini menghadap ke arah selatan dengan ukuran mulut gua masing-masing tinggi dan lebarnya adalah 12 meter dan 6 meter.[1][2][3][4][5]

Penelitian

Hendrik Robbert van Heekeren dalam karyanya The Stone Age of Indonesia (1972), meneliti dan memetakan Leang Jarie serta memasukannya ke klasifikasi situs gua prasejarah peninggalan Budaya Toala. Kehidupan penghuni gua Budaya Toala berlangsung sejak kala Pasca Plestosen hingga awal Masehi. Kehidupan Budaya Toala ini berlangsung cukup lama dan mampu bertahan beratus-ratus tahun lamanya. Kehidupan budaya tersebut masih sangat bergantung pada potensi ekologi sumber alam sekitarnya.[7][8]

Pada 3 Mei 2018, Tim Peneliti Balai Arkeologi Makassar telah menemukan kerangka manusia yang diduga jejak peninggalan manusia lampau dan diperkirakan berusia ribuan tahun yang lalu. Penemuan ini menjadikan Leang Jarie sebagai destinasi wisata baru, terkhusus wisata budaya dan arkeologi. Pengunjung bisa datang dengan gratis dan melihat kerangka manusia purba yang 75 persen tingkat utuhnya, sembari menyaksikan gambar tangan manusia purba berusia 39.000 tahun, stalagtit, dan stalagmit yang unik dan udara kaki gunung yang sejuk. Ketersediaan jajanan jagung masak dari Samanggi yang khas dan menggelar tikar atau duduk diatas bale-bale. TACB Kabupaten Maros dan Disbudpar Kabupaten Maros memberikan perhatian serius. Mereka menindaklanjuti dalam hal pengkajian pelestarian dan pemanfaatan. Upaya pelestarian situs Leang Jarie dapat dimanfaatkan sebagai sarana edukasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan tempat wisata khususnya wisata budaya. TACB Kabupaten Maros menilai bahwa penentuan tanggal kerangka manusia di Leang Jarie berpatokan pada sisa arang di lapisan rangka yang diprediksi berusia 6.985 tahun yang lalu, namun berpatokan arang dari lapisan lainnya, yakni sekitar 2.692 tahun yang lalu sehingga masih harus diteliti lebih lanjut. Namun, karena rangka ini telah di eskavasi, sehingga harus ada upaya konservasi dan kajian penyelamatan terhadap rangka manusia ini karena melihat berbagai faktor yang mengancam kondisinya seperti cuaca, kelembaban, serta gangguan binatang atau pun manusia. Di sekitar kerangka tersebut telah dibuat pembatas papan untuk menjaga garis batas dan penutup sehingga menyerupai peti. Masyarakat sekitar juga turut aktif menjaga dan mengunjungi situs ini untuk memastikan kondisi kerangka tidak terganggu.[6]

Cagar budaya

Leang Jarie ditetapkan sebagai cagar budaya kategori situs berperingkat kabupaten oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros (Disbudpar Kabupaten Maros) pada 10 Januari 2018. Penetapan situs menjadi cagar budaya berdasarkan SK Bupati Maros. Hal ini juga sudah berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sebelumnya, terlebih dahulu telah dilakukan pengkajian kelayakan oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Maros untuk memberikan rekomendasi ke Pemerintah Daerah Kabupaten Maros. Setelah penetapan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros telah memiliki dasar hukum untuk mengelola, melestarikan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan telah mencatat hingga saat ini, bahwa di wilayah Kabupaten Maros ada 209 situs gua.[2][3]

Galeri

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Tim Direktori Maros-Pangkep (2007). Direktori Potensi Wisata Budaya Di Kawasan Karst Maros-Pangkep Sulawesi Selatan Indonesia (PDF). Makassar: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. hlm. 35 & 49. ISBN 978-979-17021-0-2. 
  2. ^ a b c Nursam, Muhammad (25 Juli 2019). "Lagi, Empat Situs Gua Prasejarah Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya". fajar.co.id. Diakses tanggal 24 April 2021. 
  3. ^ a b c Ansar (10 Januari 2018). "Enam Situs Purbakala Maros Ditetapkan sebagai Cagar Budaya". Tribunnews.com. Diakses tanggal 24 April 2021. 
  4. ^ a b Nur, Muhammad (Oktober 2017). "Analisis Nilai Penting 40 Gua Prasejarah Di Maros, Sulawesi Selatan (Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 11, Nomor 1)" (PDF). kebudayaan.kemdikbud.go.id. hlm. 64-73. Diakses tanggal 1 Mei 2021. 
  5. ^ a b Ahmad, Amran; A. Siady Hamzah (2016). Database Karst Sulawesi Selatan 2016 (PDF). Makassar: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. hlm. 44. 
  6. ^ a b Tim Redaksi Maros FM (20 November 2018). "TACB dan Disbudpar Maros Upayakan Konservasi Temuan Kerangka Purba Di Leang Jarie". www.marosfm.com. Diakses tanggal 26 Mei 2021. [pranala nonaktif permanen]
  7. ^ Nurani, Indah Asikin (1993). "Pola Adaptasi Penghuni Gua Budaya Toala (Berkala Arkeologi Vol. 13 No. 2)" (PDF). berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id. hlm. 1-17. Diakses tanggal 20 Mei 2021. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Heekeren, van H.R. (1972). "The Stone Age of Indonesia (Second rev. ed., VKI No. LXI)". The Hague-Martinus Nijhoof. 

Pranala luar