Kayu-hitam sulawesi adalah sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya adalah Diospyros celebica, yakni diturunkan dari kata "celebes" (Sulawesi), dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu (Palu, Sulawesi Tengah)
Pemerian
Pohon, batang lurus dan tegak dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar. Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna coklat hitam. Pepagannya berwarna coklat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.
Daun tunggal, tersusun berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.
Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu dan berwarna merah kuning sampai coklat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar; yang dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, coklat kehitaman.
Hasil dan kegunaan
Pohon ini menghasilkan kayu yang berkualitas sangat baik. Warna kayu coklat gelap, kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Dalam perdagangan internasional kayu hitam sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony atau juga black ebony. Nama-nama lainnya di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, dan kayu maitong. Kayu hitam berat dengan berat jenis melebihi air, sehingga tidak dapat mengapung.
Kayu hitam sulawesi terutama digunakan untuk mebel mahal, ukir-ukiran dan patung, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan.
Kayu ini telah diekspor ke luar negeri semenjak abad ke-18. Pasar utamanya adalah Jepang. Pasar sekunder adalah Eropa dan Amerika Serikat.
Karena perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam, kini kayu hitam sulawesi telah terancam kepunahan. Ekspor kayu ini mencapai puncaknya pada tahun 1973 dengan jumlah sekitar 26,000 m3, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus menurun karena kekurangan stok di alam.
Lemmens, R.H.M.J., Soerianegara, I. and W.C. Wong (Eds.), 1995. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 5(2) Timber Trees: Minor commercial timbers. Backhuys Publishers, Leiden.