Tumbuhan paku, paku-pakuan, atau pakis-pakisan adalah sekelompok tumbuhan dengan sistem pembuluh sejati (Tracheophyta) tetapi tidak pernah menghasilkan biji untuk reproduksi seksualnya. Alih-alih biji, kelompok tumbuhan ini melepaskan spora sebagai alat penyebarluasan dan perbanyakannya, menyerupai kelompok organisme seperti lumut dan fungi.
Tumbuhan paku tersebar di seluruh bagian dunia, kecuali daerah bersalju abadi dan lautan, dengan kecenderungan ditemukan tumbuh di tempat-tempat yang tidak subur untuk pertanian. Total spesies yang diketahui sekitar 12.000,[2] dengan perkiraan 1.300[3] sampai 3000 lebih[4] spesies di antaranya tumbuh di kawasan Malesia (yang mencakup Indonesia).
Pengelompokan klasik anggota tumbuhan paku (Pteridophyta, dalam arti luas, mis. menurut Haeckel (1866)[5]) pada pengetahuan terkini dianggap bersifat parafiletik. Dari kelompok-kelompok cabang utama tumbuhan berpembuluh, satu kelompok yang mencakup paku kawat, kumpai, serta rane, ternyata memisah paling awal dari kelompok lainnya. Kelompok tersebut sekarang dimasukkan dalam divisio Lycopodiophyta. Ini menyebabkan "Pteridophyta" sekarang memiliki dua pengertian: arti luas (sebagaimana arti klasik, mencakup Lycopodiophyta) dan arti sempit (arti klasik minus Lycopodiophyta). Kelompok tumbuhan paku arti sempit bersifat holofiletik atau monofiletik, dan sekarang disebut Pteridophyta atau, untuk menghindari kebingungan, disebut Polypodiophyta atau Monilophyta.
Fosil paku tertua berasal dari kala Devon, sekitar 360 juta tahun yang lalu [6] tetapi suku-suku dan jenis-jenis modern baru muncul sekitar 145 juta tahun yang lalu, di awal kala Kapur, di saat tumbuhan berbunga sudah mendominasi vegetasi bumi.
Pemanfaatan tumbuhan paku oleh manusia terbatas. Kebanyakan menjadi tanaman hias, sebagian kecil dimakan, sebagai tumbuhan obat, atau bahan baku untuk alat bantu kegiatan sehari-hari.
Ciri dan botani
Bentuk luar (morfologi) tumbuhan paku bermacam-macam, sesuai dengan hasil evolusi adaptasinya. Secara umum, pakis dikenal karena daunnya tumbuh dari tunas yang berbentuk ukel seperti kepala gagang biola atau selo (bahasa Jawa: mlungker) atau circinate vernation dalam bahasa Inggris. Ciri ini sebenarnya hanya berlaku untuk paku leptosporangiatae dan anggota Marattiales. Perbedaan tumbuhan paku dari tumbuhan berbiji terlihat dari struktur pembuluh di dalam batang, rimpang, atau tangkai entalnya.
Penampilan luar paku ada yang berupa pohon (paku pohon, biasanya tidak bercabang), semak, epifit, tumbuhan merambat, mengapung di air, hidrofit, tetapi biasanya berupa terna dengan rimpang yang menjalar di tanah atau humus. Organ fotosintetik dan reproduktif paku disebut ental (bahasa Inggrisfrond) dengan ukuran yang bervariasi, dari beberapa milimeter sampai enam meter.
Sebagian besar anggota paku-pakuan tumbuh di daerah tropika basah. Paku-pakuan cenderung ditemukan pada kondisi tumbuh marginal, seperti lantai hutan yang lembap, tebing perbukitan, menempel atau merayap pada batang pohon atau bebatuan, di dalam airkolam/danau, daerah sekitar kawahvulkanik, serta sela-sela bangunan yang tidak terawat.[3] Ketersediaan air yang mencukupi pada rentang waktu tertentu diperlukan karena salah satu tahap hidupnya tergantung pada keberadaan air, yaitu sebagai media bergeraknya sel sperma menuju sel telur. Karena itulah, tumbuhan ini juga lebih banyak dijumpai di kawasan pegunungan yang basah dan teduh.
Pergiliran keturunan (metagenesis)
Daur hidup tumbuhan paku mengenal pergiliran keturunan (metagenesis), yang terdiri dari dua tahap: gametofit dan sporofit. Tumbuhan paku yang mudah kita lihat merupakan bentuk fase sporofit (sporophyte, berarti "tumbuhan dengan spora") karena menghasilkan spora. Bentuk generasi gametofit (gametophyte, berarti "tumbuhan dengan gamet") dinamakan protalus (prothallus) atau protalium (prothallium), yang berwujud tumbuhan kecil berupa lembaran berwarna hijau, mirip lumut hati, tidak berakar (tetapi memiliki akar semu (rizoid) sebagai penggantinya), tidak berbatang, tidak berdaun. Prothallium tumbuh dari spora yang jatuh di tempat yang lembap. Protalium menghasilkan anteridium (antheridium, penghasil spermatozoid atau sel kelamin jantan) dan arkegonium (archegonium, organ penghasil ovum atau sel telur). Baik anteridium maupun arkegonium berukuran mikroskopik, tidak mudah dilihat mata tanpa bantuan alat khusus. Pembuahan sel telur mutlak memerlukan bantuan air sebagai media spermatozoid berpindah dengan berenang menuju arkegonium untuk membuahi sel telur. Ovum yang terbuahi berkembang menjadi zigot, yang pada gilirannya tumbuh menjadi sporofit baru.
Beberapa tumbuhan paku (seperti anggota Selaginellales dan Salviniales) memiliki spora jantan berukuran lebih kecil, disebut mikrospora, daripada spora betina, disebut megaspora atau makrospora. Gejala ini disebut heterospori (tumbuhannya disebut heterospor). Kelompok dengan ukuran spora sama besar disebut homospor.
Tumbuhan berbiji (Spermatophyta) juga memiliki daur hidup seperti paku heterospor tetapi telah berevolusi lebih jauh sehingga tahap gametofitnya tidak dapat hidup mandiri dan harus disangga kehidupannya oleh sporofit. Spora yang dihasilkan langsung tumbuh menjadi serbuk sari (jantan) atau kantung embrio (betina).
Secara tradisional, sebagaimana diajarkan di sekolah menengah, tumbuhan paku (Pteridophyta, arti luas) mencakup semua tumbuhan berpembuluh (Tracheophyta) berspora, atau kormofita berspora selain lumut hati (Hepatophyta), lumut tanduk (Anthocerophyta), dan tumbuhan lumut sejati (Musci).[7] Pteridophyta ditempatkan pada takson divisio dengan lima kelas:
Sampai sekarang, ilmu yang mempelajari anggota lima kelompok tumbuhan ini disebut pteridologi dan ahlinya disebut pteridolog.
Cakupan dengan dukungan biologi molekuler
Perubahan mendasar dipublikasikan oleh Smith et al. (2006),[8] dengan mengajukan revisi terhadap tumbuhan paku masa kini (tidak mencakup tumbuhan paku fosil yang sudah punah) berdasarkan data morfologi dan didukung dengan hasil analisis molekular (sekuens DNAplastid). Berdasarkan usulan ini, Lycopodiinae dan Isoëtinae dianggap merupakan tumbuhan berpembuluh yang pertama kali terpisah dari yang lain, sehingga dikelompokkan dalam divisio tersendiri: Lycopodiophyta (atau Lycophyta[9]). Paku-pakuan serta tumbuhan berbiji berada pada kelompok lain, disebut Euphyllophytina (atau Pterophyta[9]). Selanjutnya semua kormofita berspora yang tersisa tergabung dalam satu kelompok besar, yang layak dikatakan sebagai anggota divisio tumbuhan paku (Pteridophyta) yang sebenarnya. Nama baru yang diusulkan untuk mencegah kerancuan cakupan Pteridophyta adalah "Monilophyta" (dari moniliform, "berbentuk kalung", mengacu pada bentuk stele seperti kalung yang dimiliki tumbuhan yang dianggap moyang semua tumbuhan paku modern[10]) atau ""Polypodiophyta" (dari Polypodium, genus yang menjadi genus tipe).
Akibat revisi ini, pengelompokan tradisional menjadi parafiletik (tidak mencakup seluruh cabang), karena cabang Euphyllophytina "terbelah". Kelompok yang parafiletik tidak dianjurkan untuk dipakai dalam taksonomi modern, meskipun dalam hal-hal praktis masih dapat digunakan.
Revisi Smith et al. (2006) juga menunjukkan bahwa sejumlah paku-pakuan yang dulu dianggap sebagai paku primitif, seperti anggota Psilotales, ternyata lebih dekat berkerabat dengan Ophioglossales (yang sebelumnya merupakan anggota kelas Filicinae yang dianggap lebih "modern"), sementara paku ekor kuda (Equisetales) sama dekatnya dengan paku sejati maupun terhadap Marattiales.
Semenjak klasifikasi baru ini diterbitkan, ditambah dengan beberapa perbaikan lanjutan,[11][12] kesepakatan klasifikasi tumbuhan paku sampai 2013, adalah sebagai berikut (hingga takson bangsa/ordo):[8][13]
Polypodiopsida (mencakup seluruh paku leptosporangiataea) dengan lebih dari 9000 spesies.
Penelitian lanjutan kemudian ada yang memisahkan Psilotales dari Ophioglossales.[11] Akibat pengelompokan ini, Marattiales dan Ophioglossales, yang secara tradisional dianggap sebagai "paku sejati" (salah satunya karena tunas daun mudanya yang berkembang secara gulungan membuka), tidak termasuk dalam golongan paku yang "benar-benar sejati" (sensu Leptosporangiatae).[15]
Perkembangan penggolongan tanaman paku sampai 2014 secara umum menyepakati penggolongan sampai tingkat bangsa (ordo), tetapi masih mempermasalahkan bagaimana hubungan di antara bangsa-bangsa tersebut serta anggota masing-masing di dalamnya. Misalnya, Rai dan Graham (2010) menyatakan "sampai sekarang barangkali yang dapat dikatakan berdasarkan kajian-kajian modern mengenai bentuk hubungan di antara kelompok besar silsilah dalam monilophyta adalah bahwa kita tidak benar-benar mengenal mereka".[16] Grewe et al. (2013) tetap memastikan dimasukkannya paku ekor kuda dalam tumbuhan paku, namun juga mengingatkan ada ketidakjelasan dalam posisi sebenarnya.[11] Mereka memperlihatkan bahwa paku ekor kuda membentuk satu kelompok dengan Psilotopsida, berbeda dengan Smith et al. (2006) yang menempatkan paku ekor kuda sebagai sepupu dari Marattiopsida dan Polypodiopsida.
Penggolongan paling terbaru yang menunjukkan arah perubahan penggolongan tumbuhan paku, termasuk Lycopodiales, dipublikasi oleh Christenhusz dan Chase (2014).[17]
Pemanfaatan
Karena kecenderungan untuk tumbuh di tempat marginal, tumbuhan paku bukanlah kelompok tumbuhan yang memiliki peran budaya yang menonjol.
Banyak anggotanya menjadi tanaman hias, baik taman, pekarangan, atau ditaruh di pot sebagai tanaman beranda atau dalam rumah (indoor plant). Contoh-contohnya adalah berbagai paku pedang (Nephrolepis), berbagai paku epifit (misalnya paku tanduk rusa, kadaka, Davallia, Drynaria, sering kali tumbuh secara spontan lalu dipelihara), suplir (Adiantum), berbagai paku pohon, dan beberapa paku air untuk penghias akuarium (mis. Ceratopteris thalictroides).
Spora yang diekstrak dari strobilus Lycopodium dimanfaatkan sebagai lycopodium powder yang biasa digunakan untuk efek ledakan karena akan menyala sangat kuat namun dengan suhu rendah sehingga cukup aman untuk hiburan.
^ abSastrapradja, Setijati; Afriastini, J ohar J.; Darnaedi, Dedy; Widjaja, Elizabeth A. (1979). Jenis Paku Indonesia (edisi ke-1). Bogor: Lembaga Biologi Nasional - LIPI.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
^Haeckel, E. (1866). Generale Morphologie der Organismen. Berlin: Verlag von Georg Reimer. pp. vol.1: i–xxxii, 1–574, pls I–II; vol. 2: i–clx, 1–462, pls I–VIII.
^Stace, Clive (2010b). New Flora of the British Isles (edisi ke-3rd). Cambridge, UK: Cambridge University Press. hlm. xxviii. ISBN978-0-521-70772-5.
^Rai, Hardeep S. & Graham, Sean W. (2010). "Utility of a large, multigene plastid data set in inferring higher-order relationships in ferns and relatives (monilophytes)". American Journal of Botany. 97 (9): 1444–1456. doi:10.3732/ajb.0900305., p. 1450